Friday, January 22, 2010

Sinan Pasa, Sang Maestro


“Pak Rofi’, kita ke mana sekarang?” tanya Mas Budi Zaenal Muttaqin, seorang mahasiswa S-2 Jurusan Matematika, Universitas Marmara, Istanbul yang mengantarkan penulis dan istri pada hari ketiga perjalanan kami di Istanbul tahun lalu, 2009 M, selepas kami mengunjungi Masjid Sulaimaniyyah.
“Mas, kami ingin mengenal lebih jauh Istanbul. Tapi, kami ingin berjalan kaki. Bukan naik bus atau trem. Apalagi naik taksi.”
“Baik, Pak. Kalau begitu dari sini kita jalan kaki ke arah Eminonu, lewat labirin lorong-lorong di kota ini. Dari sana, kita menuju TCDD Sirkeci Gari…” jawab Mas Budi, sangat santun.
“Apa itu Sirkeci Gari?” sergah saya yang belum lagi mengenal banyak kata-kata Turki.
“Stasiun kereta api Sirkeci, Pak. Biasanya, di situ pada malam-malam tertentu digelar “Sufi Music Concert and Whirling Dervishes Ceremony” oleh kelompok sufi Istanbul. Kita bisa beli tiket dulu, jika Pak Rofi’ dan Ibu Ummie kepengin melihat konser itu.”
“Ya, saya pengin sekali melihat konser itu!” sahut istri penulis penuh semangat.

Maka, kami pun dengan langkah pelan meninggalkan Masjid Sulaimaniyyah. Tak jauh dari pintu masjid, Mas Budi kemudian memandu kami ke sebuah pintu bertuliskan “Sultan Suleyman Turbesi” yang ternyata berarti “Makam Sultan Sulaiman”. Oh, ternyata, di dalam komplek itulah Sultan Sulaiman Al-Qanuni, penguasa yang memerintahkan pendirian Masjid Sulaimaniyyah, dimakamkan. Di situ, saya melihat nisan-nisan yang menurut saya bentuknya aneh. Sebagian di antara nisan-nisan itu mengingatkan penulis pada nisan-nisan di Aceh. Beberapa lama kami menundukkan kepala, membacakan doa untuk sang sultan dan orang-orang yang dikebumikan di makam itu. Selepas itu, kami meninggalkan komplek itu, menuju ke arah Eminonu, dengan mengitari komplek Masjid Sulaimaniyyah. Seraya melangkah pelan, Mas Budi banyak menuturkan kisah Istanbul dan kisah dirinya sejak menimba ilmu di kota itu.
“Mas Budi, itu bangunan apa?” tanya penulis kepada Mas Budi Zaenal Muttaqin, ketika penulis melihat sebuah bangunan berbentuk persegi delapan dan di puncaknya terdapat kubah di sudut lorong ke arah Eminonu.
“Itu komplek makam Sinan, Pak,” jawab Mas Budi.
“Sinan…? Subhanallah, saya tidak pernah berpikir sama sekali kalau Sinan Pasa dimakamkan di sini. Mas, kita berhenti sebentar, ya. Saya ingin berdoa untuk seorang tokoh yang “pernah memberikan semangat” kepada saya agar suka “ngluyur” dan “klayaban” ke pelbagai penjuru dunia.”

Selepas berdoa di depan makam Sinan Pasa, entah kenapa, tiba-tiba kisah perjalanan hidup arsitek piawai itu menyeruak kuat dalam benak saya. Mengapa demikian? Ini karena perjalanan hidup dan karya arsitek yang satu ini sangat luar biasa. Tak aneh, tentang karya-karya arsitekturnya, bila seorang guru besar sejarah arsitektur Universitas Wina, Austria menyatakan bahwa “secara teknis karya-karya arsitektur Sinan jauh lebih cemerlang ketimbang karya-karya arsitektur Michelangelo”.

Bagaimanakah perjalanan hidup maestro yang satu ini?

