Thursday, June 28, 2007

Gelar Doctor Honoris Causa untuk Pangeran Al-Waleed bin Talal

Seperti diketahui, ide pendirian International Islamic University Malaysia (IIUM) muncul pada 1982, di zaman pemerintahan Perdana Menteri Mahathir Mohamad, dengan tujuan untuk “menghidupkan kembali konsep pembelajaran secara islami dan meluaskan pilihan yang ada bagi umat Islam dalam kajian tingkat tinggi”. Ide tersebut kemudian disambut oleh negara-negara Islam lain. Tak aneh jika biaya awal pendirian universitas yang kini menempati lokasi di kawasan berbukit dan berhawa segar yang tidak jauh dari Genting Highland itu mendapat bantuan dari negara-negara Islam yang menjadi anggota Organisasi Konferensi Islam. Ide itu kemudian diajukan Dato’ Tan Seri Dr. Mahathir Mohammad ke sidang kabinet dan segera pula mendapat persetujuan. Selepas mendapat persetujuan dari kabinet, maka IIUM pun secara resmi dibuka pada 10 Mei 1983. Sedangkan presiden (atau Ketua Dewan Pembina) pertamanya, Tun Hussein Onn, baru dilantik pada 16 September di tahun yang sama.

Begitu memasuki pintu gerbang International Islamic University Malaysia (IIUM), pada Jumat 1 Juni 2007 yang lalu, bersama istri tercinta, Ustadz Masruh Ahmad MA, MBA, dan Ustadzah Nita Jasyiyah, tanpa sadar saya pun segera mencermati sisi-sisi yang paling menarik universitas yang memiliki luas 700 ekar (satu ekar = 6600 meter persegi) itu. Selepas mencermati pelbagai sudut IIUM, dengan naik mobil yang dikendarai Ustadz Masruh Ahmad, segera mata saya pun terpikat oleh spanduk-spanduk yang berisi sambutan selamat datang dan “tahniah” (ucapan selamat) kepada Pangeran Al-Waleed bin Talal bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Sa‘ud yang mendapat gelar doctor honoris causa dari universitas yang kini semakin megah ketimbang ketika saya pertama kali mengunjunginya bersama kedua putri saya, Mona Luthfina dan Naila Fithria, pada tahun 2003.

Melihat nama dan foto sang pangeran tersebut, segera benak saya pun melayang-melayang untuk mengetahui lebih jauh tentang sang pangeran. Ternyata, sang pangeran yang lahir pada 7 Maret 1955 tersebut tidak lain adalah Chairman The Kingdom Holding Company yang pada 2006 menjadi orang terkaya kedelapan di dunia menurut Majalah Forbes, dengan harta kekayaan sekitar 20 miliar dolar Amerika Serikat. Cucu Raja ‘Abdul ‘Aziz Al-Sa‘ud dari Arab Saudi yang di bulan Maret 2007 yang lalu diterima Presiden Susilo Bambang Yudoyono itu pernah (tahun 2005) menyumbang 17 juta euro (sekitar 20 juta AS) untuk membiayai pendirian sebuah galeri Islam di Musium Louvre, Paris, Perancis.

Melihat spanduk-spanduk yang juga menampilkan foto pangeran yang memiliki saham Four Seasons Hotel, Jakarta itu, entah kenapa dalam benak menggelegak sebuah pertanyaan: apa jasa sang pangeran yang di bulan Maret 2007 juga membeli Four Seasons Resort di Langkawi, Malaysia hingga mendapatkan gelar doctor honoris causa? Karena itu, segera saya mencari informasi. Rasa ingin tahu saya pun sulit dibendung lagi. Segera saja saya mencari informasi dan akhirnya saya pun mendapatkan informasi dari sebuah sumber yang dapat dipercaya, selepas menerima gelar doctor honoris causa, sang pangeran menyerahkan bantuan sebesar satu juta dolar kepada IIUM yang berlokasi di Gombak, Selangor Darul Ehsan.

Mengetahui informasi demikian, saya pun angkat topi kepada IIUM. Lepas dari pantas tidaknya sang pangeran mendapatkan gelar doktor kehormatan tersebut, saya merasa kagum atas kepintaran Malaysia dalam mencari dana untuk pengembangan universitas yang kini menjadi salah satu kebanggaan negeri jiran tersebut. Cara elegan dalam mencari dana tersebut tentunya dapat dilakukan pula oleh UI, ITB, UGM dan perguruan-perguruan tinggi Indonesia lainnya dalam upaya menggalang dana untuk memajukan dirinya tanpa mengorbankan integritas ilmiah yang dimilikinya!

