Monday, July 25, 2011

Shalahuddin Al-Ayyubi dan Lady Sibylla


Tadi siang, 25 Juli 2011, selepas menulis semenjak selepas subuh, jemari tangan saya pun terasa tidak mau lagi diajak “berlari” untuk menulis. Karena itu, saya pun keluar dari ruang kerja saya sambil menyimak kembali isi buku saya yang baru terbit, Dari Istana Topkapi Hingga Eksotisme Masjid Al-Azhar. Entah kenapa, selepas membuka halaman demi halaman buku itu, pandangan saya tertambat pada halaman-halaman tentang kisah sebuah benteng gagah yang “menghiasi” Kota Kairo: Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi. Kemudian, ketika sedang asyik mencermati kisah benteng tersebut dan kisah ringkas pendirinya, tiba-tiba dalam benak saya menggeliat pertanyaan, “Shalahuddin Al-Ayyubi, siapakah sejatinya engkau? Benarkah engkau pernah jatuh cinta kepada Lady Sibylla?”

Segera, saya pun mencari tahu kisah lebih lengkap tokoh yang satu itu. Tokoh Muslim dan penguasa Mesir yang terkenal karena keberhasilannya dalam memukul mundur Pasukan Salib dari bumi Palestina ini, ternyata, lahir di Tikrit, Irak (tempat kelahiran mantan Presiden Saddam Husein), pada 532 H/1138 M. Bernama lengkap Al-Malik Al-Nashir Abu Al-Muzhaffar Shalahuddin bin Ayyub bin Syadzi, ia berasal dari sebuah keluarga berdarah Kurdi. Pada malam kelahirannya, ayahandanya berangkat menuju Aleppo, Suriah, untuk bekerja pada ‘Imaduddin Zangi, penguasa Turki di Suriah Utara kala itu. Karena itu, Shalahuddin tumbuh dewasa di Ba‘albak (kini masuk wilayah Lebanon) dan Damaskus. Di kota terakhir yang kini menjadi ibukota Suriah ini ia tinggal sekitar 25 tahun.

Nah, selepas merampungkan pendidikannya, Shalahuddin Al-Ayyubi bekerja di bawah pengarahan pamandanya, Asaduddin Syirkuh, panglima pasukan Nuruddin Zangi, putra ‘Imaduddin Zangi. Oleh sang paman ia, kala itu berusia 27 tahun, kemudian dilibatkan dalam ekspedisi militer ke Mesir, guna membantu Menteri Syawar dalam menghadapi dan menggempur Pasukan Salib. Segera bakat militernya mencuat. Ketika Syirkuh meninggal, ia diangkat sebagai penggantinya. Selain itu, ia juga diangkat sebagai menteri di Mesir. Segera, ia memancangkan kekuatannya dan berhasil meruntuhkan Dinasti Fathimiyyah yang kala itu di bawah pimpinan Khalifah Al-‘Adhid, pada 567 H/1171 M, dan mendirikan Dinasti Ayyubiyyah. Kekuasaannya melebar ke kawasan Suriah, Hijaz, dan Yaman.

Lantas, pada Jumat, 27 Rajab 583 H/2 Oktober 1187 M yang bertepatan dengan hari peringatan Isra’ dan Mi‘raj, Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil merebut kembali Bait Al-Maqdis, selepas sebelumnya selama 88 tahun berada di bawah kekuasaan Pasukan Salib. Tetapi, menjelang penyerbuan, ia memberi kesempatan penguasa Kristen kota itu untuk menyiapkan diri agar bisa melawan pasukannya dengan terhormat. Ketika pasukan Kristen akhirnya kalah juga, yang dilakukan Shalahuddin bukanlah menjadikan penduduk Nasrani sebagai budak. Malah, ia membebaskan sebagian besar mereka, tanpa dendam, meski sebelumnya, pada 493 H/1099 M, ketika Pasukan Salib dari Eropa merebut Bait Al-Maqdis, 70 ribu kaum Muslim kota itu dibantai dan sisa-sisa orang Yahudi digiring ke sinagoga untuk dibakar.

Seminggu selepas merebut kembali Bait Al-Maqdis, tepatnya pada Jumat, 5 Sya‘ban 583 H/9 Oktober 1187 M, ia memasuki Masjid Al-Aqsha dan melaksanakan shalat di Qubbah Al-Shakhrah selepas sebelumnya dibersihkan dan disiram dengan air mawar. Shalahuddin Al-Ayyubi berpulang ke hadirat Yang Maha Kuasa di Damaskus, Suriah pada Kamis, 28 Shafar 589 H/4 Maret 1193 M dalam perjalanan kembali ke Mesir, dalam usia 57 tahun, selepas jatuh sakit selama sekitar sepuluh hari. Jenazahnya dimakamkan di lingkungan Masjid Umawi di kota itu.

