Wednesday, February 28, 2007

Riyadh Al-Shalihin

Alhamdulillah sejak hari Ahad, 26 Februari 2007, pengajian yang sejak lama ingin lakukan bisa terlaksana. Walau pengajian kecil di rumah, saya berharap kiranya pengajian tersebut bermanfaat. Paling tidak bagi dua putri saya, Mona Luthfina dan Naila Fithria. Saya merasa, pendidikan di ITB yang mereka tempuh tidak cukup. Pembekalan lain, terutama di sisi akhlak, masih perlu mereka kaji dan hayati. Pilihan saya kali ini adalah Pengajian Kitab Riyadh Al-Shalihin, karya Imam Al-Nawawi.

Kitab tersebut saya pilih sebagai bahan pengajian karena kitab tersebut merupakan intisari dari hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis terkemuka, seperti halnya Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan beberapa kitab hadis lainnya. Selain itu, saya sendiri pernah tiga kali mengikuti pengajian kitab tersebut oleh K.H. Ali Maksum, sewaktu saya masih menjadi santri di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta dan kitab tersebut telah saya ikhtisarkan dan diterbitkan oleh Penerbit MIZAN.

Merenungkan kitab-kitab hadis yang pernah saya pelajari, saya semakin menyadari bahwa karya-karya tersebut, selain kesahihannya dapat dipertanggungjawabkan, mampu memberikan pencerahan dan kemanfataan kepada umat selama beratus-ratus tahun tidak lepas dari kebeningan dan keikhlasan niat para pengarang kitab-kitab tersebut, di samping integritas akhlak mereka yang luar biasa. Imam Al-Bukhari, misalnya, setiap kali akan menorehkan penanya dalam menulis sebuah hadis, selalu mendahuluinya dengan berwudhu terlebih dahulu. Tampaknya hal itu sederhana. Tapi, sejatinya, hal itu mengungkapkan niat yang bersih dan ikhlas dan integritas yang luar biasa. Tidaklah mudah bagi siapa pun untuk berwudhu setiap kali akan menulis sesuatu. Apalagi kala itu dapat dibayangkan air tidak mudah didapat dan listrik belum ada. Imam Al-Ghazali pun, ketika menyusun Kitab Ihya’ ‘Ulum Al-Din selama sembilan tahun, dia menanggalkan jabatan guru besar dengan segala fasilitas luar biasa yang diberikan oleh Nizham Al-Mulk dan menyendiri di lingkungan yang sunyi di Masjid Umawi, Damaskus, dengan hanya memakai lentera kecil. Hal yang sama juga dilakukan oleh Imam Al-Nawawi. Tokoh terakhir yang satu ini pun memiliki integritas yang luar biasa.

Saya sejatinya sering merasa kagum dengan para ulama dan ilmuwan Muslim pada zaman pertengahan. Dengan situasi dan kondisi yang tentu tidak semaju dewasa ini, mereka mampu meninggalkan karya-karya besar yang sangat bermanfaat bagi umat. Sebagai misal, mudahnya, Imam Al-Ghazali dengan karya besarnya Ihya’ ‘Ulum Al-Din dan sederet karya-karyanya, Ibn Rusyd dengan karyanya Bidayah Al-Mujtahid dan sederet karya-karyanya, Ibn Khaldun dengan karyanya Al-Muqaddimah dan sederet karya-karyanya, Ibn Hazm dengan Al-Muhalla dan sederet karya-karyanya.

Merenungkan hal yang demikian, kadang saya merasa sangat sedih melihat para ulama dan ilmuwan Muslim dewasa ini. Mengapa mereka tidak dapat meneladani para pendahulunya. Bukankah fasilitas yang mereka miliki jauh lebih lengkap ketimbang yang dimiliki dan dinikmati para pendahulunya. Mungkin, menurut saya, mereka perlu menata kembali niat dan keikhlasan hati mereka menjadi ulama dan ilmuwan. Mungkin begitu, mungkin juga karena hal lain yang Allah lebih mengetahui.

Dan, kali ini, saya ingin menghadirkan kisah berikut yang berkait dengan kehidupan Imam Al-Nawawi yang karyanya, Riyadh Al-Shalihin, yang saya jadikan bahan pengajian:

Panglima dan Ulama

Baghdad, tahun-tahun 1250-an M. Kala itu, gerak maju pasukan Mongol di bawah pimpinan Jenderal Hulagu Khan, dalam upaya menguasai dunia Islam, seakan tak terbendung lagi. Satu demi satu pelbagai wilayah dunia Islam kala itu jatuh tak berdaya sama sekali dalam cengkeraman pasukan yang terkenal sangat ganas dan brutal di bawah pimpinan putra Tului Khan dan cucu Jengis Khan itu, yang mendapat perintah dari Mangu, saudaranya yang menjabat Khan Besar, untuk melibas dunia Islam. Pada Januari 1256 M pasukan Mongol di bawah komando sang jenderal mulai menyeberangi Sungai Oxus (Amu-Darya). Setelah merontokkan Benteng Alamut, yang menjadi pusat pertahanan sangat tangguh kelompok Hasysyâsyûn (dalam khazanah ilmiah barat disebut kelompok Assasins) yang sangat ditakuti kala itu, pada awal 1258 M pasukan yang terkenal sangat garang dan kejam itu mulai mengepung Baghdad Dar Al-Salam. Akhirnya, kota yang dibangun Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa kedua Dinasti Abbasiah, itu pun diluluhlantakkan pada Ahad, 4 Shafar 656 H/10 Februari 1258 M dan penguasa Dinasti Abbasiah kala itu, Al-Mu‘tashim, dibunuh.

