Saturday, March 28, 2009

Buah Cinta Zulaikha

Kecewakah Yusuf a.s. begitu menerima penolakan tawarannya untuk menikah oleh Zulaikha? Ternyata, menurut Al-Ghazali dalam karyanya Ihya’ ‘Ulum Ad-Din (vol. 13), Yusuf a.s. tidak kecewa. Putra Nabi Ya’qub a.s. itu malah  kian gembira mendengar jawaban Zulaikha (tentu sosoknya tidak seperti yang dilukis Rembrandt seperti ditampilkan dalam gambar di samping: Zulaikha sedang dimarahi Potiphar selepas skandal cintanya terhadap Yusuf a.s. terbongkar) yang indah tersebut. Juga, dia tak patah arang. Malah, dengan pelbagai pendekatan yang meyakinkan, akhirnya Yusuf a.s. berhasil menyunting Zulaikha dan menempatkannya di istananya sebagai istri yang terhormat. 

Pendar keelokan fisik Zulaikha (dalam Torat disebut Zelikah) pun segera pulih. Malah, kini, pendar keelokannya kian bercahaya dan berkilau. Baik lahir maupun batinnya. Dan, berbeda dengan ketika masih menjadi istri Potiphar, Zulaikha kini berubah sepenuhnya menjadi seorang perempuan bangsawan yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Swt. Setiap saat, ia tak pernah melewatkan waktunya untuk kian mendekatkan diri kepada-Nya. 

Nah, menurut Al-Ghazali dalam karyanya tersebut, suatu siang hari, Yusuf a.s. yang lagi menikmati rehat, pulang ke istananya. Sebagai seorang suami, siang itu ia berhasrat sekali bercengkerama dengan istri tercintanya nan elok itu. Tapi, Zulaikha dengan halus menolak permintaan suaminya yang sangat tampan itu. Dia meminta, agar Yusuf a.s. menunda hasrat dan keinginannya yang menggebu itu hingga malam hari tiba. Yusuf a.s. pun, dengan agak kecewa, menerima penolakan itu. Kemudian, di malam harinya, ketika Yusuf a.s. memanggilnya, Zulaikha sekali lagi meminta agar hasrat Yusuf a.s. itu ditunda hingga siang hari tiba seraya berucap, “Wahai Yusuf, suamiku tercinta! Aku mencintaimu sebelum aku mengenal Allah Swt. Karena itu, begitu aku mengenal Dia,  bukankah sepantasnya tak kusisakan lagi cinta untuk selain Dia dan aku menghendaki pengganti Dia?” 

Yusuf a.s. pun sejenak tercenung dan termenung mendengar ucapan Zulaikha yang demikian itu. Dan, tak lama kemudian, ia berucap lirih kepada Zulaikha, “Wahai Zulaikha, istriku tercinta! Sejatinya, Allah Yang Mahaagunglah yang menyuruh aku melakukan hal yang demikian itu denganmu. Dia mengabarkan kepadaku bahwa Dia akan mengaruniakan dua putra lewat dirimu. Dia akan mengangkat kedua putra itu sebagai Nabi.” 

Wahai Yusuf,” jawab Zulaikha dengan wajah berbinar-binar. “Bila memang Allah Swt. memerintahkan engkau untuk bercengkerama denganku dan menjadikan aku sebagai sarana terlaksananya perintah-Nya itu, tentu perintah Allah SWT itu akan kutaati. Karena dengan ketaatan itu, kalbuku menjadi tenang.” 

Wednesday, March 25, 2009

Puncak Cinta Zulaikha

Mas, siapa itu nama perempuan yang jatuh cinta kepada Nabi Yusuf a.s.?” tanya seorang sahabat yang direktur sebuah penerbitan, selepas lama berbincang dengan penulis tentang pelbagai hal, kepada penulis beberapa waktu yang lalu.

