Tuesday, March 20, 2007

Prof. Dr. Ahmad Shalaby

Tadi pagi, ketika saya sedang menyiapkan pakaian dan pelbagai perlengkapan “ngluyur” selama sekitar 12 hari ke Mesir (insya Allah 21 Maret 2007 ini sampai 3 April2007), entah kenapa hati saya teraduk-aduk, antara sangat gembira dan sangat sedih. Sangat gembira karena Allah Swt. masih memberi kesempatan saya untuk menapakkan kembali ke Negeri Piramid tersebut, yang terakhir kali saya kunjungi pada 1995. Negeri yang satu itu, bagi saya, sulit untuk saya lupakan. Perjalanan hidup selama enam tahun (1978-1984) “menjadi santri” di negara yang membentang antara benua Asia dan Afrika itu benar-benar merupakan “a historical moment” bagi saya.

Di sisi lain, saya juga sangat sedih. Dalam perjalanan ke Mesir kali ini saya tidak berkesempatan untuk bertemu dengan seorang guru yang benar-benar saya hormati. Guru tersebut, yang seorang pemikir Muslim terkemuka di Mesir dan juga seorang pakar di bidang sejarah dan kebudayaan Islam, itu tidak lain adalah Prof. Dr. Ahmad Shalaby. Beliau telah berpulang ke hadirat Allah Swt. dua tahun yang lalu. Mengenang beliau, segera saja saya terkenang pertemuan saya pertama kali pada 1978 dengan beliau yang lahir di Desa ‘Ilim, sebuah desa kecil yang terletak di antara kota Zagaziq dan Abu Hammad, Mesir (tanggal kelahirannya tidak tercatat jelas) dan kala ia berumur empat tahun, ayahnya berpulang ke hadirat Allah, karena itu ibunya yang lebih banyak berperan dalam membesarkannya. Saat itu, ilmuwan yang “konon” anak keturunan Abu Bakar Al-Shiddiq yang kemudian bermukim di Turki dan selanjutnya merantau lagi ke Mesir serta mulai meniti pendidikan dasarnya di desa kelahirannya itu sedang menjabat Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam di Fakultas Dar Al-‘Ulum, Universitas Kairo.

Betapa gembira guru besar yang selepas merampungkan pendidikan menengah di Ma‘had Zagaziq, sebuah perguruan di bawah naungan al-Azhar, sebuah perguruan tertua di dunia Islam, lantas memasuki Universitas Kairo dan pada 1365 H/1945 M, setelah meraih gelar sarjana di almamaternya, berhasil memperoleh bea siswa untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas London dan kemudian di Universitas Cambridge itu menerima saya sebagai anak didiknya di program pascasarjana di bidang sejarah dan kebudayaan Islam. Saat itu saya bersama empat teman seangkatan (Dr. Wan Ahmad (alm.), seorang warga Malaysia yang mantan pensyarah di Universiti Kebangsaan Malaysia, Dr. Zaki Ahmad Brahim, seorang warga Malaysia yang kini menjadi Ketua Jurusan Tamadun Islam di Universiti Malaya, Malaysia, seorang teman asal Mesir, dan seorang teman asal Irak).

Entah kenapa ilmuwan Muslim yang meraih gelar PhD di bidang sejarah dan kebudayaan di universitas bergengsi di Inggris itu pada 1371 H/1951 M dengan disertasi berjudul “History of Muslim Education”, di bawah bimbingan seorang orientalis terkemuka Inggris kala itu: A.J. Arberry, itu lebih banyak memberi waktu dan membimbing saya ketimbang teman-teman saya. Beliau tak jemu-jemunya melatih saya untuk menulis dan menulis, di samping memberi tugas demi tugas untuk menerjemahkan karya-karya tulis beliau yang kemudian diterbitkan oleh sebuah penerbit di Singapura. Sehingga, acap kali saya merasa tidak enak hati terhadap teman-teman seangkatan. Malah, ketika beliau tahu saya tidak punya duit, beliau sering memberi saya uang. Mungkin, kerinduan beliau terhadap Indonesia yang sangat beliau cintai (seperti sering beliau ungkapkan secara lisan maupun dalam beberapa karya beliau) itulah yang membuat beliau merasa dekat dengan saya. Beliau memang pernah tinggal di Indonesia. Mengapa demikian?

