Wednesday, June 22, 2011

Ketika Duka Itu Tiba


Entah kenapa, tadi pagi, ketika sedang menyiapkan diri untuk melakukan perjalanan ke Timur Tengah pada akhir minggu ini, tiba-tiba benak dan hati saya tersentak. Kemudian, tiba-tiba tidak terasa air mata menetes pelan, teringat Rasul Saw. Ya, teringat beliau yang berpulang di awal bulan Juni. Tepatnya pada 8 Juni 632 M. Air mata menetes karena menyesal, mengapa pada hari beliau berpulang saya tak teringat sama sekali kepada beliau dan baru hari ini ingat kalau beliau berpulang pada bulan Juni seraya bergumam, “Wahai Rasul, maafkan umatmu yang satu ini. Ternyata, kesibukan duniawi lebih menyilaukan dirinya, hingga ia melupakan engkau di hari ketika engkau bertemu dengan Kekasihmu.”

Rasulullah Saw. berpulang di bulan Juni? Bagaimanakah kisah hari-hari terakhir beliau di dunia yang fana ini?

Dua bulan selepas menunaikan ibadah Haji Perpisahan (Wadâ‘), Rasulullah Saw. jatuh sakit. Tapi, beliau tetap melaksanakan tugas seperti biasa. Beliau juga pergi ke Uhud dan mendoakan syuhada yang dimakamkan di sana. Ternyata, selepas hari demi hari berlalu, kondisi kesehatan beliau tidak kian membaik. Walau demikian, beliau terus melaksanakan shalat berjamaah hingga beliau menjadi begitu lemah dan tak kuasa bergerak. Beliau perintahkan Abu Bakar Al-Shiddiq untuk menjadi imam. Abu Bakar melaksanakannya selama beberapa hari. Empat hari sebelum wafat, di waktu subuh, beliau agak sembuh dan dalam keadaan tenang. Panas demam yang menimpa tubuh beliau sudah mulai turun. Sehingga, seolah karena obat yang diberikan keluarganya telah mulai bekerja dan dapat melawan penyakitnya. Sampai-sampai karena itu beliau dapat pula keluar rumah pergi ke masjid dengan berikat kepala dan bertopang pada ‘Ali bin Abu Thalib, menantu dan saudara sepupu tercinta beliau, dan dan Al-Fadhl bin Al-‘Abbas, sepupu beliau.

Abu Bakar Al-Shiddiq kala itu sedang mengimami orang-orang bersembahyang. Begitu kaum Muslim yang sedang melaksanakan shalat itu melihat Rasulullah Saw. datang, karena rasa gembira yang luar biasa, hampir-hampir mereka terpengaruh dalam sembahyang itu. Tapi, beliau memberi isyarat agar mereka meneruskan shalatnya. Bukan main gembira beliau gembira melihat semua itu.

Abu Bakar Al-Shiddiq merasa apa yang telah mereka lakukan itu, dan yakinlah ia bahwa mereka tak akan berlaku demikian itu kecuali untuk Rasulullah Saw. Ia pun surut dari tempat sembahyangnya untuk memberikan tempat kepada beliau. Tapi, beliau mendorongnya dari belakang agar ia tetap menjadi imam. Beliau sendiri kemudian duduk di samping Abu Bakar dan sembahyang sambil duduk di sebelah kanannya.

Usai shalat, Rasulullah Saw. kemudian menghadap kepada khalayak ramai, dan kemudian berkata dengan suara agak keras sehingga terdengar sampai keluar masjid, “Allah memberi karunia kepada hamba-Nya satu pilihan, antara dunia dan akhirat. Dia memilih yang terakhir.”

