Tuesday, February 23, 2010

Pesan Indah Al-Ghazali


Tadi pagi, ketika Aa Emuh dari Khalifah Tour meminta kepada penulis agar pada hari Sabtu nanti (27 Februari 2010) memberikan paparan tentang ibadah umrah, entah kenapa Al-Ghazalilah yang muncul dalam benak. Al-Ghazali, seorang ulama dan pemikir terkemuka yang terkenal dengan karya besarnya, Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, mungkin Anda telah mengenalnya. Tokoh dengan nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali ini, menurut catatan sejarah, lahir di Thus, Khurasan, pada 450 H/1058 M. Pada masa kecilnya ia belajar di bawah bimbingan Ahmad Ar-Radzkani. Selepas itu, ia lantas pergi ke Jurjan dan belajar kepada Imam Abu Nashr Al-Isamili. Dari Jurjan, ia kemudian kembali ke Thus, lalu merantau ke Nishapur. Di kota terakhir itu, ia belajar kepada Abu Al-Ma‘ali Al-Juwaini, yang mendapat gelar Imâm Al-Haramain. Ia tetap mendampingi gurunya itu hingga sang guru berpulang pada 478 H/1085 M. Ia lalu melanjutkan kelama ilmiahnya ke Al-‘Askar.

Enam tahun kemudian, Al-Ghazali memasuki Baghdad untuk mengajar di Perguruan Nizhamiyyah. Empat tahun lamanya ia mengajar di lembaga pendidikan kenamaan tersebut. Melalui jabatannya sebagai maha guru, namanya berkibar. Sehingga, ia dipandang sebagai seorang pemikir yang disegani dan ahli hukum yang dikagumi. Tidak saja di lingkungan lembaga itu. Tetapi, juga di kalangan pemerintahan di Baghdad.

Pada 488 H/1095 M Al-Ghazali meninggalkan Baghdad, dengan memberikan kesan akan pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tetapi, sejatinya kala itu ia sedang mengalami krisis dalam kehidupan ruhaniahnya. Untuk mengatasi krisis itu, ia kemudian meninggalkan segala hasil keilmuannya dan ketenaran namanya, yang telah ia bangun dengan kedudukannya sebagai mahaguru yang tenar dan tersohor, dan memasuki hidup berkontemplasi. Kemudian, dari bilik-bilik tertutup di masjid-masjid Damaskus dan Bait Al-Maqdis dan dari keheningan tafakur, ia tatap dengan kritis arus pemikiran agama dominan yang, dengan meninggalkan dunia ramai, kini secara lahiriah telah ia tinggalkan pula. Selepas itu, baru kemudian ia pergi menunaikan ibadah haji.

Dari Makkah Al-Mukarramah, pada 489 H/1096 M, Al-Ghazali merantau ke Suriah dan tinggal di Kota Damaskus. Selama menetap di kota terakhir itulah ia menyusun karya puncaknya, Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn. Nah, kepada orang yang melaksanakan umrah dan telah berada di Makkah Al-Mukarramah, Al-Ghazali dalam karya besarnya itu (iii: 120-123) antara lain berpesan, “Ketika memasuki Makkah Al-Mukarramah, hendaknya Anda ingat, kini Anda telah tiba dengan aman di Tanah Haram milik Allah Swt. Selain itu, hendaknya di kota itu Anda mengharap, dengan memasuki Kota Suci itu dengan aman, kiranya Anda akan aman pula dari siksa Allah Swt. Juga, hendaknya Anda merasa khawatir bahwa Anda sejatinya tidak berhak mendekati kota itu. Sehingga, dengan memasuki Tanah Haram, membuat diri Anda merugi dan layak menerima celaan. Namun, walau demikian, dalam seluruh waktu Anda, hendaknya harapan Andalah yang lebih kuat. Ini karena kedermawanan Allah Swt. ada di mana-mana dan Ia adalah Zat Yang Maha Penyayang. Lagi pula, kemuliaan Baitullah begitu agung: hak orang yang berziarah ke sana akan dipelihara dan permohonan perlindungan orang yang memohon perlindungan tidak akan disia-siakan.”