Sekembalinya ke negerinya dari Inggris, beliau meniti karier ilmiahnya di almamaternya. Namun, pada 1374 H/1954 M, kala terjadi pembersihan yang dilakukan pemerintah Mesir di bawah pimpinan Presiden Gamal Abdel Nasser terhadap Gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun, meski beliau sendiri tidak tergabung dalam gerakan tersebut, beliau diberhentikan dari almamaternya. Setelah sempat selama setahun hidup serabutan, beliau kemudian “diselamatkan” Anwar Sadat yang kala itu menjabat Sekretaris Jenderal Organisasi Kongres Islam yang mengirimnya ke Indonesia. Selama sekitar enam tahun berada di Indonesia, beliau ditugaskan di Yogyakarta dan Jakarta sebagai seorang staf pengajar di lingkungan Perguruan Agama Islam Negeri yang kemudian berubah menjadi Institut Agama Islam Negeri (dan kini menjadi Universitas Islam Negeri).

Sekembalinya ke negerinya pada 1381 H/1961 M, suami Karimah Imam ini meniti karier di lingkungan Departemen Pendidikan dan Pengajaran. Tapi, akhirnya pada 1382 H/1962 M beliau kembali meniti karier ilmiahnya di lingkungan almamaternya. Di luar kesibukannya sebagai guru besar di berbagai perguruan tinggi di Timur Tengah, antara lain di Sudan dan Arab Saudi, ilmuwan yang memiliki sosok seperti orang Eropa dan kala muda memiliki rambut berwarna blonde dan mata berwarna kehijau-hijauan ini terkenal sebagai seorang penulis yang sangat produktif. Karya-karya tulisnya, termasuk di antaranya yang mulai disusunnya kala tinggal di Jalan Sagan 20, Yogyakarta, antara lain Mausu‘ah Al-Tarikh Al-Islami, sebuah ensiklopedia sejarah Islam yang terdiri dari sepuluh jilid, dan Mausu'ah Al-Hadharah Al-Islamiyyah, sebuah ensiklopedia kebudayaan Islam yang juga terdiri dari sepuluh jilid.

Karena itu, hanya doa kepada Allah Swt. saja yang kali ini dapat saya panjatkan untuk beliau, “Ya Allah! Ampunilah dosa-dosa beliau, limpahkanlah kasih dan sayang-Mu kepada beliau, maafkanlah beliau, dan jadikanlah surga menjadi tempat peristirahatan abadi bagi beliau. Ya Allah! Jadikanlah ilmu yang beliau wariskan menjadi ilmu yang bermanfaat yang mampu menjadi lentera hati dan pikiran hamba-hamba-Mu di manapun. Amin ya Rabbal ‘Alamin.”

Saturday, March 17, 2007

Keindahan Perjalanan Hidup

Ketika saya sedang asyik membaca ulang buku Islam and Politics: Emergence of Reformative Movement in Indonesia, yang diterbitkan oleh International Islamic University Malaysia dan ditulis oleh Prof. Dr. Sohirin Solihin, tiba-tiba pikiran saya pun melayang ke Gombak, Kuala Lumpur. Terkenang oleh saya, buku yang ditandatangani langsung dan dikasih catatan “Ahda Hadza Al-Juhd Al-Mutawadhi’ li Al-Akh Al-‘Aziz Al-Ustadz Rofi’ ‘Usmani min Al-Faqir ila ‘Afw Rabbih, Dr. Sohirin Mohammad Solihin” ini saya terima langsung dari penulis buku tersebut ketika saya bersilaturahmi ke rumah beliau dan menginap di komplek perumahan para pensyarah universitas Islam tersebut pada Juni 2006.