Tuesday, June 26, 2007

Menjenguk "Dunia Islam Mini"

Usai mengunjungi Universiti Malaya di Bangsar dan Universiti Tenaga Kerja dan Universiti Kebangsaan Malaysia di Bangi pada Jumat 1 Juni 2007 yang lalu, waktu saat itu telah memasuki saatnya untuk melaksanakan shalat Jumat. Saya dan Ustadz Masruh Ahmad MA, MBA pun segera masjid kampus Universiti Kebangsaaan Malaysia yang cukup megah. Meski lebih besar dari Masjid Salman Institut Teknologi Bandung, namun entah kenapa saya merasa suasana masjid kampus di Bangi itu tidak begitu membangkitkan perasaan syahdu. Ini berbeda dengan suasana yang menyergap hati saya setiap kali bershalat di Masjid Salman ITB. Selain itu, kekeliruan beberapa kali bacaan Al-Quran sang khatib yang muda usia ketika menjadi imam terasa mengganggu hati. Mungkin suasana hati dan benak sang khatib saat menjadi imam lagi agak kurang khusyuk.

Selepas menunaikan shalat Jumat dan menikmati makan siang di kantin UKM, kami berempat (saya, istri tercinta,Ustadz Masruh, dan Ustadzah Nita Jasyiyah) kemudian melanjutkan perjalanan menuju Gombak. Tepatnya, menuju Universiti Islam Antarabangsa Malaysia atau International Islamic University Malaysia (IIUM). Tujuan kami ke IIUM adalah untuk bersilaturahmi dengan Prof. Dr. Sohirin Mohammad Solihin, seorang sahabat saya ketika menimba ilmu di Mesir. Sahabat saya yang meraih gelar Ph.Dnya dari Universitas Birmingham, Inggris dan penulis buku Islam and Politics (diterbitkan oleh IIUM) ini, seperti pernah saya kemukakan dalam tulisan saya diblog ini, berasal dari Ciamis, Jawa Barat.

Perjalanan antara Bangi, yang terletak di sebelah tenggara Kuala Lumpur (sekitar 40 kilometer dari pusat kota KL) ke Gombak, yang terletak di sebelah barat daya ibukota Malaysia itu memakan waktu sekitar satu jam setengah. Kalau kita naik LRT, dari Bangi kita pertama-tama menuju stasiun KL Sentral. Di stasiun KL Sentral, kita kemudian berganti LRT yang menuju Terminal Putra dan dari stasiun itu kita dapat menuju kampus IIUM dengan naik taksi. Jalan menuju IIUM dari Bangi, seperti halnya jalan-jalan di Malaysia lainnya, terasa mulus. Dan, sekitar 30 kilometer sebelum Genting Highland, mobil yang dikendarai Ustadz Masruh Ahmad keluar dari jalan tol dan kemudian memasuki lingkungan IIUM.

Begitu melintasi pintu gerbang, segera bangunan rektorat IIUM yang megah menyambut kita. Suasana kampus agak sepi, karena saat itu para mahasiswa sedang “cuti” (atau libur). Kami pun dengan leluasa mengitari kampus megah yang didisain oleh seorang arsitek Turki itu. Tak aneh, jika bangunan-bangunan kampus IIUM mengingatkan saya pada bangunan di sekitar Masjid Muhammad ‘Ali di Kairo. Segera pula, di sana-sini muncul mahasiswa-mahasiswa dengan sosok fisik yang sangat beragam. Segera pula kenangan ketika masih menjadi mahasiswa Universitas Al-Azhar, Kairo pun menyeruak keluar dan mengisi benak saya. Suasana “dunia Islam mini” pun segera muncul. Dan, setelah menunggu beberapa lama, sahabat saya yang baru beberapa hari pulang dari Teheran, Iran (sebagai wakil IIUM), untuk menghadiri suatu simposium, muncul dan menyambut kami serta kemudian mengajak kami menuju tempat kediamannya di komplek perumahan para pensyarah IIUM. Dan, segera terasa oleh kami, betapa berkahnya bersilaturahmi!

Friday, June 22, 2007

Bersama Menuju Kegemilangan!