Kejatuhan Baghdad Dar Al-Salam dengan korban kaum Muslim yang sangat besar, membuat seorang panglima militer Dinasti Saljuq, termangu dan sangat masygul. Panglima yang satu ini lahir pada 620 H/1223 M, sebagai seorang mamluk (yang berarti budak, tapi kemudian menjadi nama dinasti), asal Kipchak, Kaukasus, wilayah pegunungan di perbatasan Rusia dan Turki. Kala masih kecil, ia dijual dengan harga murah bersama para budak dan direkrut Al-Malik Al-Shalih (karena itu mendapat sebutan Al-Shalihi) dari Dinasti Ayyubiah di Mesir, untuk diberi pendidikan militer dan dijadikan sebagai pengawal sultan karena mereka dikenal gagah dan kuat. Mereka diberi kedudukan sehingga kedudukan mereka meningkat. Akhirnya, mereka memberontak dan mendirikan Dinasti Mamluk. Sang mamluk yang satu itu sendiri, yang menjadi salah seorang saksi tegaknya Dinasti Mamluk pertama, atau Dinasti Mamluk Bahriah, mulai kariernya dari bawah. Kala Al-Malik Al-Muzhaffar Quthuz berkuasa, ia diangkat sebagai atabeg para serdadu. Namanya mulai berpendar dalam Perang Salib, karena ia berhasil menangkap Raja Louis IX dari Prancis. Selain itu, ia ikut bertanggung jawab dalam peristiwa terbunuhnya Turan Syah, penguasa dari Dinasti Ayyubiah.

Selepas merenung, merenung, dan merenung, sang panglima akhirnya menyadari, tidaklah mudah untuk menghadang gerak maju pasukan Mongol di bawah pimpinan Jenderal Hulagu Khan itu. Maka, selepas mendapat masukan-masukan dari pelbagai pihak, tokoh militer yang juga terkenal sebagai seorang yang saleh dan dikenal sangat ketat menjaga syariah itu mengundang seorang ulama di Damaskus. Sang panglima mengharapkan, kiranya sang ulama berkenan menggunakan seluruh pengaruhnya terhadap masyarakat luas untuk mendanai sang panglima dalam upayanya menghadang gerak maju pasukan Mongol yang mulai mengarahkan geraknya menuju Suriah dalam perjalanan untuk menaklukkan Mesir.

Menerima permintaan demikian, ulama dengan kepribadian yang penuh integritas itu memberi nasihat seperti adanya kepada sang panglima, “Wahai panglima! Dulu, Anda budak belian. Sekarang, Anda panglima. Kini, Anda memiliki tidak kurang dari 1.000 budak, yang masing-masing Anda lengkapi dengan pelbagai pakaian kebesaran, untuk kemegahan Anda, penuh bertabur emas. Anda juga mempunyai 100 dayang. Sekujur badan mereka penuh pula dengan hiasan emas dan permata. Kalau Anda bersedia menanggalkan pakaian emas 1.000 budak dan 100 dayang itu, menggantinya dengan baju biasa, selama perang ini, saya akan mempergunakan pengaruh saya kepada rakyat supaya mereka berkorban!”

Akibatnya, sang panglima yang sangat menyukai olah raga polo itu murka dan mengusir sang ulama dari Damaskus.

