Wednesday, January 26, 2011

Tiga Serangkai


“Ya Allah, pada hari ini, masa 58 tahun telah Engkau karuniakan kepada hamba-Mu yang dhaif ini. Karuniakanlah pula, ya Allah, kepada hamba-Mu yang masih sarat bercak dan noda dosa ini kemampuan dan kesempatan mengisi sisa usia yang telah Engkau tetapkan baginya dengan hal-hal yang senantiasa Engkau ridhai dan berkahi, hingga hamba-Mu ini kuasa meraih khusnul khatimah, amiin,” doa penulis dini hari tadi, 26 Januari 2011.

Kemudian, ketika sedang menikmati indahnya pemandangan alam dini hari di luar jendela rumah di Baleendah, Bandung, tiba-tiba dalam benak “mencuat” kesadaran bahwa dalam perjalanan hidup ini, selain kedua orang tua, ternyata ada “tiga serangkai” yang sangat besar jasanya kepada penulis dalam meniti kehidupan yang fana ini. Ternyata, tiga serangkai yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda itu memiliki karakter yang berbeda pula.

Sosok yang pertama memiliki latar belakang pendidikan di bidang medis. Karakter peraih gelar dokter spesialis penyakit dalam, dari Universitas Padjadjaran pada 1996 M, ini mengingatkan penulis pada karakter nenek penulis, seorang ibu nyai (istri seorang kiai) di Kota Cepu, Jawa Tengah: keras kepala, cerdas, teguh dalam bersikap, jujur, dan sulit di”arah”kan. Karakternya yang demikian membuat dokter kelahiran Semarang, Jawa Tengah ini kerap “bertabrakan” dengan pelbagai “kekuatan” yang menurut ia melenceng. Namun, di sisi lain, “anak kolong” yang jebolan SMA Negeri 1-2 Semarang dan FKU Universitas Diponegoro ini gemar berbuat kebaikan. Karunia melimpah yang dianugerahkan Allah Swt. kepadanya nyaris tak pernah bertahan lama dalam genggaman tangannya, demi pelbagai kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat. Pelbagai kegiatan yang bermanfaat untuk masyarakat memang senantiasa menjadi perhatiannya semenjak muda usia. Selain itu, dokter spesialis penyakit dalam yang pernah ditugaskan di Kota Praya, Lombok Tengah dan pernah menerima penghargaan sebagai dokter teladan ini juga sangat kreatif: ide-ide barunya setiap hati senantiasa bercuatan bagaikan kembang api di awal tahun baru dan seakan tak pernah padam. Mantan wakil direktur sebuah rumah sakit yang pernah mengunjungi empat Benua: Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika ini tak lain adalah seorang perempuan yang “dikirimkan” Allah Swt. kepada penulis untuk menjadi istri semenjak dua puluh tujuh tahun yang silam.

Nah, yang kedua, dari tiga serangkai itu, memiliki karakter supel, ringan langkah dalam membantu siapa pun yang memerlukan bantuannya (tak aneh bila ia memiliki banyak sahabat dan teman), dan cerewet. Rumah menjadi sunyi manakala penggemar channel tv “Travel and Living” (yang di”komandani” Samantha Brown) yang sejak lahir hingga sarjana bermukim di Bandung ini sedang tak hadir. Selain itu, alumni SD “As-Salam” Bandung, SMU Negeri 2, Bandung, dan seorang sarjana di bidang teknik industri yang sedang mengambil program S-2 di bidang teknik perminyakan di Institut Teknologi Bandung ini gemar traveling dan membaca buku. Lewat kerja yang ia jalani, 21 provinsi di negeri yang sangat ia cintai dan beberapa negara telah ia kunjungi. Cita-citanya, seluruh provinsi di negerinya dapat ia kunjungi. Selain itu, lima Benua di Bumi ini pun ingin ia datangi. Sejatinya, selain traveling dan membaca buku, pencinta warna biru yang pekerja keras ini, seperti ibundanya, juga memiliki kemampuan menulis. Sayang, kemampuannya tersebut belum ia kembangkan secara optimal dan maksimal. Kisah perjalanannya ke pelbagai penjuru Indonesia, misalnya, sejatinya merupakan kisah yang memikat andai ia tuangkan menjadi sebuah buku. Bila mau, sejatinya ia pun mampu menggoreskan tulisan-tulisan yang kaya warna. Di sisi lain, penggemar naik ojek dan angkot yang belum bisa naik sepeda ini begitu patuh dengan ibundanya. Sehingga, begitu merampungkan pendidikan S-1 di bidang teknik, dan ibundanya meminta ia mengaji tata baca Al-Quran yang baik selama beberapa bulan di Pesantren Krapyak Yogyakarta, di bawah bimbingan Ibu Nyai Hj. Nafisah Ali Maksum, ia pun dengan patuh melaksanakan keinginan ibundanya. Tak aneh bila ia senang berkunjung ke Kota Gudeg. Putri sulung penulis, itulah sosok yang baik hati dan budi itu.

