Friday, March 19, 2010

Syaikh Al-Azhar dari Indonesia, Kenapa Tidak?


Sekitar sepuluh hari yang lalu, tepatnya pada Rabu, 24 Rabi‘ Al-Awwal 1431 H/10 Maret 2010 M, sebuah email saya terima: Syaikh Al-Azhar, Prof. Dr. Syaikh Muhammad Sayyid Thanthawi, berpulang ke hadirat Allah di Riyadh, Arab Saudi karena serangan jantung. “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’un…,” gumam saya pelan dan kemudian disambung dengan doa.

Segera saja, benak saya pun melayang-layang menuju Kairo, Mesir. Pertama-tama, benak saya melayang-layang menuju sebuah bangunan antik dengan bill-board di atasnya dengan tulisan “Idârah Al-Azhâr” dan terletak di antara dua masjid: Masjid Al-Azhar dan Masjid Al-Husain bin ‘Ali. Selepas itu, benak saya melayang-melayang menuju sebuah bangunan baru di Darasah, Kairo, di samping Gedung Mufti Mesir. Di dua bangunan itulah para Syaikh Al-Azhar berkantor. Namun, bangunan pertama kini tidak lagi dipakai sebagai Gedung Syaikh Al-Azhar.

Al-Azhar sendiri, sebagai sebuah lembaga pendidikan tertua di dunia Islam, mulai dipancangkan pertama kali pada Senin, 24 Jumada Awwal 359 H/4 April 970 M, oleh seorang panglima Dinasti Fathimiyyah yang memimpin penaklukan Mesir, Jauhar Al-Shiqilli. Namun, lembaga ini baru dibuka secara resmi pada Jumat, 7 Ramadhan 361 H/22 Juni 972 M. Pada hari itulah lembaga ini mulai dibuka sebagai masjid. Sedangkan kedudukannya sebagai lembaga pendidikan baru bermula empat tahun kemudian. Tepatnya,pada Ramadhan 365 H/Oktober 975 M.

Sebagai pengasuh pertama lembaga ini dipilih Abu Al-Hasan ‘Ali bin Al-Nu'man Al-Qairuwani yang kala itu menjabat Ketua Mahkamah Agung. Dari namanya nampak, tokoh itu berasal dari Qairuwan, Tunisia. Memang, penguasa Mesir kala itu, dari Dinasti Fathimiyyah yang beralirankan Syi‘ah, baru saja pindahan dari Tunis. Mereka juga membawa serta para ilmuwan yang sealiran dengan mereka. Kajian-kajian yang diberikan di lembaga pendidikan ini kala itu berkisar di seputar materi-materi agama, bahasa, logika, dan astronomi. Para pengajarnya yang terdiri sekitar 30 orang. Antara lain Menteri Abu Al-Faraj Ya‘qub bin Yusuf bin Killis. Menteri ini mengajar usul fikih versi Aliran Syi‘ah, dengan berpedomankan Kitab Al-Risalah Al-‘Aziziyyah.

Corak syi‘i yang mewarnai lembaga pendidikan ini baru berakhir kala Mesir jatuh ke tangan Dinasti Ayyubiyyah yang didirikan oleh Shalahuddn Al-Ayyubi. Di bawah dinasti ini, Al-Azhar pun berganti baju. Kini, lembaga ini menjadi bercorak sunni. Segera, lembaga ini mekar dengan cepat. Perkembangan ini mencapai puncaknya ketika Andalusia lepas dari pelukan kaum Muslim dan Baghdad luluh lantak akibat gempuran serdadu-serdadu Mongol. Al-Azhar menjadi tempat pelarian para ilmuwan dari kedua kawasan itu. Bukan luar biasa bila lembaga ini, selepas itu, segera menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia Islam. Perkembangan ini ditopang oleh dukungan para penguasa yang mencintai ilmu pengetahuan.