Kemudian, ketika orang yang bermaksud melaksanakan umrah itu telah berada di lingkungan Masjid Al-Haram, tokoh yang mendapat sebutan Hujjah Al-Islâm itu berpesan, “Selanjutnya, ketika pandangan Anda terarah ke Baitullah, seyogyanya dalam kalbu Anda timbul perasaan betapa agungnya Baitullah. Andaikanlah diri Anda saat itu seakan melihat Yang Memiliki Baitullah, karena Anda sangat mengagungkan Baitullah. Juga, hendaknya Anda berharap, kiranya Allah Swt. menganugerahkan kepada Anda kesempatan memandang wajah-Nya Yang Maha Mulia, laksana kesempatan yang telah dikaruniakan kepada Anda untuk memandang Rumah-Nya yang agung. Di samping itu, hendaknya Anda juga bersyukur kepada Allah Swt., karena Anda telah diantarkan hingga ke peringkat ini dan dimasukkan dalam jamaah yang datang dan menghadap kepada-Nya. Pada saat itu, hendaknya Anda ingat peristiwa dihimpunnya seluruh anak manusia pada Hari Kiamat kelak...”

“Kemudian ketika melaksanakan tawaf di Baitullah, perlu Anda ketahui, tawaf adalah shalat. Karena itu, hendaknya Anda menghadirkan dalam kalbu Anda keagungan Allah, rasa takut dan rasa harap kepada-Nya, dan seluruh perasaan cinta Anda kepada-Nya. Perlu diketahui, dengan melaksanakan tawaf, sejatinya Anda mirip para malaikat yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan mengelilingi seputar ‘Arasy! Janganlah Anda berpandangan bahwa maksud tawaf adalah melaksanakan tawaf mengelilingi Ka‘bah dengan tubuh Anda. Namun, maksud tawaf adalah melaksanakan tawaf dengan kalbu Anda, dengan senantiasa ingat kepada Sang Pemilik Baitullah. Sehingga, karena itu, Anda tidak memulai berpikir melainkan dari-Nya dan mengakhirinya dengan-Nya. Ini laksana tindakan Anda yang mengawali tawaf dari Baitullah dan mengakhirinya dengan Baitullah... Kemudian, ketika mencium Hajar Aswad, hendaknya Anda yakin bahwa Anda sedang menjalin sumpah kesetiaan dengan Allah Swt. dan Anda akan mematuhi-Nya. Karena itu, teguhkanlah cita-cita Anda dalam menyempurnakan sumpah kesetiaan Anda... ”

Manakala orang itu telah rampung melaksanakan tawaf dan kemudian menuju Bukit Shafa untuk melaksanakan sa‘i, Al-Ghazali berpesan, “Kemudian, ketika melaksanakan sa‘i di antara Bukit Shafa dan Marwah, laksanakanlah sa‘i laksana bolak-baliknya seorang hamba di halaman istana seorang raja. Hamba itu datang dan pergi berkali-kali untuk menyatakan ketulusan pengabdiannya dan mendambakan perhatian dengan pandangan kasih sayang, laksana orang yang masuk dan keluar dalam menghadap seorang raja, sedangkan ia tidak tahu apa yang akan ditetapkan sang raja terhadap dirinya: diterima atau ditolak. Karena itu, ia pun senantiasa bolak-balik di halaman istana itu berkali-kali, seraya mengharap kiranya ia berhasil meraih kasih sayang pada kali kedua, bila ia gagal meraihnya pada kali pertama.”

“Selanjutnya,” demikian tokoh yang melewatkan usia senjanya di tempat kelahirannya hingga ia menghadap Yang Maha Pencipta pada Senin, 14 Jumada Al-Tsaniyyah 505 H/19 Desember 1111 M, dengan meninggalkan banyak karya, antara lain Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, Al-Iqtishâd fi Al-I‘tiqâd, Ayyuhâ Al-Walad, Al-Munqidz min Al-Dhalâl, Maqâshid Al-Falâsifah, dan Tahâfut Al-Falâsifah, itu mengakhiri pesan indahnya, “ketika bolak-balik di antara Bukit Shafa dan Bukit Marwah, hendaknya Anda ingat pulang-pergi Anda di antara dua timbangan (al-mîzân) pada lapangan sangat luas pada Hari Kiamat kelak. Juga, hendaknya Bukit Shafa Anda umpamakan laksana timbangan kebaikan dan Bukit Marwah laksana timbangan keburukan. Selain itu, hendaklah Anda ingat bolak-balik Anda di antara dua timbangan itu dengan memandang pada beratnya dan ringannya, sedangkan pikiran Anda bolak-balik di antara siksaan dan ampunan.” (arofiusmani.blogspot.com/)