Setiap kali saya sedang menikmati perjalanan di sebuah di sebuah negara asing, saya suka iseng memperhatikan tulisan-tulisan di billboard, spanduk, baliho, maupun tulisan grafiti yang ditulis oleh warga setempat. Kadang, lewat tulisan-tulisan itu, saya dapat menangkap aspirasi ataupun mimpi masyarakat yang saya kunjungi. Ketika di Alexandria, Mesir, beberapa bulan lalu misalnya, saya menemukan sebuah grafiti berwarna merah darah berbunyi Mishr Maqbarah li Kulli Ghuzat! (Mesir Kuburan bagi Semua Agresor) di sebuah tembok. Seperti diketahui, Mesir sepanjang sejarahnya memang acap menjadi ajang pendudukan pasukan asing, dan salah satu pintu masuknya adalah Kota Alexandria. Dan, grafiti itu tampak mengungkapkan perasaan marah penulis grafiti itu kepada para agresor yang pernah menduduki Mesir.

Karena itu, ketika ditengah perjalanan, pada Jumat, 1 Juni 2007, bersama istri tercinta, Ustadz Masruh Ahmad MA, MBA, dan Ustadzah Nita Jasyiyah untuk mengunjungi beberapa kampus di Malaysia, saya pun iseng mencari tulisan-tulisan yang demikian itu. Dan, benar saja, saya segera menemukan “mangsa yang saya buru”. “Mangsa” itu, antara lain berbunyi: “Pandu cermat, jiwa selamat”, “Tiada panggilan sepenting seruan Ilahi”, “Sayangi Kuala Lumpur”, dan “Elakkan kesesakan”. Di antara tulisan-tulisan itu, tulisan di sebuah billboard yang berbunyi: Bersama Menuju Kegemilangan! dan dipasang oleh Tenaga Nasional Malaysia (PLNnya Malaysia) di sebuah jalan ke arah Bangsar (dari arah Bukit Bintang)lah yang sangat menarik perhatian saya. Kenapa demikian? Tahun lalu, ketika mengunjungi negeri jiran ini, saya sempat bertukar pikiran dengan seorang sahabat saya yang menduduki sebuah posisi strategis di sebuah universitas di negeri tersebut, dia menjelaskan bahwa banyak para mahasiswa Indonesia yang terkenal encer otaknya. Namun, di sisi lain, bila dibanding dengan para mahasiswa Malaysia, para mahasiswa Indonesia lemah dalam soal kerja bersama. Slogan itu menyadarkan saya, kebersamaan memang sangat perlu untuk meraih kegemilangan untuk semua warga.


Slogan “Bersama Menuju Kegemilangan” di billboard yang dipasang Tenaga Nasional Malaysia itu ternyata semakin mengusik benak saya ketika kami usai mengunjungi kampus Universiti Malaya di Bangsar, Universiti Tenaga Nasional dan Universiti Kebangsaan Malaysia di Bangi. Slogan itu segera menyadarkan saya, kebersamaan telah mengantarkan negara jiran itu menikmati kemajuan yang digapainya saat ini. Dibanding Malaysia, menurut saya, sumber daya manusia Indonesia sejatinya tidak kalah kualiatasnya dibanding sumber daya manusia Malaysia. Pengalaman hidup saya selama enam tahun untuk menimba ilmu di negeri orang juga membuktikan demikian. Sayangnya, sumber daya manusia Indonesia lemah di sisi kerja sama. Kiranya sumber daya manusia Indonesia dapat belajar dari slogan yang dipasang oleh Tenaga Nasional Malaysia itu, sehingga dengan “bersama menuju kegemilangan” Indonesia! Semoga!

Tuesday, June 19, 2007

Renungan Malam di Bukit Bintang, Kuala Lumpur


Bukit Bintang, itulah kawasan yang kami pilih untuk menikmati malam pertama kunjungan kami ke Malaysia, yang berlangsung antara 31 Mei sampai dengan 4 Juni 2007 yang lalu. Kawasan itu kami pilih tentu dengan beberapa pertimbangan tertentu. Antara lain, kawasan yang tidak jauh dari Terminal Puduraya (terminal bus Kuala Lumpur) dan stasiun KL Sentral (stasiun pusat Kuala Lumpur) itu merupakan salah satu pusat denyut kehidupan Kota Kuala Lumpur. Selain itu, di kawasan itu itu kita bisa dengan mudah mencari pelbagai hidangan hingga larut malam.

Karena itu, usai bersilaturahmi ke rumah Ustadz Masruh Ahmad MA, MBA, dan usai bersilaturahmi ke sebuah keluarga Malaysia di kawasan Bukit Damansara yang berlangsung hingga sekitar pukul 22.00 waktu setempat (terima kasih Makco & keluarga, atas sambutan yang sangat hangat dan hidangan sangat lezat yang disajikan kepada kami), kami pun diantar Ustadz Masruh dan Ustadzah Nita menuju sebuah hotel di kawasan Bukit Bintang. Ternyata setibanya kami di Jalan Puduraya, menjelang terminal, mobil yang kami naiki sulit beringsut. Padahal, saat itu sudah menunjuk sekitar jam 23.00 waktu setempat. Sepanjang jalan tersebut, bus-bus berderet-deret panjang memenuhi jalan, sementara orang-orang yang akan menempuh perjalanan keluar kota tampak bertebaran di sana-sini. Liburan panjang saat itu benar-benar dinikmati warga Kuala Lumpur untuk melakukan wisata ke pelbagai kota Malaysia, Singapura, dan Thailand.