Sahabat saya yang berasal dari keluarga sangat bersahaja di Ciamis, Jawa Barat dan pernah mengaji di Pesantren Kebarongan, Cilacap ini sangat akrab dengan saya sejak kami menimba ilmu di Mesir. Jika saya bermukim di Distrik Manial, Rawdhah, tidak jauh dari RS Kasr El Aini dan Sungai Nil, sedangkan Ayahanda dua putri: Azizah dan Afifah, itu bermukim di Ruwaq Indonesia (Ruang atau Gotakan Indonesia). Yang namanya Ruwaq Indonesia tersebut saat itu, yang ada di dalam komplek Masjid Al-Azhar, Kairo dapat dikatakan sebagai asrama mahasiswa Indonesia di Kairo yang “tong pes” (kantong kempes). Meski demikian, dalam perjalanan sejarahnya, gotakan yang sangat sederhana tersebut telah melahirkan sejumlah tokoh Muslim Indonesia, seperti halnya Prof.Dr. H.M. Rasjidi.

Saya dan sahabat tersebut sering bergantian bersilaturahmi dengan kondisi seadanya, karena sama-sama mahasiswa kelompok “Ahlush Shuffah” alias tong pes. Saya sering datang ke Ruwaq Indonesia, selain bersilaturahmi, untuk memesan beras yang kala itu (1978-1984) sulit didapatkan di Kairo. Selain itu, sahabat saya itu punya kesenangan memasak kawari’, sup khas Mesir yang dibuat dari kikil sapi. Atau kalau kami lagi punya sedikit rezeki, kami pun menikmati sebuah restoran kawari’ di kawasan Khan Khalili, sebuah pasar kerajinan tradisional di dekat Masjid Sayyidina Al-Husan bin ‘Ali.

Ketika saya pulang ke Indonesia pada 1984, karena tidak boleh menimba ilmu di Prancis oleh Ibunda saya, sahabat saya tersebut kemudian melanjutkan “kelana ilmiah”nya di Inggris. Selama sekitar 13 tahun dia harus berjibaku, dengan segala kepedihan, kesulitan, keceriaan, keindahan, dan khazanah ilmiah kaya yang dimiliki negeri Tony Blair tersebut. Tapi, akhirnya, Allah Swt. memberinya anugerah gelar PhD lewat sebuah universitas bergengsi di negeri itu. Selepas itu, dia berusaha menebarkan ilmunya di Indonesia. Tapi, dia hanya mampu bertahan selama sekitar enam bulan. Pada 1996, dia mendapat tawaran untuk menjadi pensyarah universitas yang kini tegak dengan megahnya di kawasan Gombak, Kuala Lumpur itu. Dua minggu berada di KL, sebuah musibah menimpanya: seluruh bukunya yang dibawanya pulang dari Inggris, yang dititipkan di rumah mertuanya yang tidak jauh dari Terminal Kampung Melayu, Jakarta, disapu bersih oleh banjir besar yang menghajar Jakarta saat itu. Masya Allah. Walau sangat sedih, sahabat ini tetap tegak untuk melaksanakan amanah yang disangganya sebagai pensyarah. Ketegaran, kesabaran, keuletan, dan keprihatinnya selama bertahun-tahun akhirnya kini diganjar Allah Swt. dengan posisi penting di Dept. of Quran and Sunnah di IIU Malaysia.

Setiap kali merenungkan perjalanan hidup sahabat saya yang satu ini, saya senantiasa teringat dengan firman Allah Swt. yang menyatakan bahwa “Allah tidak akan mengubah nasib suatu bangsa selama mereka tidak mengubah nasib mereka sendiri”. Kiranya Antum dapat melaksanakan sebaik-baiknya amanah yang dibebankan kepada Antum, wahai sahabatku! Amin.

Thursday, March 15, 2007

Bait Al-Quran

Minggu ini perasaan sangat bahagia benar-benar menyergap hati saya. Ini karena ada seorang sahabat yang bekerja sebagai manager di SAP Indonesia, dua ipar, dan seorang saudara sepupu datang berkunjung ke rumah. Kehadiran mereka membuat rumah kami yang dihuni lima orang, saya, istri tercinta, dua putri, dan seorang pembantu, menjadi lebih semarak. Sahabat yang dari SAP Indonesia tersebut datang ke Bandung untuk menghadiri reuni Alumnus Dept. Penerbangan ITB. Dua ipar datang untuk mengikuti ESQ Leadership Training. Sedangkan saudara sepupu yang dokter spesialis paru tersebut datang ke Bandung untuk sebuah acara di RS Hasan Sadikin.

