Wednesday, November 25, 2009

Doa untuk Negara Kita


“Mas, menulislah lagi di blog. Bener, lo!” ucap seorang sahabat yang acap “berkunjung” ke blog penulis dan tahu telah berbulan-bulan tulisan baru saya tak kunjung hadir di blog. Memang, telah berbulan-bulan lamanya satu tulisan pun dari penulis tak jua muncul di blog ini. Menyelesaikan penulisan sebuah buku setebal sekitar 600 halaman benar-benar membuat penulis terlena : lupa menyajikan tulisan baru di blog.

“Kayaknya saya lagi kehabisan ide. Menulis tentang apa ya?” sergah saya. “Bukankah banyak tulisan bagus yang dapat Anda nikmati di blog-blog lain.”

“Mas, menulislah tentang doa!”

“Lo, kok tentang doa?”

“Doa untuk negara kita! Saya sejatinya senantiasa mendoakan negeri kita agar menjadi sebuah baldatun thayyibah wa rabb ghafur. Tapi, kok, melihat kondisi negara kita saat ini, hati saya kok kian tersayat. Negara kita ini tak kunjung menjadi seperti yang kita harapkan semua. Apa doa kita tidak dikabulkan Allah Swt. Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang?”

Mendengar ucapan sahabat yang demikian, sejenak saya tercenung dan termenung. Benarkah doa kita untuk negeri kita benar-benar tidak diterima Allah Swt. Lama saya kebingungan mencari jawaban: mengapa doa kita untuk negeri kita “mandul”. Entah mengapa, berkenaan dengan doa yang “mandul” itu, pagi hari ini saya tersadarkan oleh sebuah kisah berikut:

Hari itu Ibrahim bin Adham, seorang sufi terkemuka, sedang berada di Pasar Basrah, Irak. Ketika orang-orang yang ada di pasar itu mengetahui kehadiran sang sufi, mereka pun segera menemuinya. Selepas berbagi sapa sejenak dengan sang sufi, mereka kemudian bertanya kepadanya, “Wahai Guru! Kami sejatinya telah memanjatkan doa. Tapi, mengapa doa kami tak kunjung dikabulkan Allah Swt.?”

“Wahai saudara-saudaraku,” jawab sang sufi pelan. “Hal itu terjadi karena sepuluh hal: kalian mengenal Allah, tapi kalian tidak menunaikan hak-Nya; kalian mengaku mencintai Rasul-Nya, tapi kalian meninggalkan sunnah; kalian membaca Al-Quran, tapi kalian tidak mengamalkan isinya; kalian banyak dianugerahi nikmat karunia, tapi kalian tidak mensyukurinya ; kalian menyatakan bahwa setan adalah musuh, tapi kalian meneladani jejak langkahnya ; kalian mengaku bahwa surga adalah benar adanya, tapi kalian tidak melakukan amal yang mengantarkan ke sana ; kalian mengaku bahwa neraka benar adanya, tapi kalian tidak lari dari panas siksanya ; kalian mengaku bahwa kematian benar adanya, tapi kalian tidak mempersiapkan diri ke sana ; kalian sibuk mengurusi kekurangan orang lain, tapi kalian lupa akan kekurangan diri kalian sendiri ; dan kalian menguburkan jenazah, tapi kalian tidak memetik pelajaran dari peristiwa kematian.”

“Duh, bener juga ucapan sang sufi itu…”, gumam saya.