Rasulullah Saw. lantas diam dan orang-orang juga diam tak bergerak. Tapi, Abu Bakar Al-Shiddiq segera mengerti, yang dimaksud beliau dengan kata-kata terakhir itu adalah dirinya. Dengan perasaannya yang sangat lembut dan besarnya persahabatannya dengan beliau, ia tak dapat menahan air mata dan menangis sambil berkata, “Tidak. Malah, engkau akan kami tebus dengan jiwa kami dan anak-anak kami!”

Khawatir rasa terharu Abu Bakar Al-Shiddiq akan menular kepada yang lain, Rasulullah Saw. lantas memberi isyarat kepadanya, “Sabarlah, Abu Bakar!”

Kemudian Rasulullah Saw. berucap lagi, “Aku peringatkan kepada saudara sekalian, wahai kaum Muslim, agar berbuat baik kepada kaum Anshar. Mereka benar-benar telah melaksanakan tugas dengan baik. Kaum Muslim secara umum akan bertambah jumlahnya, Tapi kaum Anshar akan berkurang. Dan, jadilah mereka garam dalam makanan. Kesengsaraan telah menimpa bangsa-bangsa sebelum kalian, yang menyembah kuburan para Nabi dan orang-orang suci mereka. Aku larang kalian melakukan hal itu. Aku banyak berutang budi kepada Abu Bakar. Bila aku memanggil seseorang sebagai kawanku, maka dialah Abu Bakar. Tapi, persahabatan dan persaudaraan ini dalam iman, sampai tiba saatnya Allah mempertemukan kita di sisi-Nya. Wahai anak putriku tercinta, Fathimah, dan wahai bibiku tercinta, Shafiyyah, kerjakanlah sesuatu untuk akhirat, karena aku tak dapat membantumu terhadap kehendak Allah.”

Ini merupakan pidato terakhir Rasulullah Saw. Dan, melihat tanda-tanda kesehatan beliau yang kian membaik, bukan main gembiranya kaum Muslim, sampai-sampai Abu Bakar datang menghadap beliau dengan mengatakan, “Wahai Rasul! Aku lihat engkau kini dengan karunia dan nikmat Tuhan sudah sehat kembali. Hari ini adalah giliran Habibah binti Kharijah. Bolehkah aku mengunjunginya?”

Rasulullah Saw. pun mengizinkan. Abu Bakar Al-Shiddiq pun berangkat ke Sunh-di luar kota Madinah-tempat tinggal istrinya, Habibah binti Kharijah. Abu Bakar, seperti diketahui, setibanya di Madinah, kemudian dipersaudarakan dengan Kharijah bin Zaid, dari Bani Al-Harits dari suku Khazraj. Akhirnya, ia menikah dengan Habibah, putri Kharijah. Dan, dari perkawinan ini kemudian lahir Ummu Kultsum, yang ditinggalkan wafat oleh Abu Bakar ketika ia sedang dalam kandungan Habibah. Sedangkan keluarga Abu Bakar yang lain tak tinggal bersamanya di rumah Kharijah bin Zaid di Sunh. Ummu Ruman binti ‘Amir dan putrinya, ‘A’isyah, serta keluarga Abu Bakar yang lain tinggal di dalam Kota Madinah, di sebuah rumah berdekatan dengan rumah Abu Ayyub Al-Anshari, tempat Rasulullah Saw. tinggal.

Namun, ternyata sakit Rasulullah Saw. semakin berat. Pada pagi hari Senin, 12 Rabi‘ Al-Awwal 11 H/8 Juni 632 M, beliau merasa agak baik. Ketika waktu dhuha semakin beranjak, beliau menerima kedatangan putri tercintanya, Fathimah Al-Zahra’. Begitu melihat sang putri, yang lahir di Makkah, wajah beliau berbinar-binar. Segera pula beliau mempersilakan ibunda dua putra: Al-Hasan dan Al-Husain, dan dua putri: Ummu Kultsum dan Zainab itu duduk di samping beliau seraya berkata, “Selamat datang, putriku!”