“Zulaikha, itulah nama yang biasanya disebut,” jawab penulis yang gak tahu ke mana arah pertanyaan sahabat yang pencinta buku dan film itu. “Bang, sejatinya nama itu sendiri tidak dikemukakan dalam Al-Quran loh. Tentang perempuan  ini,  Al-Quran  antara lain  mengemukakan,  ‘Dan  perempuan (Zulaikha)  yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda  Yusuf  untuk menundukkan  dirinya  (kepadanya)  dan  dia  menutup  pintu-pintu seraya berucap, ‘Marilah ke sini.’ Jawab Yusuf, ‘Aku berlindung kepada  Allah!  Sungguh,  tuanku telah  memperlakukan  aku  dengan baik.’ Sungguh, orang-orang yang zalim tidak akan  beruntung. Sesungguhnya perempuan itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan  Yusuf,  dan Yusuf pun bermaksud (melakukan  pula)  dengan perempuan  itu  andaikata dia tidak melihat tanda  (dari)  Tuhannya. Demikianlah  agar  Kami  memalingkan  darinya  kemungkaran  dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf termasuk hamba-hamba Kami terpilih.’ (QS. Yusuf, 12: 23-24). Nama  Zulaikha  sendiri berasal dari kaum Muslim  yang  semula  memeluk agama  Yahudi  dan Nasrani. Ada yang menyatakan,  suami  Zulaikha bernama Potiphar. Ia seorang penguasa kawasan San, Mesir  Selatan. Ada  pula yang menyatakan, Potiphar adalah seorang kepala  polisi.”

“Ya, benar, Zulaikha! Zulaikha, Zulaikha, Zulaikha!”

“Kenapa sih Abang bertanya perihal Zulaikha.  Apa Abang sedang terlibat dalam sebuah kisah cinta seperti kisah Yusuf dan Zulaikha?”

“Ha, ha,ha…! Enggaklah! Penasaran saja,” jawab sahabat penulis yang berasal dari Sumatera Utara itu. “Saya sungguh penasaran,  bagaimanakah sih sejatinya akhir kisah cinta antara Yusuf dan Zulaikha?”

Wallahu a’lam bi al-shawab. Terus terang, saat ini saya tak kuasa menjawab pertanyaan Abang,” jawab penulis. Apa adanya.

Entah mengapa, sejak itu pertanyaan perihal cinta Zulaikha itu senantiasa menggelayuti benak penulis, dan penulis senantiasa berusaha mencarikan jawabannya. Alhamdulillah, beberapa hari yang lalu, penulis membeli buku berjudul Cinta Bagai Anggur. Dan, alhamdulillah, dalam buku itu penulis menemukan jawaban pertanyaan sahabat penulis yang jebolan Institut Teknologi Bandung itu:

Salah satu contoh yang luar biasa dari cinta adalah kisah antara Nabi Yusuf dan Zulaikha, istri Potiphar. Konon, Yusuf adalah Nabi yang lebih bercahaya dan lebih tampan dibanding para Nabi sebelum beliau. Zulaikha langsung jatuh cinta sejak pertama kali ia melihat Yusuf. Demi cintanya kepada Yusuf, Zulaikha mengorbankan segala-galanya-harta, reputasi, maupun kedudukan. Dia begitu tergila-gila kepada Yusuf, hingga ia rela menyerahkan permata terbaik miliknya kepada siapa pun yang melaporkan hasil pengamatannya terhadap Yusuf dan menceritakan apa saja yang sedang dilakukan sosok tercintanya itu. Dia pun menjadi buah bibir di kalangan bangsawan Mesir-seorang perempuan bersuami tanpa malu-malu jatuh cinta kepada seorang budak milik suaminya.

