Tuesday, December 28, 2010

Kisah Petualangan Ibn Baththuthah


“Ibn Baththuthah, betapa jauh nian jarak yang engkau tempuh dalam petualanganmu,” gumam penulis ketika sedang membaca sebuah karya tentang pengelana yang satu itu. Entah kenapa, saat ini penulis sedang “menggemari” pelbagai karya yang berkaitan dengan tokoh asal Maroko itu. Satu demi satu, pelbagai karya tentang tokoh berdarah Berber itu mulai berada di tangan.

Kini, bagaimanakah sejatinya kisah petualangan tokoh yang satu ini: kisah perjalanan yang menyita sekitar seperempat abad dari usianya, suatu perjalanan luar biasa, hingga untuk ukuran dewasa ini sekalipun?

“Pada 750 H/1349 M,” demikian tutur Douglas Bullis dan Norman MacDonald dalam tulisannya “From Pilgrim to World Traveler” (Saudi Aramco World, Juli/Agustus, 2000), “seorang penunggang kuda berpakaian lusuh dan berusia tengah baya berjalan pelan menuju Kota Tangier, yang terletak di sebuah pantai Afrika Utara. Ketika ia meninggalkan kota kelahirannya, Tangier, 24 tahun sebelumnya (pada masa pemerintahan Dinasti Mariniyyah), ia tak pernah merancang akan melakukan perjalanan yang ternyata kemudian “memakan” masa mudanya hingga ia memasuki usia tengah baya baru kembali ke kota kelahirannya itu. Ya, seperempat abad hidupnya berlangsung dalam petualangan. Dan, selama itu, sekalipun ia tak pernah menengok bumi kelahirannya!

Ketika kedua mata pria tengah baya itu menatap kota kelahirannya, tokoh yang lahir pada Senin, 17 Rajab 703 H/ 24 Februari l304 M dengan nama lengkap Syamsuddin Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin Yusuf Al-Lawati Al-Thanji dan lebih terkenal dengan Ibn Baththuthah itu pun segera mencermati, satu demi satu, rumah-rumah yang menempati suatu lokasi melengkung sepanjang tepi Lautan Atlantik. Kala itu, ia mencoba “menampilkan kembali” seluruh rekaman kota yang telah ia tinggalkan semenjak sekitar seperempat abad sebelumnya. Segera, kenangannya ketika ia memulai kelana panjangnya pun muncul dalam benaknya.”

Pada 725 H/1325 M, kala baru berusia sekitar 21 tahun, anak muda berdarah Berber itu dengan perasaan enggan meninggalkan kedua orang tuanya, dengan bekal seekor kuda, uang, dan kain ihram, dengan tujuan untuk naik haji ke Makkah lewat jalan darat. Kota Suci itu berjarak sekitar 5.000 kilometer dari kota kelahirannya. Wajar, bila ia merasa gamang, karena merasa ia belum tentu bisa kembali lagi ke bumi kelahirannya. Berdasarkan penuturan jiran-jirannya yang pernah naik haji sebelumnya, perjalanan antara Tangier dan Makkah kala itu bukanlah perjalanan yang ringan dan aman. Apalagi, perjalanannya ke Makkah itu merupakan awal perjalanannya menempuh jarak ribuan kilometer. Dimulai dari Tangier, Maroko, lantas menuju Damaskus, dan kemudian Madinah hingga ke Makkah. Medan yang ia lintasi kala itu pun cukup berbahaya dan rawan gangguan keamanan, seperti melintasi gurun sahara, pegunungan, dan Sungai Nil.
Ternyata, rasa takut Ibn Baththuthah terbukti. Ketika sedang di tengah-tengah perjalanan di gurun pasir, ia pernah bersua dengan sekelompok perampok. Malah, ia sempat berkelahi dengan kawanan perampok itu. Akibatnya, anak Maroko itu nyaris dibunuh kawanan perampok itu. Untung, ia mendapatkan pertolongan dari salah seorang pimpinan perampok tersebut. Selamatlah ia!

