Tuesday, September 25, 2007

Sebuah Buku Lagi untuk Anda: Wangi Akhlak Nabi

Malcolm X, tentu Anda mengenalnya. Tokoh yang satu ini, seperti diketahui, adalah seorang tokoh Muslim Amerika Serikat (AS) yang namanya masih acap dikenang banyak orang hingga dewasa ini. Betapa perjalanan hidup tokoh yang satu ini, seperti halnya ditulis dan disunting oleh Alex Haley dengan sangat memikat dalam karyanya, The Authobiography of Malcolm X, sarat dengan pengalaman, pergolakan, dan perenungan. Seperti diketahui pula, tokoh yang berkulit hitam itu lahir di Omaha, Nebraska, pada Senin, 15 Syawwal 1342 Hijriah/19 Mei 1924 M dari pasangan Pendeta Earl Little dan Louise Little, dengan nama Malcolm Little. Pasangan suami-istri itu sendiri mempunyai enam anak: Wilfred, Hilda, Philbert, Malcolm, Yvonne, dan Reginald. Sebelum menikah dengan Louise, Earl Little yang berasal dari Reynold, Georgia telah mempunyai tiga anak dari istri pertamanya: Ella, Earl, dan Mary. Karena mendukung gerakan Marcus Garvey, yang menyerukan semua orang hitam Amerika agar kembali ke Afrika, keluarga Earl Little pun diteror oleh kelompok Ku Klux Klan. Untuk menghindari teror itu, mereka pun pindah ke Lansing, Michigan. Tapi, hal itu tidak banyak manfaatnya. Kepala keluarga itu akhirnya tewas oleh kelompok rasis kulit putih.

Malcolm sendiri meniti dunia pendidikan hingga kelas delapan, dengan hidup menumpang di sejumlah keluarga. Namun, ketika seorang guru menghalangi cita-citanya untuk menjadi seorang pengacara, ia pun keluar sekolah dan pergi menemui saudara perempuan tirinya, Ella, yang menetap di Boston. Di kota itu ia bekerja sebagai tukang sepatu. Namun, segera ia terjerembab dalam kelompok pengedar narkotika dengan nama panggilan Detroit Red. Akibatnya, pada Rabi‘ Al-Awwal 1365 H/Februari 1946 M, ia dijebloskan ke dalam bui dan dijatuhi hukuman selama tujuh tahun.

Selama meniti hidup di bui Colony di Norfolk, Massachusetts, Malcolm atas anjuran dua saudaranya, Philbert dan Reginald, menjadi pengikut Elijah Muhammad dengan gerakan Nation of Islamnya. Maka, ia pun mengimbuhi nama dengan “X”, yang menurutnya merupakan simbol: “Ex-smoker, Ex-drinker, Ex-Christian, Ex-slave”. Sehingga, namanya berubah menjadi Malcolm X. Selepas dari penjara, ia menjadi pengikut yang aktif gerakan itu. Namanya pun segera berkibar. Pada Rajab 1377 H/Januari 1958 M, ia menikah dengan Betty X, yang juga seorang pengikut gerakan itu. Lantas, pada 1384 H/1964 M, ia menunaikan ibadah haji. Betapa indah pengalaman yang ialaminya dalam langkah-langkahnya menuju ke Tanah Suci itu. Marilah sejenak kita ikuti penggalan kisah naik haji Malcolm X seperti diungkapkan dalam karya tersebut di atas sebagai berikut:

“.... Dari lantai tempat aku berada, ketika matahari telah terbit, aku dapat memandang ke seluruh kawasan bandara. Sebentar-sebentar pesawat terbang mendarat dan tinggal landas. Ribuan jamaah dari pelbagai belahan dunia membentuk pola gerakan yang indah. Aku melihat jamaah yang pergi ke Makkah, naik bus, truk, atau kendaraan lainnya. Tiba-tiba tumbuh perasaan khawatir, bagaimanakah bila aku ditolak sebagai jamaah haji?

Seharian, aku bolak-balik dari dan keluar ruanganku. Selepas melaksanakan shalat magrib barulah aku merebahkan diriku, dengan perasaan galau dan sendirian. Tiba-tiba dalam benakku muncul sebuah pikiran. Ketika aku berjalan-jalan di seputar tempat penginapanku, aku melihat empat petugas sedang duduk di seputar meja dengan sebuah telpon di atasnya. Teringat telpon, pikiranku pun melayang ke nomor telpon Dr. Omar Azzam yang diberikan Dr. Mahmud Yusuf Shawarbi kepadaku. Bukankah ia tinggal di kota ini?

Dalam beberapa menit saja aku telah berada di lantai bawah dan mencari tempat para petugas tadi. Salah seorang di antara mereka ternyata lancar berbahasa Inggris. Aku pun mengeluarkan surat Dr. Shawarbi. Usai membaca surat itu, ia pun berseru kepada teman-temannya, “Muslim Amerika!” Aku pun memintanya menghubungi Dr. Omar Azzam. Dengan senang hati ia pun menelpon Dr. Omar Azzam. Alhamdulillah ia sedang berada di tempat. Dan, tidak berapa lama kemudian, Dr. Omar Azzam muncul. “Mengapa tidak menelpon saya sebelumnya?” tanyanya ramah sambil menjabat hangat tanganku. Dia kemudian meminjam telpon dan berbicara dengan petugas di bandara, “Datang cepat ke sini,” ucapnya. Sekitar setengah jam kemudian ia telah membebaskanku, barang bawaanku, dan pasporku.

Dengan naik mobilnya, Dr. Omar Azzam membawaku menuju Kota Jeddah. Di tengah perjalanan aku tidak banyak bicara. Pagi telah menampilkan senyumnya ketika kami tiba di rumahnya. Ayahnya, saudara ayahnya, seorang ilmuwan lain, dan seorang temannya lagi menyambutku. Mereka memelukku bagaikan seorang anak yang lama hilang. Aku tidak pernah bertemu dengan mereka. Tapi, mereka begitu baik terhadap diriku.

Dr. Abdurrahman Azzam, bila sedang berada di negerinya, tinggal di sebuah suite Jeddah Palace Hotel. Tapi kini, dengan kedatanganku, ia tinggal di rumah putranya dan mempersilakan aku tinggal di suitenya hingga aku berangkat ke Makkah. Sejatinya aku menolak untuk merepotkannya. Tapi, sia-sia belaka. Karena itu, begitu aku memasuki suite yang terdiri dari tiga kamar itu dan meninggalkanku sendirian, aku pun bersujud syukur: tak pernah dalam hidupku sebagai seorang kulit hitam AS menerima layanan istimewa apa pun. Naluriku segera mencoba menguak apa alasan dan motif tindakan seseorang terhadap orang lain yang semestinya bisa saja tak perlu dilakukannya. Sebelumnya, selama hidupku, aku memandang tindakan semacam itu, bila dilakukan oleh orang kulit putih, memiliki motif pribadi. Tapi, pagi itu, seorang berkulit putih-setidaknya di AS ia akan dipandang sebagai orang yang ber”kulit putih”-yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan penguasa negeri ini, malah juga sebagai penasihatnya, menyerahkan suitenya kepadaku untuk menyenangkan diriku. Padahal, ia tak meraih keuntungan apa pun. Dia juga tidak memerlukan aku. Dia memiliki segalanya. Malah, ia lebih banyak kehilangan daripada meraih keuntungan dengan tindakannya itu. Dia juga mengikuti pemberitaan media massa tentang diriku. Jelas, ia mengetahui tentang diriku yang “rasis” dan “anti orang kulit putih”. Jelas pula ia mengetahui aku tak punya uang, dan malah untuk pergi ke negerinya aku terpaksa pinjam uang dari Ella.