Ketika mendengar seluruh perempuan bangsawan suka menggunjingnya, Zulaikha pun membalas mereka. Dia undang teman-temannya itu untuk datang bersantap  siang. Sebagai hidangan penutup, ia hidangkan buah-buahan segar, lengkap dengan pisau tajam untuk mengupas dan memotong buah-buah itu. Kemudian, ia memanggil Yusuf. Seketika, semua perempuan di ruangan itu disergap oleh pesona ketampanan Yusuf. Begitu terpukaunya, hingga mereka benar-benar lupa dengan buah-buah yang dipotong di tangan mereka. Sehingga, mereka tidak menyadari ketika pisau-pisau itu malah mengiris tangan mereka sendiri. Zulaikha pun berkomentar, “Lihat! Sekarang, apa kalian masih menyalahkan aku?”

Bertahun-tahun kemudian, kedudukan mereka berbalik. Yusuf a.s. telah menjadi sahabat dan perdana menteri Fir’aun Mesir saat itu. Sedangkan Zulaikha, selepas dicampakkan suaminya karena skandal cintanya itu, kini meniti hidup sengsara dengan meminta-minta dan menjadi buruh kasar.

Suatu hari, Yusuf melihat Zulaikha di jalan. Yusuf saat itu mengenakan busana nan indah dari sutra, mengendarai kuda jantan nan gagah, dan dikitari para penasihat serta tentara yang bertugas sebagai pengawal pribadinya. Sedangkan Zulaikha hanya mengenakan sampiran kain lusuh. Kecantikannya telah sirna, hilang dalam tempaan kehidupan yang telah dilintasinya bertahun-tahun. Ucap Yusuf, “Zulaikha! Dulu, ketika engkau ingin menikah denganku, aku terpaksa menolakmu. Kala itu engkau adalah istri tuanku. Kini, engkau telah bebas dan aku pun bukan lagi seorang budak. Kalau engkau mau, aku akan menikahimu.”

Zulaikha balik menatap Yusuf a.s. Namun, kali ini, kedua matanya penuh cahaya. Ucapnya, “Tidak, Yusuf. Cintaku yang begitu besar kepadamu, dulu, tak lain hanyalah sebuah tirai yang ada di antara aku dan Sang Kekasih. Kini, aku telah merobek tirai itu dan mencampakkannya. Kini, aku telah menemukan Kekasihku yang sejati. Sehingga, aku tak lagi memerlukan cinta darimu!” 

Tuesday, March 17, 2009

Mantu a la Gus Mus

Beberapa minggu yang lalu, ketika penulis sedang berada di rumah, tiba-tiba telpon rumah berdering. Penulis pun segera mengangkat perangkat telpon itu. Eh, ternyata terdengar suara seorang cewek berucap, “Assalamu’alaikum wr.wb. Apakah ini rumahPakRofi’?""Wa’alaikumussalam wr.wb. Ya, benar. Mbak siapa dan ada apa?” “Saya Almas, putri Gus Mus. Abah minta alamat Pak Rofi’.” “Ada apa, Mbak?”“Gus Mus mau mantu.”

Mendengar kabar gembira yang demikian, tentu saja penulis segera memberikan alamat rumah penulis. Siapakah yang tidak merasa gembira mendengar Gus Mus akan mantu (putrinya yang terakhir, yaitu cewek yang menelpon tersebut: Almas) dan menerima undangan tersebut. Benar saja, beberapa hari kemudian datang sebuah undangan pernikahan antara Almas dan Rizal Wijaya (seorang arek Surabaya), yang tertulis dalam tulisan Latin dan Jawa Pegon (bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf-huruf Arab). Walau disain undangan itu tampak sederhana, tapi entah kenapa tampak indah.

Kemudian, Jumat 13 Maret 2009 yang lalu, penulis pun berangkat bersama istri (yang juga akan menghadiri undangan pernikahan di Semarang), menuju Rembang. Sebelum berangkat, penulis telah menyiapkan dua perangkat baju: sarung, baju koko putih, kopiah, dan jas (inilah baju yang biasanya dipakai oleh para kiai Jawa Tengah ketika mantu); dan baju batik. Setibanya di rumah seorang sahabat di Rembang, penulis pun bertanya kepada sang sahabat baju apa yang sebaiknya penulis pakai. Ternyata, dia menyarankan agar penulis mengenakan baju batik saja. Karena itulah baju yang biasa dikenakan dalam acara pernikahan di Rembang.

