Wednesday, May 30, 2007

Loh, Makam Imam Al-Husain bin 'Ali kok Ada di Kairo?

Usai menikmati pelbagai sudut pusat Kota Kairo bersama istri tercinta, siang hari itu (31 Maret 2007) kami menuju sebuah distrik yang terkenal dengan sebutan Husain. Ketika kita berada di distrik ini, sejatinya kita berada di pusat Kota Kairo ketika pertama kali didirikan sekitar 1.035 tahun yang lalu oleh seorang jenderal Dinasti Fathimiyyah yang memimpin penaklukan atas Mesir pada 362 H/972 M. Di distrik inilah kita dapat menyaksikan sejumlah khazanah arsitektur Islam yang luar biasa kaya. Termasuk Masjid Al-Azhar, Pusat Kerajinan Tradisional Mesir “Khan Khalili”, dan Masjid (dan Makam) Imam Al-Husain bin ‘Ali, cucu tercinta Rasulullah Saw. Karena itu, selepas “berpusing-pusing” beberapa lama di Khan Khalili, saya pun menapakkan kaki masuk ke dalam masjid (istri menuju pintu lain, karena di dalam masjid ini pintu kaum pria dan kaum perempuan terpisah). Di dalam masjid ini, di sebelah mihrab, terdapat sebuah makam yang dikatakan sebagai makam Imam Al-Husain bin ‘Ali.

Seperti diketahui, putra kedua ‘Ali bin Abu Thalib dari pernikahannya dengan putri bungsu Nabi Muhammad Saw., Fathimah Al-Zahra’, itu lahir di Madinah pada Kamis, 5 Sya‘ban 4 H/9 Januari 625 M. Ia tetap bermukim di Madinah hingga akhirnya ikut ayahandanya berangkat ke Kufah. Di sana ia aktif mengikuti semua kegiatan ayahandanya dan tetap tinggal bersama sang ayah hingga ayahandanya tewas terbunuh. Kemudian ia ikut saudaranya hingga akhirnya berpisah dan pulanglah ia kembali ke Madinah dan menetap di sana, sampai Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, pendiri Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah, meninggal dunia pada 60 H/680 M.

Tokoh yang mendapat gelar Abu Al-Syuhada’ (Ayahanda Para Syahid) dan berjiwa lapang ini mulai menunjukkan sikap kerasnya yang menentang Dinasti Umawiyyah pada 60 H/680 M. Kala itu Bani Umayyah mulai menjadikan sistem khalifah dapat diwariskan. Akibat sikapnya itu, Yazid bin Mu‘awiyah, yang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai orang nomor satu dinasti tersebut, mengutus gubernur Madinah kala itu, Al-Walid bin ‘Utbah bin Abu Sufyan, agar meminta Imam Al-Husain untuk mengakui kedudukan Yazid sebagai khalifah. Namun, cucu Nabi Saw. yang dalam satu munajatnya di Ka‘bah merintih, “Tuhanku! Engkau telah memberi nikmat kepadaku. Namun, Engkau mendapatkan aku tidak bersyukur. Engkau pun telah mencobaku. Namun, Engkau mendapatkan aku tidak bersabar. Padahal, Engkau tidak mencabut nikmat itu karena tiada syukur itu, dan tidak membiarkan kesulitan itu berlarut-larut karena ketiadaan sabar itu. Tuhanku! Tidaklah terjadi dari Yang Maha Pemurah, melainkan kemurahan” ini menolak permintaan itu.

Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, Imam Al-Husain kemudian pindah ke Makkah. Di sana ia ditemui para pendukungnya dari Kufah yang menyatakan kesediaan mereka untuk mengangkat senjata guna menopang kedudukannya. Imam Al-Husain pun, bersama sekitar 80 orang keluarga dan pendukungnya, menuju Kufah. Di tengah perjalanan mereka bertemu di Al-Sifah dengan Al-Farazdaq, seorang sastrawan terkemuka kala itu. Ketika bertemu Imam Al-Husain, sang sastrawan menasihatinya agar Imam Al-Husain mengurungkan niatnya, “Hati masyarakat bersama Anda. Tapi, senjata mereka bersama Bani Umyyah!”

Nasihat serupa juga dikemukakan ‘Abdullah bin Al-‘Abbas, pamandanya. Sang paman memberikan nasihat, jikalau Imam Al-Husain bin ‘Ali betul-betul berambisi untuk membentuk kekuasaan tandingan atas Yazid bin Mu‘awiyah, maka sebaiknya ia bertolak dan membangun basis pertahanan dalam wilayah Yaman. Sebab, di negeri itu terdapat para pendukung yang fanatik ayahnya. Lagi pula mereka lebih dapat dipercaya kejujuran dan kesetiaannya, di samping kondisi alamiah di negeri itu amat menguntungkan sebagai basis pertahanan meski harus berhadapan dengan kekuatan lawan yang berjumlah besar.

Namun, Imam Al-Husain bin ‘Ali tidak mengindahkan nasihat sang sastrawan maupun sang paman. Ketika rombongan itu tiba di Karbala’, suatu tempat sekitar 50 kilometer dari Kufah, Iraq, perjalanan rombongan ini dihadang sekitar 1.000 orang pasukan berkuda Dinasti Umawiyyah, di bawah komando ‘Ubaidullah bin Ziyad, gubernur Kufah kala itu. Pada Selasa, 10 Muharram 61 H yang bertepatan dengan 9 Oktober 680 M, terjadi pertempuran tidak berimbang di antara kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini Imam Al-Husain gugur bersama putra-putranya: ‘Abdullah, Abu Bakar, dan ‘Ali, dan saudara-saudaranya: ‘Abdullah, Ja‘far, ‘Utsman, Al-‘Abbas, dan Muhammad serta kemenakannya: Al-Qasim bin Al-Hasan di Karbala’.

Nah, jika Imam Al-Husain bin ‘Ali tewas di Karbala’, Iraq, dan hingga saat ini di kota itu terdapat Masjid dan Makam Imam Al-Husain, kenapa di Mesir juga ada masjid dan makam yang sama? Jika demikian, di manakah sebenarnya Makam Imam Al-Husain? Itulah rentetan pertanyaan yang memenuhi benak saya (selepas melaksanakan shalat tahiyyah masjid di masjid itu), ketika saya asyik memandangi orang-orang tak henti-hentinya memasuki makam itu.

Tiada jawaban yang pasti, dari pelbagai catatan sejarah Islam yang ada, terhadap pertanyaan-pertanyaan yang demikian itu. Hanya Al-Maqrizi dalam karyanya Al-Khithath dan Abu Al-Fida’ dalam karyanya Al-Mukhtashar fi Akhbar Al-Basyar menyatakan, selepas tewas di Karbala’, kepala Imam Al-Husain kemudian dikebumikan di ‘Asqalan, Palestina. Kemudian, ketika Dinasti Fathimiyyah berkuasa di Mesir, “jenazah” Sang Imam itu dipindahkan ke Kairo! Sehingga, hingga kini, di Kairo pun terdapat Masjid dan Makam Imam Al-Husain seperti halnya di Karbala’, Iraq.

Wednesday, May 23, 2007

Imam Al-Syafi'i dan 163 Surat Kepadanya!

Dalam perjalanan sejarah hukum Islam, lahir sejumlah raksasa pemikir yang nama mereka sangat layak tertoreh sebagai tokoh-tokoh yang besar jasanya di bidang tersebut. Salah satu di antara mereka adalah Imam Al-Syafi‘i, pendiri Madzhab Syafi‘i. Pengasas ilmu ushul fikih ini lahir pada 150 H/767 M lahir di Gazza, Palestina dengan nama lengkap Abu ‘Abdullah Muhammad bin Idris bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin Al-Sa’ib bin ‘Ubaid bin ‘Abd Yazid bin Hisyam bin Al-Muththalib bin ‘Abd Manaf al-Qurasyi Al-Muththalibi Al-Makki. Ibundanya bernama Fathimah binti ‘Abdullah bin Al-Hasan bin Al-Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib. Ketika anak itu berusia dua tahun, ayahnya meninggal dunia. Maka, ibundanya membawanya ke ‘Asqalan, Palestina dan kemudian ke Makkah. Setelah agak besar, ia diantarkan sang Ibunda ke Masjid Al-Haram untuk menimba ilmu. Antara lain, di sini, ia belajar kepada sejumlah ulama di Kota Suci itu kala itu, antara lain Isma‘il bin Qustanthin, Sa‘d bin Salim Al-Qaddah, Daud bin ‘Abdurrahman Al-‘Aththar, Muslim bin Khalid Al-Zanji dan Sufyan bin ‘Uyainah. Dengan segera ia berhasil menguasai berbagai ilmu yang diajarkan.

Lantas, ketika Al-Syafi‘i berusia 20 tahun, ia meminta izin kepada sang Ibunda untuk belajar kepada Imam Malik bin Anas, pengasas Mazhab Maliki, di Madinah Al-Munawwarah. Ibundanya mengizinkan. Berangkatlah dia ke Kota Nabi. Begitu bertemu dengan anak muda itu, sang Imam benar-benar terkesan dengan kepribadian, kecerdasan, dan perilakunya. Selain kepada sang guru, ia juga menimba ilmu kepada sejumlah ulama terkemuka di Kota Nabi kala itu. Antara lain ‘Abdullah bin Nafi‘, Muhammad bin Sa‘id, Ibrahim bin Abu Yahya Al-‘Ashami, dan ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Al-Darudi.

Setelah tiga tahun menjadi murid Malik bin Anas, si anak muda meminta izin kepada gurunya untuk melanjutkan kelananya guna menguak lebih jauh dunia ilmu pengetahuan. Ia pun pergi ke Kufah, Persia, Syam, dan kembali ke Makkah. Lantas, setelah Malik bin Anas meninggal, ia melanjutkan kelananya ke Yaman. Dari negeri terakhir itu ia kemudian kembali ke Makkah lagi. Perjalanan panjang berikutnya mengantarkannya menjadi imam besar yang dalam menetapkan hukum memadukan antara metoda Hijaz dan metoda Iraq, yakni memadukan antara lahiriah teks-teks landasan hukum Islam dengan ratio. Selanjutnya, ia melakukan perjalanan ke Mesir, lewat Harran dan Syam. Ia tiba di Mesir pada 26 Syawwal 198 H atau 21 Juni 814 M. Dan, akhir perjalanan kelananya di dunia ini berakhir pada Jumat, 30 Rajab 204 H atau 20 Januari 820 M di Al-Qarafah Al-Shughra, Fusthath, Mesir.