Selama itu, Al-Azhar belum lagi dipimpin seorang Syaikh Al-Azhar. Jabatan itu baru pertama kali diadakan pada 1101 H/1690 M. Pemegang pertama jabatan ini adalah Syaikh Muhammad ‘Abdullah Al-Kharrasyi. Hingga tahun 1355 H/1936 M, jabatan ini dapat diwariskan. Kemudian sejak, 1366 H/1946 M keluar aturan yang membolehkan pemegang jabatan itu berasal dari lingkungan Al-Azhar. Pengangkatan pemegang jabatan ini ditetapkan oleh Kepala Negara Mesir. Dalam perjalanan sejarah jabatan ini, sebagian besar pemegangnya berasal dari Mazhab Syafi‘i.

Pemegang jabatan Syaikh Al-Azhar sendiri memimpin lima lembaga: Majelis Tinggi Al-Azhar, Lembaga Riset Islam, Biro Kebudayaan dan Missi Islam, Universitas Al-Azhar, dan Lembaga Pendidikan Dasar dan Menengah. Majelis Tinggi al-Azhar merupakan lembaga tertinggi yang menggariskan kebijaksanaan umum al-Azhar. Majelis ini terdiri dari Syaikh Al-Azhar (sebagai Ketua), Wakil Syaikh Al-Azhar, Rektor Universitas Al-Azhar, para dekan berbagai fakultas di lingkungan Universitas Al-Azhar, empat orang dari Lembaga Riset Islam, seorang wakil dari berbagai Kementerian Mesir, Kepala Biro Kebudayaan dan Missi Islam, Direktur Pendidikan Dasar dan Menengah Al-Azhar, dan tiga pakar pendidikan tinggi.

Syaikh Al-Azhar merupakan jabatan umat, semacam kepausan di kalangan para pengikut Agama Kristen Katolik. Kurang lebih begitu, tapi tak sama persis, karena di Dunia Islam yang beraliran sunni tidak mengenal sistem seperti itu. Di sisi lain, jabatan itu merupakan jabatan independen dan otonom yang memiliki otoritas penuh tanpa campur tangan pemerintah. Tapi, sejak Presiden Anwar Sadat berkuasa, pemerintah Mesir mulai menggoyang kedudukan Syaikh Al-Azhar untuk masuknya campur tangan pemerintah Mesir di dalamnya. Ini karena sebenarnya jabatan Syaikh Al-Azhar setara kedudukannya dengan jabatan Perdana Menteri. Malah, konon, kekayaan wakaf Al-Azhar lebih banyak dari kekayaan pemerintah Mesir itu sendiri.

Namun, usaha yang dilakukan oleh Presiden Anwar Sadat senantiasa kandas di tangan kewibawaan seorang Syaikh Al-Azhar yang kala itu dijabat oleh Prof. Dr. Syaikh ‘Abdul Halim Mahmud. Siapakah tokoh dan ulama kharismatik yang satu ini? Syaikh Al-Azhar Mesir ke-40 yang juga terkenal sebagai seorang pemikir Muslim terkemuka dan penulis yang produktif ini lahir di Desa Abu Ahmad (sekarang disebut Desa Salam), Bilbis, provinsi Syarqiyah pada Selasa, 29 Rabi‘ Al-Akhir 1328 H/10 Mei 1910 M dalam lingkungan keluarga yang terkenal dermawan dan penghapal Al-Quran, dengan nama lengkap ‘Abdul Halim bin Mahmud bin ‘Ali bin Ahmad. Selepas menimba ilmu-ilmu keislaman di tempat kelahirannya, pada 1342 H/1923 M ia memasuki dunia pendidikan di lingkungan Al-Azhar, yakni di Perguruan Awwaliyyah. Sembilan tahun selepas itu ia berhasil meraih gelar al-‘âlimiyyah (setingkat magister) termuda sepanjang sejarah Al-Azhar, dalam usia 22 tahun. Lantas, ia bertolak ke Paris, Perancis, untuk menimba ilmu di Universitas Sorbonne dengan biaya sendiri.