Rumah kami yang terletak tidak jauh dari Jl Terusan Pasteur memang sering mendapat kunjungan dari saudara-saudara dan sahabat-sahabat. Tak aneh bila sampai anak-anak kami pun menjadi terbiasa menerima tamu. Itulah justru yang sangat ingin tanamkan pada anak-anak. Tradisi menghormati tamu secara Islami yang kami warisi dari orang tua dan mertua merupakan hal yang sejak lama senantiasa kami tanamkan pada anak-anak, walau mereka hidup di kota besar dan menempuh pendidikan di perguruan tinggi umum. Betapa bahagia dan gembira kami melihat anak-anak terbiasa menerima tamu dengan penuh penghormatan.

Dalam kunjungan saudara sepupu saya yang dokter spesialis paru ke rumah kami, saya berkempatan mengopi foto-foto kunjungannya bersama istrinya ke Jepang pada bulan November tahun lalu. Dalam kunjungan tersebut, selain untuk menghadiri simposium respirologi tingkat Asia-Pasifik, istrinya juga berkesempatan memberikan ceramah di Kyoto tentang Al-Quran, karena dia memang seorang qari’ah yang pernah meraih juara kesatu dalam musabaqah tilawah Al-Quran tingkat internasional di Kuala Lumpur, Malaysia dan seorang dosen di sebuah institut Al-Quran di Jakarta. Di samping ke Jepang, suami-istri yang sangat sibuk ini telah mendapat anugerah dari Allah Swt. bisa mengunjungi pelbagai penjuru dunia, untuk memberikan ceramah tentang Al-Quran.

Kegiatan kedua suami-istri ini memang acap membuat saya salut kepada mereka. Sebab, di samping kesibukannya di bidang mereka masing-masing, yang suami sebagai dokter spesialis paru di RS Persahabatan, Jakarta dan kini mendapat amanah sebagai ketua tim penanggulangan flu burung di Indonesia dan yang istri sebagai pembantu rektor di sebuah institut, mereka masih menyisihkan waktu untuk mendirikan sebuah pesantren yang mereka beri nama Bait Al-Quran di Ciputat, Jakarta. Sesuai dengan namanya, pesantren tersebut disiapkan untuk mendidik para santri untuk mempelajari dan mendalami Al-Quran, terutama di bidang qira’ah dan tilawah Al-Quran. Bermula dari hanya beberapa orang santri, kini pesantren tersebut telah memiliki puluhan santri, termasuk santri asal Jepang yang putri seorang Imam Masjid Kyoto. Alhamdulillah, berangkat dari niat yang ikhlas untuk membangun sebuah pesantren dan usaha yang tak kenal lelah, kini Bait Al-Quran mulai membuahkan hasilnya. Kiranya Allah Swt. memberkahi dan meridhai niat, usaha, dan perjuangan Kangmas Dr. Mukhtar Ikhsan SpP. MARS dan Mbakyu Maria Ulfah MA tersebut. Amin.