Di pagi hari itulah aku kembali menghormati “orang kulit putih”. Di pagi hari itulah mulai terjadi perubahan mendasar dalam pandanganku tentang orang “kulit putih”. Aku bersujud syukur kepada Allah atas karunia ini. Aku juga tidak lupa mendoakan istriku dan anak-anakku di AS. Selama beberapa jam kemudian aku tidur pulas, hingga suara telpon berdering membangunkan aku. Dr. Omar Azzam menelponku. Dia memberitahuku, ia akan menjemputku untuk menikmati makan malam di rumahnya. Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih saja. Dalam jamuan malam di rumah Dr. Omar Azzam aku menjadi tahu, persoalanku telah dibahas oleh Mahkamah Komisi Haji. Esok hari aku harus datang di sana. Keesokan harinya aku pun datang ke sana. Pagi itu persidangan dipimpin oleh Syeikh Muhammad Harkon (mungkin maksudnya Syeikh Muhammad ‘Ali Al-Harakan, mantan Sekretaris Jenderal Rabithah Al-‘Alam Al-Islami-penulis). Segera ia memutuskan, aku benar-benar seorang Muslim. Seusai dari persidangan itu aku kemudian balik ke Jeddah Palace Hotel, untuk menikmati makan siang di sana. Lalu tidur lagi selama beberapa jam sampai dering telpon membangunkanku. Muhammad Abdul Aziz, Deputi Kepala Protokol Raja Faisal memberitaku, “Sebuah mobil khusus akan menjemput dan membawa Anda ke Makkah, tepat selepas Anda usai makan malam.”

Dalam perjalanan menuju Makkah aku ditemani dua anak muda, dengan pengawalan pasukan khusus. Tiba di Makkah, mobil yang kami naiki diparkir di depan Masjid Al-Haram. Ketika berada di Rumah Allah itu, untuk melakukan tawaf dan sai, sulit aku kemukakan bagaimana perasaanku kala itu. Semalaman, dalam waktu yang terpisah, aku mengunjungi Rumah Allah tiga kali.

Hari berikutnya kami berangkat menuju Arafah untuk melakukan wukuf. Dari sana kemudian menuju Mina, untuk melempar jumrah. Ihram pun usai. Sebagian jamaah mencukur rambut dan janggut mereka. Aku sendiri memutuskan untuk membiarkan janggutku. Aku tidak tahu, bagaimana komentar istri dan anak-anakku bila mereka melihat janggutku nanti jika aku kembali ke New York...”

Demikianlah kisah perjalanan Malcolm X menuju Tanah Suci Makkah Al-Mukarramah. Betapa indah kisah perjalanan naik haji Malcolm X tersebut. Sebuah perjalanan ibadah yang benar-benar mampu mengubah pandangan Malcolm X yang semula menolak integrasi kaum kulit hitam Amerika dengan masyarakat lainnya dan menjadi berpandangan bahwa kaum kulit hitam dan kulit putih dapat hidup dalam suasana persaudaraan. Manusia, menurut pandangannya selepas naik haji tersebut, tak pernah meminta agar dilahirkan sebagai kulit hitam, kulit putih, atau pun kulit berwarna. Kelahiran adalah takdir Allah atas manusia. Karena itu, manusia tidak mungkin dipilah berdasarkan ras dan warna kulit, karena asal manusia satu: Adam. Masing-masing manusia duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. “Itulah semangat persaudaraan Islam,” ucapnya selepas merenungkan perjalanannya ke Tanah Suci tersebut.

Selepas menunaikan ibadah haji itu sendiri, Malcolm X mengubah namanya menjadi El-Hajj Malik El-Shabazz. Dan, perjalanan hidup di dunia pendiri organisasi Afro-American Unity ini usai pada Ahad, 19 Syawwal 1377 H/21 Februari 1965 M, pukul 3 sore, karena tewas ditembak, ketika sedang berpidato di Audobon Ballroom, Harlem yang terletak di antara Broadway dan St. Nicholas Avenue di Kota New York.

Ya, itulah penggalan dari prakata buku Wangi Akhlak Rasul yang diterbitkan oleh Penerbit Mizania, Bandung. Selamat menikmati!

Monday, September 24, 2007

"Nak, Masih Hafal Al-Qurankah Engkau?"

Tahun ini, entah kenapa Allah Swt. memberi kesempatan saya acap melakukan perjalanan ke pelbagai negara dan kota. Kadang, perjalanan itu telah saya rencanakan jauh hari. Tapi, kadang tiba-tiba saja saya diberi kesempatan Allah bertolak ke suatu negara atau kota. Nah, pada Sabtu, 15 September 2007 yang lalu, saya tiba-tiba hanya dalam sehari berada di Kota Surabaya. Pagi hari tiba di Kota Buaya itu dan sore harinya balik lagi ke Bandung. Perjalanan yang sangat pendek bagi saya: karena di Surabaya sejatinya saya memiliki banyak saudara dan sahabat. Sehingga hari itu saya tidak sempat bersilaturahmi ke banyak tempat.

Sore hari itu, ketika dalam perjalanan menuju Bandara Juanda, yang kini tampil cantik dan berkilau, untuk balik ke Jakarta dan kemudian menuju Bandung, dengan diantar sebuah keluarga muda yang perwira marinir, dan ketika melewati sebuah rumah sakit islam di Wonokromo, entah kenapa tiba-tiba saya teringat seorang senior saya ketika saya masih menjadi mahasiswa di Kairo pada tahun-tahun 1980-an. Senior saya tersebut, seorang pemegang gelar PhD di bidang tasawuf dari Universitas Al-Azhar, Mesir, adalah putra seorang kiai besar dan menantu seorang kiai besar yang rumahnya di belakang rumah sakit tersebut. Selain itu, ia juga terkenal sebagai seorang sastrawan yang salah satu karyanya berjudul Arafah. Ketika masih menjadi mahasiswa di Kairo, saya sering mampir ke flat senior saya tersebut yang terletak di Distrik Garden City, tidak jauh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo yang terletak di Aisha Taimouriyya St.

Tentang senior saya yang berwajah menyejukkan hati dan berakhlak indah ini, ada suatu hal yang sangat menyentuh hati saya: yaitu hubungan dirinya dengan ayahandanya yang seorang kiai terkemuka asal Pulau Madura. Kala itu, perjalanan panjang kehidupan telah dilintasi sang ayahanda: dari hanya sebagai seorang kiai di Pulau Madura hingga menjadi seorang direktur jenderal di sebuah departemen. Namun, jabatan tinggi yang akhirnya dijabatnya itu tidak mengubah kekiaiannya. Kesederhanaan, keramahan, kelapangdadaan, dan keteguhan sikap tetap memancar dari pribadinya. Bila Ramadhan tiba, di tengah kesibukannya, ada suatu pertanyaan yang senantiasa mengusik benaknya, “Masihkah hafalan Al-Quran anakku terpelihara baik? Bukankah bila lupa hafalannya, aku yang pertama bertanggungjawab di hadapan Sang Pemilik Kitab itu?”