Tepat jam 10 pagi, 14 Maret 2009, acara pernikahan Almas dan Rizal segera dimulai. Penulis lihat, Gus Mus tidak hadir di tempat akad pernikahan akan dilangsungkan. Yang terlihat para kiai, keluarga (termasuk Menteri Agama: Maftuh Basyuni, dan HM Muzammil Basyuni, duta besar Indonesia di Damaskus, Suriah. Kedua tokoh ini adalah saudara laki-laki istri Gus Mus:  Siti Fatma Basyuni), dan para sahabat Gus Mus. Ternyata, akad nikah tidak dilakukan sendiri oleh Gus Mus, tapi diwakilkan. Lalu, di mana Gus Mus? Eh, ternyata kiai, budayawan, penulis, dan juga pelukis yang lahir di Rembang, 10 Agustus 1944 (yang tetap mengenakan busana kebesarannya yang sederhana: sarung, baju koko, dan serban putih yang senantiasa beliau kenakan sehari-hari) itu sedang asyik menerima tamu-tamu putra yang kian memenuhi tempat undangan. Segera, akad pernikahan pun dilaksanakan dan ditutup dengan doa oleh beberapa kiai dan Menteri Agama.

Selepas itu, pengantin putra dan putri dipertemukan dan didudukkan di pelaminan. Ternyata, hanya mereka berdua saja yang ada di pelaminan. Tanpa didampingi orang tua kedua pengantin. Penulis lihat Gus Mus asyik mendatangi satu per satu tamu-tamu putra (yang dipisahkan dari para tamu putri). Sambutan keluarga pengantin putri disampaikan oleh KH Yahya Tsaquf. Dalam sambutannya, yang segar dan dalam bahasa Jawa kromo inggil, putra KH Cholil Bisri itu dengan tersenyum meminta maaf, Gus Mus “terpaksa” mengenakan busana kebesarannya seperti itu karena “kehabisan baju batik”. Selain itu, mantan jubir Gus Dur ketika jadi presiden itu mengemukakan, di malam harinya, Gus Mus akan mengadakan hiburan, yaitu “kampanye” pemilu, dengan mengundang semua caleg dari semua partai, termasuk caleg dari icmi. Ternyata, yang dimaksud icmi oleh kiai yang masih muda usia itu, adalah ikatan caleg melarat indonesia. Ada-ada saja, Gus!

Yang menarik, dalam tas angsul-angsul (bingkisan) untuk setiap tamu, ada sebuah buku indah yang berisi foto “lukisan-lukisan amplop” atau “lukisan-lukisan klelet” karya Gus Mus. Benar-benar bingkisan yang sangat bernilai dan indah. Apalagi, di samping setiap lukisan disertai kata-kata indah yang digoreskan oleh Gus Mus. Antara lain: “Keindahan ada di mana-mana, asal… kau tahu tempatnya”; “Indah dan buruk, jorok dan suci, ada di kepalamu”, “Ketika engkau tak menyadari keindahanmu, tiba-tiba engkau menjadi semakin indah”; “Warna-warni adalah bagian anugerah Allah bagi mereka yang tidak buta warna atau buta sama sekali”, “Pandanglah keindahanku, lalu pejamkan matamu, biar keindahanku pindah ke hatimu”, “Keindahan itu sudah ada di mana-mana, aku tinggal merangkainya untuk aku nikmati sebisaku”; “Pandang terus hingga kau temukan keindahan, atau pejamkan saja matamu!”;  “Aku ingin menjadikan yang sepele menjadi sesuatu yang tidak disepelekan”; “Bukan tanganku yang menuntun kepada keindahan yang kulukis”; “Kau bisa melihat keindahan hati dari keindahan perilaku”; “Keindahan ciptaan-Nya menunjukkan keindahan-Nya, keindahan semua ciptaan-Nya menunjukkan bahwa Ia menyukai keindahan”; “Kalau kau tak bisa menikmati keindahan, janganlah merusaknya!”;  “Cahaya kasih Tuhan menyinari hati dan memunculkan keindahan perilaku”; “Tak perlu mencari, keindahan ada di depan matamu!”; “Kalbumu yang menuntun matamu kepada keindahan…”; “Ya Allah, aku tidak berdaya di hadapan keindahan-Mu…”; “Manusia diciptakan indah, kebodohannya yang memperburuknya”; “Keindahan cinta lahir dari kelembutan hati… Hati yang penuh kebencian melahirkan kekerasan dan kekejaman”; “Allah menciptakanmu indah, jagalah keindahanmu!”; dan “Allah itu Indah, Maha Indah, dan hanya menerima yang indah…”.