Saya sendiri termasuk orang yang menghormati tokoh yang memiliki banyak pengikut di Indonesia ini. Tak aneh, jika setiap kali saya ke Mesir selepas pulang menimba ilmu di negeri itu (pada 1992 dan 1995), saya senantiasa menyempatkan diri mengunjungi makam tokoh yang satu ini. Seperti diketahui, selain sebagai pengasas Madzhab Syafi‘i, tokoh yang menyatakan bahwa perhiasan paling indah yang dikenakan para ulama adalah kedamaian hati (qana‘ah), kepapaan, dan ridha ini juga dipandang sebagai peletak batu pertama ushul fikih. Sebab, para fukaha’ sebelumnya berijtihad tanpa mempunyai batas-batas yang jelas. Dengan karyanya berjudul Al-Risalah, ia membuat batas dan tata aturan yang jelas dalam berijtihad. Di samping itu, ia meninggalkan sejumlah karya tulis selain Al-Risalah. Antara lain Al-Umm, sebuah karya di bidang fikih yang dihimpun Al-Bulqini (meninggal dunia pada 805 H/1403 M), dan Al-Fiqh Al-Akbar fi Al-Tauhid.

Karena itu, begitu usai mengunjungi Masjid ‘Amr bin Al-‘Ash di Fusththah, dan Mas Oyik mengajak kami mengunjungi Makam Imam Al-Syafi‘i yang terletak di Distrik Mesir Lama, saya pun mengiyakan. Betapa perih hati saya melihat kondisi makam sang Imam yang dalam kondisi kurang terawat. Dan, ketika dalam perjalanan meninggalkan makam tersebut, entah kenapa tiba-tiba saya teringat kembali sebuah buku berjudul aneh: “163 Surat kepada Imam Al-Syafi‘i”. Buku tebal yang terbit pada 1963 itu merupakan “buah” penelitian seorang pakar di Pusat Penelitian Problem-Problem Sosial dan Kriminal Nasional Mesir, Dr. Syed ‘Uwais. Dalam buku setebal 387 halaman itu ditampilkan analisis terhadap “163 surat yang dikirimkan orang-orang Mesir lewat pos pada tahun-tahun antara 1952-1958 kepada Imam Al-Syafi‘i” yang dikebumikan di makam itu sejak dua belas abad yang silam. Aneh memang, masak orang yang telah berpulang ke hadirat Allah dikirimi surat. Tapi, itu nyata.

Ternyata, isi surat-surat itu beragam. Ada yang mengeluhkan tindakan kejam tetangga dan sanak kerabat, ada pula yang mengadukan soal pencurian, pengkhianatan, dan anak-anak haram jadah. Kebanyakan surat-surat itu memohon kepada Sang Imam untuk memecahkan pelbagai masalah yang sedang mereka hadapi. Yang aneh, sebagian di antara surat-surat itu berisi permohonan bertemu dengan Sang Imam guna membincangkan masalah mereka. Timbul pertanyaan: apakah pengiriman surat-surat yang demikian itu merupakan manifestasi keyakinan para pengirim surat kepada Imam Al-Syafi‘i lebih mampu memecahkan persoalan mereka ketimbang orang-orang yang masih hidup? Atau hal itu merupakan keyakinan terhadap “karamah” orang-orang saleh? Atau hal itu merupakan sikap putus asa terhadap jalan pemecahan yang tak kunjung mereka temukan? Atau hal itu merupakan gejala social, psikis, keagamaan, politik, atau ekonomis?

Sayang, Dr. Syed ‘Uwais tidak membahas masalah itu. Namun dari satu sisi, bila hal itu dilacak, pada periode pengiriman surat-surat itu Mesir dalam proses peralihan selepas terjadinya Revolusi 1952 dan pergolakan yang keras. Periode ini berakhir dengan berpalingnya Mesir di bawah pimpinan Presiden Gamal Abdel Nasser ke Blok Timur dan tertutupnya jalur komunikasi yang sehat antara penguasa dan rakyat. Ketika itu, dalam masyarakat Mesir, mulai muncul sikap saling mencurigai di antara sesama anggota masyarakat. Malah, di antara satu keluarga. Keadaan yang demikian itu diungkapkan secara menarik dalam Triloginya Naguib Mahfouzh, salah satu karya yang mengantarkannya menjadi penerima Hadiah Nobel di bidang sastra. Tidak aneh bila kemudian keluhan-keluhan itu akhirnya disampaikan kepada Imam Al-Syafi‘i yang di negeri itu, oleh khalayak ramai, dianggap sebagai tokoh yang mampu memecahkan segala persoalan! Dan, penelitian itu mengajarkan: penguasa (setiap orang yang menjadi pemimpin juga penguasa loh), siapa pun orangnya dan di negara manapun, tidak boleh menutup jalur komunikasi yang sehat dengan rakyat (bisa juga istri, anak, murid, dan lain-lain sebagainya) yang dipimpinnya!

Saturday, May 19, 2007

Graha Jatim di Kairo, Mesir

Merupakan kebiasaan saya dan istri, setiap kali akan melakukan perjalanan ke negeri orang, senantiasa mempersiapkan sebaik-baiknya seluruh hal-hal yang berkaitan dengan perjalanan tersebut. Terutama yang berkaitan dengan akomodasi dan transportasi. Karena itu, sebelum kami bertolak ke Kairo, saya pun berusaha mencari hotel yang layak untuk dijadikan tempat melepas lelah. Dan saat sebelum meninggalkan Bandung menuju Kairo, tak terbayangkan oleh kami untuk menginap di Graha Jatim di Kairo. Pilihan yang ada waktu itu antara lain adalah Wisma Nusantara dan Griya Jateng. Namun, karena istri menginginkan sebuah tempat melepas lelah yang tidak jauh dari pusat Kota Kairo dan Sungai Nil, akhirnya pilihan pun tertuju ke Pharaos Hotel yang terletak di Dokki, Kairo.

Tapi, setibanya kami di Kairo semua rancangan berubah seratus persen. Begitu kami meninggalkan Cairo International Airport, dan kemudian selepas menikmati pecel lele (jangan kaget di Kairo pun ada) di sebuah restoran kecil yang dikelola para mahasiswa lulusan Pondok Modern Gontor di Distrik Ke-10 Nasr City, kami diajak oleh Mas Anwar dan Mas Oyik mampir ke Griya Jateng dan Graha Jatim. Selepas sejenak menengok kedua wisma yang cukup representatif tersebut, ternyata istri saya “jatuh cinta” pada Graha Jatim. Karena itu, begitu usai mengikuti simposium diabetes di Concorde El Salam Hotel, Heliopolis, sedangkan waktu sebelum kembali ke Indonesia masih tersisa lima hari, kami pun segera membatalkan pilihan kami untuk menginap kembali di Pharaos Hotel dan memilih Graha Jatim sebagai “rumah kami” selama menikmati hari-hari kami selanjutnya di Kota Seribu Menara.


Ternyata, pilihan istri tidak salah. Graha yang merupakan sebuah apartemen yang terdiri dari tiga kamar itu benar-benar nyaman, aman, dan menyenangkan. Di graha yang saat ini dikomandani oleh Mas Nanang Priyo Harsono, dibantu oleh sejumlah rekan-rekan mahasiswa Indonesia yang masih muda usia asal Jawa Timur, seperti Mas Zainal, Mas Rasyidin, dan lain-lainnya, tersebut kami merasa serasa di rumah sendiri. Walau mereka masih mahasiswa dan muda usia, kami yang ketika berada di negara orang biasa menginap di hotel-hotel berbintang merasa salut kepada adik-adik yang mengelola graha tersebut. Pujian yang demikian tidaklah saya sampaikan karena saya pernah menimba ilmu di Kairo. Tapi, suatu pujian yang tulus dan sesuai dengan pelayanan profesional yang benar-benar kami nikmati.

Di sekitar graha yang terletak di Building I Block 28 Flat 6, 9th District, Nasr City, Kairo, tidak jauh dari Cairo International Airport, tersebut kita juga dapat menemukan pelbagai masakan dan makanan Indonesia. Termasuk bakso dan pisang goreng. Jika kita malas keluar graha dengan harga 20 USD. semalam (dan kalau seluruh tiga kamar kita ambil seharga 53 USD.), kita dapat memesan makanan Indonesia yang kita inginkan kepada Mas Nanang dan Tim dengan harga per porsi 20 pound Mesir. Di samping itu, di Graha Jatim tersebut tersebut tersedia fasilitas internet gratis selama 24 jam, dapur dengan peralatan masak lengkap, mesin cuci tinggal pakai, dan tv 34’. Belum lagi kalau kita ingin jalan-jalan keluar, Graha pun dapat mencarikan mobil sewaan dengan guide mahasiswa Indonesia. Apa yang kurang?! Malah, Graha pun punya paket wisata.

Tak aneh jika Graha Jatim ini banyak peminatnya. Ketika kami menginap di graha tersebut, dua kamar yang lain diisi oleh Dr. Mukhlis, staf khusus Menteri Agama RI, dan beberapa mahasiswa Singapura yang sedang menimba ilmu Universitas Alexandria. Ketika saya iseng-iseng membuka buku tamu graha yang diresmikan oleh Prof. Dr. Bachtiar Aly M.A. pada 2004 ini, terlihat sederet tamu terhormat pernah menginap di sini, antara lain Bapak Hussein Umar (alm.) dari Dewan Dakwah Islam Indonesia, K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi dari Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, dan seorang dekan dari sebuah fakultas di lingkungan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Malah, seorang diplomat Malaysia dan keluarganya (selama sekitar satu bulan) serta tim TV3 Malaysia pun pernah menginap di graha yang satu ini. Mereka rata-rata mengakui, menginap di Graha Jatim ini lebih nyaman ketimbang menginap di hotel-hotel berbintang.

Terima kasih Mas Nanang Priyo Harsono dan Tim! Bravo!

Friday, May 18, 2007

Ini Dia Masjid Pertama di Mesir!

“Fusthath! Fusththah! Fusthath!” Seruan itulah yang memenuhi benak saya ketika mobil yang kami (saya, istri, dan Mas Oyik) naiki mendekati Masjid ‘Amr bin Al-‘Ash yang terletak di Distrik Mesir Lama, Kairo: sebuah masjid yang saya sendiri sudah tak ingat lagi telah berapa kali mengunjunginya dan merupakan salah satu masjid yang pertama-tama saya kunjungi ketika saya menjadi mahasiswa di Mesir antara 1978-1984. Hari di jam tangan tangan saya kala itu menunjuk hari Ahad, 25 Maret 2007.

