Saturday, November 26, 2011

1433 Tahun yang Lalu


Wulida-l-hudâ fa-l-kâ’inâtu dhiyâ’u
Wa fammu-z-zamâni tabassumun wa tsanâ’u
A-r-rûhu wa-l-mala’u-l-malâ’iku haulahu
Li-d-dîn-i wa-d-dunyâ bihi busyrâ’u
Wa-l-‘arsyu yazhû wa-l-hadzîratu tazdahî
Wa-l-muntaha wa-d-durratu-l-‘ashmâ’u


Telah lahir Sang Nabi, pembawa petunjuk nan cemerlang
Semesta alam pun berpendar sangat benderang
Mulut zaman tiada henti dan senantiasa menggemakan
Senyuman, pujian, serta sanjungan

Jibril dan para malaikat pun mengitarinya senantiasa
Karena berita gembira ‘tuk agama dan dunia sertai kelahirannya
‘Arasy bangga dan surga tak kalah ceria
Sidrah Al-Muntaha dan Mutiara Putih pun berdendang ria

Ahmad Syauqi
Seorang penyair terkemuka Mesir (1287-1351 H/1870-1932 M)

Hari itu, Senin, 12 Rabi‘ Al-Awwal 1 H, kala terik matahari di musim panas di penggal terakhir (tanggal 23) bulan September 622 M tengah menyengat dengan ganasnya, Rasulullah Saw. dan sahabat tercinta beliau, Abu Bakar Al-Shiddiq, menapakkan kaki memasuki Desa Quba’. Kala itu, orang-orang yang menantikan kedatangan Rasulullah Saw. dengan harap-harap cemas itu telah kembali ke rumah masing-masing dengan rasa putus asa. Tidak mungkin hari ini orang yang mereka nantikan kedatangannya itu tiba di Yatsrib. Tetapi, tiba-tiba seorang Yahudi berteriak-teriak nyaring, “Wahai Bani Qa’ilah! Itu orang yang kalian nantikan kedatangannya telah tiba!”

Semua orang menghambur dari rumah-rumah mereka. Rasulullah Saw. dan Abu Bakar Al-Shiddiq ternyata sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon kurma. Orang-orang pun berkerumun di sekeliling beliau. Sebagian besar di antara mereka tidak dapat membedakan mana Rasul Saw. dan mana Abu Bakar. Tetapi, di saat bayangan pohon kurma bergeser, Abu Bakar memayungkan jubahnya di atas kepala beliau. Kini, tahulah mereka yang mana Nabi mereka.

Di Desa Quba’ itu, Rasulullah Saw. kemudian beristirahat di rumah seorang lelaki lanjut usia yang selama itu dijadikan pangkalan oleh kaum Muslim Makkah yang baru tiba di Yatsrib, antara lain Hamzah bin ‘Abdul Muththalib dan Zaid bin Haritsah, yakni rumah Kultsum bin Hadm. Bani ‘Amr, kabilah Kultsum, adalah suku Aus. Sedangkan Abu Bakar Al-Shiddiq menuju rumah Khubaib bin Yasaf atau Kharijah bin Zaid (yang kemudian menjadi mertua Abu Bakar), seorang Khazraj di Sunh, sebuah desa yang agak dekat dengan Yatsrib. Selepas satu atau dua hari, ‘Ali bin Abu Thalib tiba dari Makkah, dan tinggal di rumah yang sama dengan Rasul Saw. Untuk mengembalikan semua barang yang dititipkan kepadanya bagi para pemiliknya, ia memerlukan waktu selama tiga hari.

Rasulullah Saw. berdiam di Desa Quba’ selama empat hari, semenjak Senin hingga Kamis. Lalu, atas saran ‘Ammar bin Yasir, beliau membangun Masjid Quba’. Inilah masjid pertama dalam sejarah Islam, dan beliau sendirilah yang meletakkan batu pertama di kiblatnya, yang kemudian diikuti Abu Bakar Al-Shiddiq, lalu diselesaikan beramai-ramai oleh para sahabat lainnya.

Pada Jumat pagi, Rasulullah Saw. meninggalkan Quba’. Di siang hari, beliau dan para sahabat berhenti di Lembah Ranuna, di perkampungan Bani Salim bin ‘Auf dari suku Khazraj, untuk melaksanakan shalat Jumat untuk pertama kalinya. Sebelum melaksanakan shalat bersama sekitar seratus jamaah, seusai mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Swt., beliau berkhutbah,

Amma ba‘du. Wahai kaum Muslim, hendaklah kalian berbuat kebajikan demi keselamatan diri kalian sendiri. Demi Allah, kalian tentu mengetahui, setiap orang di antara kalian pasti akan berpulang ke hadirat Allah dan meninggalkan domba-domba piaraannyya. Tuhan akan bertanya kepadanya, langsung tanpa perantara dan tiada tirai apa pun yang akan memisahkannya, ‘Apakah Utusan-Ku tak datang kepadamu untuk menyampaikan amanah-Ku? Bukankah kepadamu telah kuanugerahkan harta dan pelbagai nikmat?’Kebaikan apakah yang telah engkau lakukan demi keselamatan dirimu sendiri?’