Perjalanan Ibn Baththuthah bersama para jamaah Tangier lainnya itu, menempuh keringnya hawa Laut Mediterranea dan di tengah teriknya daratan berpasir Afrika Utara, hanya dengan berjalan kaki. Selepas menempuh jarak sekitar 3.500 kilometer, Kota Alexandria menjadi kota pertama yang ia singgahi. Selepas itu, ia mampir di Kairo beberapa lama. Dari Kairo, ia kemudian melanjutkan perjalanannnya dengan melintasi rute yang melalui Kota Bait Al-Maqdis, Aleppo, dan Damaskus, bersama kafilah para jamaah haji yang menuju Makkah. Tetap dengan berjalan kaki. Rombongan itu berhasil mencapai Makkah dalam waktu 18 bulan, pada Dzulqa‘dah 726 H/Oktober 1326 M. Sebulan menjelang dimulainya ibadah haji tahun itu.

Ternyata, selepas itu, jarak yang kemudian Ibn Baththutah lintasi tak hanya sekitar 5.000 kilometer saja. Tapi, lebih dari 100.000 kilometer! Hal itu berbeda sekali dengan langkah sebagian besar kaum Muslim kala itu yang selepas naik haji lantas kembali ke negeri mereka, karena kondisi kala itu tak memungkinkan mereka berlama-lama berada di tengah-tengah perjalanan. Tentu saja, karena keamanan dan sarana transportasi belum terjamin dan selancar dewasa ini. Ketika Ibn Baththuthah memulai kelananya, hal itu terjadi lebih dari 125 tahun sebelum Christopher Columbus, Vasco da Gama, dan Ferdinand Magellan melakukan kelananya. Tak aneh jika Ibn Baththuthah kerap disebut sebagai “pengelana masa pertengahan” dan “pengelana seluruh kawasan dunia Islam” di masanya.

Memang, Ibn Baththuthah adalah seorang pengelana dan petualang sejati. Mengapa?
Karena lewat petualangan dan kelana tersebut, ia berkesempatan mengunjungi pelbagai kawasan dunia kala itu: Spanyol, Rusia, Turki, Persia, India, China, dan seluruh Semenanjung Arab. Tidak hanya itu. Catatannya tentang pelbagai kawasan yang ia kunjungi, baik apakah tentang aspek keagamaan, sosial, dan politik, mampu memberikan gambaran dan pencerahan tentang kebudayaan yang berkembang di kawasan yang ia kunjungi itu. Menurut para pakar, jarak yang dilintasi Ibn Baththuthah dalam perjalanannya itu tak tertandingi oleh siapa pun hingga ditemukannya kapal uap. Termasuk Marco Polo, Magellan, dan Columbus! Tokoh suku Limatah, Berber, dan putra seorang qâdhî ini memang suka berkelana dan berpetualang. Dua puluh delapan tahun dari usianya, antara 725-754 H/1325-1353 M, ia habiskan di tengah-tengah perjalanan.

Selepas mengunjungi Makkah untuk menunaikan ibadah haji, Ibn Baththuthah lantas menuju Madinah, Damaskus (selama di kota ini ia menikah dan memiliki seorang putra yang tak pernah bertemu dengannya), Irak, Iran, lalu kembali ke Makkah. Di Kota Suci itu, untuk kedua kalinya, ia bermukim selama tiga tahun. Selama itu, pengelana yang haus ilmu ini kemudian menimba ilmu kepada sejumlah ulama dan ilmuwan. Puas menimba ilmu, dari Tanah Suci ia lantas mengayunkan langkah-langkahnya ke Yaman, lantas menyeberangi Laut Merah menuju Afrika dan mengunjungi Ethiopia, Mogadishu, Mombassa, Zanzibar, dan Kilwa.

Dari Somalia Ibn Baththuthah kemudian menapakkan kaki menuju Suriah. Selepas melintasi Suriah, ia kemudian memasuki wilayah Anatolia (kala itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Saljuq), Turki, naik sebuah kapal Genoa. Dari Alanya, ia kemudian menuju Konya lewat jalan darat. Selepas itu, ia menuju Sinope yang terletak di tepi Laut Hitam. Perjalanannya selanjutnya mengantarkannya ke Caffa (kini Theodisia), Ozbeg, dan Astrakhan. Dari Astrakhan, ia kemudian balik ke Constantinople (kini Istanbul dan kala itu masih di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi Timur). Betapa ia sangat mengagumi kota terakhir itu. Di kota itu, menurut catatannya, ia melihat banyak pendeta dan biarawati. Di kota itu pula, ia bertemu dengan Kaisar Andronicus III Palaelogus dan mengunjungi St. Hagia Sophia. Tapi, ia menolak masuk ke dalam gereja itu (kala itu belum lagi diubah menjadi masjid, karena masih di bawah kekuasaan Kekairan Romawi Timur). Alasannya, ia tak mau melintas di bawah palang salib.