Thursday, February 4, 2010

Pertemuan Imajiner dengan Sinan Pasa


Pada malam hari kelima kunjungan kami (penulis dan istri) ke Istanbul pada tahun lalu, 2009 M, penulis dengan langkah-langkah pelan meninggalkan Hotel Yigitalp di Aksaray, tempat kami menginap, menuju Masjid Sehzade. Istri penulis saat itu tidak ikut serta. Saat itu, ia sedang menghadiri sebuah kongres medis di Musium Militer Turki di dekat Taksim Square. Maksud kedatangan penulis ke masjid itu adalah untuk melaksanakan shalat isya. Duh, ketika penulis tiba di masjid itu, ternyata semua pintu masjid telah tertutup. Rapat. Akhirnya, dengan menahan dingin malam hari Kota Istanbul di musim semi (sekitar 14 derajat Celcius), penulis pun melaksanakan shalat di pelataran luas masjid itu. Sendirian.

Seusai penulis melaksanakan shalat dan kemudian menikmati indahnya siluet Masjid Sehzade di malam hari, entah kenapa tiba-tiba dalam benak penulis muncul sosok Sinan Pasa di pelataran masjid itu. Kala itu, dalam benak penulis, maestro yang arsitek raksasa itu sedang berdiri tidak jauh dari penulis. Karena itu, penulis pun segera berdiri dan kemudian mendekati sosok berjenggot putih, bermata tajam, mengenakan serban tinggi serta berusia sekitar 85 tahun itu. Ketika penulis telah dekat dengan sosok itu, penulis pun menyapanya, “Assalamu‘alaikum…. Merhaba.”
“Wa‘alaikumussalam…,” jawab pelan sosok itu. “Merhaba, Memnun oldum!... Nasılsıniz?
“İyiyim, teşekkür ederim…”
“Türkçe konuşuyor musunuz?”
“Biraz…”
“Isminiz nedir…?”
“Ismim Ahmad Rofi’ Usmani…”
“Nerelisiniz?”
“Endonezya ‘dan geliyorum…”, jawab penulis terbata-bata, karena saat itu hanya sedikit sekali kosakata Turki yang penulis ketahui. Merasa tidak kuasa lagi meneruskan perbincangan dalam bahasa Turki, penulis pun berucap kepada Sinan dalam bahasa Indonesia, “Tuan, bukankah Anda adalah Sinan Pasa?”
“Benar, Ananda,” jawab sosok itu dengan nada suara yang sangat santun, seperti halnya nada suara kebanyakan orang-orang Turki, dan menjabat tangan penulis. “Memang, aku adalah Sinan. Selamat datang di Istanbul, Ananda.”

Betapa gembira hati penulis ketika tahu sosok itu adalah Sinan Pasa. Selepas berbagi sapa sejenak, kami kemudian duduk di sebuah tempat duduk yang terletak tidak jauh dari tempat wudhu indah berbentuk persegi delapan yang dibangun Sinan Pasa di pelataran Masjid Sehzade itu. Selepas itu, kami terlibat dalam perbincangan lama tentang sejarah Turki. Selain itu, Sinan Pasa juga menuturkan kisah hidupnya yang membentang panjang selama sekitar 98 tahun. Kemudian, seraya memandangi Masjid Sehzade, Sinan berucap pelan kepada penulis, “Ananda, tidak ingin tahukah engkau tentang kisah pendirian tiga masjid utama yang kurancang ini?”
“Tentu, Tuan Sinan Pasa. Setiap orang tentu ingin sekali mendengarkan kisah pendirian masjid ini. Apalagi langsung dari seorang maestro seperti halnya Tuan ini,” jawab penulis.
“Baiklah, Ananda,” jawab Sinan Pasa seraya menarik napas panjang, dan kedua matanya tampak menerawang jauh. “Aku merancang Masjid Sehzade ini atas perintah Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Aku yakin, engkau tentu mengetahui, siapa sultan yang satu itu. Masjid ini mulai dibangun pada 1547 M, ketika aku berusia 58 tahun. Seperti yang engkau saksikan saat ini di depanmu, masjid ini terdiri dari tiga bangunan utama : bangunan dalam, bangunan luar, dan pelataran di mana kita saat ini berada.”