Orang yang ditanya itu akan menengok ke kanan dan ke kiri. Tapi, ia tak melihat sesuatu. Ia kemudian melihat ke depan dan yang tampak hanyalah neraka Jahannam. Karena itu, barang siapa mampu melindungi dirinya dari api neraka, walau hanya dengan sebutir buah kurma, lakukanlah! Bila tiada sesuatu apa pun yang dapat diberikan, cukuplah dengan ucapan yang baik. Sungguh, setiap kebaikan akan memperoleh balasan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Wassalamu‘alaikum wa ‘ala Rasulillah
.”

Sebuah khutbah sarat makna yang singkat, padat, dan sangat memikat! Inti khutbah itu ialah sejatinya manusia senantiasa kuasa berbuat kebaikan, dengan bersedekah dan memberi, walau ia seorang miskin. Beliau menyampaikan, seseorang kuasa menghindarkan diri dari neraka dan masuk surga walau hanya dengan sebutir buah kurma. Demikian halnya kata-kata yang baik pun juga dapat menghindarkan seseorang dari neraka dan masuk surga dalam timbangan Allah Swt. Dengan kata lain, kemampuan berbuat kebaikan dan memberi sejatinya terdapat pada diri setiap orang. Bagaimana pun kondisinya.

Usai melaksanakan shalat Jumat pertama kali dalam sejarah Islam, Rasulullah Saw. melanjutkan perjalanan ke pusat Kota Yatsrib. Bani Al-Najjar, suku terkenal di kota itu dan merupakan kerabat beliau dari pihak Ibunda beliau, Aminah binti Wahb, datang dengan memanggul senjata untuk menyambut kedatangan beliau. Dan, ketika memasuki kota, beliau mendapat sambutan yang sangat meriah. Banyak orang berusaha menghentikan beliau dan mengajak beliau tinggal bersama mereka. Bagi beliau, tentu sulit untuk memutuskan. Karena itu, beliau membiarkan untanya melanjutkan perjalanan, dan mengatakan kepada khalayak ramai bahwa beliau akan tinggal di tempat berhentinya unta. Ketika tiba di dekat lahan milik Abu Ayyub Al-Anshari, unta beliau berlutut tepat di depan rumah Abu Ayyub di atas lahan kosong milik dua anak yatim, Sahl dan Suhail, tempat tegaknya Masjid Nabawi dewasa ini. Unta itu lantas diurus oleh As‘ad bin Zurarah.

Abu Ayyub Al-Anshari, tentu, sangat gembira, suka cita, dan bahagia. Untuk menghormati beliau, ia mempersilakan beliau tinggal di lantai atas rumahnya yang bertingkat dua. Tapi, beliau memilih tinggal di lantai bawah, untuk memudahkan para tamu menemui beliau. Abu Ayyub menyediakan segala keperluan beliau yang tinggal di rumahnya selama sekitar tujuh bulan. Selepas itu, beliau pindah ke rumah beliau sendiri.

Selepas tinggal di Yatsrib, kota itu diganti namanya menjadi “Kota Nabi” (Madînah Al-Nabiy), atau “Kota nan Cemerlang” (Al-Madînah Al-Munawwarah), Thaibah, dan Thabah.(arofiusmani.blogspot.com/)

Thursday, November 24, 2011

Antara Cinta dan Sekat Politik


Entah kenapa siang tadi, 24 November 2011, ketika menyimak perhelatan pernikahan antara putra dan putri dua penggede Indonesia di tivi, tiba-tiba bibir saya bergumam, “Cinta, sejak dahulu, memang kerap tidak mengenal sekat politik.” Dan, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” dan teringat kisah cinta antar dua sejoli dari latar belakang politik yang berbeda: pernikahan antara Khalid bin Yazid dengan Ramlah binti Al-Zubair. Nah, berikut kisah indah dua sejoli dari dua keluarga besar yang pernah terlibat dalam konflik politik keras dan berdarah. Selamat menikmati!