Wednesday, March 7, 2007

Gus Mus

Entah kenapa tadi pagi, ketika saya sedang asyik menulis dengan laptop sambil mendengarkan lagu-lagu dari Fez Sacred Music Festival, buku Canda Nabi & Tawa Sufi, sebuah buku bersampul kuning yang diterbitkan oleh Penerbit Hikmah, Jakarta yang berada di antara deretan buku-buku yang terletak di sebelah kiri meja kerja saya, tiba-tiba memikat perhatian saya. Buku yang pertama kali terbit pada Juli 2002 itu semakin memaksa saya untuk mengambilnya ketika nama penulis buku itu terbaca oleh saya. Penulis buku yang diberi kata pengantar oleh Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) itu tidak lain adalah A. Mustofa Bisri yang lebih beken dengan sebutan Gus Mus. Sebuah nama seorang kiai yang sastrawan dan budayawan asal Desa Leteh yang berada di Kota Rembang, Jawa Tengah yang tak kenal letih dalam berdakwah lewat gaya-gayanya yang khas. Gaya berdakwah kiai yang pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin, Rembang, Jawa Tengah, di samping juga seorang penyair, novelis, pelukis, dan cendekiawan Muslim ini benar-benar menyejukkan hati dan pikiran. Tak aneh jika saya sering mengintip dan mengunjungi “gubug” web ulama yang acap mendapat sebutan “Kiai Klelet” (klelet adalah endapan nikotin rokok yang menempel di pipa) serta lahir pada Kamis, 20 Sya‘ban 1363 H atau 10 Agustus 1944 M dalam lingkungan kiai ini tanpa kulo nuwun.

Segera saja bayang-bayang Kota Rembang dan sosok Gus Mus mengisi benak saya. Kota Rembang, sebuah kota di tepi pantai Laut Jawa dan terletak di antara Kota Juwana dan Lasem, telah saya kenal sejak kecil. Ingatan pertama saya tentang kota itu adalah saat saya ikut rombongan keluarga K.H. Usman, Cepu (kakek saya) yang datang ke kota itu untuk menikahkan paman saya dengan putri seorang kiai di kota itu pada awal tahun 1960-an. Selepas itu, antara 1965-1971, saya hampir tiap tiga bulan menginap di rumah orang tua dua sahabat asal kota itu yang bersama-sama saya menimba ilmu di Kudus dan Yogyakarta. Saya menginap di rumah itu setiap kali saya mau pulang dan liburan di Blora, di rumah orang tua saya.

Sementara pertemuan pertama saya dengan putra kiai yang orator, K.H. Bisri Mustofa, dan cucu K.H. Mustofa Bisri ini terjadi di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Kala saya sedang nyantri di ponpes tersebut, 1972-1975, saya sekamar dengan adik kandung kiai yang selepas merampungkan pendidikan formal di tingkat sekolah dasar di kampungnya dikirim ayahnya untuk belajar di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, selama dua tahun, dan menimba ilmu di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, di bawah bimbingan K. H. Ali Maksum selama hampir tiga tahun, Gus Adib Bisri (alm.). Sebagai seseorang yang pernah menimba ilmu di ponpes tersebut, sepulangnya dari menimba ilmu di Mesir Gus Mus kadang datang ke ponpes tersebut sambil menengok sang adik tercinta. Dari kunjungan tersebut, di samping dari sejumlah album Gus Mus (yang pernah memakai nama samaran M. Ustov A. Bisri) selama menimba ilmu di Kairo yang dibawa Gus Adib, saya mulai mengenal Kota Kairo. Masih teringat oleh saya bagaimana Gus Mus muda tampil di album-album tersebut, termasuk ketika sedang bergaya di depan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo. Wajah Gus Mus muda mirip dengan wajah adiknya. Adiknya, seperti halnya abang tercintanya, sangat menggemari karya-karya sastra. Karena itu, setiap kali Gus Adib membeli karya-karya sastra, saya pun ikut menikmatinya.

Kadang saya merasa bersalah terhadap Gus Mus. Ini karena saya belum pernah sowan ke ponpes kiai yang pernah belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir yang dirampungkannya pada 1390 H/1970 M dan seusai menimba ilmu di negeri orang lantas kembali ke kota kelahirannya untuk ikut menangani pondok pesantren, selain juga aktif berorganisasi di Nahdlatul Ulama sehingga mengantarkannya menjadi Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Karena itu, sebagai obat kangen saya kepada kiai yang sangat ramah, santun, tapi penuh humor dan yang terakhir kali saya temui di bulan Agustus 2006, di Rembang, tapi tak menyempatkan diri sowan ke ponpesnya itu, saya kadang menyempatkan diri membaca karya kiai yang fasih berbahasa Arab dan Inggris itu, antara lain Proses Kebahagiaan, Pokok-Pokok Agama, Saleh Ritual, Saleh Sosial, Pesan Islam Sehari-hari, Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem, Tadarus Antologi Puisi, Pahlawan dan Tikus, Rubaiyat Angin dan Rumput, Wekwekwek, dan Canda Nabi & Tawa Sufi.