Selepas berbagi sapa, Rasulullah Saw. kemudian membisikkan sesuatu kepada sang putri. Usai mendengar bisikan sang ayah, tiba-tiba putri keempat Rasulullah Saw. yang berhijrah ke Madinah bersama ‘Ali bin Abu Thalib atau Zaid bin Haritsah itu menangis tersedu. Ketika beliau melihat kesedihan sang putri, beliau lalu membisikkan sesuatu lagi kepadanya sehingga ia tersenyum-senyum.

Usai berbincang-bincang dengan sang putri, Rasulullah Saw. beristirahat. Melihat beliau beristirahat, ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq, istri beliau yang sangat penasaran melihat “peristiwa aneh” di depan mata kepalanya itu, segera mendekati Fathimah Al-Zahra’ dan bertanya kepadanya, “Fathimah! Sejatinya apa yang dibisikkan oleh Rasulullah Saw. kepadamu, sehingga engkau tiba-tiba menangis dan setelah beliau membisikkan sesuatu lagi kepadamu tiba-tiba pula engkau tersenyum-senyum?”

“Aku tak kan menyebarkan rahasia yang dibisikkan oleh Rasulullah Saw.,” jawab Fâthimah Al-Zahra’ seraya berlalu. (Sampai setelah Rasulullah Saw. wafat pada hari itu dan dikebumikan, ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq tetap memendam rasa penasarannya tersebut. Maka, karena rasa penasaran tersebut tak tertahankan lagi, suatu saat ia pun bertanya kepada Fathimah Al-Zahra’ mengenai “peristiwa aneh” tersebut, “Fathimah! Aku ingin menanyakan kembali kepadamu tentang apa yang diberitahukan oleh Rasulullah Saw. kepadamu yang dulu engkau tak mau menjelaskannya kepadaku!”

“Baiklah, kalau sekarang bolehlah. Saat itu, ketika Rasulullah Saw. membisikkan sesuatu kepadaku yang pertama kali, beliau memberitahuku bahwa Jibril a.s. dan beliau biasanya bertadarus Al-Quran satu kali atau kali setahun, sementara saat itu Jibril a.s. dan beliau bertadarus dua kali. Selanjutnya beliau membisikkan bahwa hal itu sebagai pertanda ajal beliau telah dekat, karena itu beliau memintaku untuk tetap bertakwa kepada Allah dan bersabar. Mendengar bisikan demikian, maka aku pun menangis tersedu seperti yang engkau saksikan dulu, karena tahu beliau akan segera berpulang. Dan, ketika Rasulullah Saw. melihat kesedihanku yang demikian itu, beliau membisikkan kepadaku, ‘Fathimah! Mengapa engkau tak ridha? Padahal, engkau akan menjadi pemimpin kaum perempuan di surga kelak?’ Mendengar bisikan demikian, aku pun tersenyum-senyum seperti yang engkau saksikan dulu,” jawab istri ‘Ali bin Abu Thalib yang berpulang beberapa bulan selepas Rasulullah Saw. wafat.

Pada sore harinya kesehatan beliau memburuk kembali. Beliau pingsan beberapa kali. Walau menghadapi sakaratulmaut, beliau tak pernah lupa kepada Tuhannya. Beliau terus-menerus mengucapkan istighfâr, “Ampunilah aku, ya Allah.”

Hingga menjelang malam, pernapasan Rasulullah Saw. masih bergerak-gerak. Bibir beliau bergerak-gerak dan terdengar suara perlahan oleh orang-orang yang duduk di sekitar beliau, “Tegakkanlah shalat. Perlakukanlah para hamba sahaya dengan baik.”

Di dekat beliau ada baskom penuh berisi air. Berkali-kali beliau membasahi tangan. Lalu beliau mengusapkannya ke muka beliau. Beliau, yang berada di pelukan istri tercintai beliau, ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq, kemudian mengangkat tangan dan menunjuk dengan jari beliau seraya berkata tiga kali, “Ya Allah, perkenankanlah aku bertemu dengan Kekasih Yang Maha Tinggi .”