Ketika anak keturunan ‘Ali bin Abu Thalib dari garis ayahandanya ini sedang meniti pendidikan di Perancis, Perang Dunia II berkecamuk dan menyelubungi negeri itu. Meski demikian, ia tetap melanjutkan pendidikannya. Sehingga gelar doktor dari universitas terkemuka di Kota Cahaya ini, di bidang tasawuf, ia raih pada 1359 H/1940 M di bawah bimbingan seorang orientalis terkemuka Perancis kala itu, Louis Massignon. Disertasinya tentang seorang tokoh sufi terkemuka pada masa pertengahan: Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi. Dan, karena suasana perang kala itu sedang mencekam, ia terpaksa pulang ke negerinya dalam waktu yang cukup lama, dengan melewati Tanjung Harapan, Afrika.

Setiba di Mesir, ulama dan ilmuwan yang acap menghadiri berbagai pertemuan Islam internasional ini diangkat menjadi staf pengajar di bidang ilmu jiwa di Fakultas Bahasa Arab di almamaternya. Pada 1371 H/1951 M tugasnya dipindahkan ke Fakultas Ushuluddin di universitas yang sama. Lantas, pada 1384 H/1964 M, ulama yang pernah menjadi penasihat keagamaan Presiden Anwar Sadat ini diangkat menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin. Pada tahun yang sama ia juga menjadi anggota Lembaga Riset Islam (Majma‘ Al-Buhuts Al-Islâmiyyah). Jabatan Menteri Wakaf Mesir dipegang ulama yang berpendapat bahwa “tasawuf adalah jalan yang selamat, akomodatif, dan konstruktif bagi kehidupan dan kemajuan” ini pada 1390 H/1970 M. Sedangkan jabatan tertinggi Al-Azhar, Syaikh Al-Azhar, menggantikan Muhammad Al-Fahham, diduduki ulama yang juga menjabat dosen terbang di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Zaitunah di Tunisia dan Universitas Islam di Libya ini sejak 1393 H/1973 M.

Nah, baru selepas Prof.Dr. ‘Abdul Halim Mahmud berpulang berpulang di Kairo pada Selasa, 14 Dzulqa‘dah 1398 H/17 Oktober 1978 M, campur tangan pemerintah Mesir mulai masuk ke dalam otoritas Syaikh Al-Azhar. Di sisi lain, sejatinya jabatan Syaikh Al-Azhar bukan hanya milik ulama Mesir. Tapi jabatan tersebut merupakan milik Dunia Islam. Siapa pun ulama dan tokoh Dunia Islam berhak menjadi Syaikh Al-Azhar dan bila terpilih tentunya. Memang, selama ini baru sekali jabatan itu dipegang seorang ulama non-Mesir. Karena itu, saya sepakat kiranya ada ulama Indonesia menjadi Syaikh Al-Azhar. Bukankah banyak putra-putra Indonesia yang lulusan Al-Azhar dan kini menjadi ulama terkemuka? Kenapa tidak!

Sunday, March 7, 2010

Andai Tragedi 1258 M Tak Terjadi


Tadi pagi, ketika membaca tulisan Mustafa Abdurrahman tentang pemilu di Irak, “Pemilu Mengandalkan Isu Non-Agama”, (Kompas, 7 Maret 2010 M), entah kenapa tiba-tiba saya menarik napas panjang. Ya, menarik napas panjang. Bukan karena persoalan pemilu di Irak itu. Tapi, karena tiba-tiba teringat kembali tragedi yang pernah menimpa Baghdad pada 656 H/1258 M. Suatu tragedi yang menelan jutaan manusia dan menghancurkan khazanah budaya yang sangat kaya. Bagaimanakah kisah tragedi itu?