Lain lagi dengan sosok ketiga dan lahir di Bandung yang tak lain adalah putri bungsu penulis. Pendiam, cerdas, tapi sejatinya keras kepala dan jujur seperti ibundanya. Berbeda dengan kakaknya, alumni SD dan SMP Salman Al-Farisi, Bandung, lulusan MAN Insan Cendekia, Serpong, dan seorang sarjana teknik informatika dari sebuah institut teknologi negeri di Kota Bandung, yang juga menjadi almamater kakaknya, ini memang tak banyak menabur kata. Karakternya yang demikian mengingatkan penulis pada ibunda penulis, seorang ibu nyai (istri seorang kiai) di Kota Blora, Jawa Tengah. Walau pendiam, sejatinya penggemar komik dan film Korea dan Jepang ini diam-diam adalah seorang pemberontak dan senantiasa tak mau kalah dengan apa yang dicapai kakaknya. Berbeda dengan ibunda dan kakaknya yang “tak tahan memegang lama uang”, penggemar naik ojek dan angkot, seperti kakaknya, yang juga menyenangi bahasa Jepang dan pernah pergi ke beberapa negara ini hemat. Seperti halnya ibundanya dan kakaknya, pencinta warna merah ini juga gemar traveling dan membaca serta memiliki kemampuan menulis yang masih “dipendamnya”. Jelajah bacaannya lebih luas daripada jelajah bacaan ibundanya dan kakaknya. Namun, karakternya yang pendiam membuat ia tampak biasa-biasa saja. Padahal, sejatinya pelahap komik sejak kecil dan bershio naga (bagi yang memercayainya) ini memiliki kemampuan dan kepandaian di atas rata-rata. Walau kerap “bertabrakan” dengan ibundanya (dua-duanya memiliki karakter yang sama: keras kepala), sejatinya penggemar kisah Mahabharata ini juga dekat dengan ibundanya, seperti kakaknya. Namun, “kedekatan” dan “pendekatan”nya berbeda: tanpa banyak kata dan lebih banyak menggunakan bahasa tubuh semata.

Betapa bahagia penulis menerima anugerah luar biasa “tiga serangkai” yang senantiasa menjadi sahabat-sahabat dekat dan akrab penulis. Apalagi, walau “tiga serangkai” itu memiliki latar pendidikan umum, namun mereka memahami dan menghayati kehidupan pesantren yang menjadi latar belakang penulis. Karena itu, penulis khususkan tulisan kali ini untuk mereka bertiga, sebagai ungkapan rasa terima kasih dari relung hati terdalam, disertai doa: selain kiranya senantiasa menjadi hamba-hamba Allah yang salehah, kiranya mereka bertiga juga senantiasa menjadi hamba-hamba-Nya yang mendarmabaktikan hidup mereka bagi keluarga dan masyarakat luas di bawah naungan ridha dan berkah Allah Swt.

Tentu, penulis pun tak lupa pula mendoakan para sahabat dan para pembaca, “kiranya Allah Swt. meridhai dan memberkahi segala niat dan langkah baik mereka semua. Dan, ucapan terima kasih dari relung kalbu terdalam penulis sampaikan atas doa mereka semua. Kiranya Allah Swt. membalas amal kebaikan mereka semua. Amiin.”