Betapa gembira dan bahagia hati Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah kala itu. Orang nomor satu Dinasti Umawiyyah kala itu, ‘Abdul Malik bin Marwan, mengajaknya ikut serta naik haji bersama sejumlah besar jamaah haji dari Syam. Dan, kegembiraan dan kebahagiaannya kian sempurna manakala ia menapakkan kedua kakinya di lingkungan Masjid Al-Haram, di Makkah Al-Mukarramah, untuk menunaikan ibadah umrah.

Kala putra Yazid bin Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, penguasa kedua dinasti itu, sedang bertawaf, tiba-tiba matanya beradu pandang tanpa sengaja dengan mata seorang perempuan jelita nan sangat memikat. Entah mengapa, Khalid tiba-tiba tak kuasa lagi mengendalikan gelegak hatinya. Juga, ia tak kuasa melupakan perempuan nan rupawan itu. Namun, selepas bertawaf dan mencari tahu tentang jati diri perempuan itu, betapa kaget Khalid. Perempuan bernama Ramlah itu, ternyata, adalah saudara perempuan seorang tokoh yang sangat anti terhadap ayahandanya dan Dinasti Umawiyyah: ‘Abdullah bin Al-Zubair, dan putri pasangan suami-istri seorang sahabat terkemuka: Al-Zubair bin Al-‘Awwam dan Al-Rabbab binti Alif bin ‘Ubaid Al-Kalbi.

Mengetahui semua itu, ternyata tak membuat gelegak cinta Khalid bin Yazid kepada Ramlah binti Al-Zubair kian mereda. Alih-alih, cintanya kian membara dan nyaris tak terkendali. Mengetahui kisah cinta Khalid tersebut, Al-Hajjaj bin Yusuf Al-Tsaqafi, panglima Dinasti Umawiyyah kala itu, benar-benar tak dapat menerimanya. Ia pun segera mengirim ‘Ubaidullah bin Mauhib, untuk menyampaikan sepucuk surat kepada Khalid. Dalam surat itu Al-Hajjaj, antara lain, menulis, “Menurut saya, tak sepatutnya engkau meminang anggota keluarga Al-Zubair bin Al-‘Awwam sebelum engkau meminta pertimbangan kepadaku. Bagaimana engkau berani meminang sebuah keluarga yang tak sepadan dengan keluargamu. Begitulah yang pernah dikatakan kakekmu, Mu‘awiyah. Mereka adalah orang-orang yang pernah menyerang kekuasaan ayahandamu, menuduhnya dengan pelbagai tindak kejahatan, dan memandang ayahanda dan kakekmu sebagai orang sesat!

Menerima surat demikian, Khalid bin Yazid dengan geram pun berucap kepada ‘Ubaidullah bin Mauhib, “Andai engkau bukan kurir yang memang tak boleh dijatuhi hukuman, tentu akan kupotong satu demi satu anggota tubuhmu, lantas kulempar di depan pintu rumah temanmu itu. Katakan kepada Al-Hajjaj, tak semua urusan harus diserahkan kepadanya dan dimintakan pertimbangannya. Perihal keluarga Al-Zubair yang menurutnya pernah menyerang kekuasaan ayahandaku, dan menuduhnya dengan segala kejahatan, kukira hal itu biasa berlaku di kalangan orang-orang Quraisy. Dan, bila Allah Swt. telah menetapkan suatu kebenaran, memboikot dan menandingi mereka tergantung pada cita-cita dan keutamaan mereka. Perihal keluarga Al-Zubair yang menurutnya tak sepadan, kiranya Allah mencelakakan Al-Hajjaj. Betapa picik pengetahuannya perihal garis keturunan kaum Quraisy. Bukankah Al-Zubair bin Al-‘Awwam sepadan dengan ‘Abdul Muththalib bin Hasyim, karena pernikahannya dengan Shafiyyah, dan juga karena pernikahan Rasul Saw. dengan Khadijah binti Khuwailid. Apakah ia tak melihat bahwa mereka sepadan dengan Abu Sufyan?

Kemudian, seusai naik haji, ketika ‘Abdul Malik bin Marwan dan jamaah yang dipimpinnya sedang bersiap-siap untuk kembali ke Damaskus, Khalid pun menemui ‘Abdul Malik bin Marwan, dengan tujuan meminta izin untuk menunda kepulangannya. Tentu saja ‘Abdul Malik bin Marwan merasa penasaran dan ingin tahu alasan Khalid yang sebenarnya. Karena itu, ia pun meminta Khalid datang untuk menemuinya dan menjelaskan maksudnya tinggal beberapa lama di Makkah.