“Kini, lihat puncak masjid,” tutur lebih lanjut Sinan Pasa. “Itu adalah kubah utama. Tinggi kubah itu mencapai sekitar 37 meter. Sedangkan garis tengahnya sepanjang 18.42 meter. Kemudian, lihatlah empat kubah yang lebih kecil ukurannya yang mengitari kubah utama. Setiap separuh dari empat kubah itu sengaja aku tempatkan di dinding kubah utama. Mengapa demikian? Hal itu aku lakukan agar masjid ini, bila dilihat dari dalam, akan tampak kian luas. Nah, untuk mengurangi kesan berat masjid ini, kubikin ruang-ruang di samping bangunan dalam itu. Masjid ini adalah masjid yang pertama kali kubangun. Alhamdulillah, dengan membangun masjid ini, kutemukan model rancangan masjid dengan kubah raksasa, atau ‘masjid dengan rancangan terpusat’. Perlu engkau ketahui, masjid ini merupakan ‘buah’ perjalananku ke pelbagai penjuru dunia. Ketika pembangunan masjid ini usai, betapa aku sangat bersyukur kepada Allah Swt. Inilah pengalaman pertamaku membangun sebuah masjid raksasa di masa itu.’”

Selepas berucap demikian, tokoh (yang wajahnya mengingatkan wajah beberapa sahabat penulis di Kairo, Mesir) yang hingga berusia 24 tahun memeluk agama Nasrani itu pun lama menekurkan kepalanya. Dan, tiba-tiba Sinan Pasa berpaling ke arah penulis dan bertanya pelan, “Apakah engkau sudah mengunjungi Masjid Sulaimaniyyah, Ananda?”
“Sudah, Tuan Sinan. Kenapa?”
“Ayo kita ke sana. Aku akan menceritakan kepadamu kisah pendirian Masjid Sulaimaniyyah.”

Kami pun, dengan langkah pelan, menembus malam Kota Istanbul yang kian dingin. Seraya melangkah pelan dan menikmati bangunan-bangunan lama dan indah di sepanjang jalan antara Masjid Sehzade dan Masjid Sulaimaniyyah, Sinan Pasa menuturkan tentang proses kreatifnya dalam merancang dan membangun tak kurang dari 441 bangunan arsitektur, termasuk Masjid Mehmet Pasa di Sophia, Bulgaria, Masjid Mustafa Pasa di Budapest, Masjid Tatar Khan di Rusia, Masjid Khusraw Pasa di Aleppo, dan Masjid Sultan Sulaiman di Damaskus, Suriah. Selain itu, ia juga menuturkan suatu rahasia yang tidak banyak diketahui banyak orang, mengapa Dinasti Usmaniyyah berhasil menjadi imperium yang sangat perkasa di masanya.

Selepas sekitar dua puluh menit berjalan menembus malam Kota Istanbul yang sangat indah, kami pun tiba di pelataran luas Masjid Sulaimaniyyah. Di sekitar pelataran itu ramai orang yang sedang menikmati suasana indah Masjid Sulaimaniyyah di kafe-kafe di sampingnya. Tampaknya, mereka tidak menyadari kehadiran kami yang kemudian duduk di kursi-kursi di kafe itu. Tak lama selepas menempatkan dirinya di kursi, penulis lihat Sinan Pasa lama menerawang lama Masjid Sulaimaniyyah yang berada di hadapannya. Tiba-tiba, penulis lihat air matanya menetes pelan dan kemudian membasahi kedua pipinya. Melihat hal itu, penulis pun bertanya pelan kepadanya, “Tuan Sinan, apakah Tuan dalam keadaan sakit?”