Tuesday, January 18, 2011

Mengingatkan Sahabat yang Penguasa


Tadi pagi, Selasa 18 Januari 2011, ketika membuka dan menyimak pelbagai berita di koran dan internet, tentang pertemuan antara presiden negeri tercinta dan sejumlah tokoh lintas agama, entah kenapa tiba-tiba penulis teringat kisah indah berikut:

Nasihat, nasihat, dan nasihat, itulah yang kini diharapkan Abu Ja‘far Al-Manshur selepas menjadi orang nomor satu Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak. Segera, sebuah nama membersit dalam benaknya. Betapa ia kini ingin bertemu dengan seorang sahabat akrabnya kala masih remaja itu. Sahabatnya yang pernah menimba ilmu bersamanya itu kini telah menjadi seorang ulama, ahli ilmu kalam, dan orator terkemuka Bashrah. Karena itu, penguasa kedua Dinasti ‘Abbasiyyah itu pun segera mengirim utusan untuk mengundang ulama terkemuka dan mufti Bashrah bernama lengkap ‘Amr bin ‘Ubaid bin Bab Al-Taimi ke Baghdad Dar Al-Salam.

“Apa sejatinya yang diinginkan penguasa itu?” gumam ulama berdarah Persia dan lahir pada 80 H/700 M itu kala menerima undangan itu. “Bukankah aku kini jauh darinya. Lagi pula, selepas ia memegang tampuk pemerintahan, aku kini tak ingin mengunjunginya. Memang, dahulu ia adalah seorang sahabat karibku. Allah Maha Mengetahui, selama ini aku senantiasa berusaha menjauhi para penguasa laksana seseorang yang senantiasa menjauhi penderita penyakit kudis. Memang, mendekati mereka juga memiliki dampak positif. Karena, lewat kunjungan itu, dosa-dosa mereka dapat diredam manakala mereka mau melaksanakan nasihat dan kritik yang dikemukakan kepada mereka.”

Akhirnya, ‘Amr bin ‘Ubaid memutuskan akan menemui Abu Ja‘far Al-Manshur. Menurut pengamatannya, sahabatnya yang satu itu kini telah berubah menjadi seorang penguasa otoriter, karena seluruh sikap dan tindakannya hanya untuk memantapkan dan melanggengkan kekuasaan yang kini dalam genggaman tangannya. Ia merasa berkewajiban mengingatkan sahabatnya itu dan tak memedulikan akibatnya.

Setibanya ‘Amr bin ‘Ubaid di istana nan megah dan mewah yang didirikan Abu Ja‘far Al-Manshur di Baghdad Dar Al-Salam, ia pun disambut dengan penuh keakraban dan penghormatan oleh sahabatnya itu. Dan, selepas berbagi sapa beberapa lama, sang penguasa pun berucap kepadanya, “Wahai Abu ‘Utsman! Berilah aku nasihat.”

‘Amr bin ‘Ubaid pun menatap lama wajah sang penguasa, dengan tatapan yang mengungkapkan segenap penentangan dan pengingkaran yang bergelora dalam hatinya. Namun, perasaannya itu kemudian ia redam dengan ketenangan dan kesejukan yang berpendar dari wajahnya. Akhirnya, ia menjawab dengan ucapan basmalah dan firman Allah Swt., “Apakah engkau tak memerhatikan bagaimana Tuhanmu bertindak terhadap kaum ‘Ad? (Yaitu) penduduk Iram yang memiliki bangunan-bangunan tinggi menjulang yang (kota di mana pun) belum pernah dibangun seperti itu di negeri-negeri lain. (Juga, terhadap) kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Fir‘aun yang sewenang-wenang di negerinya. Lalu, mereka berbuat banyak kerusakan di negeri itu. Karena itu, Tuhanmu pun menimpakan kepada mereka azab yang pedih. Sungguh, Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (QS Al-Fajr [89]: 6-14)