Ya, karena kecintaannya pada Al-Quran, sejak kecil sang putra ia arahkan untuk menghafalnya. Akhirnya, seluruh ayat-ayat kitab suci itu berhasil dihafal sang putra. Malah, karena merasa bertanggungjawab atas hafalan sang putra, pendidikan sang putra ia alihkan haluannya. Selepas sang putra merampungkan pendidikannya di sekolah menengah umum, sang putra ia perintahkan untuk berangkat ke sebuah negeri yang jauh. Ke mana lagi kalau bukan untuk belajar di sebuah universitas yang menjadikan hafalan Al-Quran sebagai kewajiban. Benar, akhirnya sang putra memasuki universitas yang usianya lebih dari seribu tahun di Negeri Piramid itu.

Ketika sang putra telah berada jauh di negeri orang, dan bila bulan Ramadhan tiba, pertanyaan yang mengusik benaknya itu senantiasa muncul. Malah, ketika sang putra telah menjadi “orang” dan sastrawan di negeri ini, pertanyaan itu tetap mengusik benaknya. Maka bila bulan Ramadhan tiba, beberapa tahun sekali, ia sempatkan untuk mengunjungi sang putra di Kairo itu. Ribuan kilometer ia tempuh walau tubuh telah rapuh. Ia melakukannya hanya dengan satu tujuan utama, yakni untuk mengetahui “hafalan Al-Quran sang putra”. Bukan untuk menikmati pendar Kota Kairo di malam hari. Walau flat sang putra terletak hanya beberapa ratus meter dari pusat keindahan itu. Bukan pula untuk menikmati keindahan gedung-gedung di kitar flat sang putra yang terletak di kawasan elit kota itu: Garden City. Bukan, kewajibannya dan tanggung jawab atas terpeliharanya hafalan Al-Quran putranya melebihi semua itu.

Selama kunjungannya yang singkat di kota yang didirikan Jauhar Al-Shiqilli pada 972 M itu, sebagian besar waktunya ia gunakan untuk menyimak hafalan Al-Quran sang putra. Bila perlu, tegoran ia lontarkan. Sang putra, walau telah menjadi “orang”, dengan patuh memenuhi keinginan sang ayahanda. Setiap kali sang ayahanda mengunjunginya, dengan penuh hormat ia duduk bersimpuh di depan ayahandanya: menghafal Al-Quran dari awal hingga akhir surah Al-Quran. Baginya, betapa nikmat dan indahnya saat-saat yang demikian. Apalagi saat mendapat teguran sang ayahanda. Ia merasa, kedatangan ayahandanya jauh-jauh dari tanah air demi niat yang ikhlas dan tak ternilai: “perasaan tanggung jawab atas kemurnian dan keterpeliharaan Al-Quran”.

Tak terasa kini lebih dari 1400 tahun telah berlalu sejak Al-Quran pertama kali diturunkan. Walau perjalanan panjang telah dilintasi Al-Quran di Bumi ini, namun keasliannya tetap terpelihara dan murni. Lepas dari janji Allah yang akan memelihara kitab-Nya, ada pelbagai faktor yang membuat Al-Quran tetap terpelihara kemurniannya. Salah satu faktor itu adalah peran para penghafal Al-Quran (huffazh). Peran mereka tidak kecil dalam memelihara kemurnian dan keterpeliharaan Al-Quran.

Seperti diketahui, untuk menjadi seorang penghafal Al-Quran tidak mudah dan ringan. Ada pelbagai syarat yang harus dipenuhi. Kesiapan mental dan moral salah satu di antaranya. Selain itu, juga kesabaran dan keajegan dalam menghafal. Yang paling penting adalah tanggung jawab dalam menjaga hafalan. Tampaknya ini ringan, tapi kenyataannya tidak demikian. Rasa tanggung jawab ini pulalah yang mendorong kiai kita menempuh jarak ribuan kilometer walau tubuh telah rapuh.

Kini, bulan Ramadhan, bulan Al-Quran, datang kembali. Namun, kiai kita sudah tidak lagi akan mengecek hafalan Al-Quran sang putra lagi. Ia telah kembali kepada Sang Pemilik Al-Quran. Tapi, barangkali, semangatnya dalam memelihara Al-Quran bisa menjadi teladan. Di bulan suci ini, akankah kita meneliti kembali hafalan Al-Quran kita?

Thursday, September 20, 2007

Mari Kita Bersama Melihat Bagian Dalam Ka'bah!

Seminggu yang lalu, ketika saya sedang menyiapkan materi “Selintas tentang Tempat-Tempat Historis di Seputar Makkah & Madinah” untuk jamaah Khalifah Tour, Bandung, entah kenapa tiba-tiba dalam benak saya muncul dorongan kuat rasa ingin tahu keadaan sebenarnya bagian dalam Ka‘bah, sebuah bangunan berbentuk kubus di tengah-tengah Masjid Al-Haram, Makkah. Seperti diketahui, Ka‘bah ini merupakan kiblat shalat kaum Muslim. Tinggi bangunan itu sendiri, yang kini selalu diselimuti permadani halus yang disebut kiswah, lebih kurang 12,9 meter dan panjang sisi-sisinya: antara Rukun Syami-Rukun Yamani: 11, 93 meter, antara Rukun Yamani-Hajar Aswad: 10, 13 meter, antara Hajar Aswad-Rukun Iraqi: 11, 58 meter, dan antara Rukun Iraqi-Rukun Syami: 10, 22 meter. Di dalam Al-Quran dikemukakan bahwa Ibrahim a.s. lah bersama putranya, Isma‘il a.s., yang membangun Ka‘bah atas perintah Allah. Seusai membangun Ka‘bah, Ibrahim a.s. lantas diperintahkan Allah menyeru ummat manusia untuk menunaikan ibadah haji, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS Al-Hajj [22]: 26).

Di sisi lain, Ka‘bah sebagai bangunan, sepanjang perjalanan sejarahnya, telah mengalami sederet perbaikan dan pemugaran. Ka‘bah dalam bentuknya yang sekarang ini sejatinya merupakan hasil pemugaran pada masa pemerintahan Sultan Murad IV, seorang penguasa Dinasti Usmaniyyah dari Turki (memerintah antara 1033-1050 H/1623-1640 M). Pada 1040 H/1630 M Makkah dilanda banjir besar yang berakibat Masjid Al-Haram terendam dan dinding Ka‘bah ada yang runtuh. Maka, walikota kota suci itu kala itu, Syarif Mas‘ud bin Idris, dengan persetujuan Sultan Murad Khan, kemudian melakukan perbaikan atas Ka‘bah yang rusak itu.

Saya sendiri sejatinya heran, mengapa selama ini saya tidak punya rasa ingin tahu yang demikian. Mungkin, karena saya bukan orang yang pantas memasukinya, maka selama ini rasa ingin tahu itu tak pernah muncul. Rasa ingin tahu yang demikian itu kemudian mendorong saya melakukan perburuan di internet. Alhamdulillah, akhirnya saya mendapatkan foto seperti yang saya tampilkan di sudut kiri atas tulisan saya kali ini.