Kayseri, Anatolia, itulah tempat kelahiran Sinan. Ketika lahir pada 1489 M, Sinan masih berada di lingkungan keluarga Nasrani. Kala itu, Dinasti Usmaniyyah Turki sedang berada di bawah pemerintahan Bayazid II, seorang sultan yang terkenal piawai di medan pertempuran. Ketika Salim II, putra Bayazid II, naik ke pentas kekuasaan dan hendak melancarkan serangan terhadap Persia, Sinan bergabung dengan pasukan Yeniceri, pasukan Turki yang direkrut dari kalangan warga non-Muslim. Selepas melintasi proses pencarian dan pemahaman yang cukup lama, baru ketika berusia 23 tahun Sinan menyatakan keislamannya. Tak lama selepas memeluk Islam, Sinan kemudian memasuki Akademi Militer Turki. Di akademi itu, ia mendapat bimbingan keras dari para pakar militer Turki yang juga terkenal sebagai para arsitek. Nah, di bawah bimbingan merekalah ia mulai berkenalan dengan dunia arsitektur.

Segera selepas merampungkan pendidikannya di Akademi Militer Turki, Sinan ikut dalam serentetan ekspedisi militer yang digelar Turki ke pelbagai kawasan dunia kala itu. Pada 1514 M, misalnya, ia ikut dalam penaklukan Tabriz, ibukota Dinasti Shafawiyyah yang menguasai Persia. Keikutsertaannya dalam ekspedisi itu membuatnya berkenalan dan akrab dengan karya-karya arsitektur Persia. Gerakan pasukan Turki selanjutnya ke Aleppo dan Damaskus memberikan kesempatan bagi Sinan muda yang haus ilmu dan pengalaman untuk mengenali karya-karya arsitektur Islam yang bercuatan di kedua kota itu. Kemudian, ketika pasukan Turki memasuki Kairo, Sinan berkesempatan mempelajari dan mencermati dengan mendalam karya-karya arsitektur Islam yang bertaburan di “Kota Seribu Menara” itu dan dibangun pada masa sebelum Mesir jatuh ke tangan Dinasti Usmaniyyah.

Ketika Sultan Salim I berpulang dan digantikan oleh Sultan Sulaiman Al-Qanuni, Sinan kembali ke negerinya. Namun, segera ia dikirim ke Eropa. Penaklukan Rhodes memberinya kesempatan luas untuk mengamati dan mempelajari karya-karya arsitektur Yunani yang banyak menghiasi kota itu. Budapest adalah kota Eropa selanjutnya yang banyak menarik perhatian calon arsitek besar itu. Di kota terakhir itu, ia acap mengunjungi gereja-gereja yang bertebaran di sana, untuk mempelajari gaya arsitektur gereja-geraja itu.

Baghdad menjadi kota berikutnya yang menarik perhatian Sinan. Kedatangannya ke kota yang kaya dengan khazanah arsitektur Islam itu terjadi pada 1534 M, ketika ia bergabung dalam pasukan Sultan Sulaiman Al-Qanuni yang menundukkan “mantan” pusat pemerintahan Dinasti Shafawiyyah. Dari Baghdad, ia kemudian mengikuti ekspedisi militer angkatan laut Turki di bawah pimpinan Khairuddin Barbarossa, seorang laksamana Turki ternama kala itu. Ekspedisi itu dimaksudkan untuk “memberikan pelajaran” atas kawasan sepanjang pantai Italia, tempat persembunyian Andre Doria, seorang laksamana Italia yang acap memimpin penyerangan terhadap Turki kala itu.

Rentetan perjalanan yang diikuti Sinan ke berbagai negara memberinya kesempatan menimba ilmu dan pengalaman yang luas. Namun, bakatnya sebagai arsitek belum tersalurkan. Baru pada 1534 M, ketika pasukan Turki hendak melancarkan kembali serangan terhadap Persia, bakat Sinan mulai memperoleh perhatian. Kala itu, panglima angkatan bersenjata Turki, Lutfi Pasa, memerintahkan Sinan untuk membikian kapal-kapal perang yang bisa bergerak cepat dan tangguh. Sebab, berbeda dengan ekpedisi-ekspedisi militer sebelumnya, Turki kali ini hendak melakukan “serangan kilat” lewat Danau Van. Tugas itu dilaksanakan dengan baik oleh Sinan.