‘Amr bin ‘Ubaid mengulang-ulang firman Allah Swt. itu, dengan tujuan mengingatkan sahabatnya yang kini suka bertindak sewenang-wenang itu. Mendengar firman Allah Swt. yang diulang-ulang itu, akhirnya Abu Ja‘far Al-Manshur memahami arah maksud sahabatnya yang ulama itu. Ia pun tak kuasa menahan lelehan air matanya. Melihat keadaan sang penguasa yang demikian itu, ‘Amr bin ‘Ubaid lantas berucap kepadanya. “Wahai Amir Al-Mukminin! Sungguh, Allah Swt. telah menganugerahkan dunia seluruhnya kepadamu. Karena itu, belilah dirimu dengan sebagian dunia itu. Ketahuilah, apa yang kini engkau raih itu dulunya milik orang lain. Lantas, ia diserahkan kepadamu. Demikian pula kelak ia akan berlalu darimu dan beralih kepada orang selepas dirimu. Aku ingatkan engkau, simaklah malam yang memunculkan pagi. Itulah pertanda kiamat!”
“Wahai Abu ‘Utsman!” sergah seseorang yang hadir dalam pertemuan itu. “Ringankanlah beban Amir Al-Mukminin! Ucapanmu itu membuat kian berat beban yang disangganya!”
“Siapa engkau?” sahut ‘Amr bin ‘Ubaid seraya menatap tajam wajah orang itu.
“Apa engkau tak mengenalnya, wahai Abu ‘Utsman?” tanya Abu Ja‘far Al-Manshur.
“Tidak! Aku tak peduli, apakah aku mengenalnya atau tidak!”
“Ia adalah sahabatmu, Sulaiman bin Majalid!”

Mendengar nama itu disebut, ‘Amr bin ‘Ubaid pun berucap dengan nada ketus, “Celaka engkau, Sulaiman! Engkau merasa sedih mendengar nasihatku kepada Amir Al-Mukminin! Lantas, engkau berusaha menghalang-halangi antara dia dan orang yang menasihatinya. Wahai Amir Al-Mukminin! Orang seperti inilah yang menjadikan dirimu sebagai tangga untuk merengkuh nafsunya. Engkau tak ubah orang yang mengambil dua ekor domba bertanduk. Sedangkan orang-orang selainmu yang memeras susunya. Takutlah kepada Allah Swt.! Karena engkau akan menjadi mayat sendirian, dihisab sendirian, dan dibangkitkan dari alam kubur sendirian. Mereka sedikit pun tak kuasa memberikan pertolongan kepadamu di saat menghadap Allah Swt.!”
“Wahai Abu ‘Utsman,” sergah Abu Ja‘far Al-Manshur. “Aku hanya mengangkat sahabat-sahabatmu saja sebagai para pembantuku. Aku ingin menolong mereka. Bukan yang lain.”
“Wahai Amir Al-Mukminin!” sahut ‘Amr bin ‘Ubaid. “Tegakkan kebenaran, tentu engkau akan mendapatkan pengikut dari kalangan para pejuang kebenaran!”

Usai berucap demikian, ‘Amr bin ‘Ubaid kemudian melihat seorang anak muda yang mengenakan pelbagai atribut kebesaran dan kemewahan. Manakala ia mengetahui anak muda itu adalah Al-Mahdi, putra Abu Ja‘far Al-Manshur yang belum lama diangkat sebagai putra mahkota, ‘Amr pun berucap dengan nada suara sangat geram, “Wahai Amir Al-Mukminin! Demi Allah, engkau telah memberikan untuknya sebuah nama yang tak pantas dengan perbuatannya. Engkau telah mengenakan kepadanya sebuah busana yang tak pantas dikenakan oleh orang yang tak lurus seperti ia. Engkau telah membebankan atas dirinya suatu urusan pemerintahan yang menurutnya paling membahagiakan dalam hidupnya, sedangkan sejatinya paling berat disangganya.”
“Apa engkau memiliki keperluan, wahai Abu ‘Utsman,” sergah sang khalifah yang berusaha mengalihkan perbincangannya dengan sahabatnya yang satu itu.
“Ya!”
“Apa keperluanmu?”
“Bukankah aku datang ke sini atas undanganmu?”
“Benar! Kalau engkau tak datang, tentu kita tak akan bertemu.”
“Karena engkau menanyakan kepadaku perihal keperluanku, karena itu kujawab bahwa keperluanku kini adalah berlalu darimu!”

Usai berucap demikian, ‘Amr bin ‘Ubaid pun meninggalkan istana.