Selepas berjuang sekitar setengah jam, akhirnya sampai juga kami ke hotel yang kami tuju. Kami pun segera menuju kamar yang terletak di lantai tiga untuk beristirahat. Tak lama kemudian, saya pun membuka korden jendela hotel yang berada tak jauh dari Jalan Sungai Wang itu. Amboi, suasana di jalan masih riuh, dan kafe-kafe dan penjaja makanan di sepanjang trotoar di sekitar hotel masih padat dengan para pengunjung. Tampak di antara para pengunjung adalah para turis dari Timur Tengah. Tiba-tiba, begitu mengamati suasana hidup di kawasan Bukit Bintang itu, sebuah pertanyaan menyeruak di benak: mengapa Malaysia berhasil memikat saudara-saudara kita dari Timur Tengah itu untuk berliburan dengan penuh sukacita di Malaysia?

Walau bukan orang yang bergerak di bidang pariwisata, entah kenapa saya mencoba mencari benang merah keberhasilan Malaysia di bidang pariwisata itu. Pertama-tama, menurut saya, Malaysia pandai memanfaatkan momentum. Pelbagai hambatan yang dialami saudara-saudara kita dari Timur Tengah untuk berwisata ke dunia Barat segera dimanfaatkan Malaysia untuk menarik mereka ke negeri jiran itu. Dan, mereka tak tanggung-tanggung dalam mempromosikan Malaysia. Malah, perdana menteri negeri itu pun ikut serta, seperti halnya dilakukan Abdullah Badawi di channel tv Travel & Living. Kedua, negeri itu benar-benar membuat perencanaan yang matang dalam menarik para wisatawan dari Timur Tengah, dengan memberikan pelayanan dan kemudahan bagi mereka. Lihat saja pelbagai petunjuk dalam bahasa Arab yang disiapkan bagi para tamu yang berkocek tebal itu. Ketiga, memahami benar budaya para tamu yang datang berkunjung. Seperti diketahui, para tamu dari Timur Tengah itu, ketika sedang berliburan, suka begadang hingga larut malam dan suka makan. Tak aneh jika suasana kehidupan di kawasan Bukit Bintang dengan trotoarnya yang bergaya Eropa sangat memuaskan mereka. Keempat, keamanan dan kenyamanan benar-benar mereka rasakan selama berliburan di Malaysia. Walau Internal Security Act sangat menghambat proses demokratisasi di negeri jiran itu, namun di sisi lain keamanan dan kenyamanan yang dihasilkannya sangat terasa bagi para wisatawan. Misalnya saja, “indra keenam” saya sejatinya dapat menangkap kehadiran para intel di sana-sini, namun kehadiran mereka tidak sangat kentara. Para turis toh kurang peduli dengan masalah politik dan yang mereka buru adalah perjalanan liburan yang nyaman, aman, dan berkesan. Dan, keempat, infrastruktur negara yang dipimpin Abdullah Badawi itu layak diacungi jempol. Kelima, kebersihan lingkungan benar-benar terpelihara. Keenam, kejelasan dalam hal halal dan haram makanan yang mereka nikmati. Walau hal ini sekilas tampak tidak penting, tapi bagi para wisatawan dari Timur Tengah hal itu benar-benar mereka perhatikan.

“Mas, istirahatlah! Sekarang sudah larut malam loh!” tiba-tiba istri saya mengingatkan saya untuk beristirahat.
“Baiklah!” jawab saya seraya menutup korden. Dan, entah kenapa dalam benak saya tiba-tiba muncul ide untuk menuangkan kisah keluyuran saya ke pelbagai penjuru bumi Tuhan, seperti halnya yang dilakukan oleh para petualang Muslim pada masa pertengahan seperti halnya Ibn Bathuthah, Al-Maqrizi, Al-Idrisi , dan lain-lainnya. Insya Allah!

Friday, June 15, 2007

Menengok Kursus Qiraati van Malaysia

Kuala Lumpur, 31 Mei 2007. “Mas, Malaysia semakin hijau saja, ya?” ucap istri tercinta seraya melihat keluar jendela ketika pesawat terbang Air Asia yang membawa kami dari Bandung hampir mendarat di Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Waktu setempat saat itu menunjuk pukul 11.45 siang.