Siapakah ulama yang berani “menantang” sang panglima yang kelak menjadi penguasa keempat Dinasti Mamluk yang berkuasa di Mesir dan Suriah dengan nama lengkap Al-Malik Al-Zhahir Rukn Al-Din Baibars Al-Bunduqdari Al-Shalihi itu? Tidak lain adalah penyusun sebuah kitab hadis terkenal berjudul Riyâdh Al-Shâlihîn, salah satu kitab hadis acuan di dunia Islam hingga dewasa ini. Ulama terkemuka pada abad ke-7 H/13 M tersebut bernama lengkap Muhy Al-Din Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf bin Murri bin Al-Hasan bin Al-Husain bin Hizam bin Muhammad bin Jum‘ah Al-Nawawi Al-Syafi‘i. Ia lahir pada Ahad, 10 Muharram 631 H yang bertepatan dengan 16 Oktober 1233 M di Nawa, Jawlan di selatan Damaskus, Suriah.
Pada 649 H/1251 M, setelah memperdalam berbagai ilmu keislaman, Al-Nawawi muda pun menapakkan kakinya menuju Damaskus. Di kota yang pernah menjadi ibukota Dinasti Umawiah ini, karena keluasan ilmu dan wawasannya, ia diangkat sebagai staf pengajar Perguruan Dar Al-Hadits Al-Asyrafiyah. Selain itu ia juga mencurahkan perhatiannya terhadap dunia tulis menulis. Sehingga, lahir sederet karya-karya tulisnya. Antara lain Raudhah Al-Thâlibîn, Al-Minhâj, Daqâ’iq Al-Minhâj, Al-Manâsik Al-Sughrâ, Al-Isyârât li Bayân Asmâ’ Al-Mubhimât, Al-Tibyân, Al-Adzkâr, Al-Fatâwâ, Tahdzîb Al-Asmâ’ wa Al-Lughah, Syarh Shahîh Muslim, Al-Arba‘ûn Hadîtsan, di samping karya terkenalnya Riyâdh Al-Shâlihîn yang berada di tangan pembaca ini.

Selepas pertemuan antara sang ulama dengan sang panglima tersebut, baliklah sang ulama yang satu ini ke desa kelahirannya dan menetap di sana sampai berpulang ke hadirat Allah pada Rabu malam, 24 Rajab 676 H/22 Desember 1277 M dalam usia sekitar 45 tahun. Jenazah ulama yang terkenal sangat teliti dan cermat serta tidak meninggalkan keturunan ini dimakamkan di rumah ayahnya dan kuburnya masih terpelihara hingga kini.

Catatan: seorang ulama sejati tidak pernah gentar menyampaikan kebenaran kepada siapa pun. Sampai pun kepada seorang jenderal yang ternama!

Fasîrû fi Al-Ardh

Bandung, Senin 26 Februari 2007. Ketika saya sedang berada di RS Borromeus, Bandung, menengok Diyah Anggi, putri Mas Tarno dan Mbak Wiwik, Jakarta yang sedang dirawat karena terjatuh dari sepeda motor, istri tercinta saya, Ummie Wasitoh, menelpon dan meminta saya untuk pergi ke sebuah biro perjalanan di Jl. Sunda. Usai pamitan dengan Mbak Wik, Mas Tarno, dan Anggi, saya segera meluncur ke Jl. Sunda. Begitu bertemu dengan seorang karyawan biro perjalanan tersebut, hati rasanya tiada hentinya bersyukur kepada Allah Swt: visa ke Mesir telah disetujui dan mendapat visa berkunjung ke negara itu selama sekitar sebulan.

“Oh Cairo, I’ll see u again!” Betapa kangen hati saya dengan kota indah yang satu itu. Sekitar enam tahun lamanya Kota Seribu Menara itu benar-benar telah memperkaya warna hidup saya. Selama enam tahun, dengan segala suka dan dukanya, hidup di kota yang didirikan oleh Jawhar Al-Shiqilli pada 972 M itu telah memberi saya kesempatan untuk menikmati kehidupan yang kaya warna di kota yang sangat riuh itu dan terakhir kali saya kunjungi pada Februari 1995 untuk menghadiri Cairo International Bookfair. Kala itu, selama sekitar tujuh hari, saya menjadi tamu Mas Dja’far Bushiri (alm.), seorang mahasiwa Indonesia yang kala itu menjadi koresponden majalah Gatra, dua bulan sebelum sahabat saya yang satu itu berpulang tak jelas penyebab kematiannya ketika sedang melakukan liputan di sebuah negara Arab. Padahal, rencananya selepas liputan itu sahabat yang berasal dari Bangkalan, Madura itu akan maju sidang program S-3nya dan menikah dengan putri seorang Imam Masjid sebuah masjid kepresidenan. Allah Maha Kuasa dengan takdir-Nya atas diri setiap hamba.

Kapankah pertama kali saya menginjakkan kaki di Kota Seribu Menara itu? Sore 11 Desember 1978, itulah hari pertama kali saya menjejakkan kaki di Kota Kairo selepas naik pesawat terbang Royal Air Maroc selama sekitar dua jam dari Jeddah, tanpa mengenal siapa pun. Karena kala itu tak kenal siapa pun di kota itu, saya pun meminta taksi yang saya naiki menuju ke Kedutaan Besar Republik Indonesia yang terletak di Aicha Taimouria St., Garden City, yang terletak tidak jauh dari pusat Kota Kairo yang ditandainya dengan Midan Tahrir. Taksi pun segera meluncur menuju Garden City, sementara hujan rintik-rintik musim dingin sedang menyergap kota itu. Tak terbayangkan oleh saya kala itu, setibanya di KBRI, saya mau ke mana. Semua saya serahkan kepada Allah Swt., seperti halnya ketika pertama kali memasuki Yogyakarta pertama kali pada 1972, sebagai anak daerah, untuk menimba ilmu di Kota Gudeg itu.