Mendengar pertanyaan penulis yang demikian, Sinan Pasa pun menarik napas panjang dan lama seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan, kemudian, ia berucap pelan, “Ananda, pesanku, hati-hatilah engkau ketika menerima dan memegang suatu amanah. Laksanakanlah amanah yang engkau terima dengan sebaik-baiknya. Walau demikian, tetaplah waspada dan hati-hati. Mengapa demikian? Karena walaubdengan senang hati menerima amanah untuk merancang dan membangun masjid ini, ternyata aku tetap terkena fitnah orang. Akibatnya, kepalaku nyaris dipancung Sultan Sulaiman Al-Qanuni.”
“Bagaimana kisah kejadian itu, Tuan Sinan?”
“Suatu hari, wahai Ananda, seseorang menyampaikan laporan palsu kepada Sultan Sulaiman Al-Qanuni bahwa aku lebih asyik dengan karya lain ketimbang merampungkan pembangunan Masjid Sulaimaniyyah,” jawab Sinan pelan. “Mendengar laporan demikian, amarah sang sultan pun membara. Ia pun segera menaiki kudanya dan mencari aku yang sedang berada di tempat kita saat ini. Begitu menemukan aku, ia pun mengancam aku agar segera merampungkan pembangunan masjid ini dan tidak menangani proyek lain. Jika tidak, ia mengancam akan memancung kepalaku. Aku pun kebingungan, mengapa sang sultan menuduh aku sedang melaksanakan proyek lain itu. Ini jelas fitnah yang sengaja ditaburkan oleh orang-orang yang tidak senang terhadap diriku yang terkenal sebagai pekerja keras yang sangat patuh kepada sang sultan. Dengan tubuh gemetar, karena ketakutan, aku pun menjelaskan kepada sang sultan bahwa aku tidak sedang menangani proyek lain. Alhamdulillah, sang sultan ternyata masih mempercayai aku. Selepas kejadian itu, aku pun memerintahkan para pekerja agar bekerja lebih keras. Akhirnya, masjid ini pun rampung tepat waktu.”

Mendengar penuturan Sinan Pasa yang demikian, penulis pun lama tercenung dan termenung: ternyata, orang sekaliber dan sebersih Sinan pun masih juga memiliki musuh. Kemudian, selepas Sinan maupun penulis “tenggelam” dalam perenungannya masing-masing, penulis pun memecah kesunyian yang terjadi di antara penulis dan Sinan dengan pertanya, “Tuan Sinan, bukankah Tuan tadi menyatakan akan menuturkan kisah pendirian Masjid Sulaimaniyyah?”
“Özür dilerim, Ananda,” sahut pelan Sinan. “Aku hampir lupa dengan tujuan kedatangan kita ke sini. Baiklah, kita kini beralih ke masalah tersebut. Masjid raksasa kedua yang kurancang ini mulai dibangun pada 1557 M. Dalam membangun masjid yang dipilih di atas sebuah bukit yang menjadi pusat Selat Bosphorus, sehingga masjid ini menjadi titik pusat yang sangat menarik perhatian dan pemandangan, aku memilih model kubah tengah dan dua kubah kecil. Kubah tengah, dari permukaan tanah, memiliki tinggi 53 meter. Dengan kata lain, masjid ini enam meter lebih tinggi dari Hagia Sophia. Selain itu, dalam membangun masjid, aku dayagunakan seluruh kemampuan arsitektural yang telah kukuasai saat itu. Demikian halnya, aku pun kala itu telah menaruh perhatian besar terhadap pelbagai faktor pengaruh suara, di samping sistem sirkulasi udara yang membuat udara di masjid ini bergerak cepat dan mudah. Coba Ananda masuk ke dalam masjid, tentu Ananda akan merasakan betapa nyaman udara di dalamnya.”

Usai bertutur demikian, Sinan Pasa kembali terdiam lama. Pandangannya terarah ke pelbagai penjuru masjid yang di malam itu dipendari lampu sorot dari pelbagai sudut. Dan, selepas itu, ia tiba-tiba bertanya kepada penulis, “Coba Ananda perhatikan, berapa jumlah menara masjid ini?”
“Empat menara, Tuan Sinan.”
“Nah, mengapa masjid ini kurancang dengan empat menara? Hal itu merupakan simbol bahwa Sultan Sulaiman Al-Qanuni adalah sultan ke-4 Dinasti Usmaniyyah. Coba Anda cermati menara-menara itu. Tinggi keempat menara itu tidak sama kan. Mengapa demikian? Dua menara yang dekat kubah kurancang lebih tinggi ketimbang dua menara lain yang jauh dari kubah. Ini kumaksudkan agar masjid ini tampak bagaikan bentuk piramid. Sehingga, membuat siluet-siluet indah masjid ini, yang juga berbentuk piramid, menimbulkan kesan yang sama di Selat Bosphorus. Malah, juga dari seluruh penjuru Istanbul. Ananda dapat membuktikannya besok: pergilah ke Eminonu dan naiklah ferry menuju Uskudar. Nah, ketika berada di atas ferry, arahkanlah pandangan Ananda ke masjid ini.”