Tuesday, January 11, 2011

Harun Al-Rasyid pun Menyesal Menjadi Penguasa


“Mas, kenapa sih kini kian banyak orang-orang yang ingin menjadi pejabat dan penguasa?” tanya seorang sahabat kepada penulis beberapa hari yang lalu dan sedang menikmati perjalanan di Jawa Tengah. “Apa mereka tidak ingat, sejatinya menjadi seorang penguasa sangat berat tanggung jawabnya. Baik di dunia maupun di akhirat kelak. Lihatlah jalan-jalan yang penuh lubang itu, apakah mereka mengira di akhirat kelak mereka tak akan dimintai pertanggungjawaban?”
“Entahlah, mungkin bagi mereka menjadi pejabat atau penguasa bebas dari tanggung jawab dan mereka dapat bertindak sesuka hati mereka. Barangkali, bagi mereka, jabatan merupakan “kemewahan” yang semenjak lama mereka dambakan,” jawab penulis sembari “menikmati” pelbagai baliho dan spanduk besar yang bertebaran di pelbagai sudut Provinsi Jawa Tengah itu.
Usai memberikan jawaban demikian, entah kenapa tiba-tiba benak penulis “melayang-layang” ke Baghdad, Irak dan teringat kisah penyesalan Harun Al-Rasyid menjadi seorang khalifah:

Suatu malam Harun Al-Rasyid, penguasa ke-5 Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak, memanggil Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus, seorang menteri besar Dinasti ‘Abbasiyyah kala itu, dan berucap kepadanya, “Wahai Al-Rabi‘! Malam ini, bawalah aku kepada seseorang yang kuasa menunjukkan kepadaku siapakah sejatinya aku ini. Entah kenapa, kini aku merasa jemu dengan segala kebesaran dan kebanggaan yang telah kurengkuh dan kunikmati selama ini!”

Menerima perintah demikian, Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus lantas membawa Harun Al-Rasyid ke rumah Sufyan bin ‘Uyainah. Mendengar seseorang mengetuk pintu, Sufyan bin ‘Uyainah menyahut, “Siapakah di luar?”
“Amir Al-Mukminin!” jawab Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus.
“Mengapakah Amir Al-Mukminin menyusahkan diri? Mengapa tak dikabarkan saja kepada saya, sehingga saya datang sendiri untuk menghadap?”
Mendengar ucapan tersebut, Harun Al-Rasyid pun berucap, “Ia bukan orang yang kucari. Ia pun penjilat seperti yang lain-lainnya.”
“Bila demikian, wahai Amir Al-Mukminin,” sergah Sufyan bin ‘Uyainah, “Al-Fudhail bin ‘Iyadh adalah orang yang engkau cari. Marilah kita pergi menemuinya.”
Usai berucap demikian, Sufyan bin ‘Uyainah kemudian membaca ayat Al-Quran, “Apakah orang-orang yang berbuat aniaya menyangka bahwa kami akan mempersamakan mereka dengan orang-orang yang beriman serta melakukan perbuatan-perbuatan saleh?”
Harun Al-Rasyid pun menimpali, “Andai aku menginginkan nasihat yang baik, tentu ayat itu mencukupi bagiku.”

Mereka lantas menuju ke rumah Al-Fudhail bin ‘Iyadh. Ketika mereka tiba di rumah Al-Fudhail, mereka lantas mengetuk pintu. Mendengar ketukan di pintu rumahnya, Al-Fudhail bertanya dari dalam, “Siapakah di luar?”
“Amir Al-Mukminin!” seru Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus dengan suara baritonnya yang menggelegar.
“Apakah urusan dia dengan aku dan urusan aku dengan dia?” tanya Al-Fudhail.
“Fudhail! Bukankah merupakan kewajiban setiap rakyat untuk mematuhi pemegang kekuasaan?” seru kembali Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus.
“Janganlah kalian mengganggu aku!” jawab Al-Fudhail. Sangat ketus.
“Haruskah aku mendobrak pintu dengan kekuasaan yang aku pegang atau dengan perintah Amir Al-Mukminin?” sahut Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus.
“Tiada sesuatu pun yang disebut kekuasaan!” ucap Al-Fudhail. “Jika engkau dengan paksa mendobrak masuk, tahukah apa yang harus engkau lakukan?”

Tanpa meminta izin, Harun Al-Rasyid kemudian masuk ke dalam rumah Al-Fudhail bin ‘Iyadh. Begitu melihat sang penguasa, Al-Fudhail lantas meniup lentera di depannya hingga padam agar ia tak dapat melihat wajah sang penguasa. Harun Al-Rasyid kemudian mengulurkan tangannya. Al-Fudhail pun menerima uluran tangan itu dan kemudian berucap, “Betapa lembut dan halus tangan ini! Kiranya tangan ini terhindar dari api neraka!”