Sekitar satu jam selepas menelusuri Kota Kairo dari airport, taksi tua yang saya naiki berhenti di depan sebuah gedung megah yang bentuknya mirip istana. Begitu turun dari taksi yang segera berlalu, dengan menjinjing tas satu-satunya yang saya bawa, saya menerobos hujan rintik menuju ke pos penjagaan. Yang ada hanyalah security Mesir berkulit hitam legam berseragam hitam dan menjinjing senjata bersangkur terhunus. Dengan bahasa Arab fushah (karena belum menguasai bahasa ‘âmiyah (harian) Mesir), saya mencoba berkomunikasi dengan security Mesir tersebut. Sementara suasana di sekitar semakin temaram, karena kala itu sedang musim dingin. Hati semakin gelisah, karena komunikasi dengan security dari Mesir Selatan itu tidak berjalan dan saya tidak tahu malam itu akan menginap di mana, sementara tubuh mulai menggigil kedinginan. Saya memang datang ke kota yang sedang disergap musim dingin ini sebagai “mahasiswa terjun bebas”, sebuah istilah yang dikenakan bagi mahasiswa Indonesia yang datang ke Kairo tanpa beasiswa. Saya datang ke kota ini karena merasa tidak cocok menimba ilmu di Arab Saudi. Karena itu, saya “melarikan diri” ke Mesir hanya dengan sebuah tekad saya harus dapat menaklukkan kota yang satu ini, dengan segala kesulitannya, kepahitannya, keindahannya, keceriaannya, dan khazanah ilmiahnya yang kaya.

Alhamdulillah, Allah Swt. masih mencintai saya yang saat itu benar-benar gelisah. Tak lama kemudian, seseorang dengan tubuh jangkung, hidung mancung, dan wajah tersenyum serta berpayung mendekat. Begitu dekat, orang itu segera menyapa dengan ramah dan santun, “Anda siapa dan dari mana? Kenapa sore dan hujan begini masih ada di sini?”

Subhânallâh, betapa gembira dan damai hati saya begitu tahu orang itu tidak lain adalah Prof. Dr. Fuad Hassan, seorang guru besar Universitas Indonesia yang kala itu menjabat Duta Besar Indonesia di Kairo. Wajah beliau sebelumnya telah saya kenal dari beberapa buku beliau. Segera saja kami terlibat dalam perbincangan. Dan, karena kemudian tahu saya berasal dari Jawa Tengah, maka kemudian beliau menelpon seseorang dan memerintahkan seorang sopir KBRI untuk mengantarkan saya ke flat seorang pegawai lokal KBRI yang berasal dari Kebumen, Jawa Tengah. Dan, segera sebuah mobil KBRI membawa saya menuju Manial Rawdhah, Kairo, untuk “menitipkan” saya kepada keluarga Mas Ahmad Zabidi (alm). Dan, selepas itu, ternyata selama enam tahun kemudian saya tidak pernah pindah dari distrik tersebut. Terima kasih Pak Fuad Hassan dan Keluarga Mas Ahmad Zabidi (alm.). Jazakumullah Ahsanal Jaza’.

Dan, kalau Allah Swt. mengizinkan, wahai Kairo, 22 Maret 2007 nanti, saya ingin bernostalgia kembali bersamamu, Insya Allah, selama sekitar seminggu, bersama istri tercinta untuk mengikuti simposium internasional tentang diabetes mellitus, dan selepas itu menziarahi Rasul Saw. tercinta di Madinah dan Kota Makkah selama 9 hari. Terima kasih, ya Allah, Engkau masih memberi kesempatan saya untuk ngluyur kembali, untuk merenungkan makna firman-Mu, Fasîrû fi Al-Ardh (Kunjungilah pelbagai belahan dunia).

Berikut sedikit catatan saya tentang cv ringkas Kota Kairo: Ibukota Mesir ini dibangun oleh Jawhar Al-Siqilli, panglima perang Dinasti Fathimiyyah kala menaklukkan Mesir, setelah berhasil menaklukkan negeri itu pada 358 H/969 M. Pembangunan kota yang menurut rancangan aslinya berbentuk persegi empat ini semula dimaksudkan sebagai kamp militer. Kota baru ini diberi nama Al-Qahirah (Sang Penakluk). Yang pertama-tama dibangun, kala itu, adalah sebuah istana besar di sayap timur kota itu, sebagai tempat tinggal khalifah dan para pegawainya serta sebagai pusat pemerintahan. Bagian ini menyita sekitar 70 feddan. Bangunan selanjutnya yang didirikan adalah istana di sayap barat kota ini yang ukurannya lebih kecil. Di antara kedua istana itu dipisahkan oleh sebuah tempat lapang yang dipakai untuk berbagai acara dan upacara.