Usai berucap demikian, entah kenapa Sinan Pasa lama memandangi penulis. Lantas, ucapnya, “Ananda sudah berkunjung ke Kota Edirne?”
“Efendim? Belum, Tuan Sinan. Kenapa?”
“Sayang,” ucap Sinan Pasa seraya menarik napas panjang. “Perlu Ananda ketahui, di Kota Edirne bisa engkau temukan sebuah masjid raksasa yang juga kurancang. Masjid yang diberi nama Masjid Salimiyyah itu sendiri mulai kubangun pada 1568 M atas permintaan Sultan Salim I, putra Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Lokasi masjid yang usai pembangunannya pada 1574 M ini sengaja kupilih di atas puncak sebuah bukit di kota itu. Dengan demikian, masjid itu terlihat dari seluruh penjuru kota.

Di samping atas permintaan Sultan Salim I, pembangunan masjid itu sejatinya sebagai jawabanku atas lecehan beberapa arsitek non-Muslim kala itu. Mereka menyatakan, di dunia Islam tidak mungkin ada satu pun bangunan raksasa sebesar Hagia Sophia. Lebih jauh mereka mengemukakan, di dunia Islam pembangunan masjid dengan kubah seperti kubah Hagia Sophia tidak akan terjadi. Ucapan mereka benar-benar sangat menyesakkan dadaku. Maka, dengan memohon pertolongan Allah Swt., kucurahkan seluruh pengetahuan dan kemampuanku untuk membangun masjid ini. Kemudian, dengan dorongan dari Sultan Salim I, alhamdulillah kemampuan itu berhasil kuhadirkan. Kubah masjid itu kurancang lebih tinggi enam kaki dan lebih dalam empat kaki ketimbang Hagia Sophia!”

Wajah Sinan Pasa tampak berpendar-pendar selepas berucap demikian. Dan, tak lama selepas itu ia berucap penuh semangat, “Ananda, berbeda dengan Masjid Sehzade dan Masjid Sulaimaniyyah, Masjid Salimiyyah kurancang hanya memiliki satu kubah raksasa dengan garis tengah 31.5 meter. Bukan hanya itu. Masjid ini kurancang dengan empat menara yang tinggi menjulang seakan menembus langit, setinggi 70.89 meter. Kala itu, pendirian menara-menara dengan ketingggian yang demikian itu merupakan terobosan luar biasa. Sebab, keempat menara itu, kala itu, dipandang sebagai menara-menara tertinggi di dunia saat itu. Lagi pula, berbeda dengan menara-menara lain yang telah ada saat itu, keempat menara itu kurancang dan kubangun berbentuk ramping tapi sangat tangguh dalam menghadapi hempasan angin. Masjid itu pun kurancang dengan disain interior yang sangat indah. Untuk penggarapan kaligrafinya kuserahkan kepada seorang kaligrafer tersohor kala itu, Hassan Kurrah Huseri!”

Usai bertutur demikian, Sinan Pasa kemudian berdiri dan meminta penulis kembali ke hotel, karena malam kian larut. Dan, ucapnya, “İyi geceler ve tatlı rüyalar, Ananda!“

Selepas mengucapkan terima kasih dan berpamitan kepada Sinan Pasa, penulis pun kembali ke hotel. Dan, sepanjang jalan, penuturannya yang penuh semangat itu membuat penulis teringat komentar seorang ahli sejarah arsitektur ternama, Ernst Diez, bahwa “keistimewaan lokasi, ukuran, tinggi, perpaduan, dan cahaya membuat Masjid Salimiyyah di Edirne dipandang sebagai salah satu khazanah arsitektur paling indah di dunia.”