“Wahai Amir Al-Mukminin,” ucap Khalid bin Yazid yang tak kuasa mengelak untuk menjawab pertanyaan orang nomor satu Dinasti Umawiyyah itu. “Ketika kita tiba di Kota Suci ini dan kemudian bertawaf, entah mengapa tiba-tiba mata saya tanpa sengaja beradu pandang dengan mata seorang perempuan nan jelita. Ternyata, perempuan itu adalah Ramlah binti Al-Zubair bin Al-‘Awwam.”
“Oh, Ramlah binti Al-Zubair?” sahut ‘Abdul Malik bin Marwan terkejut seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukankah perempuan itu adalah saudara perempuan ‘Abdullah bin Al-Zubair? Bukankah saudara laki-lakinya adalah lawan politik berat ayahandamu dan kita?”
“Benar, wahai Amir Al-Mukminin,” jawab putra Yazid bin Mu‘awiyah (yang memerintahkan pasukannya untuk melibas ‘Abdullah bin Al-Zubair yang menentangnya) dengan suara pelan dan merundukkan kepala. “Perempuan jelita itu memang adalah saudara perempuan ‘Abdullah bin Al-Zubair. Walau demikian, kecantikan dan kepribadiannya yang menawan benar-benar membuat pikiran saya kacau tak karuan. Demi Allah, semenjak semula sejatinya saya berniat tak akan menuturkan hal ini kepada Paduka. Tapi, ternyata kesabaran saya pun ada batasnya. Mata saya telah saya paksa untuk melupakannya, tapi ia menolak dan tak mau menerimanya. Saya pun telah mencoba dengan segala cara untuk menghibur hati saya, tapi ia juga menolak.”
“Wahai Khalid bin Yazid,” ucap sang khalifah, yang merasa heran mendengarkan penjelasan cucu pendiri Dinasti Umawiyyah yang demikian itu, seraya menarik napas panjang. “Saya tak mengira, cinta dapat menguasai diri seseorang semisal engkau ini.”
“Wahai Amir Al-Mukminin,” jawab Khalid bin Yazid seraya merundukkan kepala. “Saya sendiri sejatinya lebih heran ketimbang Paduka. Sebab, sejak semula saya berpendapat, cinta hanya dapat menguasai dua jenis orang: para penyair dan orang-orang Badui. Adapun para penyair, ini karena pikiran mereka hanya tertuju kepada perempuan, menggambarkan keindahannya, dan merayunya. Akibatnya, watak mereka menyukai perempuan dan dengan sendirinya hati mereka gampang meyerah di hadapan sergapan cinta. Sedangkan orang-orang Badui, ketika salah seorang di antara mereka tinggal hanya berduaan dengan istrinya, tiada yang menguasai perasaannya selain hanya cintanya kepada istrinya. Juga, tiada kesibukan apa pun yang kuasa memalingkan cintanya itu. Akibatnya, hatinya tak kuasa untuk menolak cinta. Sehingga, cinta pun menguasai dirinya. Tapi, saya merasa heran, saya belum pernah melihat satu pun pandangan yang dapat menghalang-halangi diri saya dari kebulatan tekad saya dan membuat diri saya terasa mudah melakukan perbuatan dosa selain pandangan saya kali ini.”
“Wahai Khalid,” sergah sang khalifah seraya menatap tajam cucu Mu‘awiyah bin Abu Sufyan itu. “Apakah sudah sedemikian parahnya cinta menguasai dirimu?”
“Demi Allah, wahai Amir Al-Mukminin,” jawab Khalid bin Yazid seraya mendongakkan kepalanya dan salah tingkah, “Sebelum ini, saya tak pernah mengalami kekacauan dalam berpikir sebagaimana yang terjadi saat ini.”

Memahami “penyakit” yang sedang menyergap Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah tersebut, ‘Abdul Malik bin Marwan akhirnya memutuskan untuk meminang Ramlah binti Al-Zubair sebelum bertolak ke Damaskus. Mengetahui gelegak cinta Khalid kepadanya, Ramlah pun dengan tinggi hati menjawab, “Tidak! Demi Allah, saya tak mau menerima lamarannya sebelum Khalid bin Yazid menceraikan semua istrinya!”

Khalid bin Yazid pun menceraikan semua istrinya. Dan, selepas melangsungkan acara pernikahan dengan Ramlah binti Al-Zubair di Makkah, ia kemudian memboyong istri nan jelita yang sangat dicintainya itu ke Damaskus, Suriah.(arofiusmani.blogspot.com/)

Sunday, November 13, 2011

"Turunkan Saja Dia dari Jabatannya!"