“Ya. Ini merupakan hasil kesadaran mereka yang tinggi untuk memelihara lingkungan. Kesadaran mereka harus diacungi jempol. Dengan lingkungan alam yang semakin terjaga, mereka pun semakin dapat menikmati hidup yang semakin sehat. Menurut saya, tampaknya ini tidak lepas dari keberhasilan mereka di bidang pendidikan. Mereka berhasil menanamkan kesadaran yang demikian sejak anak-anak Malaysia menikmati pendidikan di taman kanak-kanak. Mereka tidak banyak bicara. Tapi, mereka langsung memraktikkannya. Tidak seperti kita, orang-orang Indonesia, yang lebih banyak omong saja,” jawab saya seraya menarik napas panjang, seraya membayangkan Indonesia semaju Singapura dan Malaysia.

Meski merasa sedih dengan kondisi Indonesia saat ini, entah kenapa, saya tidak pernah merasa malu menjadi bangsa Indonesia. Barang kali kalau saya menjadi pejabat, saya akan merasa malu. Entah kenapa saya senantiasa merasa, orang Indonesia bukanlah orang yang malas, bodoh, dan tidak ingin maju. Pertemuan saya dengan saudara-saudara saya sebangsa di sejumlah negara orang membuktikan, mereka adalah orang-orang yang ulet, tahan banting, dan berkeinginan kuat untuk maju.

Tak lama kemudian pesawat terbang Air Asia yang membawa kami mendarat di KLIA. Dan, selepas menyelesaikan urusan imigrasi dan bagasi yang berjalan lancar, kami pun segera menapakkan kaki menuju pintu keluar. Ternyata, Ustadz Masruh Ahmad, MA., MBA, seorang putra Indonesia yang telah bermukim di Malaysia sejak tahun 1980-an, telah menanti kami bersama istri tercintanya, Ustadzah Nita Jasyiyah. Betapa gembira hati kami bersua kembali dengan seorang anggota Yayasan Badan Wakaf Pondok Modern Gontor yang satu ini. Suami (yang asli Semarang) dan istri (yang warga negara Singapura keturunan Bawean) yang pernah menimba ilmu di Mesir ini sangat ramah dan penuh semangat serta tulus menyambut kedatangan kami. Jazakumullah Ahsanal Jaza’, ya Al-Akh Masruh wa Al-Ukht Nita.

Segera dengan menaiki mobil sedan Proton Wira yang dikendarai Ustadz Masruh Ahmad, kami pun meninggalkan KLIA. Siang itu, kami diajak menikmati pelbagai sudut kawasan yang terletak antara Sepang dan Kajang. Tampak dan terasakan oleh kami, infrastruktur jalan negara serumpun ini benar-benar tertata dan terjaga mulus. Dan, selepas menikmati dengan lahap sajian makanan siang nan lezat yang disiapkan oleh Ustadzah Nita, kami kemudian diajak menengok Gedung Qiraati, sebuah tempat untuk memberikan kursus tentang tata cara membaca Al-Quran yang fasih dan sesuai kaidah, yang terdiri dari dua lantai dan berlokasi di Sungai Ramal Dalam, Kajang, Selangor Darul Ehsan.


Hati saya sangat tersentuh dan sangat salut ketika Ustadz Masruh dan Ustadzah Nita menceritakan perjalanan panjang perjuangan yang mereka lalui untuk dapat membangun sebuah lembaga pendidikan yang memberikan kursus tata cara membaca Al-Quran yang benar dan fasih itu. Lembaga yang mereka berdua mulai di Segambut, Selangor, dengan empat murid pada tahun 1990 ini mendapatkan lisensi penuh dari sebuah lembaga dengan nama yang sama di Semarang, Jawa Tengah, yang didirikan oleh K.H. Dachlan Salim Zarkasyi. Alhamdulillah, perjuangan tak kenal lelah dan penuh keikhlasan putra Indonesia dan putri Singapura itu kini telah membuahkan hasil. Dan, kini Kursus Qiraati van Malaysia ini telah mengepakkan sayapnya ke pelbagai penjuru Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand. Kiranya Allah Swt. senantiasa meridhai dan memberkahi niat, langkah, dan perjuangan Ustadz Masruh Ahmad dan keluarganya tersebut, Amin ya Rabbal ‘Alamin.