Tidak lama selepas Sinan tiba kembali di Istanbul dari Iran, tokoh arsitek Turki kala itu, Ajm Ali, berpulang. Sinanlah yang diangkat sebagai penggantinya. Dengan demikian, ia menjadi orang pertama yang bertanggungjawab atas perancangan dan pembangunan Istanbul. Termasuk di antaranya jalan, saluran air, benteng, dan pemugaran gedung-gedung lama. Selain itu, ia juga diberi tanggung jawab mengawasi seluruh perancangan dan pembangunan kepentingan umum di seluruh kawasan yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Usmaniyyah kala itu. Bukan hanya itu. Sinan juga diangkat sebagai pemimpin kelompok arsitek istana. Kelompok itu, antara lain, adalah Daud Aga (perancang Masjid Agung Istanbul), Mehmet Aga (perancang Masjid Sultan Ahmet yang dikenal sebagai Masjid Biru, di Istanbul), dan Kurrah Shaban Aga (perancang benteng di seputar Turki kala itu).

Lewat tangan Sinan, lahirlah kemudian deretan panjang karya-karya arsitekturnya: 84 masjid, 57 universitas, 35 istana, 52 tempat ibadah, 7 sekolah, 22 mausoleum, 6 lengkung air, 8 jembatan, 3 rumah sakit, 17 dapur, 20 rest area, 41 kamar mandi, dan 8 gudang. Lahirnya deretan panjang karya-karya itu tidak lepas dari usianya yang panjang: 98 tahun. Karena perjalanan hidupnya yang panjang itu, tak mengherankan bila ia merasakan pemerintahan lima sultan: Bayazid II, Salim I, Sulaiman Al-Qanuni, Salim II, dan Murad III. Tak mengherankan pula, bila ketika ia berpulang pada 1559 M, doa dan kesedihan panjang pun mengiringi perjalanan arsitek raksasa ini menuju alam abadi. Dan ketika ia berpulang, seorang sahabatnya, Mustafa Celebi, mengiringinya dengan catatan sebagai berikut:

Usai sudah perjalanan hidup guru kita ini
Arsitek raksasa di masa ini
Oh sobat-sobatku, tua dan muda
Bacakanlah Surah Al-Fatihah baginya.


(Tulisan ini dipersembahan untuk Mas Budi Zainal Muttaqin yang pada Ahad, 24 Januari 2010 ini akan melangsungkan pernikahannya di Jakarta)

Wednesday, January 20, 2010

"Istanbul! Istanbul! Istanbul!"


“Pak Rofi’,” ucap seorang seorang sahabat yang saat ini menjadi editor di sebuah perusahaan penerbitan, dua hari yang lalu, “insya Allah minggu depan saya akan pergi ke Istanbul, Turki. Dari Istanbul, kami akan meneruskan perjalanan ke Kairo, Mesir untuk menghadiri Cairo International Bookfair.”
“Istanbul! Istanbul! Istanbul!” gumam saya pelan, teringat keindahan kota yang terbelah di antara Benua Asia dan Benua Eropa itu.

Tak lama selepas mendengar penjelasan sahabat saya tentang rencana perjalanannya tersebut, segera “bayang-bayang” kota yang pernah bernama Constantinople itu pun melayang-layang dalam benak saya. Kenangan ketika tahun lalu mengunjungi Istanbul tahun lalu pun segera menyeruak: Dini hari itu (Selasa, 27 Rabi‘ Al-Akhir 1430 H/24 April 2009 M), selepas menempuh perjalanan sekitar tiga jam dari Madinah Al-Munawwarah, Arab Saudi (seusai melaksanakan ibadah umrah di Makkah Al-Mukarramah), pesawat Turkish Airlines yang kami (penulis dan istri) naiki pun mendarat dengan mulus di Ataturk International Airport. Jam di bandara modern yang terletak di Yesilpurt, suatu lokasi yang terletak sekitar 23 kilometer dari Sultan Ahmet Square, pusat pariwisata di Kota Istanbul, Turki saat itu menunjuk pukul setengah enam pagi. Karena pemeriksaan oleh petugas imigrasi lancar, demikian pula urusan bagasi, kami pun segera meninggalkan bandara baru dan megah (yang bentuknya mengikuti bentuk Masjid Biru, Istanbul) itu menuju Aksaray, Istanbul dengan naik taksi.