Mungkin, seruan serupa pulalah yang menggema kala Jenderal ‘Amr bin Al-‘Ash membawa sekitar 4.000 pasukan kaum Muslim dari Yordania menuju Mesir pada 21 H/642 M. Dengan semangat pantang menyerah, akhirnya pasukan kecil itu berhasil merontokkan semangat pasukan Romawi dan menundukkan seluruh kawasan Mesir dalam waktu yang relatif sangat singkat. Dan, sebagai penanda keberhasilan bersejarah tersebut, dan mengikuti jejak Rasulullah Saw. yang mendirikan Masjid Nabawi tak lama selepas berhijrah ke Madinah, jenderal yang kala menjelang kematiannya senantiasa menangis karena rindu Rasul tersebut pun mendirikan sebuah prasasti di Kota Fusthath tersebut: sebuah masjid yang kini disebut Masjid ‘Amr bin Al-‘Ash.

Menurut catatan yang tertoreh dalam sejarah masjid, Masjid ’Amr bin Al-’Ash di Fusthath ini adalah masjid keempat yang didirikan dalam sejarah Islam. Dengan kata lain, masjid ini didirikan selepas Masjid Madinah, Masjid Kufah, dan Masjid Bashrah. Masjid yang kini telah berusia lima belas abad ini semula merupakan sebuah masjid yang sangat sederhana: panjang 25 meter, lebar 15 meter, dan dinaungi dengan atap dari kayu dan pelepah kurma serta ditopang dengan batang-batang pohon kurma. Kala itu, kiblatnya tidak sepenuhnya tepat, hingga akhirnya diluruskan oleh Qurrah bin Syarik. Inilah masjid yang dituturkan bahwa mihrabnya telah dijadikan sebagai tempat khutbah dan pidato delapan puluh sahabat Rasulullah Saw. Masjid ini didirikan di tepi Sungai Nil, sehingga sungai tersebut menggantikan kedudukan dindingnya di bagian timur. Karena itu, masjid ini hanya memiliki tiga dinding.

Pada 53 H/762 M masjid ini diambrukkan oleh Maslamah bin Mukhallad, gubernur Mesir di masa pemerintahan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, penguasa pertama Dinasti Umawiyah di Damaskus, Suriah, dan kemudian dibangun kembali. Dengan pembangunan kembali kali ini, luas masjid ini semakin bertambah dan temboknya dibuat dari bata. Selain itu, masjid ini menjadi memiliki shahn terbuka yang lapang dan empat menara, masing-masing satu menara di setiap sudut. Konon, menara-menara tersebut merupakan menara-menara pertama dalam sejarah arsitektur Islam. Sekitar tujuh belas tahun selepas itu, masjid ini diperbarui dan dipercantik oleh ’Abdul ‘Aziz bin Marwan, ayahanda ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, salah seorang penguasa Dinasti Umwiyyyah yang terkenal lurus, jujur, dan adil.


Pada 93 H/710 M masjid ini dirubuhkan sepenuhnya dan dibangun kembali oleh Qurrah bin Syarik sehingga memiliki luas yang lebih besar. Dalam pembangunan kali ini, masjid ini menjadi memiliki tembok-tembok yang tinggi menjulang dan atap dari kayu. Selain itu, Qurrah bin Syarik juga membuatkan sebuah mihrab berceruk bagi masjid ini, mihrab jenis demikian yang pertama kali dibuat di Mesir, dan melengkapinya dengan sebuah mimbar kayu yang indah. Pembangunan yang dilakukan Qurrah bin Syarik ini, pada 133 H/750 H, diselesaikan oleh Shalih ‘Ali (pamanda Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak), gubernur Mesir kala itu. Lewat pembangunan terakhir tersebut, masjid ini memiliki bentuknya yang tetap bertahan selama beberapa abad selepas itu.

Masjid ini mulai memiliki luas seperti yang ada dewasa ini pada 212 H/828 M lewat perluasan yang dilakukan oleh ‘Abdullah bin Thahir, Gubernur Mesir di masa pemerintahan Al-Ma’mun (penguasa ke-7 Dinasti ‘Abbasiyah di Irak). Dengan pembangunan ini, masjid ini memiliki luas sekitar 15.000 meter persegi. Masjid yang dibangun kembali oleh ‘Abdullah bin Thahir inilah yang kini dipandang sebagai masjid asli yang diupayakan tetap dipelihara seperti keadaannya kala itu. Sayang, sebagian besar masjid ini mengalami kebakaran pada masa pemerintahan Khumarawaih bin Ahmad bin Thulun, seorang penguasa dari Dinasti Thuluniyyah. Karena itu, masjid ini dibangun kembali. Pembangunan kali ini di bawah pimpinan Thughj Al-Ikhsyidi, seorang pejabat pada pemerintahan Khumarawaih bin Ahmad bin Thulun.

Dalam perjalanan waktu berikut, masjid ini mengalami beberapa kali pemugaran dan perbaikan di masa pemerintahan Dinasti Fathimiyyah, sehingga masjid ini mencapai puncak keindahannya di masa pemerintahan Khalifah Al-Mustanshir. Nashir-i Khusraw, seorang petualang Muslim dari Iran, kala mengunjungi masjid ini mencatat, masjid ini didirikan dengan sekitar empat ratus tiang dari pualam. Selain itu, menurut catatan sang petualang, mihrabnya sepenuhnya ditutup dengan pualam putih disertai dengan kaligrafi ayat-ayat Al-Quran yang sangat indah. Kala malam tiba, masjid ini diberi cahaya dari lampu gantung sangat besar, yang merupakan hadiah dari Khalifah Al-Hakim bi Amrillah, yang dibuat dari perak, di samping 700 lampu kecil (qandil). Lantai masjid ini, kala itu, dihampari karpet berwarna yang berlapis-lapis. Lebih jauh sang petualang mencatat, kala itu masjid ini sangat sibuk menerima kehadiran para pengunjung. Menurutnya, masjid ini dari pagi hingga malam dikunjungi tidak kurang dari lima ribu pengunjung, baik dengan tujuan untuk melaksanakan shalat, mengajar, belajar, dan pelbagai keperluan lain.

Pada 564 H/1168 M masjid ini kembali mengalami kebakaran. Peristiwa kebakaran ini terjadi ketika seorang menteri yang culas, Syawar, membakar Kota Fusthath selama 54 hari. Empat tahun kemudian, masjid ini dipugar dan dibangun kembali oleh Shalah Al-Din Al-Ayyubi ketika ia berhasil memegang tampuk kekuasaan di Mesir. Berikut, tepatnya pada 666 H/1288 M, masjid ini diperindah oleh Al-Zhahir Baibars. Selepas itu masjid ini mengalami beberapa kali pemugaran, termasuk pemugaran yang dilakukan oleh Murad Beik pada 1213 H/1798 M. Pemugaran yang dilakukan Murad Beik acap dipandang sebagai pemugaran terburuk yang dilakukan atas masjid ini. Ini karena pemugaran tersebut dilakukan secara acak-acakan dan tidak memiliki acuan teknis yang tepat, sehingga membuat struktur, tampilan, dan beberapa bagiannya menjadi rusak.

Masjid ini, dalam perjalanan waktu selepas itu, mengalami beberapa kali pemugaran dan perbaikan kembali. Yang terakhir kali dilakukan pada 1342 H/1922 M. Akibat pemugaran dan perbaikan berkali-kali tersebut, masjid ini dewasa ini menjadi masjid yang secara artistik sangat tidak selaras dan terpadu. Kondisi yang demikian itu diperburuk oleh perbedaan pendapat di antara para ahli arkeologi tentang bentuk asli masjid ini, juga mana yang asli dan tidak asli dari pelbagai bagian masjid ini. Karena itu, selama perbedaan pendapat tersebut tidak didapatkan kata temu, niscaya masjid ini tetap kehilangan keindahan dan daya pikatnya. Sayang!

Tuesday, May 15, 2007

Muhammad 'Ali dan Gaya Arsitektural Masjid a la Turki Usmaniyyah

“Mas, Muhammad ‘Ali yang membangun masjid ini sejatinya siapa?” tanya istri tercinta seraya memandangi masjid yang “bertengger” di atas Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi, Kairo. Hari di jam tangan saya kala itu menunjuk hari Ahad, 25 Maret 2007.

“Dia adalah penguasa Mesir berdarah Albania yang terkenal sebagai tokoh pembaharu dan perintis pendidikan sistem Barat di Mesir,” jawab saya seraya menapakkan kaki mengelilingi shahn masjid yang megah dan indah ini. “Tokoh yang dalam fotonya selalu mengenakan sorban besar dan berkumis melintang ini lahir di Kavalla, Albania, pada 1177 H/1765 M. Putra penjual rokok ini sejak kecil terpaksa harus bekerja keras. Karena itu, bukan luar biasa bila ia tidak bisa membaca dan menulis. Setelah dewasa, ia bekerja sebagai pemungut pajak. Melihat kecakapannya, ia kemudian diambil menantu penguasa negerinya. Lantas, ia memasuki dinas militer. Ternyata, di bidang militer ia menunjukkan kemampuannya yang gemilang. Ia segera naik pangkat menjadi perwira. Karena kemampuannya itu, ia kemudian dikirim ke Mesir. Pada 1216 H/1801 M, ketika pasukan Perancis meninggalkan negeri Mesir, ia segera mengisi kekosongan kekuasaan politik ketika itu. Kemudian setelah berhasil mengalahkan pasukan Dinasti Mamluk, akhirnya pada 1220 H/1805 M ia diakui Sultan Turki sebagai Gubernur Mesir. Tapi, ia kemudian mampu melepaskan diri dari “pengawasan” pemerintahan Turki dan membentuk dinasti sendiri.”

“Keberhasilan tersebut membuat Muhammad ‘Ali terukir sebagai perintis sejarah modern Mesir. Selain memajukan bidang pendidikan dan administrasi negara, ia juga membina suatu angkatan bersenjata yang modern. Tak aneh bila hal itu kemudian membuatnya menjadi orang yang paling berkuasa di negeri ini Malah, ia kemudian melebarkan wilayah Mesir dengan menduduki Sudan. Namun, upayanya untuk menguasai Suriah mengalami kegagalan, karena pasukannya berhasil dihalau oleh pasukan Turki yang berkuasa di negeri itu. Dan, setelah ia meninggal dunia pada 1266 H/1849 M, ia digantikan oleh ‘Abbas I (1265-1271 H/1848-1854 M).”