Ruh Rasulullah Saw. pun kembali kepada Yang Memilikinya. Beliau kembali kepada Yang Mengutusnya. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn.

Monday, June 13, 2011

Dua Kado Indah untuk Istri Tercinta



Entah kenapa, pada minggu ini Allah Swt. menganugerahkan “kado” luar biasa kepada penulis. Di minggu ketika istri penulis memasuki tahun baru, ke-53 tahun, dua karya baru penulis mulai hadir di antara para pembaca budiman. Karena itu, dua karya itu secara khusus penulis hadiahkan kepada istri tercinta, seorang dokter penyakit dalam yang telah mendampingi penulis dalam menapaki dunia yang fana selama sekitar 27 tahun. Karya yang pertama berjudul “Makkah-Madinah, Menapaki Jejak Kota Nabi dan Kota Diturunkannya Al-Quran”. Sedangkan karya kedua berjudul “Dari Istana Topkapi Hingga Eksotisme Masjid Al-Azhar”.

Dalam karya yang pertama, “Makkah-Madinah, Menapaki Jejak Kota Nabi dan Kota Diturunkannya Al-Quran”, penulis menyajikan catatan dan kisah perjalanan ke Arab Saudi ketika penulis melaksanakan ibadah umrah pada Rabi‘ Al-Akhir 1431 H/Maret 2010 M. Walau perjalanan yang disajikan dalam karya ini merupakan kisah perjalanan selama beberapa hari ke negeri tersebut, namun lewat perjalanan selama beberapa hari itu penulis mencoba menghadirkan catatan dan potret perjalanan yang tak semata tentang segala sesuatu yang terjadi pada saat perjalanan itu. Tapi, dalam karya ini, penulis menghadirkan pelbagai aspek yang berkaitan erat dengan negara tersebut. Dengan demikian, harapan penulis, pembaca dapat mengenal lebih jauh negeri tersebut walau belum pernah berkunjung ke sana. Karena itu, dalam karya ini juga disajikan tentang sejarah Makkah, Madinah, dan Jeddah, misalnya saja.

Selain itu, dalam karya ini penulis juga menyajikan pelbagai pusaka historis (historical heritages) yang mewarnai Arab Saudi dan pelbagai aspek lain yang erat kaitannya dengan negeri itu. Dengan kata lain, harapan penulis, karya ini tak sekadar sebagai sebuah karya dan catatan perjalanan. Tapi, merupakan sebuah karya tentang negeri tersebut dengan bahasa yang enak dibaca dan mudah dicerna. Di sisi lain, penulis berharap kiranya catatan dan kisah perjalanan yang disajikan dalam karya ini dapat menampilkan gambaran yang cukup gamblang tentang “kehidupan” serta hal-hal lain yang erat kaitannya dengan negeri itu. Tentu saja, dalam karya ini penulis juga menghadirkan pelbagai hal yang erat kaitannya dengan ibadah umrah maupun ibadah haji.

Sementara karya yang kedua menyajikan kisah perjalanan penulis ke Mesir dan Turki. Mesir, sebuah negara yang terletak di antara Asia dan Afrika, dan Turki, sebuah negara yang terletak di antara Asia dan Eropa, tentu bukan negara-negara yang asing bagi para pembaca budiman. Dua negara yang mayoritas warganya memeluk Islam itu, memang, bukan negara-negara yang asing bagi sebagian besar kaum Muslim. Mesir, yang menjadi lokasi sebuah universitas Islam yang berusia lebih dari seribu tahun, Universitas Al-Azhar, terkenal sebagai negara yang memiliki sejarah panjang: lebih dari lima ribu tahun. Tak aneh bila negeri itu sarat dengan pelbagai peninggalan dan warisan historis. Sedangkan Turki terkenal pernah menjadi sebuah imperium yang wilayah kekuasaannya membentang di tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa.