“Banyak pejabat negara yang sangat perlente, hidup mewah, dan berideologi pragmatis dan hedonis,” demikian kritik seorang ketua komisi pemberantasan korupsi di Indonesia beberapa hari yang lalu. Menurut tokoh tersebut, ideologi pragmatis dan hedonis adalah akar korupsi di negeri ini. Kritik yang menarik. Ternyata, banyak pihak yang tidak senang dengan kritik yang “menyengat” tersebut.

Entah kenapa, ketika membaca kritik tersebut, saya teringat dengan kritik yang dikemukakan seorang hakim agung terkemuka Andalusia, Al-Mundzir bin Sa‘id Al-Baluthi, kepada seorang penguasa terkemuka kala itu, ‘Abdurrahman III Al-Nashir li Dinillah. Penguasa yang satu itu, kala itu, terkenal sebagai seorang penguasa yang lagi suka hidup bermewah-mewah dan menghambur-hamburkan kekayaan kerajaan yang dipimpinnya. Bagaimanakah sikap sang penguasa dalam menghadapi kritik yang membuat “telinganya merah” itu? Nah, berikut adalah kisah sang penguasa dalam menghadapi kritik tersebut:

Membangun Kota Al-Zahra’, itulah yang dilakukan ‘Abdurrahman III Al-Nashir li Dinillah, penguasa ke-8 Dinasti Umawiyyah di Cordoba, selepas berhasil memancangkan kekuasaannya. Kota istana yang dimaksudkan sebagai tanda cinta kepada istri tercintanya, Al-Zahra’, itu terletak di sebelah barat Cordoba. Kota yang setelah jatuh kembali ke tangan pasukan Spanyol disebut “Cordoba la Vieja” ini dirancang di dekat Sungai Guadalquivir dan di atas Bukit Siera Morina. Pembangunan kota di bawah pengawasan Al-Hakam II ini dimulai pada permulaan Muharram 325 H/Desember 936 M, dengan mengerahkan tenaga kerja sebanyak sekitar sepuluh ribu orang setiap hari, berlangsung terus menerus selama dua puluh lima tahun. Lebih dari tiga ribu hewan dikerahkan untuk mengangkut pelbagai ragam bahan bangunan dari berbagai belahan dunia. Misalnya, marmer hijau dan ungu yang didatangkan dari Carthago dan marmer putih dari Almeria. Sedangkan beberapa bahan lainnya yang terbuat dari emas dan perak didatangkan dari Suriah dan Constantinople.

Kota yang juga disebut dengan nama “Mahkota Pengantin Putri” (Tâj Al-‘Arûs) dan terdiri dari tiga blok ini demikian megah. Blok pertama diperuntukkan bagi istana-istana, perumahan, dan pasar. Blok kedua dikhususkan untuk taman dan tempat pesiar. Sedangkan blok ketiga untuk toko-toko, pemandian umum, dan tempat satuan pengamanan. Karena demikian megahnya, tak aneh bila pembangunannya tiap tahunnya menghabiskan biaya sekitar tiga ratus ribu dinar. Tak mengherankan pula ketika kota ini rampung dibangun, kota ini mampu menyediakan akomodasi ratusan kamar dan apartemen, di samping bangunan-bangunan lainnya, seperti masjid dan memungkinkan pula ribuan pasukan pengawal tinggal di kota ini.

Pembangunan kota itu ternyata membuat penguasa yang lahir di Cordoba pada Ramadhan 277 H/Desember 890 M itu pernah meninggalkan shalat Jumat di masjid sebanyak tiga kali berturut-turut. Mengetahui hal itu, Al-Mundzir bin Sa‘id Al-Baluthi, hakim agung (qâdhi al-qudhah) terkemuka Andalusia kala itu, bermaksud memberikan nasihat kepada penguasa yang lalai itu. Karena itu, suatu hari, ketika sedang menyampaikan khutbah shalat Jumat yang dihadiri ‘Abdurrahman III Al-Nashir, ia antara lain mengutip firman Allah Swt., “Apakah kalian mendirikan pada setiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main, dan kalian mendirikan benteng-benteng dengan maksud agar kalian kekal (di dunia)? Dan, manakala kalian menyiksa, kalian menyiksa sebagaimana orang-orang yang kejam dan bengis. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Juga, bertakwalah kepada Allah yang telah menganugrahkan kepada kalian sesuatu yang kalian ketahui. Dia telah menganugerahkan kepada kalian hewan-hewan ternak, anak-anak, dan kebun-kebun serta mata air. Sungguh, aku takut kalian akan ditimpa azab hari yang besar.” (QS Al-Syu‘arâ’ [26]: 128-135).

Usai mengutip ayat-ayat Al-Quran tersebut, Al-Mundzir bin Sa‘id kemudian melengkapi khutbahnya yang pedas dengan uraian perihal larangan berlaku boros dan menghambur-hamburkan harta kekayaan.