Suatu hari, Baghdad Darussalam bermuram durja. Seorang khalifah yang memerintah kala itu meninggal dunia. Ia kemudian digantikan putranya, Abu Ahmad ‘Abdullah. Selepas menjabat khalifah, Abu Ahmad 'Abdullah bergelar Al-Mu‘tashim Billah. Mungkin, ketika mulai menjabat khalifah, Abu Ahmad 'Abdullah tak mempunyai firasat bahwa ia adalah khalifah terakhir Dinasti ‘Abbasiyyah dan menjadi saksi keruntuhan Baghdad Darussalam, salah satu pusat kebuadayaan kala itu. Sebuah kota yang dibangun Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa ke-2 dinasti itu, pada 145 H/762 M.

Ketika Al-Mu‘tashim Billah mulai bertugas sebagai khalifah, nun jauh di Asia Tengah sedang marak kembali suatu kekuatan yang membuat gentar seluruh penghuni bumi kala itu. Suatu kekuatan berkuda jempolan yang mampu bergulir cepat laksana air bah dan tak mengenal perikemanusiaan. Nasib malang dan memilukan senantiasa menimpa kawasan yang mereka duduki.

Pada 615 H/1218 M, pasukan itu melabrak kawasan-kawasan Transoxiana, Khurasan, dan Persia. Lebih dari sejuta serdadu yang ganas itu memorakporandakan negeri-negeri yang kala itu memiliki kebudayaan yang tinggi. Dua tahun kemudian, giliran Urganj yang diserbu. Bumi hangus dan genosida mewarnai kota itu. Kota itu mereka lumatkan dengan membobol dam-dam Oxus. Di Nessa, mereka memanggang 70.000 anak manusia. Nishapur, ibukota Dinasti Thahiriyyah kala itu, menerima gilirannya pada Shafar 618 H/April 1221 M. Kota itu digilas dan diratakan dengan tanah. Kemudian, seluruh penjuru kota itu dihampari onggokan jerami. Api pun dinyalakan dan bara api pun membakar kota itu selama berhari-hari. Menurut catatan Mirkhond, seorang sejarawan yang mengikuti gerak pasukan itu, pesta api yang membakar kota itu menelan korban “hanya” sekitar 1.747.000 orang. Duh…

Selanjutnya, gerak pasukan itu menuju Herat. Di sini, pembantaian terhadap anak-anak manusia terulang kembali. Sekitar 1.600.000 anak manusia dibunuh. Namun, kala pasukan itu bergerak ke Baghdad, Al-Mustanshir, khalifah yang digantikan Abu Ahmad, yang bergelar Al-Mu‘tashim Billah, berhasil memukul mundur pasukan ganas itu. Kesempatan untuk membalas dendam baru muncul pada masa pemerintahan Al-Mu‘tashim Billah yang kurang mampu memegang kendali pemerintahan. Berbagai pergolakan dan kegoncangan mewarnai masa pemerintahannya. Mungkin karena tak tahan melihat keadaan yang demikian, seorang menteri sang khalifah mengundang pasukan Tartar itu agar datang ke Baghdad. “Pengkhianat,” demikian komentar Ibn Khaldun, Abu Al-Fida’, Al-Maqrizi, dan Al-Sayuthi tentang tindakan sang menteri.

Undangan tak terduga itu diterima Hulagu Khan, wakil panglima pasukan Tartar dan saudara lelaki Kaisar Mangu Khan. Kala itu, ia sedang berada di Persia. Ia pun segera menggerakkan pasukannya menuju Tabriz. Dari kota itu, ia mengirim sepucuk surat kepada Al-Mu‘tashim Billah. Tulis Hulagu Khan, “Ketika kami bertempur melawan Rudwar, kami meminta bantuan kepada Anda. Anda kala itu berjanji akan mengirimkan bala bantuan. Kenyataannya, bala bantuan itu tak kunjung tiba. Kini, kami meminta Anda agar memperbaiki perilaku Anda. Anda jangan bertingkah, karena taruhannya adalah kerajaan dan harta karun Anda!”