Sejenak saya berhenti bercerita dan menarik napas panjang Dan, beberapa saat kemudian, saya berkata lebih lanjut, “Di samping itu, seingat saya, Muhammad ‘Ali adalah raja Mesir satu-satunya yang pernah berpetualang ke Jawa loh!”
“Loh, kok Mas tahu, ia pernah berpetualang ke Jawa?” tanya istri saya penuh rasa ingin tahu.
“Ketika saya masih menjadi mahasiswa di Mesir ini, saya kan suka memburu buku-buku langka ke perpustakaan nasional negeri ini, Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah, dan perpustakaan-perpustakaan lainnya. Nah, suatu hari, ketika saya sedang memburu buku-buku yang demikian itu di Institute d’Egypte yang saat itu berlokasi di dekat Gedung Majlis Al-Sya‘b, tidak jauh dari Universitas Amerika yang terletak di samping Maidan Tahrir, saya menemukan sebuah buku sangat langka berjudul Rihlah Muhammad ‘Ali ila Jazirah Jawa (Perjalanan Muhammad ‘Ali ke Pulau Jawa) yang menuturkan kisah petualangannya dengan naik kapal ke Jawa. Sayang, saya saat itu tidak boleh memfotokopi buku langka itu. Seandainya KBRI di Kairo ini dapat memiliki fotokopi karya langka itu dan menyerahkannya ke Perpustakaan Nasional di Jakarta, tentu karya itu akan memperkaya sejarah Indonesia,” jawab saya seraya mengingat Gedung Institute d’Egypte pada tahun-tahun 1980-an yang terletak di Kasr El Aini St., di seberang Toko Buku Al-Sya‘b.
“Sayang ya, buku itu tidak berhasil Mas peroleh,” sergah istri saya.

Sejenak kami pun diam seraya menapakkan kaki mengelingi shahn Masjid Muhammad ‘Ali yang bergaya Turki Usmaniyyah itu. Dan, beberapa saat kemudian, istri saya bertanya,” Mas, gaya masjid ini kok beda dengan gaya arsitektural masjid-masjid Mesir lainnya ya?”
“Neng benar,” jawab saya seraya mengingat-ingat sejarah masjid di Mesir. “Masjid ini dibangun Muhammad ‘Ali dengan mengikuti gaya arsitektural Turki Usmaniyyah. Bagaimana gaya arsitektektural tersebut, mau tahu ceritanya?”
“Ceritakan saja,” ucap istri tercinta saya seraya masuk ke dalam bait al-shalah (ruang shalat) Masjid Muhammad ‘Ali yang dipendari lampu gantung raksasa.

Gaya arsitektural Turki Usmaniyyah yang sejatinya merupakan kelanjutan dari gaya arsitektural Saljuq ini terbentuk selama perluasan yang dilancarkan Dinasti Usmaniyyah di Asia Kecil sepanjang penggal kedua abad ke-13 M. Tatkala Urkhan, penguasa ke-2 Dinasti Usmaniyyah (berkuasa antara 727-769 H/1326-1362 M) berhasil menguasai Borsa dan memindahkan pusat pemerintahan dinasti yang baru tumbuh itu ke kota tersebut, pelbagai karakteristik utama gaya Turki Usmaniyyah tampak gamblang pada sederet masjid yang dibangun para penguasa Dinasti Usmaniyyah di ibukota baru mereka, dan kemudian di kota-kota besar yang mereka kuasai. Karakteristik tersebut semakin tampak jelas tatkala mereka berhasil menaklukkan Konstantinopel yang kemudian mereka jadikan sebagai ibukota negara dengan nama baru: Istanbul. Karakteristik mulai muncul sejak penggal kedua abad ke-15 M.

Masjid pertama yang benar-benar menampilkan gaya Turki Usmaniyyah adalah Masjid Ulu Jami‘ yang dibangun Urkhan di Borsa. Masjid indah ini memiliki bait ash-shalah (ruang shalat) luas dengan sejumlah selasar. Di tengah-tengah selasar tengah terdapat sebuah kubah besar, sementara di atas selasar-selasar yang mengitari selasar tengah tersebut terdapat sejumlah kubah kecil. Cahaya menerobos masuk lewat celah-celah kecil di dinding yang menyangga kubah-kubah tersebut. Selepas pembangunan masjid ini, sejumlah masjid yang mirip dengan masjid di Borsa tersebut dibangun di Anatolia dan Romelli.

Pada beberapa masjid kecil yang mengikuti gaya Turki Usmaniyyah, di masa ini, masjid hanya terdiri dari sebuah bait ash-shalah utama yang di atasnya dibangun sebuah kubah. Di arah yang berlawanan dengan kiblat, bait ash-shalah tersebut diperluas lewat sebuah lobi (bahw) panjang yang memiliki sejumlah tiang. Seluruh atau sebagian lobi tersebut diberi penutup, sedangkan bagian yang lainnya menjadi shahn terbuka. Namun, sebagian di antara masjid-masjid tersebut hanya memiliki sebuah bait ash-shalah yang di”selimuti” sebuah kubah luas yang memiliki gaya Iran.

Gaya Turki Usmaniyyah ini sendiri mengalami perkembangan pada bangunan-bangunan berikut yang didirikan Dinasti Usmaniyyah. Khususnya pada madrasah-madrasah Sultan Murad I di Borsa. Gaya ini berhasil menyajikan keindahannya yang luar biasa pada Masjid Recil yang desainnya dirancang seorang arsitek terkemuka Turki kala itu, Ilyas ‘Ali. Pada masjid ini, juga pada sejumlah masjid yang dibangun Dinasti Usmaniyyah kala itu, bisa dirasakan dengan jelas pelbagai karakteristik gaya Saljuq lama dengan sentuhan-sentuhan gaya arsitektural Mamluk.

Gaya arsitektural ini, dalam perkembangannya selanjutnya, tetap mewarnai sejumlah bangunan yang didirikan Dinasti Usmaniyyah di Istanbul. Khususnya hal ini tampak gamblang pada madrasah-madrasah Mahmud Pasya (869 H/1464 M) dan Murad Pasya (sekitar 875 H/1470 M) serta Masjid ‘Ali Pasya yang indah (903 H/1497 M). Namun, masjid-masjid megah yang didirikan Dinasti Usmaniyyah setelah menjadi sebuah imperium besar mulai melirik gaya arsitektural Aya Sofia dan terpengaruh olehnya. Pada bangunan bekas gereja nan indah tersebut –yang kemudian dijadikan masjid- para arsitek Turki menemukan pelbagai solusi tepat yang menghadang mereka dalam mendirikan bangunan-bangunan yang megah, khususnya jika hal itu berkaitan dengan pembangunan ruang-ruang luas yang beratap tinggi dan sarat cahaya yang di atasnya tegak sebuah kubah raksasa. Seperti diketahui, dua arsitek asal Kota Alexandrettalah yang mendirikan Katedral Aya Sofia untuk Kaisar Bizantium, Justinian. Kubah tengah bangunan tersebut dibangun kedua arsitek itu di atas penyangga-penyangga batu raksasa yang menopang lengkung-lengkung terbuka yang sangat kokoh dan ramping. Di atas lengkung-lengkung itu dibangun sebuah kubah yang terdiri dari sejumlah lengkung tinggi menjulang yang saling memotong. Seluruh bangunan itu merupakan bangunan yang sangat selaras dan benar-benar canggih pembangunannya.

Meski demikian, para arsitek Dinasti Usmaniyyah mampu meniru bentuk arsitektural tersebut dengan kepiawaian yang luar biasa. Hal tampak gamblang pada Masjid Muhammadiyyah yang didirikan oleh Sultan Muhammad Al-Fatih antara 868-874 H/1463-1469 M. Ada yang menyatakan, masjid tersebut merupakan hasil karya seorang arsitek Kristen yang benar-benar menguasai gaya bangunan yang demikian itu. Namun, bagi siapa pun yang mengkaji dan meneliti secara cermat masjid tersebut, akan tampak gambling, masjid tersebut pada setiap rincinya bersemangatkan Islam, sehingga sangat sulit untuk diterima masjid itu hasil karya seorang non-Muslim. Masjid itu sendiri telah beberapa kali mengalami perbaikan dan pemugaran, sehingga sulit dikatakan bangunan yang ada dewasa ini merupakan bangunan asli.

Di antara sejumlah masjid yang didirikan Dinasti Usmaniyyah yang tetap dalam keadaan aslinya dari masa itu adalah Masjid Sultan Bayazid (907-911 H/1501-1507 M). Masjid di Istanbul ini dirancang oleh seorang arsitek terkemuka kala itu, Khair Al-Din. Gaya masjid ini mengikuti gaya Aya Sofia. Di masjid tersebut terdapat ruang tengah yang sangat lapang yang di atasnya dibuat separuh kubah. Sementara di kedua sisi ruang tersebut membentang sebuah ruang samping. Di kedua sudut bagian muka masjid itu terdapat dua menara tinggi menjulang bagaikan pensil panjang menguak angkasa.

Dalam perjalanan waktu berikutnya, dunia arsitektur Dinasti Usmaniyyah menapaki perkembangan yang luar biasa di tangan seorang arsitek jenius yang setara dengan para arsitek agung Masa Renessans yang menghias Kota Roma dan kota-kota lainnya dengan puncak-puncak pencapaian di bidang arsitektur. Arsitek tersebut tidak lain adalah Sinan Pasya yang berpulang ke hadirat Allah SWT pada 986 H/1578 M. Beberapa peneliti Barat, dalam upaya mereka mengecilkan khidmat sang arsitek terhadap Islam dan para pemeluknya, menyatakan arsitek tersebut berdarah Yunani atau Albania. Namun, realita tidak menopang pernyataan yang demikian itu. Sebab, Sinan benar-benar seorang Turki Muslim asli dari kepala hingga telapak kedua kakinya dan seluruh rinci karya-karyanya benar-benar bercorakkan Islam.

Karya tahap pertama yang dirancang dan dibangun oleh Sinan adalah Masjid Sehzade (950-955 H/1543-1548 M). Masjid ini mengikuti gaya Masjid Muhammadiyyah. Karya tahap kedua adalah Masjid Sulaimaniyyah (957-964 H/1550-1556 M) yang banyak diwarnai gaya Aya Sofia. Sedangkan karya tahap ketiga yang juga merupakan puncak karyanya adalah Masjid Salimiyyah di Edirne (978-982 H/1570-1574 M). Di sini, Sinan mengikuti jejak Aya Sofia. Karena itu, ia membuat kubah ruang tengah masjid itu di atas suatu bidang lapang yang dikelilingi dua belas penyangga yang menopang dua belas lengkung yang mengitari bidang tersebut. Kemudian di atas lengkung-lengkung tersebut terdapat roda-roda yang diselingi jendela-jendela berkaca berwarna. Di atas roda-roda tersebut, yang membuat suatu bentuk yang terdiri dari dua belas dinding, terdapat kubah separoh. Sementara di sebelah kanan dan kiri ruang tengah membentang selasar-selasar samping yang dihiasi sejumlah kubah kecil. Semua kubah kecil tersebut diselimuti pualam dan marmer.