Marilah sejenak foto itu kita cermati. Ternyata, di bagian dalam Ka‘bah terdapat tiang penyangga utama yang terbuat dari kayu. Setiap tiang memiliki diameter 44 cm, dengan jarak antar tiang 2,35 m. Dari lurus pintu masuk, yang dijaga para pengawal itu, sejatinya terdapat mihrab. Di situlah Nabi Muhammad Saw. pernah melaksanakan shalat di dalam Ka‘bah. Setiap beliau berada di dalam Ka‘bah, menurut sebuah sumber, beliau senantiasa berjalan lurus dengan muka menghadap dinding, hingga pintu Ka‘bah berada di belakang punggung beliau, sampai jarak antara beliau dengan dinding Ka‘bah di depannya sekitar tiga kaki. Lalu, beliau shalat di situ. Namun, hal ini tidak berarti hanya di tempat itu sajalah yang boleh dijadikan tempat shalat. Sebab, bila Anda diizinkan Allah Swt. masuk ke dalam Ka‘bah, Anda boleh shalat di bagian manapun di dalam Ka‘bah kok!

Selain itu, di sebelah kanan dalam Ka‘bah terdapat tangga menuju atap. Tangga tersebut mempunyai pintu. Nah, pintu itulah yang disebut “Pintu Tobat” (Bab Al-Taubah). Pintu Tobat dan Pintu Ka‘bah yang ada dewasa ini dilapisi emas murni. Struktur kerangka kedua pintu tersebut dibuat dari kayu setebal 10 cm, lalu dihiasi dengan ornamen-ornamen dari emas murni. Konon, emas yang dipakai melapisi kedua pintu itu lebih dari 280 kg. Ohoi, berat nian kedua pintu berlapis emas itu!

Semula, Ka‘bah yang dibangun Ibrahim a.s. tidak beratap. Atap baru dibuat ketika kaum Quraisy memugarnya. Dewasa ini, Ka‘bah memiliki dua atap: atap bawah dan atap atas. Permukaan atap atas dilapisi marmer putih dan dikelilingi pagar tembok, yang menyatu dengan dinding Ka‘bah, setinggi sekitar 80 cm. Di pagar tersebut terdapat kayu-kayu untuk mengikatkan tali kiswah. Di permukaan atap atas itu juga terdapat pintu yang tutupnya terbuat dari baja. Lewat pintu itulah para petugas naik ke atap atas ketika menyuci dan membersihkan Ka‘bah serta mengganti kiswah.

Dan, ketika sedang asyik mencermati bagian dalam bangnunan Ka‘bah itu, entah kenapa tiba-tiba ingatan saya melayang-layang ke sebuah buku yang disusun seorang pemikir Iran, Dr. Ali Shariati, berjudul Hajj. Tentang bangunan Ka‘bah ini, ia menulis sangat indah, “Ketika menyaksikan Ka‘bah, Anda pasti tercenung dan termangu. Tiada sesuatu pun untuk dilihat! Yang ada hanyalah sebuah ruang persegi yang kosong. Itukah semuanya? Itukah pusat agama, shalat, cinta, hidup, dan kematian kita?

Di dalam benak Anda mungkin timbul pertanyaan dan keraguan. Di manakah aku? Apakah ini? Yang Anda saksikan adalah antitesa dari imajinasi Anda tentang Ka‘bah sebelumnya. Mungkin, sekali Anda pernah membayangkannya sebagai karya arsitektur nan indah (laksana sebuah istana) dengan langit-langit yang menyelimuti keheningan ruhaniah. Mungkin pula Anda pernah membayangkannya sebagai sebuah mausoleum (makam) yang tinggi menjulang di mana terkubur seorang tokoh manusia penting-seorang pahlawan, genius, imam, atau nabi! Tidak! Yang Anda saksikan hanyalah sebuah ruangan persegi yang kosong. Di dalam Ka‘bah tidak terdapat keahlian arsitektural, keindahan, seni, prasasti, ataupun kualitas yang dapat kita saksikan. Selain itu, di dalam bangunan itu pun ternyata tidak terdapat kuburan. Tidak ada sesuatu pun, dan tiada pula seorang manusia kepada siapa kita dapat mencurahkan perhatian, perasaan, dan kenangan.

Anda akan menyadari, di dalam Ka‘bah tiada sesuatu pun atau manusia pun yang akan mengganggu perasaan dan pikiran kita mengenai Allah. Langit-langit Ka‘bah yang ingin Anda tembus untuk dapat berhubungan dengan yang “mutlak” dan “abadi” merupakan atap bagi perasaan Anda. Dalam dunia Anda yang sarat dengan fragmentasi dan relativitas ada hal-hal yang tidak dapat Anda capai. Sebelumnya, Anda hanya dapat membuat rekaan filosofis. Tapi, kini, ke mana pun Anda berpaling, Anda dapat menyaksikan “yang mutlak”, yang tidak memiliki arah: Allah!

Betapa indahnya Ka‘bah yang kosong ini! Kekosongan ini mengingatkan Anda bahwa kehadiran Anda di sini adalah untuk menunaikan ibadah haji yang sama sekali bukan tujuan terakhir. Selanjutnya, kekosongan ini adalah sebagai penunjuk arah. Ka‘bah hanyalah sebagai tonggak penunjuk jalan!”

Friday, September 14, 2007

Bulan Penyadaran

Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat menelpon saya. Dengan suara masih agak bergetar, ia menceritakan bahwa ia baru saja mengalami musibah: ketika ia dan sopirnya yang sedang mengantri di pintu gerbang tol, tiba-tiba sebuah mobil yang melaju kencang remnya blong dan menghajar beberapa mobil di depannya. Mobil sahabat saya tersebut termasuk dalam rangkaian mobil-mobil tersebut. Akibatnya, bagian belakang dan depan mobilnya rusak berat. Namun, alhamdulillah, sahabat saya dan sopirnya selamat. Tidak lama selepas kejadian itu, ia menelpon saya dan mengemukakan bahwa malam kejadian itu ia akan mengadakan tasyakkuran atas keterhindaran dia dan sopir dari musibah. Ia juga bertanya, bolehkah ia melakukan tasyakurran atas keterhindaran dia dari musibah tersebut. Saya pun sepakat dengan tindakannya. Dan, di sisi lain, musibah itu sendiri tiba-tiba mengingatkan saya sebuah kejadian berikut.

Pada suatu hari, di bulan Desember, sebuah pesawat terbang Royal Air Maroc tinggal landas dari Jeddah International Airport. Dengan cepat dan gagahnya pesawat Boeing 727 itu menguak relung langit biru. Sementara bila memandang Bumi, tampak tergelar pemandangan Laut Merah yang kemerah-merahan membentang di antara dan membelah benua Asia-Afrika. Di sebelah barat Laut Merah itu tampak pelabuhan laut Yanbu‘, dan kadang muncul kilang-kilang minyak. Tampak pula jalur jalan-jalan panjang merobek padang pasir yang lengang. Sedang di sebelah timur Laut Merah itu berhamparan gurun sahara. Sejauh memandang hanya padang pasir belaka. Di dalam pesawat yang sedang menuju Kota Kairo itu para penumpang kelihatan senang dan cerita menikmati perjalanan. Apalagi, pelayanan para pramugara dan pramugi Royal Air Maroc cukup memuaskan.