Selepas sekitar satu bulan berada di Constantinople, Ibn Baththuthah kemudian balik lagi ke Astrakhan. Dari Astrakhan, dengan melintasi Laut Kaspia dan Aral, ia kemudian menuju Bukhara dan Samarkand. Dari Bukhara dan Samarkand, ia kemudian mengarahkan perjalanan ke selatan, menuju Afghanistan. Selepas itu, India menjadi kawasan berikutnya yang ia kunjungi. Kala itu, India berada di bawah kekuasaan Dinasti Tughluq dan di bawah pimpinan Ghiyatsuddin Muhammad Syah II (726-752 H/1325-1351 M). Selama di Benua India itu, ia menikah kembali dan memiliki seorang putri.

Selepas selama sekitar delapan tahun bermukim di India, antara lain menjabat sebagai seorang qâdhî, Ibn Baththuthah lantas menuju China, sebagai duta Kesultanan Delhi kepada penguasa China kala itu. Rombongan diplomatik ini berangkat pada akhir musim panas pada tahun 741 H/1341 M menuju pelabuhan Cambay. Namun, di tengah perjalanan, mereka diserang pemberontak Hindu yang menguasai daerah pedesaan India. Ibn Baththuthah tertangkap. Tapi, kemudian ia berhasil melarikan diri dan bergabung dengan rombongan yang tersisa. Mereka pun meneruskan perjalanan menuju China yang kala itu di bawah kekuasaan Dinasti Yuan. “Oh, ternyata tiada warga dunia mana pun yang lebih kaya ketimbang warga China,” tulisnya tentang negeri satu itu. Di China, ia antara lain berkunjung ke Hangchow dan Beijing. “Hangchow adalah kota terbesar di dunia yang pernah kulihat,” tulis lebih lanjut sang pengelana yang satu ini.
Usai dari China, Ibn Baththuthah lantas mampir di Indonesia selama 15 hari dan tak kembali ke India. Dari Indonesia ia lantas menuju ke kawasan Teluk Persia dan berhenti beberapa lama di Kepulauan Maldive. Nah, di kepulauan itu, ia menikah kembali dan memiliki seorang putra. Tuturnya tentang perkawinan di kepulauan itu kala itu, “Di kepulauan ini, mudah sekali bagi seorang untuk melangsungkan pernikahan. Ini karena ia tak perlu membayar mahal mahar…Tak aneh, ketika sebuah kapal berlabuh di pula itu, para awak kapal pun segera menikahi perempuan-perempuan kepulauan itu. Kemudian, ketika akan berangkat lagi, mereka pun menceraikan istri-istri mereka. Ini semacam nikah temporer. Kaum perempuan kepulauan itu tidak pernah meninggalkan negeri mereka.”

Selepas beberapa lama di Kepulauan Maldive, Ibn Baththuthah lantas meneruskan perjalanannya menuju Damaskus, Suriah. Di kota terakhir ini, ia bermaksud bertemu dengan seorang putranya yang ia tinggalkan 20 tahun sebelumnya. Ternyata, sang putra telah berpulang 15 tahun sebelum kedatangannya kembali ke kota itu. Selepas beberapa lama di Damaskus, ia kemudian meneruskan perjalanannya menuju Mesir. Tapi, segera ia meninggalkan Mesir, karena negeri itu kala itu sedang dihajar wabah kolera. Andalusia (kini Spanyol) menjadi tempat kunjungannya yang berikut, sesudah itu ia menuju kawasan Afrika Tengah. Terminal terakhir perjalanannya adalah Fez, Maroko. Ia tiba di kota tersebut pada 756 H/1357 M. Di kota itu pulalah, ia selepas sempat mengunjungi Andalusia, pada 770 H/1368-69 atau 779 H/1377 M, ia berpulang.

Kisah petualangan Ibn Baththuthah yang panjang dan sangat menarik itu kemudian, atas permintaan penguasa Maroko kala itu, Abu ‘Inan Faris, ia tuangkan dalam karya besarnya Tuhfah Al-Nazhâr fî Gharâ’ib Al-Amshâr wa ‘Ajâib Al-Asfâr yang juga dikenal dengan judul Rihlah Ibn Baththûthah, sebuah karya yang baru ditemukan 300 tahun kemudian di Aljazair. Karya yang satu ini berisi catatan mengenai negara-negara yang ia kunjungi. Kini, naskah asli karya ini tersimpan di Perpustakaan Nasional Perancis di Paris dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, antara lain ke dalam bahasa Inggris (1245 H/1829 M), bahasa Jerman (1331 H/1912 M), dan berbagai bahasa Eropa lainnya.