Al-Mu‘tashim Billah melawan. Amarah Hulagu Khan pun membara. Selepas Baghdad dikepung selama sekitar 40 hari, kota itu akhirnya bertekuk lutut. Sulit diuraikan tindakan brutal dan ganas apa yang dilakukan Hulagu Khan dan pasukannya kala kota itu jatuh ke tangan mereka pada Ahad, 4 Shafar 656 H/10 Februari 1258 M. “Penghancuran Baghdad oleh Hulagu memerlukan pena seorang pakar seperti halnya Edward Gibbon,” begitu tulis Ameer Ali dalam A Short History of the Saraccens tentang tragedi Bagdad itu.

Banyak analisis telah disajikan tentang kejatuhan Baghdad lama itu. Kerap dikemukakan, kejatuhan kota itu di tangan pasukan Tartar merupakan awal kemunduran kaum Muslim. Saya sendiri kerap merenung, andai tragedi itu tak terjadi, apa yang akan terjadi? Akankah Dunia Islam dan kaum Muslim tidak akan mengalami kemunduran? Akankah “harta karun” ilmu pengetahuan yang dibakar dan dibuang ke Sungai Eufrat dan Tigris akan tetap ditelaah dan dikaji orang? Akankah…, akankah…, dan akankah…? Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Monday, March 1, 2010

Doa untuk Seorang Maestro


Kamis minggu lalu (25 Februari 2010 M), ketika saya sedang asyik menulis sebuah buku yang sedang saya siapkan untuk Penerbit Mizania, tiba-tiba hp saya berdering. Saya pun segera mengangkat hp itu. Begitu hp itu saya angkat, tiba-tiba suara ramah dan santun dari seberang pun berbunyi, “Assalamu’alaikum, Rofi’. Apa kabar? Sehat saja kan? Saat ini Rofi’ sedang ada di mana?”

Sejenak saya termenung dan mengingat-ingat suara itu. Dan, segera saja saya mengenali suara yang telah saya kenal sejak lama, tapi lama tak saya dengar, suara Ir. Achmad Noe’man, seorang arsitek senior Indonesia yang terkenal sebagai perancang Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB). Entah kenapa, saya senantiasa merasa bahagia setiap kali mendengar suara tokoh berwajah teduh itu. Tokoh yang santun, ramah, dan kuat dalam memegang nilai-nilai yang mulia ini memang sering berkomunikasi dengan saya. Biasanya, kalau beliau menelpon saya, beliau ingin menanyakan sesuatu. Segera, saya pun menjawab, “Wa’alaikumussalam, Pak Nou’man…Alhamdulillah, saya sehat dan afiat saja, Pak. Saya ada di Baleendah. Bapak sehat saja, kan. Rasanya sudah hampir setahun saya gak bertemu Bapak.”

Entah kenapa pula, tiba-tiba dalam benak saya terbayang Masjid Salman ITB yang lama tidak saya kunjungi. Sebuah masjid sederhana, tapi indah, dengan kubah terbalik di lingkungan kampus ITB.