Mendengar khutbah tersebut, penguasa yang berhasil menjadikan Andalusia sebuah negara adikuasa yang makmur dan kaum Muslim sebagai pelopor ilmu pengetahuan di Eropa itu tak kuasa menahan lelehan air matanya dan menyesali tindakannya. Kemudian, selepas kembali ke istana, ia berucap kepada putranya, Al-Hakam, “Sungguh, Al-Mundzir begitu keterlaluan dalam mengecam dan menyinggung diriku. Demi Allah, aku selamanya tak akan lagi melaksanakan shalat Jumat di belakangnya!”
“Apa yang membuat Ayahanda tak mencopot dan memberhentikan dia sebagai hakim agung? Turunkan saja dia dari jabatannya!” sahut sang putra.
“Celaka engkau,” sergah sang Ayahanda yang menyadari kembali kekeliruan dirinya. “Apakah tokoh setinggi Al-Mundzir dalam hal kesalihan, keilmuan, dan keutamaannya harus dicopot demi membela hawa nafsu yang senantiasa menyimpang dari kebenaran, menampakkan kemewahan, dan menempuh tujuan yang tak benar? Ini tak boleh terjadi. Sungguh, aku akan malu di hadapan Allah Swt. bila aku tak kuasa menjadikan orang seperti Al-Mundzir bin Sa‘id sebagai penolongku di Hari Kiamat kelak.” (arofiusmani.blogspot.com/)

Sunday, November 6, 2011

Kisah Lengkap Perjalanan Haji Rasulullah Saw.