Maaf Gus, saya belum dapat mengikuti sepenuhnya jejak langkah Gus Mus! Doakan kiranya jejak langkah Gus Mus dapat saya ikuti, suatu ketika, dan tidak hanya jadi santri mbeling terus menerus. Insya Allah.

Monday, March 5, 2007

“Manajemen” Ponpes ala K.H. M. Khalil Bangkalan, Madura

Pada Ahad, 4 Maret 2007 yang lalu, sekitar jam 08.00 pagi, kami berenam: saya, istri saya tercinta, seorang ipar dari Madura dan putrinya, seorang ipar saya yang lain dari Jakarta, dan seorang sopir dari Surabaya berangkat meninggalkan Jl. Embong Malang, Surabaya, menuju Pelabuhan Tanjung Perak, dengan tujuan ke Pulau Madura. Setibanya di pelabuhan tersebut, alhamdulillah antrian menuju pulau tersebut sedang sepi. Karena itu, segera saja kami naik feri yang akan membawa kami ke Pulau Madura. Suasana pagi yang masih segar dan penumpang yang tidak hiruk pikuk, membuat saya benar-benar menikmati perjalanan menyeberangi laut yang memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Madura itu. Pemandangan di sekitar pelabuhan tampak indah sekali. Sayang, air laut di antara kedua pula itu tampak keruh. Betapa andaikan air laut tersebut jernih. Tentu akan semakin menambah indah di sekitar lokasi tersebut.

Setibanya di Pelabuhan Kamal, Bangkalan, selepas menikmati perjalanan laut selama sekitar setengah jam, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Bangkalan. Tujuan perjalanan kami adalah sebuah pondok pesantren yang didirikan oleh seorang kiai terkemuka yang sejumlah muridnya menjadi kiai-kiai terkemuka di Indonesia. Misalnya, K.H. Hasyim Asy‘ari, tokoh dan pendiri organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, K.H. Bisri Mustofa, ayahanda Gus Mus Rembang, K.H. As‘ad Syamsul Arifin Asembagus, Jawa Timur, dan K.H. Abdul Hadi Langitan, Jawa Timur. Kakek saya, K.H. Usman, seorang kiai dari Cepu, Jawa Tengah, pun pernah menimba ilmu di ponpes tersebut. Kiai terkemuka yang saya maksudkan tersebut adalah K.H. M. Khalil bin ‘Abdul Lathif, Bangkalan, Madura.

Selepas menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit dari Pelabuhan Kamal, dari jauh Kota Bangkalan menyambut kami. Setelah melewati Kota Bangkalan, kami meneruskan perjalanan ke Burneh, untuk mengunjungi pondok pesantren seorang sahabat saya di Kairo. Selepas itu, kami balik ke Kota Bangkalan. Sekitar seratus meter menjelang Masjid Agung Bangkalan, mobil yang kami naiki pun berbelok ke kiri dan memasuki sebuah pondok pesantren yang kami tuju itu. Bagi saya, kunjungan kali ini merupakan kunjungan yang kedua kalinya. Kami disambut putra kesepuluh K.H. Abdullah Sahal (yang sedang berkunjung ke Malaysia), yaitu Gus Nasih Aschal, yang masih muda usia. Walau saya ini hanya seorang “tukang ngluyur” dan “tukang ketik”, Gus Nasih menyambut kami dengan ramah, santun, dan penuh penghormatan. Tiga kamar dengan ruang tamu khusus yang dari situ kita dapat melihat ke pelbagai sudut ponpes, telah disiapkan untuk kami. Jazakumullah Ahsanal Jaza’, Gus Nasih Aschal.