Menurut catatan sejarah, masjid itu dirancang Pak Nou’man. Berdirinya masjid ini sendiri ini bermula dari bangkitnya kesadaran kehidupan beragama pada sebagian civitas akademika, dosen, mahasiswa, dan karyawan ITB. Kondisi yang demikian itu kemudian mendorong mereka untuk mengupayakan berdirinya sebuah masjid. Cikal bakal semangat ini bersemi sekitar 1374 H/1953 M, dengan dilakukannya beberapa kegiatan. Lantas, pada 1379 H/1959 M, mulai dibentuk suatu kepanitiaan, yakni Panitia Pembangunan Masjid Kampus ITB. Pada tahun berikutnya, tepatnya pada Jumat, 1 Dzulhijjah 1379 H/27 Mei 1960 M, diselenggarakan shalat Jumat pertama di Aula Barat ITB. Kemudian, pada Dzulqa‘dah 1382 H/Maret 1963 M, kepanitiaan tersebut dikukuhkan menjadi suatu badan hukum, yaitu “Yayasan Pembina Masjid Salman”, dengan ketua umum pertamanya Prof. TM. Soelaeman. Nama masjid ini sendiri, “Salman”, diambil dari nama seorang sahabat Nabi Muhammad Saw. berdarah Persia, Salman Al-Farisi: seorang arsitek pembuatan parit pertahanan dalam Perang Khandaq. Idenya yang cemerlang itu menjadi inspirasi bagi Presiden Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia, sewaktu memberi nama masjid ini. Bung Karno sendiri, begitu melihat rancangan masjid yang kubahnya terbalik itu, langsung berkomentar, “Waah, ini rancangan masjid yang berciri khas Indonesia!” Saat itu juga Bung Karno pun membubuhkan tanda tangan persetujuannya atas rancangan itu. Menara adalah bangunan pertama yang didirikan. Lantas, pada Jumat, 21 Rabi‘ Al-Awwal 1392 H/5 Mei 1972 M, bangunan ini resmi dibuka oleh Rektor ITB kala itu, Prof. Dr. Doddy Tisna Amijaya (alm.). Dalam perjalanan masjid ini selanjutnya, berbagai kegiatan marak dilakukan dalam rangka memakmurkan masjid ini.

“Ya, alhamdulillah, saya juga sehat. Benar, lama kita tidak bertemu. Rofi’, bolehkah saya mengganggu?”
“Silakan, Pak.”
“Begini, Rofi’, saat ini sedang merancang desain kaligrafi Masjid Baiturrahim, Jakarta. Rancangan itu sudah selesai. Saya ingin Rofi’ datang ke Birano, untuk mengecek desain itu. Saya tidak ingin ada kesalahan pada desain itu. Karena itu, saya harap Rofi’ mau mengeceknya, dengan melihatnya langsung.”
“Pak Nou’man, insya Allah akan saya cek dan lihat desain itu. Kebetulan hari Sabtu saya ada acara di Khalifah Tour. Bagaimana kalau selepas itu saya ke Jalan Ganesha no. 3?”
“Alhamdulillah, terima kasih, Rofi’. Hari Sabtu saya tunggu ya. Assalamu’alaikum…”

Dua hari kemudian, Sabtu 27 Februari 2010 M, selepas menghadiri suatu pertemuan yang diadakan Khalifah Tour, saya kemudian menuju ke Masjid Salman ITB bersama Ustadz Hervy Firdaus. Sekitar pukul satu siang, saya kemudian menuju sebuah pavilion yang terletak di Jalan Ganesha no. 3. Di situlah kantor Pak Nou’man, PT Birano, berada. Selepas mengetuk pintu pavilion itu beberapa lama, keluarlah tokoh yang telah saya kenal sejak 1985 M itu. Beliau sendiri yang membukakan pintu. Karena hari itu hari Sabtu dan libur, tiada seorang pun karyawan yang hadir. Dengan kata lain, yang ada di kantor itu hanya Pak Nou’man. Sendirian.