“Wahai Guru! Berilah aku nasihat,” ucap Harun Al-Rasyid dengan suara pelan.
“Harun!” ucap Al-Fudhail, “leluhurmu, pamanda Rasulullah Saw. (maksudnya Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib), pernah meminta kepada beliau agar ia dijadikan pemimpin bagi sebagian umat manusia. Apa jawaban beliau? Jawab beliau, ‘Paman, bukankah aku pernah mengangkat engkau untuk sesaat sebagai pemimpin dirimu sendiri?’ Dengan jawaban itu Rasul Saw. memaksudkan bahwa sesaat mematuhi Allah adalah lebih baik daripada seribu tahun dipatuhi umat manusia. Kemudian Rasul Saw. menambahkan, ‘Kepemimpinan akan menjadi sumber penyesalan di hari kebangkitan kelak.’”

“Wahai Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu,” pinta Harun Al-Rasyid. Tetap dengan suara pelan.
“Ketika diangkat sebagai penguasa, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz lantas memanggil Abu ‘Umar Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab, Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah bin Jarwal Al-Kindi, dan Abu Hamzah Muhammad bin Ka‘b bin Salim bin Asad Al-Qurazhi. Ucap ‘Umar kepada mereka, ‘Hatiku sangat gundah dengan musibah ini. Apakah yang harus kulakukan? Aku tahu, kedudukan yang tinggi ini merupakan musibah, walau orang-orang lain memandang kedudukan sebagai karunia.’ Sahut Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah, “Wahai Amir Al-Mukminin! Jika engkau ingin terlepas dari hukuman Allah di akhirat kelak, pandanglah setiap Muslim yang lanjut usia laksana ayahandamu sendiri, setiap Muslim yang muda usia laksana saudaramu sendiri, setiap Muslim yang masih kanak-kanak laksana putramu sendiri. Dan, perlakukanlah mereka sebagaimana seharusnya seseorang memperlakukan ayahanda, saudara, dan putranya.’”

“Wahai Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu,” pinta lagi Harun Al-Rasyid.
“Harun!” ucap Al-Fudhail. “Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah lebih lanjut berucap, ‘Wahai Amir Al-Mukminin! Anggaplah negeri yang engkau pimpin laksana rumahmu sendiri dan penduduknya laksana keluargamu sendiri. Jenguklah ayahandamu, hormatilah saudaramu, dan bersikap baiklah kepada putramu.’ Kusayangkan jika wajahmu yang tampan ini akan terbakar hangus di neraka. Takutlah kepada Allah dan taatilah perintah-perintah-Nya. Berhati-hatilah dan bersikaplah bijak, karena di hari kebangkitan kelak Allah akan meminta pertanggungjawabanmu seputar setiap Muslim yang engkau pimpin dan Dia akan memeriksa apakah engkau telah berlaku adil kepada setiap orang. Ingatlah, manakala ada seorang perempuan uzur yang tertidur dalam keadaan lapar, di hari kebangkitan kelak ia akan menarik-narik pakaianmu dan memberikan kesaksian yang akan memberatkan dirimu!”

“Wahai Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu!”
“Abu Hamzah Muhammad bin Ka‘b kemudian tampil memberikan nasihat, “Wahai Amir Al-Mukminin! Engkau memiliki keberanian yang diwajibkan atas diri kita. Andai pada dirimu terdapat kekurangan dan kekhilafan, kita akan mengobatinya. Pegang teguhlah agama dan pikiran yang rasional, semua itu akan menopang dirimu dan menjadi kendali dirimu. Waspadalah terhadap orang yang mencintaimu karena ada pamrih terhadap dirimu. Karena manakala pamrih itu telah terpenuhi, cintanya akan sirna. Manakala engkau melakukan suatu kebaikan, peliharalah betul kebaikan itu. Dan, jadikanlah dunia sebagai tempatmu berpuasa dan akhirat sebagai tempatmu berbuka.’”

“Wahai Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu!”
“Abu ‘Umar Salim bin ‘Abdullah kemudian tampil memberikan nasihat, ‘Wahai Amir Al-Mukminin! Buatlah rakyat rela dengan sesuatu yang dirimu rela terhadap sesuatu itu. Juga, buatlah mereka tidak menyukai sesuatu yang dirimu tak menyukai sesuatu itu. Dengan demikian, engkau menyelamatkan mereka dan mereka menyelamatkan engkau.’”