Demikianlah kisah perjalanan panjang Ibn Baththuthah. Kisah perjalanan yang membuat dirinya tertoreh sebagai “pengelana sejati” dan memberikan banyak inspirasi bagi para pengelana dan petualang selepas ia.

Sunday, December 19, 2010

Nasruddin Hoca dan 2 Perempuan Elok nan Jelita


Mulla Nasruddin Hoca, tentu Anda mengenal dia. Seperti telah dikemukakan dalam salah satu tulisan dalam blog ini, menurut kisah-kisah yang beredar, tokoh yang satu ini adalah seorang sufi jenaka yang kadang bertindak “kurang waras”.

Padahal, menurut Dr. Muhammad Rajab Al-Najjar, dalam karyanya Juha Al-‘Arabi, mulla yang satu ini sejatinya bukan sosok yang “kurang waras” alias sangat bego. Sebaliknya, ia adalah sosok yang berusaha mendekati segala persoalan yang ia hadapi dari aspek-aspek yang paling dekat dengan kebenaran dan kenyataan. Karena itu, bagi orang-orang lain yang tidak menyukai kebenaran, sosok Nasruddin Hoja merupakan sosok yang kontradiktif. Tak aneh, bila Sultan ‘Abdul Hamid II, seorang penguasa Turki, pernah melarang beredarnya “kisah-kisah tentang Nasruddin Hoca”. Sang penguasa khawatir, kisah-kisah itu dapat membangkitkan perlawanan rakyat Turki terhadap penguasa. Utamanya, penguasa yang otoriter dan salah dalam mengurus negara dan rakyat.

Perlu dikemukakan, aspek sosiallah yang paling acap mendapat sindiran dan sentilan dari Mulla Nasruddin Hoja. Salah satunya adalah kisah berikut yang mengungkapkan bahwa kala itu suap ternyata tak hanya berbentuk materi saja. Tapi, suap kadang juga berbentuk “hidangan” perempuan:

Suatu saat, ketika Mulla Nasruddin Hoca masih menjabat sebagai hakim, dua perempuan elok dan jelita menghadap kepadanya. Kemudian, salah seorang di antara dua perempuan itu berucap kepada Nasruddin, “Tuan Hakim Nasruddin! Sesuai persepakatan kerja di antara kami berdua, saya meminta perempuan itu membuatkan saya benang-benang besar seperti rambut saya ini. Tapi, ternyata, ia ingkar janji. Ia membuatkan saya benang-benang halus.

Usai berucap demikian, perempuan itu lantas melepas penutup mukanya yang bagaikan bulan purnama dan menunjukkan rambutnya yang keemasan bagaikan jalinan emas kepada Mulla Nasruddin Hoca seraya berbisik, “Nasruddin, menangkan saya.”

Perempuan kedua, yang tak kalah elok dan jelita dari perempuan pertama, pun menjawab, “Tuan Hakim Nasruddin! Berdasarkan persepakatan di antara kami berdua, benang-benang yang ia pesan sebesar kelingking saya ini. Bukan sebesar betis saya ini!"

Usai berucap demikian, perempuan kedua tersebut lantas menyingkapkan kainnya yang membalut betisnya nan putih, mulus, dan membangkitkan birahi.

Melihat perilaku dua perempuan itu, Mulla Nasruddin Hoca nyaris tak kuasa menahan diri. Tapi, selepas detak jantungnya tenang kembali, ia pun berucap kepada perempuan kedua yang elok dan jelita itu, “Sudah! Sudah! Janganlah engkau membuat benang-benang besar atau kecil yang dapat membuat jantung seperti jantungku ini tak kuat berdetak lagi!"