Perjalanan dari bandara menuju hotel tempat kami menginap pun berjalan lancar, karena hari masih pagi. Kabut tipis nan indah kala itu masih bertebaran di mana-mana. Tak lama selepas meninggalkan bandara, kami segera disambut pemandangan indah Laut Marmara, dengan pelbagai kapal yang sedang “berenang” dengan gagah dan tenangnya serta pelbagai bangunan indah di kanan dan kiri jalan nan mulus. Kota Istanbul pada pagi hari di puncak musim semi itu benar-benar tampak sangat indah dan bersih. Bunga-bunga tulip warna-warni di taman-taman sepanjang jalan sedang mekar begitu indah. Menikmati pelbagai sudut Kota Istanbul di pagi nan indah itu, entah mengapa, membuat penulis serasa sedang menikmati perjalanan pada 1422 H/2001 M di seputar Kota Frankfurt, Jerman.

Tak lama selepas tiba di hotel tempat kami menginap di Aksaray, dan selepas beristirahat beberapa lama, kami pun segera meninggalkan hotel untuk mengunjungi pelbagai sudut kota yang pernah bernama Constantinople itu. Diantar seorang sahabat, seorang mahasiswa Indonesia asal Semarang yang sedang menyelesaikan studinya di bidang sastra Turki di Universitas Marmara, Istanbul, pertama-tama kami naik bus menuju Taksim Square, alun-alun Kota Istanbul yang berada di benua Asia. Ini karena istri penulis akan melakukan heregistrasi kongres medis yang diselenggarakan di lingkungan Musium Militer Istanbul beberapa hari kemudian. Selepas urusan heregistrasi usai, tujuan utama kami hari itu adalah pergi ke Sultan Ahmet Square: kawasan yang kaya dengan pelbagai pusaka historis (historical heritages) yang terpelihara baik. Berbeda dengan Taksim Square yang berada di benua Asia, kawasan pariwisata di Kota Istanbul itu berada di benua Eropa.

Dari Taksim Square, dengan naik trem, kami kemudian menuju Kabatas dan kemudian menuju Eminonu, sebuah lokasi di tepi Selat Bosphorus. Selepas beberapa lama menikmati indahnya Selat Bosphorus di musim semi, dengan lautnya nan bersih dan pemandangannya nan indah, kami pun dengan berjalan kaki kemudian menuju Sultan Ahmet Square. Pemandangan sepanjang jalan antara Eminonu dan Sultan Ahmet Square benar-benar menarik perhatian penulis. Walau jalan sepanjang perjalanan penuh sesak dengan para turis, namun kebersihan kawasan sepanjang perjalanan tetap terpelihara dan suasana benar-benar nyaman. Tampaknya pemerintah daerah Kota Istanbul menyadari pentingnya pemeliharaan lingkungan pelbagai pusaka historis di kota itu, untuk menyukseskan program pariwisata yang mereka gelar. Pada hari itu, dan kemudian pada hari kedua, kami benar-benar “menikmati” pelbagai pusaka historis Kota Istanbul: Hippodrome, Masjid Biru, Tandon Air Basilika, Hagia Sophia, Istana Topkapi, Masjid Yeni, dan Istana Dolmabahce (sebuah istana peninggalan Dinasti Usmaniyyah yang terletak di tepi Selat Bosphorus yang sangat menawan). Di samping itu, kami juga berkesempatan menelusuri pelbagai penjuru sudut Kota Istanbul dengan trem dan metrobus yang nyaman.