Ketika khalifah Dinasti Fathimiyah kala itu, Mu‘iz li Dinillah (319-365 H/931-975 M), pindah dari Kota Al-Mahdiyyah, Tunisia ke Kairo, kota terakhir ini ia jadikan sebagai ibukota dinastinya. Pada mulanya sang khalifah menginginkan kota ini sebagai kota tertutup bagi masyarakat luas. Bagi mereka telah disediakan kota Fusthath yang telah ada sebelumnya dan dibangun oleh ‘Amr bin Al-‘Ash pada 21 H/642. Itulah sebabnya Mu‘iz li Dinillah membangun benteng batu bata di sekeliling kota yang dilengkapi beberapa pintu gerbang yang mengikuti gaya pintu gerbang Kota Al-Mahdiyah.

Kota ini sendiri mencapai puncak perkembangannya pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk. Khususnya setelah bintang Baghdad memudar akibat gempuran pasukan Tartar pada 1258 M. Kemudian dilengkapi dengan jatuhnya kota Granada pada 898 H/1492 M. Dengan jatuhnya kedua kota itu, Kairo pun menjadi bintang kota-kota di dunia Islam kala itu.

Sunday, February 25, 2007

Ika & Priyatna

Dua kemenakan yang bermukim di Pulau Dewata itu acap kali membuat saya kangen. Bukan apa-apa. Profesi arsitek yang mereka sandang acap mengingatkan saya dengan pelbagai karya arsitektur monumental yang dihasilkan para arsitek Muslim di pelbagai belahan dunia. Bila ketemu dua kemenakan yang "lucu-lucu dan imut-imut" itu, segera saja membuat saya terkenang ketika masih berada di Mesir.

Enam tahun berada di Mesir, jauh dari keluarga, acap membuat saya home-sick. Kalau sudah begitu, khususnya ketika sedang libur di hari Jumat, sejak pagi hari saya sudah bersiap-siap ngluyur. Biasanya mencari masjid-masjid historikal di Kota Kairo yang belum pernah saya kunjungi atau baru sekali atau dua kali saya datangi. Atau kalau lagi bosen mengunjungi masjid-masjid, saya biasanya berjalan kaki menuju pangkalan ferri yang menelusuri sepanjang Nil. Betapa nikmat menikmati pemandangan Kota Kairo dari atas feri.

Kenangan akan Kota Kairo tersebut kerap muncul setiap melihat blog kedua kemenakan itu. Saya senang sekali ketika mereka berdua punya cita-cita merancang sebuah masjid. Bicara masjid, segera saja mengingatkan masjid-masjid yang pernah saya kunjungi. Seperti halnya Masjid Al-Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah, Masjid Al-Azhar, Masjid Muhammad 'Ali, Masjid Sultan Al-Hasan, Masjid Amr bin Al-'Ash, di Kairo, dan sebuah masjid tanpa tiang sama sekali di Karachi. Melihat masjid-masjid tersebut, saya pun merasa bahwa dunia Islam telah melahirkan para arsitek besar yang piawai memadukan dua disiplin: seni dan ilmu pengetahuan. Dan setiap kali mengenang masjid-masjid tersebut, saya merasa yakin suatu ketika dunia Islam akan melahirkan kembali arsitek-arsitek terbaiknya di tingkat dunia dan mampu berdakwah bil hal tanpa banyak bicara. Barangkali Ika & Priyatna dapat mengikuti jejak-jejak mereka.

Sebagai apresiasi saya terhadap para arsitek Muslim, khususnya buat Ika & Priyatna, kali ini saya akan menghadirkan catatan saya tentang Masjid Nabawi yang dipandang sebagai Bapak Masjid. Berikut ini catatan saya:

Masjid Nabawi, sebuah masjid yang pertama kali dibangun di Madinah, Arab Saudi ini ketika pertama kali berdiri hanya memiliki luas sekitar 4.200 hasta. Masjid yang pembangunannya dimulai pada Rabi'ul Awwal 1 H/September 622 M ini didirikan di atas lahan yang dibeli dari dua anak yatim, Sahl dan Suhail. Pada 7 H/628-629 M Nabi Muhammad saw memperluas masjid ini menjadi 10.000 hasta. Perluasan selanjutnya pada 17 H/638 M, yang dilakukan Khalifah 'Umar bin al-Khaththab, membuat masjid ini menjadi seluas 11.400 hasta. Pada 29 H/649 M masjid ini kembali diperluas untuk keempat kalinya oleh Khalifah 'Utsman bin 'Affan. Sehingga luas masjid ini mendapat tambahan 496 meter persegi.

Pada tahun-tahun 88-91 H/706-709 M al-Walid bin 'Abd al-Malik, penguasa ke-6 Dinasti Umawiyah di Damaskus, Syria memerintahkan perluasan dan pemugaran masjid ini, di bawah pengawasan 'Umar bin 'Abd al-'Aziz, Gubernur Madinah kala itu. Pada masa ini lah masjid ini mulai dihiasi dengan mosaik, pualam, dan emas. Kemudian pada 160 H/778 M, pada masa pemerintahan al-Mahdi, penguasa ke-3 Dinasti 'Abbasiyah di Irak, sayap utara masjid ini mengalami perluasan sampai 2.450 meter persegi. Untuk perluasan ini terpaksa dilakukan penggusuran sejumlah rumah para sahabat Nabi saw.