Alhamdulillah, selepas Arab Saudi, ternyata Allah Swt. menjadikan Mesir sebagai negara kedua yang penulis kunjungi. Perjalanan penulis ke negara itu ternyata menorehkan kesan yang tak pernah terlupakan dalam diri penulis. Sedangkan kunjungan penulis pertama kali ke Turki baru terjadi pada 1430 H/2009 M. Ternyata, kunjungan itu juga memiliki kesan yang dalam pada diri penulis. Karena itu, ketika Allah Swt. memberikan kesempatan kembali mengunjungi dua negeri itu, pada tahun Rabi‘ Al-Akhir 1431 H/Maret 2010 M, timbul suatu dorongan kuat untuk menuangkan perjalanan tersebut dalam sebuah karya yang kini hadir di antara para pembaca budiman.

Karya kedua yang berjudul “Dari Istana Topkapi Hingga Eksotisme Masjid Al-Azhar” tersebut sejatinya merupakan kisah lanjutan catatan dan kisah perjalanan Arab Saudi, yaitu catatan perjalanan ke Mesir dan Turki. Walau perjalanan yang disajikan dalam karya ini merupakan kisah perjalanan selama beberapa hari ke dua negeri tersebut, namun lewat perjalanan selama beberapa hari itu penulis kembali mencoba menghadirkan catatan dan potret perjalanan yang tak semata tentang segala sesuatu yang terjadi pada saat perjalanan itu. Tapi, dalam karya ini, penulis mencoba menghadirkan pelbagai aspek yang berkaitan erat dengan ketiga negara tersebut. Dengan demikian, harapan penulis, pembaca dapat mengenal lebih jauh negeri-negari tersebut walau belum pernah berkunjung ke sana. Karena itu, dalam karya ini juga disajikan tentang sejarah Kairo, Alexandria, dan Istanbul, misalnya saja.

Selain itu, dalam karya ini penulis juga akan menyajikan pelbagai pusaka historis (historical heritages) yang mewarnai dua negeri tersebut dan pelbagai aspek lain yang erat kaitannya dengan dua negeri itu. Dengan kata lain, harapan penulis, karya ini tak sekadar sebagai sebuah karya dan catatan perjalanan. Tapi, merupakan sebuah karya tentang kedua negeri tersebut dengan bahasa yang enak dibaca dan mudah dicerna. Di sisi lain, penulis berharap kiranya catatan dan kisah perjalanan yang disajikan dalam karya ini dapat menampilkan gambaran yang cukup gamblang tentang “kehidupan” serta hal-hal lain yang erat kaitannya dengan dua negeri itu.

Anda bermaksud melaksanakan ibadah umrah/haji serta melakukan perjalanan ke Mesir dan/atau Turki, tak lengkap lengkap rasanya tanpa membaca dua karya ini. Selamat menikmati “Makkah-Madinah” dan “Dari Istana Topkapi Hingga Eksotisme Masjid Al-Azhar”.

Tuesday, June 7, 2011

Shaquille O'Neal dan Proses Iman


“Shaquille O’Neal has become a Muslim.”

Demikian tulis Imam Shamsi Ali, seorang Imam asal Indonesia di New York, Amerika Serikat tadi pagi di fbnya. Dan, mengenai keislaman pemain basketball kondang yang terkenal dengan panggilan Shaq itu, Imam Shamsi Ali memberikan komentar, “Islam itu indah dan magnetik. Semakin ditekan, semakin meninggi. Ini realitas pengalaman, bukan teori.”