Mendengar nasihat dan petuah demikian, Harun Al-Rasyid pun tak kuasa menahan lelehan air matanya dan termenung lama. Dan, ia pun sangat menyesali kedudukan dirinya sebagai penguasa!

Tuesday, January 4, 2011

Ketika Cinta Dipandang Sebagai Godaan


"Betapa kaya khazanah kisah-kisah cinta dalam warisan kebudayaan Islam," gumam penulis ketika menikmati sebuah karya berjudul Al-Hub fi Al-Turats Al-'Arabi." Dan, ternyata, tidak hanya Ibn Hazm saja, di antara para pemikir terkemuka Muslim, yang menyusun karya tentang cinta. Nah, salah satu di antara kisah-kisah cinta dalam khazanah tersebut adalah kisah berikut:

“Tuan, di luar ada seorang anak muda ingin menitipkan sepucuk surat,” ucap seorang pelayan, suatu saat, kepada majikannya yang hartawan. “Anak muda itu menunggu di depan rumah.”
“Suruh ia masuk ke dalam rumah dan ambillah suratnya,” sahut sang hartawan.
Si pelayan pun segera menemui anak muda itu dan menerima surat itu. Selepas membaca surat itu yang tertulis dalam bait-bait syair, ia pun berucap, “Oh, ini tentu sepucuk surat dari seorang anak muda yang sedang diterpa cinta.”

Merasa tertarik dengan keluhan yang dikemukakan anak muda tersebut, yang menuturkan kekasihnya yang tersekap dalam “sangkar emas” majikannya, ia pun memerintahkan si pelayan untuk menyilakan si anak muda untuk menemuinya di dalam rumah. Ternyata, anak muda itu telah berlalu. Tentu saja hal itu menimbulkan tanda tanya di hati sang hartawan. Karena itu, ia kemudian memerintahkan semua pelayan perempuannya agar berkumpul. Selepas mereka semua berkumpul, ia pun menuturkan kejadian tersebut dan kemudian bertanya kepada mereka,”Mengapa ada surat cinta seperti ini sampai kepadaku?”
“Wahai Tuan,” jawab mereka. “Kami pun tak tahu mengapa ada surat seperti itu datang kepada Tuan. Lantas, siapakah yang mengirim surat itu?”
“Seorang anak muda dan ia telah pergi tanpa pamit,” sahut sang hartawan. “Aku mengumpulkan kalian tak lain karena menurut dugaanku ia jatuh cinta kepada salah seorang di antara kalian. Karena itu, barang siapa mengakui anak muda itu adalah kekasihnya, aku rela menyerahkannya kepada anak muda itu dan menikahkannya. Tapi, hendaklah ia membawa surat balasan untuknya.”

Ternyata, tak seorang pelayan pun mengaku. Karena itu, sang hartawan lantas menulis surat kepada anak muda itu dan menyatakan rasa terima kasihnya kepada anak muda itu. Surat itu kemudian diletakkan di suatu tempat di dalam rumahnya. Namun, selepas beberapa hari berlalu, ternyata surat itu masih tetap ada di tempatnya. Tiada seorang pun mengambilnya. Sang hartawan pun semakin kebingungan dan akhirnya bergumam, “Mungkin yang menulis surat itu adalah salah seorang pelayan laki-lakiku. Tapi, bukankah anak muda itu, dalam surat itu, mengemukakan bahwa dirinya adalah seorang yang menjauhi gebyar duniawi dan puas dengan memandang semata kekasihnya?”

Sang hartawan kemudian membuat jebakan untuk memerangkap penulis surat cinta itu. Untuk itu, ia melarang para pelayan perempuan keluar dari dalam rumah. Ternyata, jebakannya berhasil. Hari berikutnya, seorang pelayan laki-laki menyerahkan sepucuk surat. Dalam surat itu, antara lain, si penulis, menggoreskan tintanya sebagai berikut, “Apakah yang dapat Tuan lakukan terhadap nyawa yang telah berada di kerongkongannya dan penyeru kematian senantiasa memicunya? Namun, saya akan tetap berusaha melawannya dengan sekuat daya, sehingga dapat memperlambat lajunya dan akhirnya beranjak dari kerongkongan saya. Sengaja diri ini saya sembunyikan manakala memandang gadis yang saya cintai, karena malu dan agak leluasa ketika terasyikkan oleh pandangan yang menyembuhkan kerinduan manakala melihatnya. Nafsu memang senantiasa menyeru seseorang, karena kebodohannya, untuk berbuat dosa. Tapi, kalbu saya tetap sehat dan tegar menghadapi gempurannya. Demi Allah, andai dikatakan kepada saya, ‘Kemarilah dan puaskanlah nafsumu, untuk mereguk segala kesenangan yang kumiliki!’, tentu akan saya jawab, ‘Tidak! Demi Tuhan yang sangat saya takuti hukuman-Nya, walau kesenangan itu berlipatganda, tetap tak akan saya lakukannya!’ Andai saya tak memiliki rasa malu, tentu akan saya kemukakan buah hati yang saya cintai dan saya ungkapkan pula sambutan cintanya kepada saya. Wassalam.”