Selepas ditandatanganinya Perjanjian Hudaibiyyah pada 6 H/628 M, kaum Muslim di bawah pimpinan Rasulullah Saw. kian bersemangat menebarkan dakwahnya ke pelbagai wilayah. Sehingga, segera seluruh kawasan Hijaz pun berada di bawah naungan Islam. Karena itu, ketika musim haji tahun kesembilan Hijriah tiba, beliau yang sibuk menerima berbagai utusan dari berbagai wilayah, memerintahkan Abu Bakar Al-Shiddiq untuk memimpin sekitar tiga ratus jamaah dari Madinah untuk bertolak ke Makkah. Abu Bakar dan rombongannya pun berangkat Makkah.
Kala itu, ibadah haji masih dilakukan pula oleh bukan para pemeluk Islam. Merasa telah waktunya untuk menyatakan bahwa ibadah haji khusus hanya untuk kaum Muslim, Rasulullah Saw. pun mengutus ‘Ali bin Abu Thalib untuk menyusul Abu Bakar, dengan tugas menyampaikan pesan beliau di Mina tentang pengakhiran kebolehan ibadah haji bagi bukan pemeluk Islam. Ketika jamaah haji telah berada di Mina, untuk melaksanakan upacara haji, ‘Ali berdiri di samping Abu Hurairah dan menyampaikan pesan beliau (dengan mengutip ayat-ayat Al-Quran berikut),
(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang telah kalian ikat dengan suatu perjanjian. Oleh karena itu, kalian boleh berjalan di muka bumi ini selama empat bulan dan ketahuilah bahwa kalian tak akan dapat melemahkan Tuhan dan Tuhan akan menghinakan orang-orang kafir. Dan inilah sebuah maklumat dari Allah dan Rasul kepada umat manusia pada Hari Haji Akbar bahwa Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Tapi, jika kalian (kaum musyrik) mau bertobat, itu lebih baik bagi kalian. Kalau kalian mengelak juga, ketahuilah, kalian tak akan dapat melemahkann Tuhan. Beritahukanlah kepada orang-orang kafir itu tentang siksa yang pedih. Kecuali orang-orang musyrik yang telah kalian adakan perjanjian, dan mereka tak mengurangi sesuatu pun (dari perjanjian itu) dan tidak pula membantu seseorang yang memusuhi kalian, maka terhadap mereka itu, penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Allah menyukai orang-orang yang teguh dalam kebenaran.
Apabila bulan-bulan suci sudah berlalu, orang-orang musyrik itu boleh saja diperangi di mana saja kalian jumpai mereka, tangkap dan kepunglah mereka pada setiap tempat penjagaan. Tapi, apabila mereka telah bertobat, telah melaksanakan shalat dan mengeluarkan zakat, biarkanlah mereka bebas berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Dan apabila ada seseorang dari pihak musyrik itu meminta perlindungan kepada kalian, lindungilah ia supaya ia sempat mendengar Firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman. Demikianlah, sebab mereka orang-orang yang tak mengetahui.
Bagaimana mungkin di hadapan Allah dan Rasul-Nya akan ada suatu perjanjian dengan orang-orang musyrik; kecuali yang telah kalian adakan dengan mereka di dekat Masjid Al-Haram. Maka, selama mereka berlaku lurus kepada kalian, hendaklah kalian berlaku lurus juga kepada mereka. Sebab, Allah menyukai orang-orang yang teguh dalam kebenaran. Bagaimana mungkin (ada perjanjian demikian itu), padahal bilamana mereka dapat menguasai kalian, mereka tak akan menghormati kalian, baik dalam tali kekeluargaan maupun dalam perjanjian. Mereka menyenangkan kalian dengan mulut (manis), tapi hati mereka sebaliknya. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.
Ayat-ayat Tuhan mereka jual dengan harga sedikit dan mereka mau menghalangi orang dari jalan Allah. Memang, buruk sekali perbuatan mereka itu. Mereka tak lagi menghormati orang beriman, baik dalam kekeluargaan maupun dalam perjanjian. Mereka itulah orang-orang yang melanggar batas. Akan tetapi, bila mereka bertobat, menjalankan sembahyang, dan mengeluarkan zakat, maka mereka itu saudara-saudaramu seagama. Ayat-ayat itu Kami uraikan kepada mereka yang mau mengerti. Tapi, bilamana mereka telah melanggar sumpah mereka sendiri setelah perjanjian mereka itu, dan mereka memaki agamamu, maka perangilah pemuka-pemuka orang kafir itu; mereka orang-orang yang tak dapat menahan diri.
Kalian tak mau melawan golongan yang telah melanggar sumpahnya sendiri. Padahal, mereka telah berkomplot hendak mengusir Rasul, dan mereka itulah yang pertama kali mulai memerangi kalian. Takutkah kalian kepada mereka? Padahal, Allah yang harus lebih ditakuti, kalau kalian orang-orang yang beriman. Lawanlah mereka itu! Tuhan akan menyiksa mereka melalui tangan kalian. Allah akan menista mereka dan akan menolong kalian melawan mereka, akan melegakan hati orang-orang beriman. Tuhan akan menghapuskan kemarahan hati mereka, akan menerima tobat siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. Adakah kalian mengira bahwa kalian akan dibiarkan begitu saja? Padahal, Allah belum membuktikan kalian yang benar berjuang dan tidak pula mengambil teman akrabnya selain Allah, Rasul, dan orang-orang beriman. Allah Maha Mengetahui apa yang kalian perbuat.
Bukanlah orang-orang musyrik itu yang akan memakmurkan masjid-masjid Allah, karena mereka telah mengakui sendiri kekufuran mereka. Perbuatan mereka itu rendah sekali, dan mereka akan kekal dalam api neraka. Tapi, yang akan memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang yang sudah beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta menjalankan sembahyang, mengeluarkan zakat, dan tak takut kepada siapa pun selain kepada Allah. Mereka inilah yang diharapkan akan mendapat petunjuk.
Apakah pemberian minuman kepada jamaah haji dan mengurus Masjid Al-Haram kalian samakan dengan orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta berjuang di jalan Allah? Dalam pandangan Tuhan, mereka tak sama. Allah tak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. Orang-orang yang beriman, yang berhijrah, dan berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa raga mereka dalam pandangan Allah lebih tinggi derajatnya; dan mereka itulah orang-orang yang meraih kemenangan. Tuhan memberikan kabar gembira kepada mereka dengan rahmat, keridhaan, dan surga dari-Nya buat mereka. Di sanalah tempat kesenangan yang abadi. Mereka kekal selalu di sana. Dan pahala yang besar ada pada Tuhan.