Entah mengapa, membaca berita keislaman pemain basketball dengan tinggi 2,16 meter dan terkenal pula dengan sebutan “the Diesel”, “the Big Aristotle”, “MDE (Most Dominat Ever)”, “Superman”, dan juga “Doctor Shaq” tersebut, lama saya termenung dan kemudian benak saya melayang-layang serta teringat kisah keimanan ‘Umar bin Al-Khaththab. Proses keimanan khalifah kedua dalam sejarah Islam tersebut, juga proses keimanan “Doctor Shaq”, menunjukkan pertama-tama: Allah Swt. sangat kuasa atas kalbu manusia: pagi hari seseorang berlaku sebagai musuh besar Islam, tapi siang nanti ia dapat berubah menjadi seorang pendukung agama itu. Begitu pula sebaliknya.

Nah, untuk dapat memahami “proses keimanan” seseorang, marilah sejenak kita kembali pada kisah indah keimanan ‘Umar bin Al-Khaththab dan hikmah yang terkandung dalam kisah tersebut:

Setibanya ‘Amr bin Al-‘Ash dan ‘Abdullah bin Abu Rabi‘ah di Makkah, dari Habasyah, kegagalan misinya untuk membawa pulang kaum Muslim yang berhijrah ke sana, dengan cepat tersebar di kota itu. Kaum Muslim, tentu, bergembira mendengar kabar tersebut. Sebaliknya, hal itu kian membakar amarah para tokoh kaum musyrik Makkah. Mereka khawatir, peristiwa itu akan menyebabkan kian meningkatnya perlawanan kaum Muslim di Makkah dan kian banyaknya anak-anak muda Quraisy yang memeluk Islam. Yang paling marah, gelisah, dan resah dengan perkembangan batu itu adalah Abu Jahal dan kemenakannya, yaitu seorang anak muda dari kabilah ‘Adiy bernama ‘Umar bin Al-Khaththab.

‘Umar adalah putra Al-Khaththab, penyembah berhala yang amat setia dan pernah mengusir saudara tirinya sendiri, Zaid bin ‘Amr bin Nufail Al-‘Adawi Al-Qurasyi, yang menjadi seorang hanîf, keluar Kota Makkah ketika ia melecehkan agama kuno mereka. ‘Umar merupakan anak yang mewarisi watak orang tuanya yang penuh emosi dan cepat naik darah. Kesenangannya berfoya-foya dan menenggak minuman keras. Tapi, terhadap keluarga ia bersikap bijak dan santun. Anak muda yang baru berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu kemudian menyatakan kepada mereka, “Muhammad harus diakhiri! Aku yang akan menangani masalah ini! Sekarang juga!”

‘Umar bin Al-Khaththab yang sangat berang itu kemudian mengikatkan pedangnya dan pergi ke Bukit Shafa, menuju ke sebuah rumah yang biasa digunakan sebagai tempat pertemuan oleh kaum Muslim. Kala itu, di rumah itu, Rasullullah Saw. sedang bertemu dengan sejumlah sahabat, termasuk Hamzah bin ‘Abdul Muththalib, ‘Ali bin Abu Thalib, dan Abu Bakar bin Abu Quhafah. Di tengah jalan, ‘Umar bin Al-Khaththab berjumpa dengan salah seorang anggota keluarganya yang telah memeluk Islam, Nu‘aim bin ‘Abdullah. Memperhatikan kerut gelap di wajah ‘Umar, Nu‘aim menanyakan kepadanya apa yang terjadi. ‘Umar menjawab, ia akan membunuh Rasul Saw. Mendengar jawaban yang demikian itu, Nu‘aim segera berpikir keras untuk mengalihkan niat ‘Umar itu: ia menasihati ‘Umar, “‘Umar! Engkau hendaklah pertama-tama melihat ke rumahmu sendiri. Saudara perempuanmu dan saudara iparmu pun telah memeluk Islam.”