Nama tokoh dan jenderal yang satu itu, ternyata, tak hanya bergaung di Dunia Islam. Tapi, juga di luar dunia itu. Mari sejenak kita ikuti paparan Elias Antar (Saudi Aramco World, Mei/Juni 1970), dalam sebuah tulisan memikat berjudul “Saladin, Story of a Hero” tentang sultan yang mendirikan benteng di Kairo itu, “Bila Saladin biasanya dikenal seorang penguasa yang luar biasa, sejatinya ia juga seorang jenderal yang luar biasa, malah unik. Selain memiliki bakat sebagai seorang panglima, ahli strategi, dan perancang perang, Saladin juga seorang kesatria sejati. Itulah yang membuat namanya wangi semerbak di Barat.

Walau ia bisa saja bersikap keras dan malah ganas ketika keadaan mengharuskan demikian, namun ia benar-benar tak mengharapkan penumpahan darah. Sejatinya, noda satu-satunya yang mewarnai catatan perjalanan hidupnya hanyalah eksekusi atas diri sekitar 300 ksatria dari dua ordo militer utama, Templar dan Hospitaler, di Tiberias beberapa bulan sebelum ia menaklukkan Jerusalem. Malah, bila tindakannya tersebut dikaitkan dengan situasi dan kondisi yang tak stabil kala itu, sejatinya tindakannya tersebut bukan merupakan tindak kejahatan. Ketika Pasukan Salib pertama kali menduduki Jerusalem, pada 1099, mereka membunuh ribuan orang, termasuk kaum perempuan dan anak-anak. Tapi, ketika Saladin menaklukkan kembali kota itu, kala itu tiada pembunuhan sama sekali maupun penghancuran tempat-tempat suci. Malah, para peziarah Kristiani diperkenankan mengunjungi tempat-tempat suci mereka dengan leluasa.

Sang sultan, yang jauh dari mabuk kekuasaan, tampaknya menyadari, tanggung jawab barunya menuntut agar dirinya lebih menahan diri. Dalam penyerangan mendadak atas Kota Acre beberapa tahun kemudian, Richard the Lion Heart, melanggar perjanjian dan membunuh 3.000 serdadu yang menjaga kota itu. Namun, Saladin kemudian memaafkan kejahatan Richard tersebut: ketika terjadi pertempuran kecil-kecilan di depan Jaffa, kuda Richard terbunuh di hadapannya dan Saladin kemudian memberinya seekor kuda pengganti dengan mengirimkan sebuah pesan, “Tak selayaknya bagi seorang ksatria yang sangat pemberani berjalan kaki.”

Saladin pun senantiasa mendahulukan negosiasi dan diplomasi ketimbang bertempur. Perang, baginya, hanya merupakan sarana darurat untuk menggapai tujuan tertentu-pilihan terakhir ketika genjatan senjata gagal dicapai. Tak aneh bila kemudahan yang ia berikan kepada lawan-lawannya dan sikapnya yang mudah menerima sumpah mereka dipandang sebagai kekeliruan yang ia lakukan. Ia pun kerap mendapatkan dirinya dalam pelbagai kesulitan, karena usahanya dalam menggalang perang.

Walau di Barat Saladin dipandang sebagai lonceng kematian Dunia Kristen dan lawan utama dunia itu, ia tampak menghadirkan dua pendekatan terhadap umat Kristiani. Ia tak pernah patah arang dalam usahanya yang sangat bersemangat untuk mengusir pasukan Frank dari Tanah Suci dan mengembalikan panji-panji Islam di Jerusalem. Namun, ketika ia berhadapan secara pribadi dengan para pemeluk Agama Kristen, ia menunjukkan penghormatan dan malah kekagumannya terhadap keyakinan mereka. Hal itu seperti yang ia tunjukkan ketika ia memutuskan untuk tidak menghancurkan Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre). Malah, sebaliknya, ia memperkenankan para pendeta untuk beribadat di gereja itu dan menerima para peziarah dari seberang lautan.”