Dengan desain yang demikian, dan kemudian tatkala kita sedang berada di tengah-tengah bangunan tersebut di bawah kubah utama, tentu kita akan mengakui kejeniusan sang arsitek yang selama hayatnya telah mendirikan sekitar dua ratus bangunan. Baik apakah berbentuk masjid, madrasah, jembatan, maupun istana. Di sisi lain, lewat tangan Sinan lahir sebuah aliran besar para arsitek yang mampu mengantarkan arsitektur Dinasti Usmaniyyah ke puncak pencapaian yang diharapkannya. Di antara mereka adalah Hoja Kaseem, pendiri Masjid Yeni-Validi.

“Mas, kok ceritanya panjang sekali?” ucap istri saya dengan muka yang agak kurang senang.
“Sekali-kali ceritanya panjang, ya. Biar lebih jelas,” jawab saya seraya mengamati pelbagai detail Masjid Muhammad ‘Ali. Dan, selepas itu kami (saya, istri, dan Mas Oyik) meneruskan perjalanan menuju Masjid ‘Amr bin Al-‘Ash di Fusthath, Kairo.

Thursday, May 10, 2007

Menengok Masjid Muhammad 'Ali

Kairo, Ahad 25 Maret 2007. Selepas shalat zuhur di hari itu, setelah sebelumnya kami (saya dan istri) memperoleh kehormatan diterima oleh Atase Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Drs. Slamet Sholeh M.Ed., dan Ibu, di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo, kami pun diantar Mas Oyik menuju salah satu masjid yang menjadi landmark Kota Kairo. Yaitu Masjid Muhammad ‘Ali, sebuah masjid megah nan indah yang terletak di atas lokasi Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi. Masjid yang satu ini dari kejauhan telah tampak begitu megahnya begitu kita datang dari arah Cairo International Airport menuju Distrik Mesir Lama. Bagaimana kisah masjid yang dibangun oleh seorang penguasa berdarah Albania yang juga terkenal sebagai penguasa yang pembaharu ini?

Seperti diketahui, selama abad ke-19, pelbagai masalah perkotaan dan pedesaan di Mesir mulai tertata. Populasi penduduk pun mulai merangkak naik dan kelas menengah yang berkecukupan pun mulai terbentuk. Di antara kelas menengah tersebut ialah para tuan tanah dan hartawan di perkotaan maupun pedesaan. Sementara itu Kota Kairo, meski tidak secara menyeluruh, setahap demi setahap mulai berubah menjadi sebuah kota besar dan menjadi ibukota yang mapan. Dengan kata lain, kestabilan kondisi yang ada, tumbuhnya sistem politik yang mapan yang jelas hak dan kewajibannya, terbentuknya keluarga-keluarga berkecukupan di pedesaan, tumbuhnya kelas menengah, meratanya kesejahteraan di seluruh penjuru negara, dan berubahnya Kairo dan Alexandria menjadi dua kota besar dan fondasi kebangkitan budaya Arab pada umumnya kala itu, semua itu memberikan kesempatan kepada Muhammad ‘Ali untuk menorehkan puncak karya pembangunannya dengan mendirikan sebuah masjid di atas Qal‘ah, yakni sebuah masjid bergaya Turki murni yang kini disebut Masjid Muhammad ‘Ali. Kebetulan inisiatif Muhammad ‘Ali untuk mendirikan masjid tersebut mendapat sambutan hangat. Nasibnya sama seperti halnya sebagian besar persoalan yang ditanganinya. Mungkin, sudah menjadi suratan nasib penguasa yang satu itu, selama masa pemerintahannya ia lebih banyak bernasib baik. Kecuali di tahun-tahun terakhir masa pamerintahannya.

Masjid yang dibangun Muhammad ’Ali begitu megah dan indah. Untuk membangun masjid tersebut, ia dibantu sejumlah insinyur dari Perancis dan Italia yang mengetahui bagaimana mereka harus melepaskan diri dari karakter gereja-gereja yang sulit dihindari oleh orang-orang Eropa ketika mendirikan suatu bangunan keagamaan. Di antara ide cemerlang yang dikemukakan para insinyur yang mendirikan Masjid Muhammad ‘Ali tersebut ialah pemilihan lokasinya yang unik, yakni di puncak Qal‘ah di pinggir Kota Kairo. Dengan dipilihnya lokasi tersebut, panorama di sekitar benteng tersebut pun menjadi benar-benar berubah. Dan, sulit dibayangkan ada lokasi lain di seluruh penjuru Kairo yang lebih tepat bagi masjid raya nan megah tersebut.



Walau Masjid Muhammad ’Ali tersebut relatif lebih kecil ketimbang masjid-masjid bergaya Turki di ibukota Dinasti Usmaniyyah, Istanbul, namun masjid tersebut tidak kalah cantik dan memikat. Ini karena keselarasan luar biasa yang mewarnai masjid tersebut yang memiliki ciri khas dengan dua menaranya yang ramping yang mengapit sejumlah kubah kecil dan kubah utama. Di bawah kubah utama terdapat bait al-shalah yang lapang dan menawan, dengan dinding-dinding yang tinggi menjulang. Di dinding-dinding itu sendiri terdapat qimmiriyah-qimmiriyah yang dilengkapi dengan kaca berwarna-warni dan penyangga-penyangga pualam yang tidak membuat shahn masjid tersebut terasa sempit. Di samping penyangga-penyangga yang menopang panggung utama terdapat tiang-tiang pualam ramping yang menyangga atap dan kubah-kubah kecil.

Di sisi lain, sistem pencahayaan masjid ini tak kalah menawan. Di sini kita dapat merasakan sentuhan Perancis-Italia. Perlu dikemukakan, masjid ini diberi pencahayaan dengan lampu-lampu gantung raksasa di tengah-tengah. Lampu tersebut diberi bingkai lampu-lampu gantung listrik yang memiliki ukuran lebih kecil yang dikitari bola-bola kristal yang sangat indah dan menawan. Bagian dalam masjid yang satu ini bergaya Barok, suatu gaya arsitektural yang tumbuh selepas Masa Renessans mutakhir yang begitu sarat dengan dekorasi dan ornamen. Akibatnya, dekorasi dan ornamen tersebut acap menutup keindahan bangunan asli. Namun, ternyata, dekorasi yang berat tersebut tidak merusak keindahan bagian dalam masjid yang unik tersebut.

Kubah utama Masjid Muhammad ’Ali ini, seperti telah dikemukakan di muka, bertumpu di atas penyangga-penyangga kokoh dari batu yang dipahat dan dilapis dengan pualam. Selain itu, masjid ini memiliki lengkung-lengkung di dalam bait ash-shalah yang sangat memikat pandangan karena begitu lapang dan tinggi, di samping karena ceruk kubahnya yang sangat menawan. Dan, manakala lampu-lampu masjid ini dengan lampu-lampu gantung ukuran kecil yang mengitari bait ash-shalah yang lapang tersebut dinyalakan, masjid ini menjadi begitu menawan dan tiada yang menyetarainya kecuali sebuah masjid dengan gaya yang sama di Istanbul.

Mimbar masjid ini juga sangat menawan, walau bergaya Barok sehingga membuatnya begitu sarat dengan dekorasi dan ornamen. Mimbar tersebut tetap tampil sangat menawan karena bentuk dan ukirannya yang sangat memikat pandangan. Semua itu menjadikan masjid yang satu ini salah satu mutiara arsitektur Mesir yang sangat bernilai. Di sisi lain, masjid ini menjadi titik akhir pelbagai tradisi gaya arsitektur Islam lama dan titik awal kelahiran sebuah gaya baru arsitektur Islam di Mesir. Sayangnya, masjid ini tidak lagi berfungsi sebagai masjid!

Sebenarnya Masjid Muhammad ’Ali, atau Masjid Marmer, demikian sebutan yang diberikan oleh buku-buku yang terbit di luar Mesir, karena seluruh dinding dalam maupun luarnya diselimuti marmer, bukan masjid bergaya Turki yang pertama kali didirikan di Mesir. Sebelumnya, telah ada sebuah masjid bergaya Turki berukuran kecil yang didirikan di masa pemerintahan Dinasti Usmaniyyah. Sayang, masjid tersebut telah sirna digulung zaman. Meski demikian, dari khazanah masa Turki tersebut masih tersisa sebuah masjid indah, yaitu Sitt Shafiyyah di Jalan Muhammad ‘Ali yang tidak jauh dari Medan Qal‘ah. Masjid terakhir tersebut didirikan oleh seorang hamba sahaya perempuan asal Yunani milik Sultan Muhammad III, Turki. Setelah memeluk Islam, perempuan bernama Sophie tersebut kemudian mengubah namanya menjadi Shafiyyah dan menjadi seorang perempuan yang saleh. Meski demikian, ia tidak terlepas dari intrik-intrik yang terjadi di dalam harem (harim) sang sultan, sehingga nyawanya hampir melayang. Namun, sang sultan kemudian memaafkannya, dengan syarat Shafiyyah harus meninggalkan Istanbul. Maka, ia pun memilih menuju Mesir. Ternyata, hidupnya di negeri baru tersebut lebih berbahagia. Dengan dana yang dimilikinya, ia pun mendirikan sebuah masjid indah yang tegak di atas panggung tinggi. Untuk bisa sampai ke dalam masjid tersebut harus melewati tangga-tangga setengah lingkaran yang sangat indah. Masjid kecil dan indah tersebut memiliki bait ash-shalah yang dilengkapi dengan sederet bukaan-bukaan tinggi menjulang yang diberi dekorasi dengan kaca berwarna-warni, kubah nan indah, dan jendela-jendela di bagian bawah yang berukuran besar yang diberi tralis.

Monday, May 7, 2007

Kisah Cinta antara Putri Quraisy dan Muhammad Saw. Muda!