Gus Mus, terima kasih atas undangannya. Dan, kiranya Allah Swt. senantiasa meridhai dan memberkahi pernikahan Almas dan Rizal. Amiin. 

Thursday, March 12, 2009

Mengapa Gelar Dr HC Dianugerahkan?

Dua hari yang lalu, 9 Maret 2009, ketika penulis sedang membuka Yahoo Messenger, tiba-tiba penulis tersambung dengan seorang sahabat yang saat ini menjadi dekan di sebuah universitas. Sahabat penulis itu menuturkan, universitasnya sedang menilai seorang tokoh untuk dianugerahi gelar doctor honoris causa. Mendengar penuturannya yang demikian, entah mengapa ingatan penulis segera teringat pada penganugerahan gelar kehormatan itu, oleh beberapa perguruan tinggi di Indonesia, kepada beberapa tokoh negeri ini belum lama ini. Dan, tiba-tiba pula penulis tergerak untuk melakukan searching perihal penganugerahan gelar kehormatan itu. Eh, ternyata penulis menemukan tulisan Winarso Drajad Widodo, PhD, seorang dosen IPB, Bogor, yang dimuat koran Media Indonesia, Edisi Rabu, 2 Oktober 2002, yang membahas masalah penganugerahan gelar kehormatan yang demikian itu. Melihat tulisan itu menarik untuk dimuat kembali, berikut penulis sajikan tulisan itu lengkap:

Pada Februari 2002 yang lalu, dunia pendidikan tinggi dihebohkan pertentangan antara Direktorat Jenderal (Ditjen) Dikti dan beberapa  perguruan tinggi terkenal tentang penyelenggaraan Program MM Kelas Jauh(PMKJ). Namun demikian, penyelenggaraan PMKJ tetap lancar-lancar saja hingga sekarang, sementara ‘ancaman’ dari Ditjen Dikti terhadap perguruan tinggi induk penyelenggara PMKJ belum terdengar dilaksanakan. Sementara wacana PMKJ menghangat, permasalahan lain yang lebih penting untuk ditindak-setidaknya oleh Ditjen Dikti-yaitu tentang beberapa lembaga penjual gelar akademik dari berbagai PT asing. Kemudian menyusul berita tuntutan DPRD Ponorogo agar bupati daerah itu mengembalikan gelar profesor yang diperolehnya dari Northern California Global University (NCGU). Hingga kini, kelihatannya gelar-gelar kehormatan yang ‘diobral’ dan difasilitasi oleh beberapa lembaga penjual gelar itu banyak peminatnya dan sulit ditangani oleh Ditjen Dikti.            