Di “Ponpes Syaikhona Kholil” tersebut, sebagai cucu dan putra kiai dan lahir di lingkungan pondok pesantren, saya segera merasa at home dan merasa di rumah sendiri. Budaya pesantren sebenarnya banyak mewarnai hidup saya. Tak aneh, begitu memandangi dan merenungi sejenak ponpes kiai terkemuka tersebut, saya dapat merasakan bahwa ponpes ini didirikan dengan niat sangat tulus dan ikhlas. Di sinilah sebenarnya “ruh” kehidupan dan “manajemen” ponpes. Sedangkan manajemen modern seperti halnya yang acap saya baca dari buku-buku yang diajarkan kepada putri pertama saya, Mona Luthfina, di Dept. Teknik Industri ITB, hanyalah sebagai penunjang. Karena itu, setiap kali mengunjungi ponpes, saya selalu menggunakan “indra keenam” saya untuk menilai ponpes tersebut. Dan, harapan saya, “ruh” kehidupan dan “manajemen” utama ponpes tersebut tetap mewarnai pelbagai ponpes di Indonesia. Amin.

Friday, March 2, 2007

PhD Spirit

“Fi’! Doakan semoga sidang terbukaku lancar, ya!” ucap seorang sahabat dari Yogyakarta dengan suara bergetar, lewat telpon, beberapa hari yang lalu. Terasa oleh saya, demam panggung benar-benar menghantui sahabat saya yang akan “mengakhiri” program S-3nya di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 3 Maret 2007. Meski terbiasa tampil di depan sebagai Pembantu Dekan, sahabat saya yang tahan banting itu pun merasa takut juga untuk maju sidang terbuka. Manusiawi.

“Insya Allah lancar,” jawab saya memberi semangat kepada sahabat saya yang menantu seorang kiai besar di wilayah Singaparna, Tasikmalaya itu.

Hati saya sejatinya teraduk-aduk mendengar sahabat saya ketika menimba ilmu di IAIN Sunan Kalijaga dan di Mesir itu akan maju sidang terbuka. Gembira, haru, dan salut, tapi juga takut. Gembira dan haru karena akhirnya dia terlepas dari “penderitaannya” selama 13 tahun, dan salut karena akhirnya dia akhirnya “menang”. Ya, 13 tahun! Selama 13 tahun itulah dia baru berhasil menyelesaikan program S-3 yang hampir membuatnya di”DO”. Kegiatannya sebagai pejabat struktural membuatnya agak terlena dengan program tersebut. Dua tahun yang lalu dia sudah hampir patah semangat dan sangat resah. Akhirnya, ketika dia disarankan agar “bertapa kembali ke Mesir”, saya termasuk yang memberinya semangat agar dia balik ke Mesir. Ternyata, “saran gombal” itu benar-benar dia tempuh, dengan semangat yang membara kembali. Selama sekitar enam bulan dia terpaksa meninggalkan tanah air dan keluarga tercinta. Saya sendiri sejatinya termangu, begitu mendengar dia benar-benar mau berangkat ke Mesir, karena usianya sudah 53 tahun. Tapi, begitu dia berhasil mengatasi segala penderitaan dan kesulitannya, saya pun angkat topi kepadanya. Dia berhasil meraih “PhD spirit”. Yaitu semangat membara untuk menimba dan menebarkan ilmu pengetahuan, di mana pun dan ke mana pun, tanpa mempertimbangkan faktor usia.

Di sisi lain saya juga merasa takut. Takut karena dia sebagai seseorang yang menyandang gelar PhD dengan sendirinya memiliki tanggung jawab ilmiah yang semakin berat. Tidak terhadap dirinya sendirinya, tapi juga terhadap Allah Swt. dan masyarakat. Namun, saya pun segera berupaya membuang jauh perasaan takut tersebut dengan doa, karena Rasul Saw. mengajarkan, doa seseorang insya Allah diterima kalau kita ikhlas dan tulus dalam mendoakan orang itu, “Ya Allah! Jadikanlah dia seorang ilmuwan yang memiliki ilmu yang bermanfaat dan mampu menebarkan ilmu yang dapat menjadikan bangsa kami ini bangsa yang berilmu dan berakhlak mulia. Amin”.
“Mabruk ‘ala Al-Najah, ya Al-Akh Al-Karim Al-Ustad Al-Fadhil Al-Duktur Syihabuddin Qalyubi!”