Selepas melintasi sebuah lorong, kami kemudian memasuki sebuah ruang kecil berukuran tak lebih dari 3 x 3 meter di sebelah kanan ujung lorong. Begitu memasuki ruang yang menurut saya sangat sederhana bagi seorang maestro seperti halnya Pak Nou’man, mata saya pun segera “menari-nari” ke pelbagai “penjuru” ruang itu. Di dalam ruang itu terdapat sebuah meja satu biro. Di meja itu saya lihat ada sebuah Al-Quran dan Al-Mu‘jam Al-Mufahraz. Di belakang meja itu terdapat rak-rak yang sarat dengan buku-buku arsitektur, sementara di sebelah kiri meja terdapat rak yang berhiaskan sebuah pesawat radio lama yang sedang menyiarkan lagu-lagu jazz. Tanpa bertanya, saya segera menyadari bahwa Radio KLCBSlah yang sedang “naik pentas”. “Ya Allah, betapa sederhana ruang kerja Pak Nou’man ini,” tak terasa bibir saya tiba-tiba bergumam sangat pelan. “Tapi, di tempat yang sederhana ini lahir pula karya-karya besar. Sungguh, Engkau Maha Pemurah dan Maha Adil, ya Allah. Lewat kesederhanaan hidup dan keteguhan bersikap yang mewarnai kehidupan Pak Nou’man, Engkau karuniakan karya-karya besar lewat tangan Pak Nouman.”

Tak lama kemudian, kami pun terlibat dalam perbincangan panjang. Dalam perbincangan itu, Pak Nou’man, antara lain, mengemukakan bahwa saat itu beliau sedang terlibat dalam kegiatan pemugaran Masjid Baiturrahim di lingkungan Istana Merdeka, Jakarta. Di sela-sela perbincangan itu, tokoh yang pernah menjadi anggota Corps Polisi Militer di Bandung dengan pangkat letnan dua itu menunjukkan beberapa desain kaligrafi yang akan menghiasi pintu utama masjid itu dan meminta saya untuk mengecek keligrafi-kaligrafi itu. Saya sendiri sejatinya tak tahu, kenapa sayalah yang diminta Pak Nou’man untuk mengeceknya. Dan, di sela-sela perbincangan itu, saya bertanya, “Usia Pak Nou’man sekarang berapa?”
“Menjelang 86 tahun, Rofi’,” jawab tokoh yang pernah menimba ilmu di Sekolah Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah Ketanggungan, Yogyakarta dan Institut Teknologi Bandung, Bandung itu seraya tersenyum
“Ya Allah, 85 tahun masih gagah dan tetap melahirkan karya-karya yang bermanfaat untuk umat,” gumam pelan saya seraya menatap wajah yang merancang sekian banyak masjid itu. Termasuk Masjid Al-Markaz Al-Islami di Makassar, Masjid At-Tin di Jakarta, dan Masjid Istiqlal Indonesia (sebuah masjid megah berukuran 30 x 30 meter, sumbangan pemerintah dan bangsa Indonesia kepada pemerintah dan bangsa Bosnia Herzegovina yang dibangun di Novi Grad, Otoka Maendar, kawasan Sarajevo Barat).

Entah kenapa, selepas berpamitan, saya segera “lari” dan pulang ke rumah, dengan tujuan mengecek usia sebenarnya tokoh yang ketika Indonesia memasuki “zaman revolusi” pernah bergabung dengan Divisi Siliwangi itu. Ketika melihat sebuah catatan tentang biografi mantan Ketua Yayasan Universitas Islam Bandung itu, ternyata beliau lahir di Garut pada Jumat, 11 Rabi‘ Al-Awwal 1343 H/10 Oktober 1924 M. Melihat catatan itu, saya pun berucap pelan, “Masya Allah, bukankah kalau menurut perhitungan tahun hijriah Pak Nou’man tahun ini telah berusia 88 tahun…”

Kemudian. ketika shalat asar tiba dan seusai melaksanakan shalat itu, saya pun secara khusus mendoakan Pak Nou’man. Lantas, seusai berdoa, entah kenapa tiba-tiba saya bergumam pelan, “Pak Nou'man, kiranya Allah menerima, memberkahi, dan meridhai seluruh amal Bapak. Dan, kiranya Allah senantiasa menganugerahkan karunia yang terbaik kepada Bapak. Di dunia dan akhirat. Amiin.” (Tulisan ini dipersembahkan khusus kepada tokoh yang sangat saya hormati: Bapak Ir. Achmad Nou’man) (arofiusmani.blogspot.com)