Makkah, sekitar 595 M. Suatu hari di tahun itu, seorang perempuan bangsawan, kaya raya, cantik, dan terkenal cerdas serta tegas duduk mendengarkan laporan seorang anak muda tentang perjalanan dan transaksi perdagangan yang dilakukannya di Syam (sebutan yang diberikan bagi kawasan yang membentang dari pegunungan Taurus, di sebelah utara, sampai ke Sinai, di sebelah selatan, dan antara Laut Putih di sebelah barat dan hulu sungai Eufrat dan padang pasir Arab di sebelah timur). Ternyata, transaksi itu sangat menguntungkan, karena anak muda itu dapat menjual barang dagangan yang dibawanya hampir dua kali lipat dari harga yang dibayarkan. Namun, bukan laporan itu yang memikat perempuan anggun nan cantik yang berusia sekitar empat puluh tahun itu. Entah kenapa perhatiannya kali ini lebih banyak tak terkendali dan kemudian tiba-tiba terpusat pada anak muda itu sendiri. Bukan pada laporan yang dikemukakannya.

Anak muda yang berusia sekitar dua puluh lima tahun itu memiliki sosok tubuh sedang, ramping, dengan bentuk kepala besar, punggung lebar, dan anggota tubuh lainnya yang sangat serasi. Kulitnya cerah, tidak terlalu putih dan tidak coklat. Rambut dan janggutnya lebat dan hitam, tidak lurus dan tidak terlampau ikal. Rambutnya mencapai pertengahan antara daun telinga dan punggungnya. Panjang janggutnya serasi. Sementara dahinya lebar, matanya berbentuk oval lebar, dan alis matanya yang lebat tampak melengkung namun tidak bertaut. Hidungnya mancung, mulutnya lebar berbentuk bagus. Walaupun janggutnya dibiarkan tumbuh, ketampanannya senantiasa berpendar, sedangkan kumisnya tumbuh lebat di atas bibir atasnya. Yang menambah ketampanan alamiahnya adalah cahaya yang memancar di wajahnya dan pendar cahaya itu terutama tampak pada dahinya yang lebar dan matanya yang bening.

Perempuan yang kelak mendapat gelar agung “Ibunda Pertama Orang-Orang Beriman” itu benar-benar terpesona dan terpikat dengan anak muda itu. Menyadari dirinya masih cantik, namun lima belas tahun lebih tua ketimbang anak muda itu, tiba-tiba membersit dalam benaknya “ide berani”: maukah anak muda itu menikah dengannya? Memang dia sudah banyak mengenal kehidupan, juga mengenal pelbagai tipe pria. Dia pun telah melintasi dua kali perkawinan dengan dua pria dari kalangan bangsawan. Dia juga sudah banyak memberi upah kepada sejumlah orang tua dan anak muda yang membawa barang dagangannya. Tapi, dalam hidupnya, dia belum pernah melihat atau mengenal pria yang sungguh istimewa seperti anak muda yang satu itu.

Begitu anak muda itu memohon diri dan berlalu, hati perempuan nan cantik dan berkepribadian sangat matang itu sangat resah dan gelisah. Bayang-bayang anak muda nan tampan, santun, ramah, dan berakhlak mulia itu benar-benar “menyergap” dan menggelayuti benaknya. Dia pun tenggelam dalam pikirannya, membayangkan kembali nada-nada suara anak muda yang menggemakan kejujuran, keramahan, kesantunan, dan ketegasan itu ketika menceritakan perjalanannya ke Syam. Dia tenggelam dalam perasaannya membayangkan kembali seraut wajah anak muda yang memancarkan keagungan dan kemudaan itu. Tiba-tiba, dia merasakan suara hatinya berputar-putar mengitari ruangan tempat dia bertemu dengan anak muda tersebut. Seketika pula hatinya bergetar dan tubuhnya gemetar. Dia kemudian bertanya kepada dirinya sendiri, “Duh, mengapa hatiku bergetar dan tubuhku gemetar, sedangkan masa mudaku hampir atau malah sudah berlalu?”

Apa sesungguhnya yang sedang terjadi?

Ketika merasa telah menemukan jawabannya, perempuan anggun nan bangsawan itu tiba-tiba tertegun dan tercenung. Benar-benar bingung dan limbung. Dia tidak tahu bagaimana menghadapi dunia dengan membawa perasaan seperti itu, selepas sedemikian lama dia menutup hatinya dan terlepas dari kehidupan pria. Dia pun tidak mengerti, bagaimana dia harus menghadapi keluarganya, selepas menolak lamaran para tokoh dan para hartawan terpandang dan terkemuka di kota kelahirannya. Tapi, mengapa pula dia sibuk memikirkan tanggapan kaumnya, sebelum mengetahui tanggapan anak muda itu tentang dirinya. Apakah anak muda itu akan menaruh hati kepada seorang perempuan berusia empat puluh tahun dan berstatus janda? Ya, seorang perempuan yang telah berusia empat puluh tahun dan berstatus janda.

Perempuan yang mendapat gelar Putri Quraisy (Amirah Quraisy) itu pun merasa diterpa perasaan sangat malu. Dalam usianya yang telah cukup lanjut, jika dibandingkan dengan anak muda itu, tentu dia lebih layak menjadi ibunda bagi anak muda itu. Malah, seandainya ibunda anak muda itu masih hidup pun, usianya tentu belum melintasi empat puluh tahun perjalanan hidup anak manusia. Selain itu, dirinya pun saat itu adalah seorang ibunda. Suami pertamanya memberinya seorang putri yang hampir tiba saatnya memasuki mahligai perkawinan. Sementara suami keduanya telah memberinya seorang putra, seorang bocah yang masih kecil.

Akhirnya, tak kuasa menanggung beban gelegak hati dan pikiran yang sangat berat dan menggelisahkan hati itu, dia pun mengundang seorang sahabat karibnya yang bernama Nafisah binti Munabbih, untuk melepaskan beban yang hampir tak kuasa ditanggungnya itu. Ketika sang sahabat datang menemuinya, dia pun segera melontarkan segala gejolak dan gelegak hati dan pikirannya yang galau dan risau itu kepada sang sahabat. Selepas berbincang dan bertukar pikiran lama, akhirnya sang sahabat menawarkan diri untuk mendekati anak muda itu, dan jika perlu, mengatur pernikahan mereka berdua.

Tak lama selepas meninggalkan rumah megah perempuan anggun nan bangsawan yang sedang diterpa “penyakit cinta” itu, Nafisah pun dengan bergegas segera datang kepada anak muda yang membuat galau dan risau sahabatnya itu. Selepas berbagi sapa sejenak dengan anak muda nan tampan, santun, ramah, dan berakhlak mulia tersebut, Nafisah kemudian “menyergap”nya dengan sederet pertanyaan: apa sebabnya hingga saat itu dia belum juga berkeluarga; mengapa menghabiskan masa mudanya begitu saja; mengapa tidak menenteramkan hati di samping seorang istri yang menyayanginya dan meniadakan kesepian serta dapat menghiburnya?

Mendengar sederet pertanyaan yang mengusik hatinya itu, anak muda yatim dan tak pernah mengenal wajah ayahnya semenjak lahir itu hampir tak kuasa menahan air matanya yang hampir tumpah. Seketika dia teringat akan kesepian dan keperihan hidup yang dideritanya semenjak ditinggal wafat ibundanya sebagai bocah berusia enam tahunan. Dia pun memaksakan dirinya untuk tersenyum seraya menjawab, “Aku belum menemukan siapa yang akan menjadi teman hidupku.” Seketika itu juga Nafisah binti Munabbih “menyergap”nya dengan jawaban, “Bagaimana kalau engkau ditawari seseorang yang memiliki harta, kecantikan, kemuliaan, dan kebangsawanan? Apakah engkau masih juga tidak menaruh perhatian?”

Pertanyaan Nafisah terasa menyentuh hati anak muda itu yang tak lain adalah Muhammad bin ‘Abdullah yang kala itu belum lagi diangkat sebagai Utusan Allah. Seketika itu pula dia mengerti, siapa yang dimaksudkan oleh Nafisah. Dialah Khadijah binti Khuwailid. Siapa lagi, di Kota Makkah kala itu, yang dapat menandingi Khadijah binti Khuwailid dalam hal kemuliaan, kebangsawanan, dan kecantikan? Ya, andaikata benar yang ditawarkan Nafisah adalah Khadijah, tentu saja dia mau. Tapi, apakah memang Khadijah yang dimaksudkan Nafisah? “Bagaimanakah aku dapat menikahinya?” tanya anak muda itu dengan perasaan ragu dan galau. “Serahkan hal itu kepadaku!” jawab Nafisah binti Munabbih lega dan gembira, karena anak muda itu tak menolak calon istri yang ditawarkan kepadanya.

Nafisah binti Munabbih segera memohon diri. Dia meninggalkan anak muda itu hanyut dalam lamunan, membayangkan kelemahlembutan Khadijah. Terbayang di pelupuk mata dan dalam pikirannya, masa depan nan indah, penuh kemesraan dan kasih sayang. Tapi, dia segera menghentikan angan-angannya, agar tidak mengkhayal terlalu jauh. Sebab, dirinya tahu, Khadijah pernah beberapa kali menolak lamaran orang-orang Quraisy terkemuka dan terpandang. Untuk menenangkan diri, dia segera pergi menuju Ka‘bah seraya berusaha mencoba bersikap realistis.

Pada saat yang sama Nafisah segera menapakkan kaki menuju rumah Khadijah binti Khuwailid. Betapa gembira hati Khadijah selepas mendengarkan hasil perbincangan sahabatnya itu dengan anak muda itu. Khadijah kemudian meminta Nafisah memanggil anak muda itu agar datang kepadanya. Setelah dia datang, Khadijah pun berkata kepadanya, “Wahai putra pamanku! Aku mencintaimu karena kebaikanmu kepadaku. Juga, karena engkau senantiasa terlibat dalam segala urusan di tengah masyarakat dengan sikap nan bijak. Aku menyukaimu karena engkau dapat diandalkan, juga karena keluhuran akhlak dan kejujuran perkataanmu.”