Wednesday, June 13, 2007

Masjid Al-Azhar, Saksi Perjalanan Hidup Kota Kairo

Sebelum meninggalkan Kota Kairo, 4 April 2007 yang lalu, saya menyempatkan diri shalat di Masjid Al-Azhar. Masjid yang satu ini memberikan kenangan tersendiri bagi saya. Di masjid inilah, kala masih menjadi mahasiswa Universitas Al-Azhar pada akhir tahun-tahun 1970-an, saya mendamaikan hati kala kerinduan terhadap keluarga di Indonesia begitu menyergap benak dan hati saya. Hal itu dengan mengikuti pengajian yang diberikan oleh sejumlah syeikh. Tak aneh, kala hati sedang galau, saya kala itu kadang berada di masjid itu dari siang hingga malam hari. Entah kenapa, hati saya kala itu terasa damai kala berada di masjid yang renta itu. Bagaimakah sejatinya kisah masjid yang seusia Kota Kairo ini?

Seperti diketahui, Jawhar Al-Shiqillilah, panglima perang penguasa ke-4 Dinasti Fathimiyah: Al-Mu‘iz li Dinillah, yang memulai pendirian masjid ini pada 24 Jumada Al-Awwal 359 H/4 April 970 M. Sementara peresmian masjid ini, dengan pertama kali dilaksanakannya shalat Jumat di dalamnya, dilakukan pada Ramadhan 361 H/Juli 972 M. Ukurannya kala itu adalah separoh ukurannya dewasa ini. Masjid ini, kala itu, dirancang sebagai pusat pembinaan kaum Muslim.

Guru besar pertama yang mengajar di Al-Azhar adalah Al-Qadhi Abu Al-Hasan Al-Nu‘man bin Muhammad yang wafat pada 374 H/984 M. Ia adalah putra seorang ahli hukum Islam: Al-Nu‘man bin Muhammad yang wafat pada 363 H/974 M. Seperti halnya sang ayah, ia juga seorang ahli hukum dan sastrawan, seperti halnya saudara kandungnya Al-Qadhi Muhammad bin Al-Nu‘man yang wafat pada 389 H/999 M. Sedangkan tokoh terkemuka yang menimba ilmu di Al-Azhar pada masa pemerintahan Dinasti Fathimiyyah adalah Pangeran Al-Mukhtar ‘Abdul Malik Muhammad bin ‘Abdullah bin Ahmad Al-Hurrani, yang lebih terkenal dengan sebutan Al-Misbagi, seorang sejarawan (366-420 H/976-1029 M), dan Abu ‘Abdullah Al-Qudha‘i, juga seorang sejarawan terkemuka yang terkenal sebagai penulis pertama annal Mesir. Dari sejarawan terakhir itulah Taqiy Al-Din Al-Maqrizi, Al-Hasan bin Zaulaq yang terkenal dengan karyanya tentang Dinasti Ikhsyidiyyah, dan Abu Al-Qasim Al-Ra‘ini Al-Syathibi, seorang ahli qira’at terkemuka, menimba ilmu. Sementara ahli ilmu pasti yang menimba di Al-Azhar kala itu adalah Al-Hasan bin Al-Khuthair Al-Farisi.

Ketika Shalah Al-Din Al-Ayyubi berhasil menaklukkan Mesir, ia pun memberhentikan pengajaran di Al-Azhar. Hal itu ia lakukan karena pengajaran di lembaga pendidikan tersebut kala itu dikaitkan dengan Aliran Isma‘iliyah yang tidak mendapat dukungan darinya. Namun, setelah kaum Sunni telah berhasil merengkuh kembali posisi tradisionalnya di Mesir dan mereka menaruh pembali perhatian untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan fikih sunni, mereka pun menjadikan Al-Azhar sebagai pemangku tugas tersebut sampai tumbangnya Dinasti Ayyubiyyah.