Pada hari ketiga, dengan diantar seorang sahabat lain (seorang mahasiswa Indonesia asal Tasikmalaya yang sedang merampungkan program S-2 di Jurusan Matematika di Universitas Marmara), tujuan kami hari itu adalah mengunjungi dua masjid utama di Kota Istanbul. Pertama-tama kami mengunjungi Masjid Sehzade. Menurut catatan sejarah, masjid yang satu ini adalah salah satu puncak karya Sinan Pasya, seorang arsitek piawai Turki yang lahir di Anatolia pada 895 H/1489 M. Sang arsitek membangun masjid itu ketika berusia 58 tahun atas perintah Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Masjid tersebut terdiri dari tiga bagian utama: bangunan dalam, bangunan luar, dan pelataran. Bangunan dalam dihiasi dengan enam belas kubah dengan penyangga pilar-pilar pualam. Di bagian ini terdapat tempat wudhu berbentuk persegi delapan. Masjid yang satu ini juga dihiasi kubah utama yang tingginya mencapai 37 meter dengan garis tengah kubah utama ini 18,42 meter. Kubah utama itu dikitari empat kubah yang lebih kecil ukurannya. Setiap separuh dari kubah-kubah kecil tersebut menempati dinding kubah utama, sehingga memberi kesan masjid itu tampak kian luas.

Selepas puas menikmati kunjungan kami ke Masjid Sehzade, yang lokasinya berseberangan dengan lokasi Balaikota Istanbul, kami kemudian dengan berjalan kaki menuju lokasi masjid kedua, yaitu Masjid Sulaimaniyyah. Menurut catatan sejarah, masjid yang saat itu sedang dipugar merupakan salah satu masjid dari tiga masjid yang merupakan karya-karya puncak Sinan. Masjid tersebut ia rancang selepas ia merampungkan pembangunan Masjid Sehzade. Seperti halnya Masjid Sehzade, Masjid Sulaimaniyyah yang didirikan di lokasi yang sebelumnya merupakan istana juga dibangun atas permintaan Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Karena itu, nama masjid itu pun diambil dari nama sang khalifah. Lokasi masjid yang dibangun pada 965 H/1557 M tersebut dipilih di atas sebuah bukit yang menjadi pusat Selat Bosphorus. Sehingga, dari selat itu, Masjid Sulaimaniyyah menjadi titik pusat yang sangat menarik perhatian dan pemandangan. Selain memiliki rancangan arsitektur yang sangat indah, lantai masjid itu dihampari pualam. Sedangkan dekorasi kaligrafi Arab sangat indah yang menghiasi masjid tersebut merupakan buah karya seorang kaligrafer ternama waktu itu, Hassan Effendi Celebi.

Betapa bahagia hati saya hari itu, karena akhirnya saya diberi kesempatan Allah Swt. untuk mengunjungi Masjid Sulaimaniyyah yang sejak lama saya dambakan untuk dapat saya datangi. Selain mengunjungi masjid itu, kami pun waktu itu berkesempatan mengunjungi makam Sinan Pasa yang berada di samping masjid yang satu itu, di samping juga mengunjugi beberapa tempat wisata yang menarik di seputar Kota Istanbul. Antara lain Masjid Yeni, makam seorang sahabat Nabi Saw., yaitu Abu Ayyub Al-Anshari (yang gugur ketika ikut serta dalam ekspedisi militer yang terdiri dari 39 kapal perang dalam upaya pertama kaum Muslim pada masa pemerintahan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, penguasa pertama Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah untuk menaklukkan kota itu pada 49 H/669 M), dan Taman Miniatur Turki. Dan, selepas menikmati dan mengunjungi pelbagai sudut Istanbul selama enam hari, kami kemudian kembali ke Indonesia dengan kenangan yang sulit kami lupakan tentang kota yang akhirnya berhasil direbut Muhammad II Al-Fatih dari tangan penguasa Romawi itu pada 857 H/1453 M.

Saturday, January 2, 2010

Gus Dur, Al-Bushiri, dan Kanjeng Nabi Saw.