Selepas beberapa lama mengangkasa, pesawat terbang dari Maroko itu telah berada di angkasa. Pemandangan yang tampak kini hanyalah langit biru, awan, dan Bumi di kejauhan. Kadang, pemandangan pekat belaka yang kelihatan, bila pesawat sedang awan tebal. Ketika pesawat itu telah melintasi memasuki wilayah Mesir dan mendekati Kota Kairo, tiba-tiba pengumuman fasten seat belt (pasang sabuk pengaman di tempat duduk) menyala. Pramugara dan pramugari pun sigap membantu para penumpang memasang sabuk pengaman.

Tiba-tiba telinga terasa tuli, perut mual sekali, dan kepala berkunang-kunang. Para penumpang yang sebelumnya tampak gembira, kini menampakkan wajah yang berbeda. Ada yang berdoa, ada yang yang terpaku diam, dan ada yang berwajah pucat pasi. Terasa sekali ketika itu Tuhan hadir di dalam pesawat terbang. Saat itu pesawat terbang terasa meluncur cepat sekali. Mungkin, pesawat itu terjerembab dalam ruang hampa udara. Belum lagi selesai meluncur, tiba-tiba pesawat terhempas keras sekali. Cuaca mendekati Kota Kairo benar-benar tak bersahabat. Musim dingin dengan badai sedang menghantui.

Hampir setengah jam lamanya pesawat terbang tersebut bermain akrobat. Bagaikan sabut di lautan diguncang prahara. Sebentar terhempas ke sana, sebentar terbanting ke sini. Pemandangan menarik Kota Kairo, dengan piramid-piramid dan sphinx menghiasi salah satu sudutnya serta Bukit Muqaththam dengan perbentengan yang didirikan Shalahuddin Al-Ayyubi di sudut lain, menjadi tidak menarik lagi. Yang membersit dalam benak dan kalbu hanyalah doa kiranya Allah Swt. melindungi.

Akhirnya, pesawat itu berhasil menguak mendung tebal dan mendapat lampu hijau untuk mendarat di Cairo International Airport. Begitu pesawat menjejakkan roda-rodanya di landasan dan kemudian berhenti, para penumpang pun berpelukan gembira. Ketika telah berada di dalam gedung bandara, tampak wajah mereka berseri kembali. Kejadian di angkasa yang belum lama mereka alami tinggal kenangan belaka.

Tak terasa bulan Ramadhan kini tiba kembali. Inilah bulan penuh berkah, bulan penempaan dan bulan penyadaran diri. Penempaan dan penyadaran tentang siapa kita dan untuk apa kita hidup. Bila direnungkan, bukankah betapa sering dalam hidup ini kita acap menghadapi keadaan seperti kejadian yang dialami sahabat saya dan kejadian dalam pesawat terbang tersebut. Tiba-tiba di hadapan kita muncul keadaan yang pada saat itu batas kehidupan kita di dunia tinggal selapis tipis sekali. Dalam keadaan itu, biasanya baru muncul kesadaran diri. Dan, biasanya pula, bila keadaan gawat itu berlalu, dengan segera kesadaran diri itu pun ikut tersapu.

Memang, itu manusiawi. Dengan kata lain, keadaan seperti itu acap menimpa banyak di antara kita. Karena itu, dalam Islam, proses penyadaran itu selalu ditumbuhkan lewat pengulangan ibadah. Setiap hari penyadaran itu ditumbuhkan lewat shalat lima waktu. Setiap minggu dibangkitkan melalui shalat jumat. Dan setiap tahun digelorakan lewat puasa, seperti yang sedang kita jalani.

Kini bulan Ramadhan menemui kita kembali. Kiranya hikmahnya membekas kuat pada diri kita.

Thursday, September 6, 2007

Pertobatan Abu Nuwas

Ilâhî lastu li-l-Firdausi ahlâ
Wa lâ aqwâ ‘ala nâri-l-jahîmi
Fahab lî taubatan waghfir dzunûbî
Fa innaka ghâfiru-l-dzanbi-l-‘azhîmi

Tuhanku, surga Firdaus memang tak layak bagiku
Tapi, api neraka Jahim pun tak tertanggungkan olehku
Karena itu, ampunilah aku dan dosa-dosaku
Sungguh, Engkaulah Mahapengampun dosa besarku

Merupakan kebiasaan saya, hampir setiap hari dan selepas shalat subuh, saya sudah berada di depan laptop yang ada di ruang kerja saya. Ritual yang demikian itu sudah berlangsung lama. Di kamar tidur utama, biasanya selepas shalat subuh, istri saya suka mendengarkan lagu-lagu nasyid. Entah kenapa, kemarin pagi, di antara lagu-lagu nasyid yang didendangkan seorang penyanyi adalah syair tersebut di atas. Mendengar bait-bait syair tersebut, segera bayang-bayang sosok Abu Nuwas pun “hinggap” di benak saya. Seperti diketahui, syair di atas adalah gubahan Abu Nuwas. Syair yang telah saya hapal sejak kecil (ketika masih di Cepu, Jawa Tengah. Setiap selepas shalat Jumat, syair tersebut senantiasa didendangkan para jamaah Masjid Jami’ Cepu) itu memang merupakan “doa dan tobat nasuha” penyair, sastrawan,dan komedian terkemuka Irak yang oleh sebagian penulis dikategorikan sebagai seorang gay yang penyair ugal-ugalan yang akhirnya bertobat. Siapakah sejatinya Abu Nuwas ini?

Penyair terkenal pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid dan Al-Amin, penguasa ke-5 dan ke-6 Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak, ini bernama lengkap Abu Nuwas Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Tokoh yang dalam berbagai karya acap dituturkan sebagai komedian ini lahir di Ahwaz, Khuzistan sekitar 130-145 H/747-762 M. Ayahnya adalah seorang serdadu Marwan bin Muhammad, penguasa terakhir Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah dan wafat ketika ia masih kecil. Tak aneh bila ibunya, Gullaban (= Gulban yang berarti “Bunga Mawar”), seorang perempuan berdarah Persia yang bekerja sebagai pencuci bulu domba, yang kemudian lebih berperan dalam mengarahkan Abu Nuwas kala ia masih kecil. Mereka kemudian menetap di Bashrah, Irak.

Selama di kota yang pertama kali dibangun kaum Muslim itu, selain belajar, Anu Nuwas juga bekerja pada sebuah toko parfum. Dari Bashrah ia lalu melangkahkan kakinya ke Kufah. Di sana, ia menimba ilmu kepada Walibah bin Al-Habab Al-Asadi, seorang penyair yang terkenal berperilaku buruk. Lantas, setelah kembali ke Bashrah untuk menimba ilmu kepada Khalaf Al-Ahmar, ia hidup di lingkungan kaum Badui, untuk menghaluskan bahasanya. Kala itu namanya mulai berkibar.