Ketika Mesir berada di pangkuan kekuasaan Dinasti Mamluk, Al-Azhar berhasil memulihkan posisinya di bidang ilmu pengetahuan, sebagai pusat pertemuan para guru besar, staf pengajar, dan mahasiswa. Selain itu, lembaga pendidikan tersebut juga mulai berfungsi secara penuh sebagai sebuah lembaga ilmiah yang dikelola dan dibiayai oleh negara berdasarkan ketetapan dan keputusan yang jelas. Sehingga, karenanya, masjid ini pun mengalami perluasan dan pengembangan sampai akhirnya memiliki ukuran seperti yang ada dewasa ini. Tak aneh jika masjid itu berubah menjadi seperti halnya sebuah kota mandiri. Ini karena penambahan dan perluasaan di bidang ilmiah yang dilakukan membuat masjid ini sebagai sebuah kota universitas, yang terdiri dari sejumlah gedung yang masing-masing disebut ruwaq. Di antara gedung-gedung tersebut terdapat bangunan yang disiapkan bagi para mahasiswa luar daerah maupun negeri, baik dari Mesir sendiri maupun dari pelbagai penjuru dunia Islam. Misalnya Ruwaq Kurdi, Ruwaq India, Ruwaq Baghdad, Ruwaq Burno (kini Chad), Ruwaq Sinnariyyah (Sudan), Ruwaq Jawa, Ruwaq Syam, Ruwaq Sha‘id, Ruwaq Syarqiyyah, Ruwaq Buhairah, Ruwaq Syafwaniyyah, dan ruwaq-ruwaq lainnya. Namun, para mahasiswa tidak tidur di ruwaq-ruwaq tersebut. Ruwaq-ruwaq tersebut malah lebih mirip sekretariat, perpustakaan, dan tempat penyimpanan khusus buku-buku mereka. Karena itu, selain ruwaq-ruwaq tersebut, terdapat sebuah ruwaq khusus bagi para mahasiswa yang memperdalam Mazhab Hanbali dan Hanafi.

Seperti diketahui, bangunan pertama Al-Azhar–seperti halnya ketika didirikan oleh Jawhar Al-Shiqilli-merupakan sebuah masjid yang memiliki ukuran tidak lebih dari separoh Masjid Al-Azhar dan berbagai perluasan yang dinikmatinya dewasa ini. Kala itu masjid ini terdiri dari shahn terbuka, seperti yang ada hingga dewasa ini yang dibatasi oleh lengkung-lengkung lancip, bait ash-shalahnya yang berada di sebelah utara shahn, dan dua sayapnya di sebelah kiri dan kanan yang masing-masing terdiri dari tiga ruangan.

Selepas itu masjid ini mengalami pelbagai perluasan sehingga masjid raya lamanya menjadi berada di jantung Masjid al-Azhar dalam bentuknya seperti yang ada dewasa ini. Perluasan dan pengembangan yang dialami masjid ini terdiri dari sejumlah bangunan, seperti halnya ruangan-ruangan, gedung-gedung kuliah, mihrab-mihrab, dan tempat-tempat wudhu baru. Akibatnya, masjid ini pun kehilangan bentuk aslinya dan tampilan-tampilan artistiknya. Tak aneh jika dewasa ini masjid ini menjadi mirip dengan pameran besar seni Islam di Mesir, sejak masa pemerintahan Dinasti Fathimiyyah hingga dewasa ini.

Apabila seseorang memasuki Pintu Al-Muzayyinin, yaitu pintu utama Masjid Al-Azhar yang terletak di Taman Al-Azhar, maka ia akan memasuki sebuah lintasan panjang. Di sebelah kanan lintasan terdapat gedung Madrasah Al-Aqbaghawiyah yang dibangun oleh seorang pangeran dari Dinasti Mamluk bernama ‘Ala’ Al-Din Aqbagha ‘Abdul Wahid pada 740 H/1339 M di lahan Al-Azhar dan kemudian diserahkan pada Al-Azhar. Sang pangeran memang terkenal sangat menaruh perhatian terhadap lembaga pendidikan tersebut. Karena itu ia juga mendirikan bait ash-shalah dan dinding kiblat, dan menara di gedung yang didirikannya tersebut. Menurut Al-Maqrizi, kala itu bagian dalam madrasah tersebut demikian gelap. Menurutnya, karena sang pangeran yang mendirikannya mendapatkan dananya secara tidak sah dari masyarakat dan para tukang yang membangunnnya. Seperti diketahui, sang pangeran adalah seorang komandan pasukan pada masa pemerintahan Raja Al-Nashir Muhammad bin Qalawun. Sampai waktu yang beum lama, madrasah tersebut digunakan sebagai Perpustakaan Al-Azhar.

Sementara di sebelah kiri lintasan terdapat gedung lama Madrasah Al-Thaibarisiyah yang dinisbatkan kepada Pangeran ‘Ala’ Al-Din Thaibars Al-Khazindar, seorang wakil panglima pasukan Dinasti Mamluk pada masa pemerintahan an-Nashir Muhammad bin Qalawun. Madrasah tersebut didirikan sebelum Madrasah Al-Aqbaghawiyah pada 719 H/1319 M. Berbeda dengan Pangeran Aqbagha, Pangeran Thaibars terkenal sebagai seorang tokoh yang lurus dan saleh. Selain sebagai sekolah, madrasah tersebut juga digunakan sebagai masjid. Tak aneh jika madrasah tersebut dirancang bagus dan indah, sehingga menelan dana yang cukup besar. Dari bagian dalam, gedung madrasah tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu contoh yang menawan seni Islam. Sayang, sejak 1314 H/1896 M madrasah tersebut dijadikan sebagai bagian dari Perpustakaan Al-Azhar. Akibatnya, gedung tersebut kehilangan banyak karya seninya yang memikat.