Thursday, March 1, 2007

Silaturahmi

Tadi pagi, ketika saya sedang berada di ruang kerja saya dan sedang asyik menulis buku keempat saya untuk Penerbit Mizan (buku pertama: Teladan Indah Rasulullah Saw. dalam Ibadah, buku kedua: Mutiara Akhlak Rasulullah Saw., dan buku ketiga: The Islamic Art of Loving yang Insya Allah akan terbit April 07 nanti), tiba-tiba hp saya berdering. Subhanallah, ternyata suara dari seorang sahabat yang sejak 1972 tidak pernah bertemu dengan saya. Sahabat yang satu ini menimba ilmu bersama saya selama sekitar enam tahun di Kudus, Jawa Tengah. Setelah meninggalkan Kudus, saya menuju Yogyakarta untuk menimba ilmu di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga. Sedangkan dia menuju Surabaya, untuk menimba ilmu di IAIN Sunan Ampel. Sahabat saya yang kini menjabat Direktur Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel dan Pembantu Rektor universitas tersebut tidak lain adalah Dr. Thoha Hamim asal Mayong, Jepara, Jawa Tengah.

Sejak berpisah tersebut, hingga kini, saya sama sekali belum pernah bertemu dengannya. Saya sendiri baru menemukan “jejak” sahabat saya yang satu itu ketika bersilaturahmi ke Pondok Pesantren Gontor, Agustus tahun lalu, bersama istri saya yang ingin sekali tahu tentang ponpes tersebut. Di ponpes tersebut kami bertemu dengan Dr. Amal Fathullah Zarkasyi MA., salah seorang putra K.H. Imam Zarkasyi, seorang kiai terkemuka yang mendirikan ponpes tersebut. Cak Amal (sebutan akrab Dr. Amal Fathullah Zarkasyi MA, Pembantu Rektor INSID) adalah sahabat saya ketika sama-sama menimba ilmu di Mesir. Ketika berbincang ke sana ke mari dengan sahabat saya yang sangat supel, rendah hati, dan tawadhu’ tersebut (pantes sampeyan awet muda, Cak Amal), beliau menyebut sebuah nama: Thoha Hamim, seorang dosen di Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel. Begitu Cak Amal menyebut nama itu, entah kenapa tiba-tiba saya merasa yakin nama yang disebut itu adalah sahabat saya “yang hilang”. Ternyata setelah saya cek, dia memang benar-benar sahabat saya yang menjadi “rival” saya dalam meraih nilai terbaik di kelas. Dan, ketika saya berada di Juanda Airport, dalam perjalanan balik ke Bandung, saya coba hubungi dia. Ternyata, dia benar-benar Thoha Hamim, sahabat saya di Kudus.

Kejadian itu semakin meyakinkan saya bahwa betapa dengan silaturahmi ada banyak hikmah dan manfaat yang acapkali tak terduga. Dalam hal silaturahmi, saya harus menundukkan kepala penuh hormat kepada Ayahanda tercinta, K.H. Ahmad Zein Dahlan. Beliau benar-benar seorang kiai yang sangat gemar bersilaturahmi. Tak aneh bila beliau memiliki banyak sahabat di mana-mana, termasuk di antaranya Gus Mus, Rembang, yang memberikan sambutan kala Ayahanda berpulang. Dan, ketika saya mendengar Gus Mus menyampaikan sindiran tak langsung lewat seseorang, “Kok putra-putra Kiai Dahlan tidak ada yang gemar bersilaturahmi,” saya mulai mengubah “gaya hidup” saya yang individualistis dan egoistis. Sejak itu, saya berusaha bersilaturahmi ke rumah saudara-saudara dan sahabat-sahabat yang sebelumnya jarang saya sambangi. Subhanallah, betapa banyak hikmah dan manfaat yang saya rengkuh dengan silaturahmi. Terima kasih wahai Rasul, ternyata benar pesan-pesanmu agar kita senang bersilaturahmi!