Selanjutnya Abu Nuwas menapakkan kaki menuju Baghdad Darussalam, untuk menimba kembali ilmu pengetahuan. Di kota “Seribu Satu Malam” itu lah penyair yang puisi-puisinya merupakan pemberontakan terhadap puisi-puisi yang berkembang kala itu mulai berhubungan dengan para penguasa Dinasti ‘Abbasiyyah. Khususnya dengan Khalifah al-Amin, dan keluarga para pejabat tinggi, terutama keluarga Al-Baramikah, sehingga ia mendapat sebutan “Penyair Istana” (Sya‘ir Al-Balath). Kemudian kala terjadi Tragedi Keluarga Al-Baramikah pada 187 H/807 M, ia mengungsi ke Mesir. Namun, kemudian ia kembali lagi ke Baghdad dan meniti kehidupan yang lebih menjauhi pesona duniawi. Karya-karya puisi penyair yang meninggal dunia di Baghdad pada 200 H/815 M ini, untuk ukuran pada masanya, merupakan perpaduan antara puisi tradisional dan modern. Karya-karyanya, antara lain, adalah Khumrayyat dan Diwan Abi Nuwas.

Pertobatan seperti yang didendangkan Abu Nuwas tersebut di atas segera mendorong saya untuk kembali merenungkan makna tobat. Tobat, seperti diketahui, sejatinya adalah sikap memohon ampun dan maaf atas kesalahan dan kekhilafan yang dilakukan seorang hamba kepada Allah, dengan tekad tidak mengulangi lagi kesalahan dan kekhilafan tersebut. Dalam sejumlah hadis Nabi Muhammad Saw. dapat ditemukan beberapa pertanda orang yang bertobat. Intinya, antara lain, perhatian orang tersebut tercurah kepada diri sendiri untuk mengingat seberapa jauh ia telah menyimpang dari kebenaran, seberapa banyak amanah yang tidak ia tunaikan, dan seberapa besar kesalahan yang telah ia lakukan. Di samping itu waktunya habis untuk memikirkan bagaimana memperbaiki kekurangan dirinya, bagaimana menutupi keburukannya dengan amal-amal saleh, bagaimana ia memohon kepada Allah Swt., agar melapangkan dadanya sehingga ia dapat menerima kebenaran.

Pintu tobat Allah sendiri beraneka ragam. Salah satu di antaranya adalah melaksanakan ibadah haji dengan memahami simbol-simbolnya serta konsisten dalam memelihara penghayatan itu. Beristighfar dengan tulus juga merupakan salah satu cara. Demikian juga meneladani Nabi Muhammad Saw. dan mencintainya, atau membuka lembaran baru dan memaafkan orang lain, melakukan amal saleh setelah melakukan dosa juga demikian juga dapat menghapus dosa, karena Nabi Muhammad Saw. berpesan, “Susullah keburukan dengan kebajikan. Niscaya kebajikan itu menghapus keburukan tersebut.”

Dalam Islam, Yang Mengampuni dosa hanyalah Allah semata. Tidak ada yang berwenang dalam hal itu kecuali Dia. Nabi Muhammad Saw. pun tidak. Malah, beliau pernah ditegur Allah, hanya karena komentar beliau pada Perang Uhud, “Bagaimana mungkin suatu kaum dapat memperoleh keberuntungan, padahal mereka telah menjadikan wajah nabi mereka berlumuran darah?” Allah menegur beliau dengan firman-Nya, “Tidak sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka; Allah menerima taubat mereka atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang zalim .” (QS Ali ‘Imran [3]: 128).

Kiranya Allah Swt. menerima tobat Abu Nuwas yang lewat syairnya di atas telah membuat banyak orang menyadari kesalahan diri mereka dan kemudian bertobat. Juga, menerima pertobatan kita. Dan, selamat menunaikan ibadah puasa, kiranya kita dapat melaksanakan ibadah tersebut sepenuh hati dan seikhlas mungkin. Juga, mohon maaf lahir dan batin.

Tuesday, September 4, 2007

Andai Hajar Aswad Pergi Lagi?!

Pelbagai kesibukan di bulan Agustus tahun ini membuat saya tidak sempat menyiapkan banyak tulisan di blog ini. Kesibukan untuk menyelesaikan sebuah buku dan menyiapkan materi manasik ibadah haji membuat saya tidak sempat meluangkan waktu untuk “hadir bersama Anda” di blog ini. Sejatinya, banyak hal menarik yang cukup menjadi bahan untuk diolah dan disajikan.

Sabtu yang lalu, tepatnya pada 1 September 2007, selepas memberikan uraian tentang “Sejarah dan Filosofi Ibadah Haji” di Bogor, dan ketika sedang melepas lelah di Wisma Puspitek, Serpong, karena keesokan harinya akan meneruskan perjalanan ke Serang, entah kenapa tiba-tiba pikiran saya melayang-layang menuju Makkah. Benak saya pun segera menghadirkan “film” ketika saya selepas tawaf dan melaksanakan shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim di bulan Juli 2007 yang lalu. Selepas itu, saat itu menjelang waktu shalat isya, saya mendapat tempat dua baris di belakang Imam shalat yang berada di samping kiri Maqam Ibrahim. Tak lama kemudian, waktu shalat isya pun tiba.

Begitu sang Imam memimpin shalat, orang-orang yang sedang tawaf pun segera menghentikan langkah-langkah mereka dan bergabung dengan jamaah yang sedang shalat. Dan, begitu sang Imam mengucapkan salam, tiba-tiba sejumlah orang yang berada tidak jauh dari Hajar Aswad pun meloncat dan “menerkam” batu itu bersamaan dan berebutan. Melihat “pemandangan tak sedap” tersebut, saya pun hanya dapat menekurkan kepala. Tampaknya saudara-saudara saya seiman itu “terlalu” berlebihan dalam usaha mereka untuk mencium batu hitam itu. Mungkin mereka tidak tahu, batu hitam berbentuk bulat telur yang menghiasi salah satu sudut Ka‘bah dan bergaristengah sekitar 18 sentimeter itu pernah “pergi” dari tempatnya tersebut selama selama 22 tahun ke Bahrain. Saya tidak dapat membayangkan, apa yang bakal dilakukan saudara-saudara saya seiman itu andai Hajar Aswad pergi lagi dari tempatnya kini.

Seperti diketahui, Hajar Aswad merupakan batu yang menjadi penanda permulaan awal tawaf dan putaran-putaran tawaf berikutnya. Ada yang mengatakan, asal batu ini dari Gunung Abu Qubais. Ada pula yang mengatakan, batu ini adalah sisa meteor yang jatuh ke bumi. Sementara catatan sejarah Islam mengemukakan, batu ini telah menghiasi Ka‘bah ketika Nabi Muhammad Saw. belum diangkat sebagai Rasulullah. Malah, ketika Ka‘bah dipugar, beliaulah yang meletakkan batu ini ke tempatnya. Batu ini mulai dilapisi perak, agar tidak pecah, sejak 140 H/757 M, atas perintah Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyah di Irak.

Seperti saya kemukakan di atas, batu yang satu ini pernah “berjalan-jalan” selama sekitar 22 tahun ke Bahrain, karena dibawa lari oleh Abu Thahir Sulaiman, pemimpin Gerakan Qaramithah. Peristiwa tersebut terjadi pada 317 H/929 M. Peristiwa tersebut memicu kemarahan umat Islam di berbagai penjuru Dunia Islam kala itu. Melihat reaksi umat Islam yang demikian itu, Al-Qa’im, penguasa ke-2 Dinasti Fathimiyyah di Afrika Utara kala itu yang memiliki hubungan dengan gerakan tersebut, meminta Abu Thahir untuk mengembalikan Hajar Aswad ke tempatnya semula. Namun, permintaan Al-Qa’im ditolak mentah-mentah oleh pemimpin Gerakan Qaramithah tersebut.