Salah satu bukti banyaknya peminat adalah berita yang menyatakan penyanyi dangdut Cici Paramida dan penyanyi kroncong disko Rama Aiphama telah menerima gelar kehormatan doctor honoris causa dari American International University (AIU).  Lembaga pengaju kedua penyanyi itu untuk dianugerahi gelar   Dr HC adalah International Management Indonesia (IMI). Alasan penganugerahan gelar kehormatan itu-sesuai yang diceritakan Cici-cukup menarik bahwa AIU telah mengikuti kegiatan Cici sebagai pengabdi seni tanpa henti selama dua tahun. Yang sangat memprihatinkan, yang bersangkutan benar-benar menghargai gelar kehormatan itu sebagai anugerah (Kompas, Minggu 18/8/2002). Mengingat di Indonesia masih berlaku Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU 2/1989) yang mengatur dengan jelas tentang Gelar Kehormatan, maka penganugerahan gelar kehormatan kepada Bupati Ponorogo, Cici Paramida, Rama Aiphama, dan mungkin banyak tokoh lain sebelumnya sangat melanggar hukum. Paling tidak sangat mengherankan bahwa belum tampak adanya tindakan atau penertiban dari pihak pembuat kebijakan pendidikan, khususnya Ditjen Dikti.          

Dalam UU 2/1989 Pasal 18 ayat (5) tertulis ‘Institut dan universitas yang memenuhi persyaratan berhak untuk memberikan gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) kepada tokoh-tokoh yang dianggap perlu memperoleh penghargaan amat tinggi berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, ataupun kebudayaan. Aturan itu juga tercantum dalam naskah RUU Sisdiknas-yang sedang digodok di DPR-pada Pasal 13 ayat (8), dengan menambahkan unsur ‘kesenian’. Bolehlah dianggap memang Cici dan Rama berjasa sangat luar biasa dalam bidang kesenian, sehingga pantas dianugerahi gelar doctor honoris causa. Namun, marilah kita tinjau dari segi hukumnya.     

Menurut aturan dalam UU 2/1989, jelas bahwa yang berhak memberikan gelar kehormatan adalah universitas atau institut yang memenuhi persyaratan. Yang terjadi pada Cici dan Rama adalah bahwa lembaga pemberi anugerah memang mengaku sebagai universitas, bahkan universitas asing. Namun, pihak yang mengajukan Cici dan Rama bukan masyarakat seni atau kebudayaan, atau para guru besar dan ahli dari AIU sendiri, melainkan suatu lembaga yang belum jelas benar apakah lembaga pendidikan tinggi atau bukan, yaitu IMI. Aneh, karena seseorang diajukan menerima gelar doktor kehormatan kepada universitas asing, oleh lembaga lokal. Gelar kehormatan Cici dan Rama masih mendingan karena di Indonesia gelar kehormatan yang ada hanya doctor honoris causa. Yang lebih konyol adalah gelar profesor kehormatan untuk Bupati Ponorogo. Sudah gelarnya diterima dari universitas asing, yang diminta untuk mengiklankan adalah universitas swasta di wilayah kerja sang bupati sendiri.  

Berkenaan dengan pemberian gelar kehormatan ini, penulis sempat dua kali menerima undangan penganugerahan gelar kehormatan, dari lembaga yang sama, yaitu Lembaga Informasi Fasilitas Indonesia (LIFI). Undangan pertama 7 Januari 2002 untuk wisuda 27 Januari 2002 di Bali Room Hotel Indonesia. Pada undangan pertama ini LIFI mengaku sebagai sekretariat NCGU, pemberi gelar profesor kepada Bupati Ponorogo. Surat undangan kedua tertanggal 23 Agustus 2002 untuk wisuda 29 September 2002 di Pulau Bidadari Room Hotel Horison. Anehnya pada undangan ini LIFI mengaku sebagai sekretariat Chicago International University (CIU). Undangan kedua ini dilengkapi dengan fotokopi upacara wisuda yang diselenggarakan pada 26 Mei 2002 di Garuda Wisnu Kencana Cultural Park, Bali. Dilihat dari kedudukan LIFI yang berubah-ubah menjadi sekretariat beberapa universitas asing-yang kesemuanya berasal dari Amerika-sebenarnya sudah menggelikan. Lebih menggelikan dan konyolnya bahwa diundangnya penulis untuk menerima gelar kehormatan itu berdasarkan hasil Tim Pengamat CIU. Sayangnya, terdapat kesalahan gelar akademik asli yang telah penulis sandang. Satu-satunya informasi yang salah itu adalah catatan nama penulis sebagai pelanggan di PT Telkom. Dengan demikian, jelas bahwa Tim Pengamat CIU hanya melihat buku telepon.     