Membaca surat dengan isi demikian, sang hartawan pun bergumam pelan, “Dengan apa lagi yang harus kulakukan untuk mengetahui jati diri anak muda ini.” Selepas itu, ia berucap kepada seorang pelayan laki-laki, “Bila ada seorang anak muda membawa surat kepadamu, tahanlah ia dan bawalah ia masuk ke dalam rumah!”
Ternyata, selepas itu, anak muda itu tiada lagi kabar beritanya.

Beberapa lama kemudian sang hartawan naik haji. Dan, ketika ia sedang bertawaf, seorang anak muda bertubuh kerempeng dan berpenampilan kuyu menghampirinya serta lama mencermati dirinya. Selepas ia bertawaf, anak muda itu lantas mengikuti jejak langkahnya dan kemudian mendekatinya seraya berucap pelan kepadanya, “Wahai Tuan, apakah Tuan tak mengenal saya?”
“Siapakah engkau, wahai anak muda?”
“Saya adalah penulis kedua pucuk surat yang Tuan terima.”

Mendengar pengakuan yang demikian, sang hartawan pun tak kuasa menahan dirinya. Ia pun memeluk lama anak muda itu. Dan, kemudian, ucapnya, “Wahai anak muda! Demi ayah dan ibuku sebagai tebusanku, demi Allah engkau benar-benar membuatku kebingungan dan gelisah. Engkau begitu rapi menyembunyikan identitasmu. Kini, maukah engkau menerima apa yang selama ini kaupinta dariku?”
“Wahai Tuan,” jawab anak muda itu dengan nada suara sopan dan santun. “Kiranya Allah memberkahi dan membahagiakan Tuan. Saya sengaja menemui Tuan tak lain hanyalah untuk meminta dihalalkan Tuan. Sebab, saya telah memandang seorang gadis milik Tuan dengan cara yang menyimpang dari tuntunan Al-Quran dan Sunnah. Cinta memang mengundang timbulnya godaan besar. Saya memohon ampun kepada Allah Yang Mahabesar.”
“Wahai anak muda, aku ingin agar engkau mau bersamaku ke rumahku. Sehingga, aku terhibur olehmu dan silaturahmi di antara kita terjalin erat.”
“Wahai Tuan, sayang tiada jalan untuk itu.”
“Kiranya Allah mengampuni dosamu, anak muda. Sungguh, pelayan yang engkau cintai itu akan kuserahkan kepadamu, berikut dengan uang sebanyak uang sebanyak seratus dinar. Selain itu, setiap tahun engkau akan kukirim dana sebanyak itu.”
“Kiranya Allah memberkahi Tuan. Andai tiada janji yang telah saya ikrarkan kepada-Nya dan pelbagai hal yang telah saya nazarkan untuk saya lakukannya, tentu tiada sesuatu pun di dunia ini yang saya sukai selain sesuatu yang Tuan tawarkan kepada saya ini. Tapi, kini tiada jalan untuk itu. Saya telah menjauhi hal-hal yang bercorak duniawi.”
“Wahai anak muda. Bila engkau menolak pemberianku itu, maukah engkau menuturkan kepadaku, siapakah sejatinya gadis yang engkau cintai. Ini, agar aku dapat menghormatinya, demi engkau, selama hidupku?”
“Wahai Tuan, saya tak akan menyebutkan jati dirinya kepada siapa pun.”

Usai berucap demikian, anak muda itu kemudian berdiri dan pergi meninggalkan sang hartawan. Sang hartawan pun hanya kuasa memandang anak muda itu berlalu dan akhirnya menghilang dari pandangannya.