Gerakan Qaramithah ini, menurut catatan sejarah Islam, adalah suatu gerakan yang berakar pada ide-ide mesianis radikal dan didirikan seorang tokoh sekte Isma‘iliyyah wilayah Kufah: Hamdan bin Al-Asy‘ats, yang digelari Qarmath, di luar kota Wasith setelah berakhirnya pemberontakan Zanj pada 264 H/877 M. Gerakan ini bertujuan membangun suatu masyarakat yang mengarah pada kebersamaan dan keadilan yang didasarkan pada persamaan. Sedang tujuan politiknya untuk menopang Dinasti Fathimiyyah yang didirikan ‘Ubaidullah bin Al-Hasan Al-Mahdi.

Untuk merealisasikan cita-cita kemasyaratan yang mereka cita-citakan, mereka mendirikan satu pemukiman yang diberi nama Dar Al-Hijrah. Dalam pemukiman ini, semua anggota masyarakat harus mendahulukan kepentingan umum. Tidak boleh ada perbedaan, baik dalam hal bertempat tinggal maupun dalam hal makan. Karena itu, rumah dan makanan disediakan bersama. Dana untuk mengorganisasikan masyarakat yang seperti itu dipungut dari kewajiban membayar zakat fitrah, seperlima dari seluruh penghasilan (khums), sumbangan wajib (infaq) untuk membangun tempat kediaman dan sumbangan wajib untuk makan bersama.

Karena asas gerakan yang berdasarkan kebersamaan dan keadilan dalam persamaan inilah, maka para pengikut gerakan ini banyak terdiri dari kalangan petani dan pengrajin Nabatiyyah. Pada masa puncak kejayaannya, gerakan ini mampu mendirikan sebuah negara di Al-Hasa’, Bahrain, di bawah pimpinan Abu Sa‘id Al-Hasan bin Bahram Al-Jannabi, yang bebas dari kekuasaan Dinasti ‘Abbasiyyah di Baghdad. Sedang di Khurasan, Suriah, dan Yaman mereka mempunyai pengaruh yang memusingkan pemerintahan dinasti tersebut.

Yang lebih berat lagi adalah peristiwa dilarikannya Hajar Aswad seperti dikemukakan di atas. Peristiwa ini sendiri terjadi ketika kekuasaan politik Dinasti ‘Abbasiyyah di bawah pimpinan Al-Mu‘tadhid mengalami kemunduran. Maka, Gerakan Qaramithah di bawah pimpinan Abu Thahir Sulaiman pun menyerang wakil pemerintah Dinasti ‘Abbasiyyah yang berkedudukan di Makkah, membunuh tidak kurang dari 30.000 jamaah haji dan warga setempat, merampas harta benda mereka, dan melarikan Hajar Aswad dari Ka‘bah dan membawanya ke Hajar, Bahrain, pusat kekuasaan mereka. Gerakan ini sendiri masih bertahan hingga tahun 422 H/1030 M, meski sudah tidak lagi memiliki kekuasaan militer dan politik. Malah, secara lokal mereka masih ada sampai abad ke-12 H atau ke-18 M yang kemudian menjelma dalam tubuh kelompok Makramiyyah yang berpusat di Hajar yang diberi nama baru dengan kelompok Mu‘miniyyah, terletak di Hufuf, Arab Saudi.

Hajar Aswad baru berhasil dikembalikan ke tempatnya semula pada 339 H/951 M, setelah penguasa ke-3 Dinasti Fathimiyyah, Al-Manshur, meminta kepada pengganti Abu Thahir Sulaiman, yaitu Ahmad bin Abu Sa‘id Al-Qarmathi, untuk mengembalikan Hajar Aswad ke Ka‘bah. Permintaan tersebut dipenuhi pemimpin ke-5 Gerakan Qaramitah tersebut. Sejak itu, Hajar Aswad tetap berada di tetap berada di tempatnya hingga dewasa ini.

Tentu, kita tidak mengharapkan Hajar Aswad pergi lagi dari tempatnya kini. Namun, tidak semestinya kita saling berebutan ketika akan menciumnya. Apalagi sampai mengomersialkannya, seperti halnya kini dilakukan oleh beberapa saudara saya seiman yang sengaja menjadi calo bagi kaum Muslim yang ingin mencium batu itu!

Monday, September 3, 2007

Syeikh Nawawi Al-Bantani: Kiainya Para Kiai Terkemuka Indonesia

Serang, Banten, Ahad 2 September 2007. Selepas menginap semalam di Wisma Puspitek, Serpong, saya dan istri bersama tiga saudara ipar, pada siang hari itu meluncur ke Desa Ciluang, Serang. Tujuan kami adalah untuk bersilaturahmi dengan Mas Gola Gong yang telah mendirikan Pustakaloka “Rumah Dunia” bersama beberapa temannya: Tias Tatanka, Rys Revolta (alm.), dan Toto ST Radik (lihat websitenya: www.rumahdunia.net). Ketika menjelang berpamitan, Mas Gong bercerita, salah satu ruang di pustakaloka tersebut sedang disiapkan sebagai ruang khusus yang berkaitan dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani: seorang ulama besar yang bertaraf internasional asal Serang, Banten. Mendengar cerita Mas Gong tersebut, segera dalam benak muncul ide untuk mencari tahu lebih jauh tentang ulama yang namanya tinggi menjulang di kawasan Timur Tengah ini.

Ulama terkemuka asal Indonesia yang satu ini ternyata lahir di Tanara, sekitar 25 kilometer arah utara Kota Serang, Banten, pada 1230 H/1815 M. Ayahandanya, ‘Umar bin ‘Arabi, adalah seorang penghulu di tempat kelahirannya. Sedangkan ibundanya bernama Zubaidah. Jika dirunut, nenek moyang ulama tersebut akan sampai kepada Syarif Hidayatullah Cirebon dan Maulana Hasanuddin dari Banten. Seperti kebiasaan keluarga santri ketika itu, mula-mula ia belajar pengetahuan dasar mengenai Islam di bawah bimbingan ayahandanya sendiri. Setelah dirasa cukup, kemudian ia berguru kepada Kiai Sahal, Banten. Perjalanannya menapaki dunia ilmu pengetahuan ini mengantarkannya ke Purwakarta, Jawa Barat. Di kota ini ia belajar kepada seorang ulama terkenal ketika itu, Kiai Yusuf.

Dalam usia 15 tahun, Nawawi muda berangkat ke Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan menetap di sana selama tiga tahun. Selama itu ia belajar di Makkah kepada sejumlah guru. Antara lain Syeikh Ahmad Nahrawi, Syeikh Ahmad Dimyathi, dan Syeikh Ahmad bin Zaini Dakhlan Al-Makki. Guru terakhir tersebut, menurut saya, sangat besar pengaruhnya atas diri Nawawi. Mengapa demikian?