Seusai melewati lintasan di antara kedua madrasah tersebut, sang pengunjung akan memasuki shahn lapang Masjid Al-Azhar yang dikitari bukaan-bukaan dari segala arah. Shahn tersebut berada di posisi sebelum Masjid al-Azhar lama. Berikut, ia akan memasuki bait ash-shalah yang berujung pada dinding kiblat lama, disambung dengan perluasan yang dilakukan oleh ‘Abdurrahman Katkhada, seorang tokoh kelompok Mamluk di Mesir pada masa pemerintahan Dinasti Usmaniyyah. Memang, ia dipandang sebagai orang yang sangat menaruh perhatian besar terhadap bangunan Masjid Al-Azhar pada masa silam. Pada 1167 H/1753 M, misalnya, ia memugar bangunan-bangunan al-Azhar dan menambah bagian utara bait ash-shalah yang asli. Perluasan tersebut, yang lebih dari separoh ukuran asli masjid ini, berupa pendirian bait ash-shalah baru lengkap dengan dinding kiblat dan mihrab yang tegak di atas lima puluh tiang, sementara di atasnya terdapat lima puluh lengkung yang memiliki gaya yang sama dengan lengkung-lengkung telah ada sebelumnya. Sedangkan pada dinding kiblat baru didirikan sebuah mihrab yang sangat indah, dan di atas balathah mihrab dibuat sebuah kubah nan indah. Selain itu, karena perluasan tersebut, dibuat pula sebuah mihrab yang menawan dan di samping mihrab tersebut dibuat sebuah mihrab berukuran lebih kecil yang disebut Mihrab Al-Dardir dan sebuah mihrab lagi yang belum lama dibuat. Dengan perluasan itu sendiri membuat bait ash-shalah masjid ini menjadi yang terluas di Mesir.

Selain perluasan ke arah utara tersebut, didirikan pula sebuah bangunan besar yang memiliki sebuah pintu besar yang menuju ke Distrik Katanah. Pintu tersebut kini lebih terkenal dengan sebutan Pintu Al-Shaya‘idah. Pintu tersebut merupakan sebuah pintu gerbang besar yang dibuat oleh ‘Abdurrahman Katkhada. Di atas pintu tersebut dibuat sebuah ruangan khusus untuk menghapal al-Qur‘an bagi anak-anak yang tegak di atas tiang-tiang pualam. Sedangkan di bagian taman lapang berdinding, ‘Abdurrahman Katkhada mendirikan makam, tempat penampungan air, dan saluran air. Di atas makam tersebut dibuat sebuah kubah kecil. Sementara di samping Pintu Al-Shaya‘idah didirikan sebuah menara yang dinisbatkan kepada Katkhada. Demikian halnya ia juga berjasa besar dalam pendirian pintu gerbang utama Al-Azhar yang kini disebut Pintu Al-Muzayyinin.

Dewasa ini Masjid Al-Azhar memiliki lima menara dengan lima gaya yang berbeda. Ini karena menara-menara tersebut didirikan pada masa yang beragam. Dua menara di antaranya didirikan oleh ‘Abdurrahman Katkhada. Satu menara lagi didirikan oleh Sultan Qa‘it Bey dan satu menara lagi didirikan oleh Sultan Al-Ghuri. Menara yang didirikan Sultan Qa‘it Bey, yang merupakan menara terbesar, memiliki dua mustaka dan dua serban.

Masjid yang satu ini memiliki tiga belas mihrab. Namun, yang masih bertahan hingga dewasa ini tinggal enam. Yang terlama adalah mihrab di dinding kiblat lama pada dinding masjid lama. Mihrab-mihrab tersebut memiliki keindahan dan kecermatan pembuatannya yang beragam. Namun, tiada di antara mihrab-mihrab tersebut yang bisa menandingi mihrab-mihrab Masjid Al-Mu’ayyad, misalnya saja. Selain itu, masjid ini memiliki tiga kubah. Yang paling besar dan juga terindah adalah kubah yang ada di atas Madrasah Al-Jawhariyyah yang menyambung dengan Masjid Al-Azhar. Kubah tersebut tegak di atas leher yang memiliki sejumlah syammasat dan lengkung-lengkung lancip yang dari luar berhiaskan ukiran-ukiran kaligrafi yang sangat indah.