Akibat musibah kebakaran yang menimpa masjid ini pada 654 H/1256 M, Sultan azh-Zhahir Baibars I al-Bunduqdari dari Dinasti Mamluk di Mesir (memerintah antara 659-676 M/1260-1277 M) memerintahkan pemugaran masjid ini. Musibah serupa menimpa dan terjadi lagi pada abad 9 H/15 M. Pemugaran kali ini dilakukan Sultan al-Asyraf Saif ad-Din Qa'it Bay, penguasa Mesir dari Dinasti Mamluk Burji (memerintah antara 873-902 H/1468-1496 M). Di samping dipugar, luas masjid ini ditambah 120 meter persegi. Dan, pada 1263 H/1846 M, masjid ini dipugar dan diperluas sebanyak 1293 meter persegi, atas perintah Sultan 'Abd al-Majid I, penguasa ke-32 Dinasti Usmaniyah di Turki (memerintah antara 1255-1278 H/1839-1861 M).

Penguasa dari keluarga Sa'ud juga tidak mau ketinggalan dalam ikut memperluas dan memugar masjid ini. Pertama, perluasan dan pemugaran yang dilakukan Raja 'Abd al-'Aziz. Selanjutnya, perluasan dan pemugaran yang dilakukan pada masa pemerintahan Raja Fahd bin 'Abd al-'Aziz, dengan biaya sekitar 7 miliar dolar Amerika Serikat, membuat Masjid Nabawi yang kini dilengkapi dengan 10 menara dan 27 kubah yang bisa bergerak membuka dan menutup secara otomatis sehingga bisa dimanfaatkan untuk mengatur sirkulasi udara alami ini menjadi seluas 165.000 meter persegi dengan kapasitas 257.000 jamaah. Dengan kata lain, masjid yang kini memiliki tujuh pintu gerbang utama yang dibuat dengan hiasan kaligrafi yang diukir dari emas di Utara, Timur, dan Barat, di samping dua pintu gerbang di Selatan ini menjadi seluas kota Madinah pada zaman Nabi Muhammad saw.

Tuesday, February 13, 2007

ACHMAD NOE’MAN

Pagi tadi, ketika saya sedang asyik menyiapkan sebuah judul baru sebuah buku yang sedang saya siapkan untuk Penerbit MIZAN, tiba-tiba telpon berdering. Mona Luthfina, putri sulung saya, yang kebetulan berada tidak jauh dari meja telpon di rumah, segera mengangkat pesawat telpon. Ternyata, telpon dari Bapak Ir. Achmad Noe’man, seorang arsitek senior dan terkemuka Indonesia. Begitu pesawat telpon saya angkat, suara dari seberang berbunyi, “Assalamu’alaikum, Rofi’.” Suara santun dan ramah yang sudah sangat saya kenal, suara Pak Noe’man. Beliau sendiri sedang dalam perjalanan menuju Jakarta, untuk merancang sebuah masjid yang akan dibangun oleh sebuah keluarga seorang mantan wakil presiden Indonesia.

Arsitek yang merancang Masjid Salman ITB ini memang sering berkomunikasi dengan saya. Biasanya, kalau beliau menelpon saya, beliau ingin menanyakan sesuatu. Benar saja, beliau kali ini bertanya tentang bahasa Arabnya “paguyuban”. Sebenarnya saya heran, kenapa beliau menanyakannya kepada saya. Bukankah teman-teman beliau banyak yang jauh lebih pintar dan pakar ketimbang saya yang hanya “tukang ngluyur” dan “tukang ketik”. Karena sering berbincang dengan beliau, saya pernah kebagian tugas memberi nama masjid sebuah taman makam pahlawan di sebuah kota besar di Jawa. Alhamdulillah, masjid cantik dan mungil yang dirancang oleh Pak Noe’man itu kini telah berdiri dan nama yang saya ajukan tersebut ternyata benar-benar dipakai untuk nama masjid tersebut.

Bagaimanakah riwayat hidup aristek yang santun, ramah, dan tawadhu’ (menurut saya beliau lebih tepat menjadi arsitek yang kiai) ini? Berikut ini catatan saya tentang biografi beliau:
Arsitek Muslim yang terkenal pula sebagai perancang piawai masjid ini lahir di Garut pada Jumat, 11 Rabi’ul Awwal 1343 H/10 Oktober 1924 M. Setelah merampungkan pendidikannya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) dan Meer Uitgebreid Lager Onderweijs (MULO) di tempat kelahirannya, di samping menimba ilmu di madrasah, putra Haji Mas Djamhari ini lantas meneruskan sekolahnya di Sekolah Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah Ketanggungan, Yogyakarta.