Huwa al-habibu al-ladzi, turja syafa‘atuhu
Min kulli haulin min al-ahwali muqtahimi
---
Ya Rabbi bi al-Musthafa, balligh maqashidana
Waghfir lana ma madha, ya wasi‘ al-karami
---
Maulaya shalli wa sallim da’iman abada
‘Ala habibika khairi al-khalqi kullihimi

Dialah sang kekasih yang syafaatnya dinanti senantiasa
(Dalam menghadapi) segala derita dan petaka yang menerpa
---
Wahai Tuhan, demi Al-Musthafa (Muhammad Saw.)
Antarkanlah kami dalam menggapai cita-cita
Juga, ampunilah kami dari segala dosa
Wahai Yang Mahaluas dalam menganugerahkan karunia
---
Tuhan kami, shalawat dan salam kiranya tercurahkan senantiasa
Kepada kekasih-Mu yang tiada manusia mana pun kuasa menyetarainya


Ketika pertama kali mendengarkan madah Al-Burdah indah yang didendangkan Gus Dur (Allahu yarhamuh) di sebuah channel tivi tiga hari yang lalu, tak terasa tetes air mata menetes pelan dari kedua mata saya. Lama sekali saya tercenung dan termenung. Entah mengapa, mendengarkan madah nabawiyyah indah menyayat hati yang disenandungkan Gus Dur dengan sepenuh hati itu , yang terbayangkan oleh saya seakan Gus Dur sedang bersimpuh dan berdoa dengan sepenuh hati kepada Allah Swt. dengan tetes mata meleleh deras.

Madah indah yang disenandungkan Gus Dur itu sejatinya adalah penggalan dari madah Al-Burdah yang digubah Abu ‘Abdullah Syarafuddin Muhammad bin Sa‘id Al-Shanhaji Ad-Dalashi Al-Bushiri, seorang penyair yang wafat pada 681 H/1279 M di Mesir. Nah, madah dengan judul Al-Kawakib Al-Duriyah fi Madh Khair Al-Bariyyah itu sendiri sejatinya merupakan kasidah yang berisi pujian, kisah kelahiran, mi‘raj, perjuangan, dan doa bagi Nabi Muhammad Saw. Karya yang terdiri dari 162 bait dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, antara lain ke dalam bahasa Latin (1175 H/1761 M), Inggris oleh J.W. Redhouse (1299 H/1881 M), Perancis oleh de Sacy (1238 H/1822), Italia oleh Giuseppe Gabrieli (1319 H/1901 M), dan Jerman oleh Vincenz von Rosenzweig-Schawanau (1240 H/1824 M), di samping berbagai bahasa di dunia Islam, lahir selepas melintasi proses yang menarik:

Suatu saat Al-Bushiri berhasrat sekali menggubah madah panjang untuk Rasul Saw. Ketika ia mulai menggubah karyanya itu, ia jatuh sakit dan kemudian kelumpuhan menimpa dirinya. Tapi, hal itu tidak menghalanginya untuk melanjutkan upayanya itu, seraya berdoa kiranya Allah Swt. menyembuhkan kelumpuhan yang menimpa dirinya. Kemudian, suatu peristiwa aneh menimpa dirinya. Selama berbulan-bulan ia merasakan bahwa sesuatu akan terjadi pada dirinya. Manakala makan, ia lebih suka menyendiri, untuk menantikan sesuatu yang bakal terjadi. Manakala tidur, ia suka mencari kamar yang terpencil dan kemudian menantikan sesuatu yang menggelitik perasaannya. Tapi, bukan kematian yang ia nanti-nantikan. Perasaannya mengatakan, seorang tamu agung bakal mengunjunginya. Tamu agung berasal dari sebuah negeri nun jauh dan membawa pesan khusus kepadanya. Kondisi ini membuat karyanya tidak kunjung rampung.

Dari manakah datangnya perasaan serupa itu? Al-Bushiri sendiri tidak mengetahuinya. Tapi, ia senantiasa merasa, ia harus menanti dalam keadaan bersih dan suci. Lahir dan batin. Lantas, pada suatu malam, dalam mimpi, datanglah sang tamu yang ia nanti-nantikan. Tutur Al-Bushiri tentang peristiwa ini, “Dalam mimpi itu aku bertemu dengan Nabi Saw. Beliau kemudian mengusap-usapkan tangan beliau di pinggangku dan menyerahkan sepotong baju (burdah) kepadaku. Dalam pertemuan itu, tiba-tiba aku berhasil merampungkan gubahanku. Aku pun mendendangkannya di hadapan beliau. Kemudian aku terbangun. Tiba-tiba aku berdiri dan mampu berjalan lagi. Gubahanku itu kemudian kunamakan dengan Al-Burdah.”