Monday, December 6, 2010

Kado Cinta untuk Muslimah


Sore hari itu, Jumat, 3 Desember 2010 M, usai mendampingi para ustadz dan ustadzah yang mengajarkan tata cara membaca Al-Quran kepada sekitar 70 anak yang sedang mengaji di rumah, seorang kurir datang menyerahkan sebuah bungkusan. Ternyata, bungkusan yang berasal dari Penerbit Mizania, Bandung itu berisi lima buku berjudul Kado Cinta untuk Muslimah. Menerima buku-buku tersebut, sebersit kebahagiaan “menyelinap” dalam kalbu. Tentu, penulis manapun akan merasa setiap kali menyaksikan karyanya terbit. Sejatinya, karena terlalu asyik dengan kegiatan penulisan sebuah karya lain, beberapa lama saya lupa pernah menyusun Kado Cinta untuk Muslimah itu.

Karya yang baru terbit itu sendiri saya susun untuk menyempurnakan karya-karya saya sebelumnya yang merupakan untaian kisah-kisah pilihan tentang: Teladan Indah dalam Ibadah, Rumah Cinta Rasulullah, Mutiara Akhlak Rasulullah, Wangi Akhlak Rasulullah, dan Pesan Indah dari Makkah dan Madinah. Semua karya itu diterbitkan Penerbit Mizania, Bandung. Selaras dengan judulnya, Kado Cinta untuk Muslimah menyajikan 60 fragmen memikat dan menawan yang berkaitan dengan kehidupan para Muslimah yang berkenaan cinta, pernikahan, kebahagiaan, keibuan, nilai-nilai luhur, perjuangan untuk meniti jalan lurus, dan lain-lainnya. Nah, salah satu kisah yang disajikan dalam Kado Cinta untuk Muslimah adalah kisah berikut:

Entah mengapa hari itu Sari Al-Saqathi ingin menapakkan kakinya ke sebuah rumah sakit. Sari Al-Saqathi, atau lebih lengkapnya Abu Al-Hasan Sari Al-Mughallis Al-Saqathi, adalah seorang sufi di Badghdad Dar Al-Salam. Kebanyakan para tokoh sufi semasanya di Irak adalah murid sufi yang semula berprofesi pedagang loakan ini.

Mungkin, dengan mengunjungi rumah sakit, sufi yang berpulang pada 253 H/867 M di usia sembilan puluh delapan tahun itu dapat berkaca dari orang-orang yang sedang tertimpa musibah. Ketika tiba di rumah sakit, entah mengapa kegelisahan dan kegalauan yang menyergap kalbunya tiba-tiba sirna. Tak berapa lama berada di rumah sakit, tiba-tiba pandangannya terpaku kepada seorang gadis cantik, tinggi, dan semampai tapi lunglai tanpa daya. Busana yang dikenakannya menunjukkan ia berasal dari kalangan berkecukupan. Harum wewangian dari tubuhnya pun segera menyergap penciuman sang sufi, begitu sang sufi dekat dengan gadis itu. Anehnya, kedua kaki dan tangannya terikat, sehingga membuatnya tak berdaya.

Ketika si gadis melihat sang sufi, tiba-tiba lelehan air mata membasahi kedua pipinya. Kemudian ucapnya pelan, “Janganlah melecehkan aku. Kedua tangan dan kakiku terikat bukan karena salahku. Tak pernah aku berkhianat. Apalagi menipu!”
Mendengar ucapan yang demikian, Sari Al-Saqathi pun bertanya kepada seorang perawat di rumah sakit itu, “Siapakah gadis itu?”
“Ia adalah seorang budak yang sedang sakit jiwa. Majikannya lantas mengikatnya, barang kali dapat membuatnya sehat sebagaimana sedia kala,” jawab perawat itu.

Kemudian tampak, oleh Sari Al-Saqathi, lelehan air mata gadis itu kian tak terbendung begitu mendengar ucapan perawat itu. Kemudian, ucap gadis itu pelan, “Duh, manusia! Aku tidak gila. Sejatinya, aku sedang terbuai cinta. Tapi, kalbuku tetap sebagaimana sedia kala. Kalian mengikat kedua tanganku. Padahal, tiada salah apa pun yang kuperbuat, kecuali upayaku untuk mencintai-Nya. Aku sedang terbuai oleh cinta kepada Kekasihku. Kesembuhanku terletak pada sesuatu yang menurut kalian merusakkan diriku. Dan, kerusakanku terletak pada sesuatu yang menurut kalian membuat kesembuhanku.”
Mendengar ucapan gadis itu, tak terasa lelehan air mata menghiasi kedua pipi Sari Al-Saqathi. Melihat lelehan air mata di kedua pipi sang sufi, tiba-tiba gadis itu berucap kepadanya, “Wahai Sari Al-Saqathi! Apakah hanya karena keluhanku tadi engkau menangis? Bagaimanakah andai engkau benar-benar mengenal Kekasihku?”