Kemudian perempuan nan bersih dan suci (Al-Thahirah) yang menurut beberapa sumber lahir di Makkah sekitar 555 M dan putri pasangan suami-istri Khuwailid bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza bin Qushai dan Fathimah binti Zaidah bin Al-‘Asham dari Bani ‘Amir bin Lu’ayyi bin Ghalib itu menawarkan dirinya untuk dinikahi. Mereka pun sepakat agar masing-masing berbicara kepada pamannya. Khadijah berbicara kepada pamannya, ‘Amr bin Asad, karena ayahandanya, Khuwailid bin Asad, berpulang menjelang peristiwa Perang Fijar. Pada kesempatan tersebut, Hamzah bin ‘Abdul Muththaliblah, didampingi Abu Thalib bin ‘Abdul Muththalib dan beberapa orang lainnya, yang diutus Bani Hasyim untuk mewakili mereka. Meskipun relatif masih muda, Hamzah adalah yang paling dekat hubungannya dengan Bani Asad, karena saudara perempuan kandungnya, Shafiyyah binti ‘Abdul Muththalib, menikah dengan saudara lelaki Khadijah, Al-‘Awwam bin Khuwailid (suami keduanya). Maka, Hamzah membawa keponakannya menemui ‘Amr bin Asad dan melamar Khadijah. Kesepakatan dicapai di antara mereka bahwa Muhammad harus memberinya mahar dua puluh ekor unta betina. Dan, kemudian, dilaksanakanlah pernikahan antara Muhammad bin ‘Abdullah dan Khadijah binti Khuwailid bin Asad yang berasal dari klan Bani Hasyim dari suku Bani Asad. Dengan kata lain, di antara istri-istri beliau, Khadijah inilah yang paling dekat garis keturunannya dengan beliau.

Ya, itulah penggalan kisah cinta antara Khadijah Al-Kubra dengan Muhammad Saw. yang antara lain penulis hadirkan dalam buku Rumah Cinta Rasulullah. Kisah-kisah cinta lainnya, antara beliau dan para istri yang lain, juga bagaimana beliau “mengarungi” gelombang perkawinan beliau, yang kadang juga “memanas”, serta bagaimana tentang hubungan dan etika seksual yang beliau ajarkan, Anda dapat membacanya dalam buku tersebut yang akan mulai beredar nanti pada 24 Mei 2007 dan diterbitkan oleh Penerbit Mizania, Bandung. Selamat menikmati buku tersebut!

Friday, May 4, 2007

Kisah Ringkas Negeri Piramid dalam Lintasan Sejarah Islam

“Mas, kayaknya tidak semua orang Mesir taat melaksanakan ajaran Islam, ya? Kenapa saya berpendapat begitu? Kemarin, ketika Mas, Mas Oyik, dan Mas Norman sedang shalat Jumat di pinggir jalan di Alexandria, saya kan jalan-jalan tidak jauh dari situ. Ternyata, saya lihat banyak orang-orang Mesir (pria) yang tidak shalat. Bagaimana sih sebenarnya keislaman orang Mesir?” tanya istri saya penuh rasa ingin tahu seraya meniti jalan di sekitar Pharaos Hotel, Dokki Kairo. Hari di jam tangan saya saat itu masih menunjuk hari Sabtu, 24 Maret 2007. Kebiasaan dia dalam melakukan anamnesa (wawancara secara rinci seorang dokter dengan pasien untuk mengetahui penyakitnya) memang telah membuat istri saya ini banyak bertanya. Tak aneh jika saya sering kelabakan mendapat pertanyaan-pertanyaan tak terduga dari dia.

“Sebentar, sebentar! Yang Neng (itulah panggilan akrab dia) lihat kemarin di Alexandria ya? Kalau di Alexandria, memang banyak warga kota itu yang non-Muslim. Kota itu sejak dulu memang banyak dihuni oleh warga non-Muslim. Hingga dewasa ini pun banyak di antara warga kota itu yang berdarah Armenia, Yunani, Yahudi, dan Koptik. Mereka kebanyakan bukan penganut Islam. Mungkin, orang-orang yang tidak shalat Jumat itu adalah orang-orang non-Muslim,” jawab saya mencoba memberikan pengertian kepadanya tentang peta demografis Alexandria.
“Kalau kaum Muslim Mesir secara keseluruhan bagaimana? Muslim taatkah mereka?” tanya istri saya, yang belum puas dengan jawaban yang saya berikan dan masih berupaya “menyergap” saya dengan pertanyaan yang kadang membuat saya kehilangan jawaban, seraya menikmati Kota Kairo di pagi hari yang masih sepi, karena hari Sabtu. Hari tersebut dan hari Jumat, di Kairo, ternyata sekarang merupakan hari-hari libur.
“Banyak juga sih orang-orang Muslim Mesir yang tidak taat melaksanakan ajaran Islam. Tapi, seperti sebagian saudara-saudara kita di tanah air, bagaimana pun brengsek dan menyimpang kelakuan yang mereka lakukan, mereka tetap tidak mau dikatakan sebagai Muslim kok. Islam telah mengakar begitu kuat dalam jiwa masyarakat Mesir,” jawab saya sedikit membela orang-orang Mesir.
“Sayang, ya. Tapi, saya selintas melihat Islam cukup mewarnai Mesir. Bagaimanakah sih sebenarnya sejarah perkembangan Islam di negeri ini? Saya kan perlu tahu sedikit sejarah negeri ini, sebelum nanti dijemput Mas Oyik dan Mas Norman. Malu kan, kalau saya gak tahu apa-apa tentang negeri ini,” ucap istri saya merajuk.
“Asal gak bosan ndengerin saja,” jawab saya seraya mengingat-ingat sejarah Mesir di bawah naungan Islam.

Islam, seperti diketahui, memasuki negeri yang sejak dini sering berinteraksi dengan kebudayaan asing ini pada 21 H/641 M, lewat pasukan Muslim di bawah pimpinan Jenderal ‘Amr bin Al-‘Ash. Sebelum jatuh ke pelukan pasukan kaum Muslim, negeri yang sering disebut orang Mesir sebagai “Umm Al-Dunya” (Ibunda Dunia) ini berada di bawah ke kuasaan Kekaisaran Romawi dan di bawah pimpinan penguasa Mesir, Muqaiqis yang kemudian menjadi mertua ‘Amr, karena ‘Amr kemudian menikah dengan Eugene, putri Muqaiqis. Selepas seluruh kawasan Mesir berada di bawah naungan panji-panji Islam, Fusththath, suatu tempat yang kini terletak di Kairo Lama dan sebelumnya merupakan benteng kerajaan yang biasa didiami deputi-deputi Kaisar Romawi, dijadikan sebagai ibukota wilayah Mesir. Memang, waktu itu Mesir masih merupakan salah satu provinsi kekhilafahan Islam, dengan pusat pemerintahannya di Madinah dan kemudian di Kufah.

Ketika Dinasti Umawiyyah muncul dengan pusat pemerintahannya di Damaskus, Suriah, Mesir tetap menjadi salah satu wilayah dinasti itu. Nah, di sinilah akar historis upaya penyatuan Suriah-Mesir dalam sebuah negara persatuan dengan nama Republik Persatuan Arab yang pernah digegapgempitakan pada tahun-tahun enam puluhan. Kemudian, ketika Dinasti ‘Abbasiyyah tegak, dengan Baghdad Dar Al-Salam sebagai pusat pemerintahan, kedudukan Negeri Piramid ini tetap tidak berubah. Tetap sebagai salah satu wilayah dinasti itu. Mesir baru menjadi sebuah negara yang mandiri pada masa pemerintahan Dinasti Thuluniyyah (254-292 H/868-905 M), yang didirikan oleh Ahmad bin Thulun. Ini terjadi pada 264 H/302 M.

Pada sekitar abad ke-3 Hijriah itu pulalah bahasa Arab mulai menjadi bahasa pertama orang-orang Mesir. Sebelumnya, bahasa Yunani dan Koptiklah yang menjadi bahasa pertama warga negeri ini. Namun, ini tidak berarti kala itu bahasa Arab belum begitu tersebar luas. Sebab, begitu Islam memasuki negeri ini, segera pula para ilmuwan Muslim dan ulama memasuki negeri ini pula. Malah, kawasan ini kemudian melahirkan sejumlah ilmuwan dan ulama terkemuka. Misalnya, antara lain, adalah Ahmad bin Yahya (128 H/745 M), Sa‘id bin ‘Abdullah (173 H/789 M), ‘Abdurrahman bin Al-Qasim (191 H/806 M), ‘Abdullah bin Wahb (197 H/8M12), ‘Utsman bin Sa‘id (197 H/197 M), dan ‘Abdul Malik bin Hisyam (218 H/833 M). Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat di negeri ini dan keterbukaan masyarakat Mesir terhadap perkembangan ilmu pulalah yang membuat Imam Al-Syafi‘i datang ke negeri ini pada 198 H/813 M sampai ia berpulang pada 204 H/819 M.

Kota Kairo baru muncul pada 361 H/972 M, bersamaan dengan berdirinya Lembaga Pendidikan Al-Azhar yang dibangun oleh Jawhar Al-Shiqilli, panglima pasukan Dinasti Fathimiyyah (358-567 H/969-1171 M) yang kala itu di bawah pimpinan Khalifah Mu‘iz li Dinillah. Pembangunan kota yang menurut rancangan aslinya berbentuk persegi empat ini semula dimaksudkan sebagai kamp militer. Yang pertama-tama dibangun, kala itu, ialah sebuah istana besar di sayap timur kota itu, sebagai tempat tinggal khalifah dan para pegawainya serta sebagai pusat pemerintahan. Bagian ini menyita sekitar 70 feddan. Bangunan selanjutnya yang didirikan ialah istana di sayap barat kota ini yang ukurannya lebih kecil. Di antara kedua istana itu dipisahkan oleh sebuah tempat lapang yang dipakai untuk berbagai acara dan upacara.

Ketika khalifah Dinasti Fathimiyah kala itu, Mu‘iz li Dinillah (319-365 H/931-975 M), pindah dari Kota Al-Mahdiyah, Tunisia ke Kairo, kota terakhir ini ia jadikan sebagai ibukota dinastinya. Pada mulanya sang khalifah menginginkan kota ini sebagai kota tertutup bagi masyarakat luas. Bagi mereka telah disediakan Kota Fusthath yang telah ada sebelumnya dan dibangun oleh ‘Amr bin Al-‘Ash pada 21 H/642. Itulah sebabnya Mu‘iz li Dinillah membangun benteng batu bata di sekeliling kota yang dilengkapi beberapa pintu gerbang yang mengikuti gaya pintu gerbang Kota Al-Mahdiyah.

Sejak itu pulalah “gelar” ibukota senantiasa disandang oleh kota yang berarti “Sang Penakluk” ini. Selepas Dinasti Fathimiyyah tumbang, muncul kemudian Dinasti Ayyubiyyah (564-648 H/1169-1250 M) dengan pendirinya yang ternama: Shalahuddin Al-Ayyubi. Penguasa yang berhasil merebut Al-Quds dari tangan Pasukan Salib inilah yang membangun benteng yang kini masih tegak dengan gagahnya di sekitar Distrik Mesir Lama dan tidak jauh dari Bukit Muqaththam. Dinasti Mamluk (648-923 H/1250-1517 M) kemudian muncul menggantikan Dinasti Ayyubiyyah.