Mendengar kabar yang demikian itu, ‘Umar bin Al-Khaththab menjadi demikian berang. Sehingga, ia segera berbalik ke rumah saudara perempuannya, Fathimah binti Al-Khaththab, yang kala itu sedang membaca Al-Quran. Mendengar ‘Umar masuk, Fathimah menghentikan bacaannya. Namun, ‘Umar telah mendengar suaranya dan menanyakan apa artinya. Sang adik menjawab bahwa hal itu tiada apa-apanya. “Fathimah! Jangan engkau mencoba menyembunyikan apa pun dariku!” hardik ‘Umar bin Al-Khaththab dengan nada suara sangat gusar. “Aku tahu segala sesuatunya. Aku telah mendengar, kalian berdua telah ingkar agama!”

Usai berkata demikian, ‘Umar bin Al-Khaththab lantas memegang leher saudara iparnya, Sa‘id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail Al-‘Adawi Al-Qurasyi, dan memukulnya kuat-kuat. Melihat hal yang demikian, Fathimah mencoba campur tangan. Tapi, ia malah juga dipukuli hingga tubuhnya berlumuran darah. Dalam keadaan demikian, ia berseru, “‘Umar! Tega nian engkau engkau berbuat seperti ini kepadaku. Lakukanlah apa yang engkau kehendaki. Islam tak akan pernah lepas dari hati kami.”

Ucapan itu membangkitkan suatu dampak yang aneh dalam pikiran ‘Umar bin Al-Khaththab. Ia pun memandang adiknya dengan pandangan penuh kasih sayang. Apalagi selepas melihat darah yang mengalir keluar dari luka-luka yang ditimbulkannya. Hatinya benar-benar terharu. Akhirnya, ia berucap lirih, “Fathimah, tunjukkanlah kepadaku, apa yang tadi engkau baca.”

Fathimah binti Al-Khaththab pun membawa kertas-kertas kulit petikan Al-Quran yang disembunyikannya dan meletakkannya di depan kakaknya. ‘Umar bin Al-Khaththab pun mengambilnya dan menjumpai ayat-ayat, “Thâhâ. Kami tak menurunkan Al-Quran ini kepadamu agar engkau merasa berat. Tapi, sebagai peringatan bagi orang-orang yang takut. Diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit tinggi. Tuhan Yang Mahapemurah, yang bersemayam di atas ‘Arasy. Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi, dan semua yang ada di antara keduanya, serta semua yang terpendam di bawah tanah. Dan jika engkau mengeraskan ucapanmu, sungguh Dia mengetahui rahasia dan semua yang lebih tersembunyi. Dialah Allah, tiada Tuhan selain Dia, Dia yang mempunyai nama-nama sempurna.” (QS Thâhâ [20]: 1-8).

‘Umar bin Al-Khaththab pun membaca bagian itu dengan sepenuh hati. Nampaknya, setiap kata mengilhami hatinya dengan rasa segan dan hormat. Sehingga, akhirnya, ia berseru, “Betapa luar biasa dan mendalamnya kalam itu! Ya, semua itu benar. Aku seharusnya memeluk agamamu. Aku akan pergi menemui Muhammad untuk menyatakan keimananku kepada Allah. Di hadapannya.”

‘Umar bin Al-Khaththab pun segera meninggalkan rumah adiknya, berlari melintasi jalan-jalan Kota Makkah, menuju Bukit Shafa, tepatnya menuju rumah Abu ‘Abdullah Al-Arqam bin Abu Al-Arqam, tempat Rasulullah Saw. sedang menyampaikan pengarahan kepada para sahabat. Setibanya di rumah itu, ‘Umar segera mengetuk pintu. Mengetahui yang datang adalah ‘Umar, para sahabat menjadi gentar dan ketakutan, kecuali Hamzah bin ‘Abdul Muththalib. Rasul Saw. menyuruh membuka pintu dan mempersilakan ‘Umar masuk. Melihat sikap beliau yang sangat santun dan bijak, ‘Umar merasa kecil di hadapan beliau. Ia pun segera menyatakan niatnya menjadi seorang Muslim, “Wahai Rasul! Aku datang kepadamu untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta pesan yang dibawanya.” Rasul Saw. pun berseru, “Allâhu Akbar!”