Seperti diketahui, Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan Al-Makki adalah seorang ulama terkemuka Arab Saudi kala itu. Ulama yang satu ini lahir di Makkah pada 1232 H/1816 M. Seusai menimba ilmu di kota kelahirannya, ia lantas menjadi mufti Mazhab Syafi‘i, merangkap menjadi Syaikh Al-Haram, “pangkat” ulama tertinggi yang mengajar di Masjid Al-Haram yang diangkat oleh Syaikh Al-Islam yang berkedudukan di Istanbul, Turki. Dalam kedudukan seperti itu, dia bertugas memberi legitimasi keagamaan terhadap keputusan-keputusan yang khususnya berkenaan dengan perdagangan budak, pengharaman beberapa bentuk kegiatan, membatalkan bid‘ah dan kebiasaan-kebiasaan buruk, dan mengeluarkan fatwa-fatwa berkenaan dengan perkembangan-perkembangan baru.

Tidak hanya itu. Ulama besar tersebut juga menaruh perhatian besar terhadap dunia tulis menulis. Sehingga lewat perhatiannya tersebut, terbit sejumlah karya tulis dalam berbagai bidang ilmu keagamaan Islam, teologi, sejarah, fikih, hadis, bahasa Arab, tafsir, sirah Nabi, dan sebagainya. Antara lain Khulâshah Al-Kalâm fi Umarâ’ Al-Balad Al-Haram, tentang sejarah Hijaz terutama pada abad ke-12 H/18 M dan 13/19 M, Al-Sîrah Al-Nabawiyyah, tentang biografi Nabi Muhammad Saw., Al-Futuhât Al-Islâmiyyah, Al-Fath Al-Mubîn fi Fadhâ’il Al-Khulafâ’ Al-Râsyidîn wa Ahl Al-Bait Al-Thâhirîn, dan sebagainya.

Ketika kondisi Makkah kala itu, sekitar 1299 H/1881 M, kurang aman, ulama yang sebagian besar karya-karyanya diterbitkan di Kairo, Mesir ini lalu pindah Madinah. Dan, ia menetap di Kota Nabi itu sampai ia berpulang ke hadirat Allah setahun kemudian.

Menimba ilmu kepada seorang ulama besar tentu merupakan suatu kesempatan yang senantiasa diharapkan bagi para penuntut ilmu di Kota Kota Suci kala itu, termasuk Nawawi muda tentunya, walau sang guru lebih muda setahun ketimbang dirinya. Apalagi tradisi “ijazah” (menimba ilmu dengan bertatap langsung dengan seorang guru yang berhak memberikan pengukuhan atas kemampuan ilmiah si murid) kala itu masih berkembang luas di kawasan Timur Tengah. Dan, seperti diketahui, subyek pengajaran yang berlangsung di halaqah-halaqah ilmiah di Masjid Al-Haram kala itu umumnya berkenaan dengan ilmu-ilmu keagamaan Islam dan bahasa Arab. Para penuntut ilmu di halaqah-halaqah Masjid Al-Haram tersebut tidak hanya terbatas pada warga Hijaz. Tapi, banyak di antaranya adalah mereka yang datang dari pelbagai penjuru Dunia Islam.

Selepas menimba ilmu kepada Syeikh Ahmad bin Zaini Dakhlan Al-Makki, Al-Nawawi kemudian menapakkan kakinya ke Kota Nabi, Madinah. Di kota terakhir ini ia menimba ilmu Syaikh Muhammad Khathib Al-Hambali. Lalu, karena belum merasa puas dengan menimba ilmu di kedua kota itu, ia pun berangkat ke Mesir dan Suriah untuk memperdalam ilmu kedua negara itu.

Selepas tiga tahun berkelana untuk menimba ilmu, Nawawi lantas kembali ke tanah air. Namun, hasratnya yang besar untuk belajar mendorongnya balik ke Tanah Suci. Di Tanah Suci ia mengembangkan ilmunya dengan menelaah dan mengajar sampai menghadap Sang Pencipta pada 1315 H/1897 M dan dimakamkan di Makam Ma‘la, berdekatan dengan makam Asma’ binti Abu Bakar Al-Shiddiq dan Ibn Hajar Al-Haitami, seorang ahli hukum Islam terkemuka asal Mesir yang menganut Mazhab Syafi‘i. Tentang kegiatannya selama di Tanah Suci, C. Snouck Hurgronye yang sempat bertemu dengannya, mencatat dalam karyanya Mekka in the latter part of the Nineteenth Century:

Selama 30 tahun ia terus menerus giat menimba ilmu pengetahuan Islam di Makkah, di samping membantu kelancaran belajar orang-orang Jawa di sana. Pertama-tama ia belajar di bawah bimbingan sejumlah ulama generasi yang lalu, seperti Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, dan lain-lain. Tetapi, gurunya yang sebenarnya adalah orang-orang Mesir: Yusuf Sumbulaweni, Nahrawi, dan Abdulhamid Daghistani, yang meninggal beberapa tahun yang lalu. Ia belajar di bawah bimbingan Daghistani bersama sejumlah ulama lain, sampai menjelang wafatnya Daghistani.

Dulu, setiap waktu luang, ia mengajar. Tetapi 15 tahun terakhir, profesinya sebagai pengarang tidak memberinya banyak waktu untuk mengajar. Setiap hari, antara pukul setengah delapan pagi sampai sekitar pukul dua belas siang, ia memberikan tiga kali pengajian...“

Sebagai pengarang, ternyata Syaikh Nawawi Al-Bantani cukup produktif seperti halnya Syeikh Ahmad bin Zaini Dakhlan Al-Makki. Karya-karyanya meliputi berbagai aspek pengetahuan agama Islam. Sebagian besar karyanya merupakan uraian lebih mendalam atas karya-karya para ulama sebelumnya. Memang, demikianlah corak karya tulis para ulama masa itu. Karya mereka lebih banyak berbentuk ulasan terhadap suatu karya ulama sebelum mereka, ketimbang karya sendiri yang berupaya menguak persoalan baru. Di antara karyanya adalah Tafsir Marah Labîb (1298 H/1880 M), Fath Al-Mujîb (1299 H/1881 M), dan Lubâb Al-Bayân (1302 H/1884 M). Produktifitasnya sebagai mengarang membuat Syekh Nawawi Al-Bantani menjadi terkenal. Ketenarannya tidak hanya sebatas kalangan kaum Muslim “Jawa” saja. Tapi, meluas di Dunia Arab. Khususnya negara-negara yang kebanyakan penduduknya menganut Mazhab Syafi‘i. Untuk ukuran masa itu, pencapaiannya cukup luar biasa. Tidak aneh bila ia mendapat gelar “Sayyid Ulamâ’ Al-Hijâz”, yang berarti “Tokoh Ulama Hijaz”.

Anda memiliki tulisan, karya tulis, dan khazanah ilmiah lainnya yang berkaitan dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani, seorang ulama yang telah mengharumkan nama Indonesia di kawasan Timur Tengah ini? Bila ya, kiranya Anda berkenan mengirimkan fotokopinya ke “Rumah Dunia” tersebut. Tentu, Mas Gong dan teman-teman akan lebih senang dan berterimakasih jika yang Anda serahkan merupakan karya-karya asli, bukan fotokopi. Jazâkumullâh Ahsanal Jazâ’!