Sementara tentang kualifikasi Shalahuddin Al-Ayyubi sebagai seorang panglima dan jenderal, papar Elias Antar lebih lanjut, “Saladin bersikap ksatria, terutama terhadap kaum perempuan dan anak-anak. Suatu saat ia melancarkan serangan terhadap sebuah kastil di dekat Aleppo, dan selepas berjuang keras dengan pelbagai usaha, ia akhirnya berhasil menguasainya. Kemudian, seorang anak perempuan kecil, saudara perempuan penguasa Aleppo, datang ke kamp militernya. Ternyata, Saladin menerimanya dengan penuh perhatian dan memberinya hadiah. Lantas, ketika dengan lugunya anak perempuan itu meminta satu hal lagi: kastil yang baru saja jatuh ke tangan Saladin, segera Saladin menyerahkan benteng yang untuk menaklukkannya memerlukan waktu 38 hari itu kepada anak perempuan kecil itu.

Tidak hanya itu. Ketika Saladin sedang melancarkan serangan periodik terhadap Kastil Karak, dan kemudian mengetahui di dalam kastil sedang dilangsungkan pesta perkawinan, segera ia memerintahkan agar tempat perkawinan itu tidak diserang dan mengarahkan serangan ke bagian-bagian lain dari kastil. Dan, selepas penaklukan Jerusalem, janda lawannya yang paling licik, Reginald of Chatillon, memohon kepada Saladin agar membebaskan putranya yang ditawan. Ia pun sepakat, dengan syarat perempuan itu memerintahkan para serdadu Karak untuk menyerahkan kastil tersebut yang hampir ia kuasai.

Untuk menunjukkan niat baiknya, Saladin pun membebaskan para tawanan dan mengembalikan putra Reginald of Chatillon kepada ibundanya. Tapi, ternyata, perempuan itu tak berhasil “menundukkan hati” para serdadu yang mempertahankan kastil. Karena itu, perempuan itu kemudian mengembalikan putranya kepada Saladin. Kemudian, ketika para serdadu Karak akhirnya menyerah, Saladin pun mengembalikan putra Reginald of Chatillon kepada ibundanya. Lebih dari itu, ia memberikan “hadiah luar biasa” para serdadu itu, karena mereka dengan gagah berani bertempur tanpa komandan: ia mengembalikan istri dan anak-anak mereka dari tangan orang-orang Badui yang menawan mereka karena menginginkan makanan.

Kisah-kisah roman Perancis pada abad ke-14 menuturkan, Saladin jatuh cinta kepada Lady Sibylla, istri Pangeran Antiochia, Bohemond III. Sejatinya, tiada bukti Saladin benar-benar pernah bertemu dengan Lady Sibylla. Memang, keduanya pernah menjalin hubungan tak langsung. Beberapa catatan mengemukakan, Lady Sibylla berperan sebagai mata-mata dalam kamp Pasukan Salib, untuk memberikan informasi berharga tentang persaingan dan perselisihan internal di antara para raja Frank dan baron. Motifnya masih kabur. Ia adalah putri asli kawasan itu dan reputasinya konon tak bercacat. Konon, Bohemond dipaksa menikah dengannya selepas menceraikan istri pertamanya. Mungkin, ia lebih bersimpati kepada kaum Muslim ketimbang kepada anak buah suaminya. ‘Imaduddin, sejarawan masa itu dan penasihat sang sultan, melaporkan bahwa Saladin memberikan pelbagai hadiah indah kepada Lady Sibylla atas informasi yang ia berikan.

Pemanfaatan perempuan berkedudukan tinggi sebagai mata-mata menunjukkan, Saladin adalah seorang jenderal yang piawai. Ada bukti lain yang mengukuhkan kepiawaiannya tersebut. Walau ia adalah seorang panglima perang tertinggi kaum Muslim, yang jumlahnya kala itu mencapai sekitar 70.000 orang, dalam majelis ia kerap menerima masukan dari para perwiranya dan tunduk pada keinginan mereka. Diskusi bebas yang demikian itulah yang membangkitkan inisiatif dan Saladin senantiasa terbuka terhadap masukan. Suatu hari, seorang tukang tembaga bersahaja dari Damaskus menemuinya dan menyatakan bahwa ia menemukan suatu senyawa kimiawi yang diperkirakan dapat menjadi senjata untuk menyerang menara-menara pertahanan orang-orang Frank di dekat Benteng Acre. Ternyata, Saladin mengizinkan anak muda itu melakukan uji coba atas penemuannya itu. Dan, terbukti kemudian, dengan penemuan itu kemudian menara-menara itu dapat ditundukkan.”

Shalahuddin Al-Ayyubi memang seorang tokoh dan jenderal yang luar biasa!