Lebih lucu lagi, undangan kedua dilengkapi dengan proposal. Dalam proposal dituliskan,  tujuan pemberian gelar kehormatan itu adalah ‘Menampilkan kembali para tokoh terpilih untuk dijadikan panutan bagi generasi muda dan memacu mereka dalam pembentukan sumber daya manusia yang handal dan berkualitas’. Sayangnya, persyaratan administrasi yang harus dipenuhi salah satunya adalah menyerahkan/membuat judul skripsi, tesis, disertasi (sesuai dengan program yang diambil). Ini jelas tindak pemalsuan akademik kelas berat. Jadi, jelas LIFI hanyalah ‘calo’ gelar akademi multistrata palsu. Pemalsuan itu adalah transkrip nilai dari CIU, AWU, NCGU, dan lain-lain universitas yang pernah ditawarkannya dan diberikan kepada para wisudawan. Apalagi, gelar kehormatan boleh dipilih sesuai dengan keinginan dan tingkat pendidikan terakhir para undangan wisuda.        Permasalahannya adalah kepada siapa kita harus mengadu dengan adanya praktik ‘obral gelar kehormatan’ ini? Kemudian bagaimana menegakkan hukum        kependidikan nasional? Terakhir, mengingat hampir selalu universitas-universitas yang bermurah hati dengan berbagai gelar kehormatan itu adalah dari Amerika Serikat, belum wajarkah kita mengajukan ‘protes keras’ kepada Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedubes Amerika Serikat? Ini adalah masalah kehormatan dari gelar kehormatan, bukan barang dagangan. Dampak luasnya adalah semakin mempermalukan bangsa ini.        

Friday, March 6, 2009

Menikmati Kereta Api antara Makkah-Madinah

Andai Anda pada akhir 2012 nanti masih diizinkan Allah untuk berziarah ke Makkah atau Madinah, baik apakah untuk  melaksanakan ibadah umrah, naik haji, atau berziarah, dan kemudian melakukan perjalanan antara Makkah-Madinah, Anda tidak lagi akan berlama-lama lagi di tengah perjalanan. Insya Allah, di tahun itu, Anda dapat menikmati perjalanan sepanjang sekitar 450 kilometer antara Makkah-Madinah dengan naik kereta api. Nyaman dan tidak lelet. Nanti, Anda tak perlu lagi berlama-lama di tengah perjalanan yang membosankan antara kedua kota suci itu, yang biasanya memerlukan waktu 6 jam (di luar musim haji) atau sekitar 10 jam (di musim haji), dengan pemandangan yang kering kerontang.

Kereta api yang akan menghubungkan antara Makkah-Madinah, Jeddah-Madinah, dan Jeddah-Makkah tersebut adalah kereta api listrik modern dengan kecepatan per jam sekitar 320 kilometer. Mirip TGV (kereta api super  cepat di Perancis) atau Shinkansen (kereta api super cepat di Jepang). Nah, jarak antara Makkah-Madinah direncanakan akan tertempuh sekitar 2 jam. Sedangkan antara Jeddah-Makkah akan ditempuh sekitar setengah jam. Proyek yang disebut Haramain Railway (dengan biaya sekitar 7 miliar riyal Arab Saudi) dan telah disetujui Raja Abdullah bin Abdul Aziz itu akan didanai oleh sebuah konsorsium: 63,75% oleh Al-Rajhi Investments Groups dan sisanya oleh sebuah perusahaan asal China. 

Bagaimana kira-kira rancangan kereta api itu? Silakan Anda mencermati foto di samping. Mudah-mudah kita bisa menikmati kereta api tersebut. Amiin.