Mengapa hati saya sangat tergetar, sehingga tetes air mata pelan membasahi kedua pipi saya, ketika mendengarkan pertama kali Gus Dur menyenandungkan madah yang indah itu? Hal itu mengingatkan saya pertemuan pertama saya dengan Gus Dur ketika saya kembali ke tanah air selepas menimba ilmu di Mesir: di dini hari pada 23 Februari 1984, selepas dua hari berada di Jakarta, saya pun menemui Gus Dur di Ciganjur (dekat Gudang Peluru, Cilandak, bukan di Jl. Warung Sila). Gus Dur adalah tokoh pertama yang saya temui di Indonesia. Dalam pertemuan itu, saya membawakan sebuah buku menarik, karya Dr. Muhammad Jabir Al-Anshari, Tahawwulat Al-Fikr wa Al-Siyasah fi Al-Syarq Al-‘Arabi, 1930-1970 (diterbitkan oleh Al-Majlis Al-Wathani li Al-Tsaqafah wa Al-Funun wa Al-Adab pada 1980) yang telah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (satu kopi terjemahan karya itu saya serahkan kepada Gus Dur, satu kopi saya pinjamkan kepada Cak Dr. Amal Fathullah Zarkasyi yang kini menjadi seorang kiai yang memimpin Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur).

Begitu menerima buku dan terjemahan karya itu, lama Gus Dur membolak-balik “oleh-oleh” saya dari Mesir itu. Lantas, Gus Dur bertanya kepada saya, “Anda tentu telah membaca dan menelaaah karya ini. Apa kelebihan karya ini dibandingkan dengan karya Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1789-1939? Saya ingin pandangan Anda yang paling obyektif?”
“Gus,” jawab saya agak kebingungan, karena menerima pertanyaan yang tak terduga itu. “Dua karya itu memang merupakan dua karya menarik tentang cikal bakal pembaharuan Islam di Timur Tengah dan perkembangannya serta dan para tokoh-tokohnya. Tapi, menurut saya, dalam karya Dr. Muhammad Jabir Al-Anshari ada suatu tesis menarik yang tidak saya temukan dalam karya Albert Hourani maupun karya-karya lain tentang gerakan pembaharuan Islam di Timur Tengah…”
“Apa itu?” tanya Gus Dur. Penuh perhatian.
“Begini, Gus,” jawab saya. “Semua pembaharu Muslim terkemuka di Timur Tengah, seperti halnya Thaha Husain, Muhammad Husain Haikal, dan Al-‘Aqqad, akhirnya mengakhiri “pengembaraan” mereka, sebelum mereka berpulang, pada suatu titik yang mirip: mereka akhirnya kembali ke pemikiran moderat yang berada di tengah-tengah pelbagai arus pemikiran Islam yang sedang berkembang di kawasan itu. Menariknya, kembalinya mereka ke pemikiran moderat itu senantiasa mereka tandai dengan penulisan karya mereka tentang Rasulullah Saw. Hal itu seakan memberikan isyarat bahwa mereka kembali ke ‘lingkungan Rasul Saw.’”

Mendengar jawaban saya demikian, Gus Dur termangu lama. Dan, kemudian Gus Dur berucap pelan, “Saya pun akan demikian. Suatu ketika, sebelum berpulang, saya pun akan ‘mencari Kanjeng Nabi Saw.’ dahulu….”

Kemudian, kami pun terlibat dalam perbincangan panjang hingga menjelang jam delapan pagi. Karena itu, tiga hari yang lalu, ketika mendengarkan madah nabawiyyah menyayat hati yang didendangkan Gus Dur tersebut, saya teringat pertemuan saya dengannya pada 1984 itu, seraya bergumam pelan, “Gus, kiranya Kanjeng Nabi Saw. memberikan syafaatnya kepadamu…”