Seusai berucap demikian, gadis itu langsung tak sadarkan diri. Dan, beberapa saat selepas tak sadarkan diri, gadis itu kemudian siuman kembali. Lalu ucapnya lirih, “Kalbuku merintih menyesali perilakuku di masa yang lalu. Sedangkan jiwa dalam tubuhku merupakan penyebab sakitku. Kini, hanya kerinduan, cinta, dan asmaraku kepada-Nyalah yang mewarnai kalbuku. Kepada-Nyalah, kini, aku mengetuk pintu maaf-Nya dan Dia tahu apa yang tertoreh di relung kalbuku.”
Mendengar ucapan gadis tersebut, Sari Al-Saqathi tak kuasa menahan dirinya untuk bertanya kepadanya, “Saudariku.”
“Ada apa, Sari Al-Saqathi?”
“Dari mana engkau mengenalku?”
“Sejak engkau tiba di sini, aku telah mengenalmu. Orang yang setara dalam keimanan akan segera saling mengenal.”
“Kudengar engkau tadi menyebut kata-kata cinta. Kepada siapakah engkau sedang jatuh cinta?”
“Kepada Yang menyadarkan kita akan karunia-Nya. Juga, Yang begitu dekat dengan kalbu kita.”
“Siapakah yang membuatmu dalam keadaan terikat begini?”
“Orang-orang yang iri dan dengki kepadaku.”

Tiba-tiba gadis itu kembali tak sadarkan diri. Tapi, tak berapa lama kemudian, ia siuman kembali. Lalu, ucapnya pelan, “Tuhanku! Seorang hamba-Mu telah berbuat dosa. Kini, kalbunya senantiasa menangis karena takut kepada-Mu. Jadikanlah lelehan air matanya pembuka jalan menuju ampunan-Mu.”
Sari Al-Saqathi kemudian meminta kepada perawat rumah sakit untuk melepaskan tali yang mengikat kedua tangan dan kaki gadis itu. Lalu, ucapnya kepada gadis itu, “Kini, pergilah ke mana engkau kehendaki.”
“Sari! Ke mana aku harus menapakkan kedua kaki? Aku ini tak punya tempat bernaung diri. Kekasih kalbuku membuatku dimiliki salah seorang hamba-Nya. Bila ia rela melepaskanku, aku akan pergi. Bila tidak, aku akan menahan diri untuk tak melangkahkan kaki.”
Tak berapa lama kemudian majikan gadis itu muncul. Ia pun bertanya kepada si perawat, “Di manakah Tuhfah?”
“Ia ada di dalam, bersama Tuan Sari Al-Saqathi,” jawab si perawat.

Tahu Sari Al-Saqathi bersama gadis itu, orang itu lalu masuk ke dalam dan menyambutnya dengan perasaan gembira. Sari Al-Saqathi pun berucap kepadanya, “Gadis ini lebih layak engkau hormati ketimbang aku. Apa yang membuat engkau membencinya?”
“Banyak hal,” jawab orang itu. “Ia tak mau makan dan minum serta acap menangis dan tak sadarkan diri. Ia juga tak mau tidur dan membuat kami tak bias tidur. Kami membelinya dengan harga mahal: dua puluh ribu dirham. Kami berharap mendapat keuntungan besar dengan membeli budak yang satu ini. Ia cantik dan cerdas. Lagi pula, sebelum dalam keadaan begini, ia punya pekerjaan yang membuat dirinya diminati para pembeli.”
“Apa pekerjaannya sebelum ini?”
“Biduan!”
“Sejak kapan ia menderita keadaan seperti ini?”
“Sekitar setahun yang lepas.”
“Bagaimana asal mulanya ia menderita keadaan seperti ini?”
“Suatu hari, ketika sedang menyanyi, tiba-tiba ia berdiri, menangis, dan membanting kecapinya. Lalu, ia menggumamkan kata-kata tak jelas. Tapi, dari kata-katanya, tampak ia sedang jatuh cinta. Kami menanyainya. Tapi, ia tak mengaku.”
“Bila begitu, akan kubayar harganya. Malah, dengan harga yang jauh lebih mahal.”
“Tuan Al-Saqathi! Dari mana engkau akan mendapatkan uang sebanyak itu? Bukankah engkau adalah seorang sufi miskin?”
“Itu persoalan mudah. Untuk sementara ini, biarkanlah gadis ini tetap berada di rumah sakit ini. Hingga aku kuasa membayar harganya.”
Sari Al-Saqathi kemudian meninggalkan rumah sakit itu dengan hati yang perih dan bingung bagaimana kuasa mendapatkan uang dalam jumlah yang tak sedikit itu. Malam harinya, tanpa mengenal henti, ia berdoa kepada Allah Swt., “Ya Allah! Engkau mengetahui segala hal-ihwal diriku. Baik yang nyata maupun yang tak kasat mata. Tuhanku! Hanya kepada-Mu aku memohon karunia!”