Ketika Indonesia memasuki “zaman revolusi”, Noe’man muda bergabung dengan Divisi Siliwangi dan ditugaskan di Jakarta sambil sekolah di Sekolah Menengah Atas Republik. Lantas pada 1368 H/1948 M dia memasuki jurusan bangunan Fakultas Teknik, Universitas Indonesia (kini menjadi Institut Teknologi Bandung). Tapi, ia merasa kurang “nyaman” di bagian itu. Kebetulan kala itu terjadi penyerbuan pasukan Belanda atas Yogyakarta. Maka, dia tidak melanjutkan kuliahnya dan memasuki Corps Polisi Militer di Bandung dengan pangkat letnan dua. Karier militer ini dia tekuni sampai 1373 H/1953 M.

Ketika di almamaternya dibuka jurusan arsitektur, perancang Masjid Salman di lingkungan Institut Teknologi Bandung ini lantas mengundurkan diri dari tugas militer dan memasuki bidang yang digandrunginya itu. Dia memilih bidang itu karena, menurutnya, “ada nilai-nilai yang cocok untuk beramal saleh dan dengan pensil dan kertas dia bisa berdakwah”. Pendidikan di bidang ini, yang mengantarkannya menjadi arsitek yang menurutnya “harus memiliki kepribadian yang jujur, independen, dan kompeten”, dia rampungkan pada 1378 H/1958 M.
Seusai menempuh pendidikan tingginya tersebut, arsitek yang berdarah Jawa tulen ini sebetulnya hendak dikirim ke Kentucky, Amerika Serikat, untuk mengambil program master. Tapi, dia memilih tidak berangkat dan membuka sebuah biro arsitektur dengan nama “Birano” yang merupakan singkatan dari “Biro Arsitek Achmad Noe’man”. Lewat biro itu dia melahirkan sederet karyanya di bidangnya, antara lain Masjid Salman ITB, Masjid Al-Furqan di lingkungan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, dan Masjid Al-Markaz Al-Islami di Makassar.

Tentang pengalamannya dalam merancang Masjid Salman yang tanpa kubah itu, dia pernah menuturkan, “Tahun 1959, saya merancang Masjid Salman, waktu itu sudah lulus. Saat itu, yang namanya arsitek bisa dihitung dengan jari. Ada peristiwa yang menarik. Sekarang ini, mahasiswa yang tidak shalat justru aneh. Kalau dulu, waktu itu, justru yang shalat dianggap aneh. Teman-teman ada yang bilang, wah... salam ya pada Tuhan. My greeting to God. Ya kita acuh saja. Yang namanya di kampus, di ITB lagi, harus membuat masjid. Akhirnya saya bongkar-bongkar literatur arsitektur. Malah, saya sempat naik haji. Mampir ke Regent Park di London, waktu itu belum jadi. Lalu ke Bonn, Muenchen, ke Aya Sofia. Saya mencari acuan. Ketemu Surah Al-Taubah. Jangan kita membuat masjid yang mengakibatkan riya’, gitu kan. Saya justru mencari nilai-nilai yang universal, yang transendental. Jadi, saya hilangkan itu bentuk kubah. Memang, berat juga waktu menghilangkan kubah dari rancangan kita. Itu kan ciri kita.”

Di samping itu Achmad Noe’man juga aktif di berbagai kegiatan lain, antara lain menjadi anggota Majelis Arsitek Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), anggota Dewan Kehormatan Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO), anggota Persatuan Insinyur Indonesia (PII), dan mantan Ketua Yayasan Universitas Islam Bandung.

Semoga Allah Swt. selalu memberkahi dan meridhai beliau yang telah berdakwah lewat karya-karya arsitekturalnya. Amin.

Sunday, February 11, 2007

Abu Bakr al-Shiddiq

Khalifah pertama dalam sejarah Islam (berkuasa antara 11-13 H/632-634 M) ini bernama lengkap 'Abd Allah bin Abu Quhafah 'Utsman bin 'Amir bin 'Umar bin Ka'b bin Sa'd bin Taim bin Murrah bin Ka'b bin Lu'ayyi bin Thalib bin Fihr bin Nadr bin Malik at-Taimi al-Qurasyi, dengan nama 'Abd al-Ka'bah. Sedangkan ibunya, Ummu Khair Salma binti Sakhr, seorang wanita dari suku Quraisy. Ia lahir dua tahun setelah Tahun Gajah atau lebih muda dua tahun dari Nabi Muhammad saw, yakni pada 573 M. Nama kecilnya 'Abd al-Ka'bah yang berarti "Hamba Ka'bah".

Khalifah yang berasal dari Banu Tamim ini telah menjadi sahabat karib beliau sebelum beliau menjadi nabi. Malah, beliaulah yang mengubah namanya menjadi bernama 'Abd Allah. Kemudian, ketika beliau diutus sebagai nabi, pedagang yang berbudi dan hidup berkecukupan ini menjadi pria dewasa pertama yang mengakui kedudukan beliau sebagai nabi. Keislamannya mendorong sejumlah tokoh Quraisy mengikuti jejak langkahnya. Di antara mereka adalah 'Utsman bin 'Affan, az-*Zubair bin al-'Awwam, Sa'd bin Abu Waqqash, dan 'Abd ar-Rahman bin 'Auf.