Keislaman ‘Umar bin Al-Khaththab segera diikuti oleh putra sulungnya yang kelak menjadi seorang pakar manasik haji, ‘Abdullah, dan istrinya, Zainab binti Mazh‘un, saudara perempuan ‘Utsman bin Mazh‘un yang sedang berhijrah ke Habasyah. Selain itu, keislamannya melempangkan jalan bagi tokoh-tokoh Arab lainnya kala itu untuk memeluk Islam. Semenjak itu, berbondong-bondonglah orang masuk Islam. Sehingga, dalam waktu yang singkat, pengikut Islam bertambah dengan pesatnya. Apalagi selepas mereka melihat ‘Umar menyatakan keislamannya secara terbuka, mendatangi Abu Jahal untuk menyampaikan kabar tersebut, dan menyarankan kepada Rasulullah Saw. agar mengajak kaum Muslim shalat di lingkungan Ka‘bah secara terang-terangan. di tahun keenam dakwah Islam. Karena hal itulah, ia mendapat gelar Al-Fâruq. Dengan kata lain, keislamannya merupakan pembatas antara seruan Islam secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Mengenai hal ini, ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq berucap, “Allah menjadikan kebenaran pada ucapan dan kalbu ‘Umar. Ia adalah Al-Faruq yang menjadi pembatas antara kebenaran dan kebatilan.”

Di sisi lain, keislaman ‘Umar bin Al-Khaththab yang terjadi pada tahun keenam kenabian itu memberikan hikmah dan pelajaran yang berharga tentang proses keislaman seseorang. Tentang hal itu Tarik Ramadan, dalam karyanya In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad, menulis, “Nabi tahu, dirinya tak berkuasa atas hati manusia. Dalam menghadapi penganiayaan dan kesulitan besar, beliau berpaling kepada Allah, seraya berharap Dia akan memberi petunjuk kepada salah satu dari dua tokoh Quraisy yang beliau ketahui memiliki kualitas dan kekuatan yang diperlukan untuk membalikkan keadaan. Tentu saja Nabi tahu, hanya Allah yang berkuasa menuntun hati manusia. Bagi sebagian orang, perpindahan agama merupakan sebuah proses panjang yang membutuhkan masa penuh pertanyaan, keraguan, dan langkah maju-mundur. Sedangkan bagi yang lain, perpindahan agama berlangsung singkat, segera selepas membaca teks, atau memerhatikan gerak tubuh atau perilaku.”

“Hal yang demikian itu tak dapat dijelaskan. Peralihan agama yang memakan waktu paling lama tak berarti melahirkan keimanan yang kukuh, dan kebalikannya juga tak sepenuhnya benar: jika bicara urusan peralihan agama, kecenderungan hati, keimanan dan cinta, tiada lagi logika; yang berlaku adalah kekuasaan Allah yang luar biasa. ‘Umar keluar rumah dengan niat kuat untuk membunuh Nabi, dibutakan oleh pengingkarannya terhadap Allah Yang Maha Esa. Namun, beberapa jam kemudian, ia berubah dan mengalami sebuah transformasi sebagai hasil perubahan keyakinan akibat sentuhan sebuah Al-Quran dan maknanya. Malah, ia kemudian menjadi salah seorang sahabat setia dari orang yang ia ingikan kematiannya. Tak seorang pun di antara para pengikut Nabi yang dapat membayangkan bahwa ‘Umar akan mengikuti pesan agama Islam, mengingat ia dengan sangat jelas telah mengungkapkan kebenciannya terhadap Islam. Revolusi hati ini merupakan sebuah pertanda, dan ia mengajarkan dua hal: tiada yang mustahil bagi Allah, dan kita tak boleh memberikan penilaian mutlak terhadap sesuatu atau seseorang!”