Ketika Sari Al-Saqathi sedang merenung di tempat sembahyang, tiba-tiba pintu rumahnya ada yang mengetuknya. Ia pun bertanya, “Siapa di luar?”
“Seseorang yang mendapat perintah dari Pemiliknya untuk datang ke sini.”
Ketika Sari Al-Saqathi pun membuka pintu, di hadapannya muncul seorang pria dan empat anak muda yang membawa kantung berisi sesuatu. Pria itu pun berkata, “Bolehkah saya masuk ke dalam?”
“Siapakah engkau?”
“Saya adalah Ahmad bin Al-Mutsanna. Zat yang tak pernah berlaku pelit telah memberi saya karunia harta yang tak terkira. Tadi, ketika sedang tidur, saya bermimpi mendapatkan perintah dari Yang memiliki harta ini untuk membawa lima kantung uang kepadamu. Saya juga mendapat pesan, bayarkanlah uang ini kepada majikan Tuhfah.”
Sari Al-Saqathi langsung bersujud syukur atas karunia tak terkira tersebut. Selepas melaksanakan shalat subuh, ia pun keluar dengan mengajak serta Ahmad bin Al-Mutsanna pergi ke rumah sakit. Ketika tiba di sana, mereka langsung dipersilakan masuk. Melihat kedatangan mereka, kedua mata pun Tuhfah berkaca-kaca.

Belum lama mereka duduk, muncullah majikan Tuhfah dengan wajah sedih. Sari Al-Saqathi pun berucap kepadanya, “Bergembiralah! Kami datang dengan memberi keuntungan lima ribu dirham bagimu!”
“Demi Allah, tidak!”
“Sepuluh ribu dirham!”
“Demi Allah, tidak!”
“Sepuluh ribu dirham lagi!”
“Demi Allah, andai seluruh isi dunia ini engkau serahkan kepada saya, semua itu tak akan saya terima. Tuhfah kini merdeka. Demi Allah semata!”
“Bagaimana ceritanya hingga engkau mengambil keputusan demikian ini?”
“Semalam saya mengambil keputusan untuk menyedekahkan seluruh harta kekayaan saya di jalan Allah. Ya Allah! Engkaulah yang mencukupi segala keperluanku dan mengaruniakan rezeki kepadaku.”

Sari Al-Saqathi kemudian berpaling kepada Ahmad bin Al-Mutsanna. Segera tampak oleh Sari Al-Saqathi, lelehan air mata membasahi kedua pipi Ahmad bin Al-Mutsanna. Sari Al-Saqathi pun berucap kepadanya, “Saudaraku! Mengapa engkau bersedih?”
“Saya merasa, seakan Yang Benar tak menerima apa yang telah saya lakukan. Sungguh, demi Allah, seluruh harta kekayaan saya telah saya sedekahkan demi Allah semata.”
“Betapa besar berkah Tuhfah bagi semua orang,” ucap Sari Al-Saqathi penuh kekaguman.
Mendengar ucapan Sari Al-Saqathi yang demikian, tiba-tiba Tuhfah berdiri dan melangkah pergi seraya menangis. Sari Al-Saqathi pun bertanya kepadanya, “Allah telah membebaskanmu. Mengapa engkau menangis?”
“Aku lari darinya menuju kepada-Nya. Aku menangis karena tindakannya hanya untuk-Nya. Kini, hak-Nya terhadap diriku masih tetap di tangan-Nya, hingga aku meraih apa yang kuharapkan kepada-Nya,” jawab Tuhfah seraya melangkah pergi.

Selamat menikmat Kado Cinta untuk Muslimah serta mohon kritik dan masukan para pembaca budiman!