Ketika Nabi Muhammad saw meninggalkan Makkah, pada malam hari 12 Rabi'ul Awwal tahun pertama Hijrah yang bertepatan dengan 28 Juni 622 M, dan berhijrah ke Madinah, Abu Bakr dipilih beliau untuk menyertai beliau. Kemudian, ketika Rasulullah saw wafat, ia diangkat sebagai khalifah. Jabatan itu ia duduki melalui pemilihan dalam satu pertemuan yang berlangsung pada hari kedua setelah Rasulullah saw wafat dan sebelum jenazah beliau dimakamkan. Itulah antara lain yang menyulut kemarahan keluarga Nabi Muhammad saw, khususnya Fathimah az-Zahra'. Mengapa mereka demikian terburu-buru mengambil keputusan tentang pengganti Nabi saw sebelum pemakaman dan tidak mengikutsertakan keluarga dekat beliau. Tetapi, penyelenggaraan pertemuan tersebut tidak direncanakan terlebih dahulu, dan sebaliknya berlangsung karena terdorong keadaan yang genting.

Setelah Nabi Muhammad saw dimakamkan di rumah 'Aisyah, pada Selasa petang, menjelang shalat 'Isya' di Masjid Nabawi, Abu Bakr ash-Shiddiq mengucapkan pidato kekhalifahannya yang pertama di hadapan kaum Muhajirun dan kaum Anshar yang membentuk tiang agung kekuatan Islam kala itu, "Wahai ummat Islam sekalian! Aku diangkat sebagai untuk memimpin kalian, meski aku bukan yang terbaik di antara kalian. Karena itu apabila aku melakukan kebaikan, dukung lah aku. Sebaliknya apabila aku melakukan kesalahan, luruskan lah aku. Ketahui lah, kebenaran adalah amanah dan kebohongan adalah pengkhianatan. Yang terlemah di antara kalian menurutku adalah yang terkuat, sampai aku mengambil dan mengembalikan haknya. Jangan lah seorang pun di antara kalian meninggalkan jihad. Ketahuilah, orang-orang yang meninggalkan jihad akan ditimpa kehinaan dari Tuhan. Patuh lah kepadaku selama aku patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya apabila kudurhakai Allah dan Rasul-Nya, tiada kewajiban patuh bagi kalian kepadaku. Kini, mari lah kita melaksanakan shalat. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada kalian."

Selama Abu Bakr menduduki jabatan khalifah, Islam semakin mengepakkan sayapnya. Agama ini pun mulai memasuki kawasan yang berada di bawah kekuasaan Imperium Romawi dan Persia. Namun, karena masa pemerintahannya yang pendek, perluasan ke arah kedua kawasan itu baru benar-benar terpancang kuat pada masa pemerintahan 'Umar bin al-Khaththab. Tokoh yang mendapat gelar "ash-Shiddiq", karena membenarkan perjalanan Isra' dan Mi'raj yang dilakukan Nabi Muhammad saw, ini meninggal pada Senin, 22 Jumadil Akhir 13 H, yang bertepatan dengan 22 Agustus 634 M, dengan meninggalkan enam putra-putri: 'Abd Allah (meninggal dunia pada tahun pertama kekhilafahan sang ayah), Asma' (istri az-Zubair bin 'Awwam), 'Abd ar-Rahman, 'Aisyah (istri Nabi Muhammad saw), Muhammad (gubernur Mesir pada masa pemerintahan 'Ali bin Abu Thalib), dan Ummu Kaltsum (lahir setelah Abu Bakr wafat). Sebelum wafat ia berpesan agar ummat Islam mengangkat 'Umar bin al-Khaththab sebagai penggantinya, halmana diterima oleh hampir semua sahabat. Pemberian wasiat dilakukan oleh Abu Bakr karena ia khawatir akan terulang lagi pertikaian seperti pada hari-hari setelah Nabi Muhammad saw wafat, sehingga jenazah beliau baru dimakamkan setelah tiga hari, suatu hal yang menyalahi pesan beliau sendiri agar jenazah selekasnya dikebumikan.

Salam Pertama

Assalamu’alaikum wr.wb.
Sejak lama sebenarnya saya ingin hadir di blog yang telah berbulan-bulan disiapkan putri pertama saya, Mona Luhtfina. Tapi, kegiatan menyelesaikan sebuah buku membuat saya belum menyempatkan diri untuk hadir di blog ini. Baru malam ini saya “dipaksa” putri saya yang suka menggoda ayahnya itu untuk mengisi blog saya. Hanya, dalam kesempatan ini saya baru dapat menyampaikan salam saya untuk Anda semua yang berkenan mampir sejenak di blog ini. Insya Allah, di hari-hari mendatang, renungan demi renungan akan saya hadirkan di blog ini. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih. Sekali lagi, terima kasih Mona.
Wassalam.