Mesir mencapai puncak perkembangannya setelah Baghdad Dar Al-Salam runtuh dijarah dan dibumihanguskan oleh pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada Ahad, 4 Shafar 656 H yang bertepatan dengan 10 Februari 1258 M. Sebab, dengan jatuhnya kota bundar yang dibangun oleh Abu Ja‘far Al-Manshur (penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyyah) itu, Kota Kairo pun menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Ini karena kala itu banyak para ilmuwan dan ulama yang menyelamatkan diri ke kota itu. Kemudian dilengkapi dengan jatuhnya Kota Granada pada 898 H/1492 M akibat gempuran pasukan Spanyol di bawah pimpinan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Dengan jatuhnya kedua kota itu, Kairo pun menjadi bintang kota-kota di dunia Islam kala itu. Keadaan ini berlangsung hingga Dinasti Mamluk tumbang dan jatuh, pada 923 H/1517 M, di bawah kekuasaan Dinasti Usmaniyyah. Dan, perjalanan panjang sejarah Mesir selanjutnya diwarnai dengan pelbagai pergantian kekuasaan, termasuk di antaranya ekspedisi militer Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte (1213-1216 H/1798-1801 M) dan pendudukan Inggris. Negeri ini baru meraih kemerdekaannya pada Rabu, 1 Dzu Al-Qa‘dah 1371 H/23 Juli 1953, lewat revolusi di bawah pimpinan “dua sejoli”: Mohammad Naguib dan Gamal Abdel Nasser.

“Loh, ‘Amr bin Al-‘Ash menikah dengan putri Muqaiqis?! Oh, itu tho yang dulu mau Mas ikuti ya?” tanya istri saya seraya tersenyum penuh makna.
“Sabar! Sabar! Neng, sejatinya banyak penguasa Muslim yang ibunda mereka bukan Muslimah dan asalnya bukan Muslimah loh. Nanti, suatu ketika, saya akan bercerita banyak tentang masalah ini. Terutama para penguasa Muslim di Andalusia. Hanya saja kisah-kisah itu belum banyak diketahui orang. Saya Insya Allah segera akan menyiapkan sebuah buku berjudul “Inside The Harim: Real Amazing Stories from the Islamic World”. Dalam buku itu, antara lain, akan saya sajikan kisah-kisah percintaan sejati para penguasa dan pemuka Muslim sepanjang sejarah Islam. Termasuk kisah cinta beberapa ulama Indonesia dan Malaysia (ulama juga manusia yang juga bisa jatuh cinta kan). Betapa indah loh kisah-kisah cinta mereka itu. Tapi, draft buku itu masih saya simpan dulu. Saya masih belum puas dengan draft yang ada. Draft buku itu masih perlu banyak penyempurnaan kok. Sebelum buku itu selesai saya tulis, mendingan Neng baca dulu buku baru saya berjudul “Rumah Cinta Rasulullah Saw.” yang Insya Allah akan diterbitkan Penerbit Mizan bulan depan,” jawab saya seraya mengingat sejarah Islam di Semenanjung Arab, Afrika Utara, Andalusia, Asia Kecil, dan anak benua India.
“Mas, sekarang sudah mendekati jam delapan, loh. Yuk kita kembali ke hotel. Sebentar lagi Mas Oyik dan Mas Norman datang. Kita kan hari ini mau diajak melihat piramid, sphinx, dan Musium Peradaban Mesir,” ucap istri saya seraya menapakkan kaki menuju Pharaos Hotel. “Yuk,” jawab saya seraya melangkah cepat bersama istri tercinta menuju hotel.

Wednesday, May 2, 2007

Orang Mesir Suka Bercanda, Kenapa?

“Mas, kayaknya orang Mesir itu ramah dan santun, ya? Kemarin, misalnya, ketika kita sedang menikmati sea-food di Alexandria, saya lihat orang-orang Mesir yang melayani kita begitu akrab dengan Mas, Mas Oyik,dan Mas Norman. Padahal, mereka kan baru kenal dengan kita. Juga, saya amati mereka begitu suka bercanda,” ucap istri saya seraya menapakkan kaki di trotoar sebuah jalan di Dokki, Kairo. Hari saat itu masih sekitar jam enam pagi waktu Kairo. Dan, saat itu, hari di jam tangan saya menunjuk hari Sabtu, 24 Maret 2007.
“Memang, demikianlah karakter orang Mesir. Mereka ramah dan santun. Juga, mereka suka humor dan canda. Mengapa mereka suka humor dan canda, ini sejarahnya panjang,” jawab saya sembari menikmati cuatan pelbagai bangunan tinggi yang menghiasi Kota Seribu Menara itu. “Kalau begitu, bolehkah saya sedikit cerita tentang karakter orang Mesir?”
“Kenapa tidak. Mas kan pernah tinggal di sini selama sekitar enam tahun dan pernah naksir sama cewek sini. He, he, he. Tentu Mas tahu karakter orang Mesir. Iya kan?!” sindir istri saya seraya melambatkan langkah-langkahnya untuk menikmati pemandangan Menara Kairo yang mencuat di kejauhan.
“Baiklah, asal habis ini jangan banyak tanya lagi ya,” ucap saya seraya mengingat-ingat teori sejarah Ibn Khaldun yang sudah agak lama saya lupakan.

Bagaimanakah sejatinya karakter orang Mesir? Bila seseorang pernah bergaul akrab dengan orang Mesir, tentu ia akan membenarkan pendapat yang menyatakan, “orang Mesir begitu menggemari anekdot dan suka menyindir”. Apalagi bila anekdot dan sindiran itu ditujukan terhadap penguasa yang otoriter dan tiran. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah suasana sosio-psikis yang mewarnai Mesir. Perang yang kerap menghajar negeri ini dan pengekangan oleh pihak penguasa membuat orang Mesir memilih anekdot, canda, maupun sindiran-khususnya sindiran politik- sebagai katalis buat menyalurkan uneg-uneg.

Sikap orang Mesir yang menggemari anekdot dan sindiran ternyata telah muncul sejak lama. Ibn Khaldun (1332-1406 M), misalnya, telah mengungkapkan karakter orang Mesir itu dalam karya besarnya Al-Muqaddimah. Ketika mengunjungi Mesir, sejarawan Muslim terkemuka itu mengenali watak warga negeri ini yang humoris dan penggembira, di samping suka memandang ringan dan remeh terhadap segala akibat sikap dan tindakan mereka. Menurut Ibn Khaldun, sikap semacam itu mempunyai dampak terhadap aspek psikis mereka dalam menghadapi berbagai peristiwa yang terjadi. “Cuek sajalah,” ucap mereka.

Mereka, urai Ibn Khaldun lebih jauh, malah menghadapi peristiwa-peristiwa itu dengan canda dan tawa. Sehingga, seakan peristiwa-peristiwa itu menimpa orang lain yang tidak memiliki ikatan batin apapun dengan mereka. Akibatnya, mereka lebih banyak bertindak sebagai penonton ketimbang sebagai pemain yang berusaha menghadapi peristiwa-peristiwa itu. Pada gilirannya, sikap seperti itu terucap dalam ungkapan khas orang Mesir dewasa ini, “maalesh” (tidak apa), suatu ucapan yang acap membikin jengkel orang lain.

Namun, sejatinya peristiwa-peristiwa itu membuat orang Mesir menjadi orang yang gampang merasa sedih. Malah, kesedihan itu merupakan salah satu karakter orang Mesir. Aneh memang, mereka bilang “maalesh”, namun sejatinya mereka sedih dan di balik kegembiraan itu tetap terpancar perasaan sedih. Mungkin, karena itulah anekdot dan humor menjadi tempat perlindungan, pelarian, jalan keluar, atau tempat bernapas. Seperti diketahui senyum, tawa, kegembiraan, humor, canda, sindiran, anekdot, dan komedi tidak lain merupakan salah satu bentuk ungkapan psikis. Semua itu, di Mesir, timbul akibat corak kepribadian kontradiktif yang merasa “putus asa terhadap kehidupan yang kejam, keras, dan kelam” (meminjam istilah Ibn Khaldun). Sebagai jalan keluar, mereka menemukannya pada anekdot, humor, dan hiburan. Lewat semua itu, mereka merasa “terbebaskan” dari dunia nyata yang begitu berat membebani mereka.

Perbincangan mengenai kepribadian dan karakter orang Mesir yang kontradiktif tersebut mencapai puncaknya pada tahun-tahun 1967-1973. Perdebatan keras yang terjadi di tahun-tahun itu dipicu oleh kekalahan memalukan dalam “drama tragis” Perang 6 Juni 1967. Kekalahan yang amat menyesakkan dada orang Mesir itu benar-benar tak terbayangkan oleh mereka. Sebelumnya, seperti diketahui, mereka sangat terbuai oleh semangat revolusioner yang dibangkitkan oleh rezim yang berkuasa kala itu, di bawah kepemimpinan flamboyan Presiden Gamal Abdel Nasser. Akibat kekalahan itu, di bidang sastra Mesir kemudian muncul dan berkembang apa yang disebut “Sastra Tragedi” (Adab Al-Nuksah). Yaitu suatu genre sastra yang berisi ratapan dan keputusasaan terhadap kondisi yang ada.

Kekalahan itu, di sisi lain, memicu pertumbuhan suatu sikap baru dalam menilai diri sendiri dan orang lain (termasuk terhadap Israel dan Amerika Serikat) secara obyektif dan ilmiah. Meski terlambat dibanding Israel, yang lebih dulu terus-menerus melakukan penelitian ilmiah terhadap negeri dan masyarakat Mesir demi kepentingan militer dan hubungan diplomatik yang disiapkannya, mulai 1968 di Mesir terjadi perubahan mendasar dalam melakukan penelitian terhadap diri sendiri dan orang lain. Slogan “KENALILAH MUSUHMU” pun mencuat dan kritik terhadap berbagai karakter dan sikap negatif masyarakat negeri ini pun dilambungkan. Kemenangan Mesir dalam Perang 6 Oktober 1973 dapat dikatakan sebagai salah satu buah dari perubahan sikap itu.

“Loh, kalau begitu cewek Mesir yang Mas senangi dulu itu humoris dan melankolis, ya?” tanya istri saya cengengesan dan karakter asli orang Semarangnya muncul. “Nggaklah yaw,” jawab saya sekenanya seraya mempercepat langkah menuju ke tepi Sungai Nil. Segera kenangan enam tahun tinggal di negeri ini pun menyeruak keluar dari alam bawah sadar: sebuah perjalanan hidup kaya warna yang ingin saya tuangkan dalam sebuah buku. Suatu ketika!