Hai orang-orang beriman! Janganlah kalian menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai wakil-wakil kalian kalau mereka lebih mengutamakan kekufuran daripada iman; dan barang siapa mengambil mereka sebagai wakil, mereka itulah orang-orang yang zalim. Katakanlah: Kalau bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara dan istri-istri kalian serta keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan akan menjadi rugi, tempat-tempat tinggal yang kalian senangi, semua itu lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta daripada berjuang di jalan Allah, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan. Allah tak memberikan bimbingan kepada orang fasik.
Allah telah menolong kalian pada beberapa tempat dan pada Peristiwa Hunain, tatkala kalian merasa bangga sekali karena jumlah kalian yang besar. Tapi, ternyata jumlah yang besar itu sedikit pun tak menolong kalian. Dan bumi yang seluas ini pun terasa amat sempit oleh kalian. Lalu, kalian berbalik mundur. Sesudah itu, Allah menurunkan perasaan tenang ke dalam hati Rasul dan orang-orang beriman serta diturunkan-Nya pula balatentara yang tak kalian lihat, dan Allah Menimpakan bencana kepada orang-orang kafir itu, dan itulah balasan buat orang-orang kafir. Sesudah itu, kemudian Allah menerima tobat siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun dan Penyayang.
Hai orang-orang beriman! Ingatlah, orang-orang musyrik itu kotor. Sebab itu, sesudah ini, janganlah mereka memasuki Masjid Al-Haram, dan kalau kamu khawatir akan menjadi miskin, maka Tuhan dengan karunia-Nya akan memberikan kekayaan kepada kamu. Jika dikehendaki, sungguh Tuhan Mahatahu dan Mahabijaksana. Perangilah orang-orang yang tak beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, dan tak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak pula beragama menurut agama yang benar, yaitu orang-orang yang telah mendapat Al-Kitab, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh dalam keadaan tunduk.
Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair itu putra Allah.” Demikianlah kata-kata mereka, menurut mulut mereka. Mereka meniru-niru perkataan orang-orang kafir masa lalu. Tuhan mengutuk mereka. Bagaimana mereka sampai dipalingkan? Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka tuhan selain Allah, dan Al-Masih putra Maryam (juga mereka pertuhankan). Padahal, mereka diperintahkan hanya menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Tiada tuhan selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Mereka berkehendak memadamkan Cahaya Ilahi dengan mulut mereka. Tapi, kehendak Tuhan hanya akan menyelesaikan pancaran cahaya-Nya itu, meski orang-orang kafir tak menyukai. Dialah Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk Al-Quran dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas semua agama, meski orang-orang musyrik tak menyukai.
Hai orang-orang beriman! Banyak sekali pendeta dan rahib memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka merintangi orang dari jalan Allah. Dan mereka yang menimbun emas dan perak dan tak menafkahkannya di jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka adanya siksa yang pedih. Tatkala semuanya (emas dan perak) dipanaskan dalam api jahanam, lalu dengan itu, dahi mereka, lambung mereka, dan punggung mereka dibakar, (dikatakan kepada mereka), inilah harta benda kalian yang kalian timbun untuk diri kalian sendiri. Sebab itu, rasakan sekarang akibat apa yang kalian timbun itu.
Sesungguhnya bilangan bulan dalam pandangan Tuhan ialah duabelas bulan. Demikian ditentukan Allah tatkala Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan suci. Itulah ketentuan agama yang lurus. Oleh karena itu, janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan-bulan itu. Lawanlah orang-orang musyrik itu semua, seperti mereka juga memerangi kalian semua. Ketahuilah, Allah beserta orang-orang yang teguh bertakwa.” (QS Al-Taubah [9]: 1-36).
Seusai menyampaikan ayat-ayat Al-Quran tersebut, ‘Ali bin Abu Thalib berhenti sejenak. Kemudian, serunya lagi kepada khalayak ramai, “Saudara-saudara! Orang kafir tak akan masuk surga. Selepas tahun ini, orang musyrik tak boleh lagi naik haji, tak boleh lagi bertawaf di Ka‘bah dengan telanjang. Barang siapa terikat oleh suatu perjanjian dengan Rasul, hal itu tetap berlaku sampai pada waktunya
!”
‘Ali bin Abu Thalib menyampaikan perintah itu di tengah-tengah khalayak ramai. Kemudian, kepada mereka diberi waktu empat bulan supaya masing-masing golongan sempat pulang ke daerah dan negerinya masing-masing. Semenjak saat itu, tiada seorang musyrik pun naik haji dan tiada lagi orang telanjang bertawaf di Ka‘bah.
Tahun berikutnya, melihat Islam kian kuat dan berkembang luas, Rasulullah Saw. merasa tugasnya hampir usai. Beliau menandainya dengan melaksanakan ibadah haji wada‘ (perpisahan) ke Makkah pada 10 H/632 M. Maka, pada Syawwal 10 H/Januari 632 M, di bulan puncak musim dingin tahun itu, diumumkan di seluruh Kota Suci itu bahwa beliau sendiri yang akan memimpin jamaah haji tahun itu, “Barang siapa ingin menunaikan ibadah haji bersamaku, hendaknya ia datang ke Madinah, untuk bersama berangkat menuju Ka‘bah.”
Berita itu disebarkan ke pelbagai suku di padang pasir. Orang-orang pun datang berbondong-bondong ke oasis itu dari pelbagai penjuru ke Madinah. Dalam setiap langkahnya, mereka bergembira mendapat kesempatan menyertai Rasululalh Saw. melakukan perjalanan ke Makkah dan sekaligus inilah ibadah haji terakhir yang dilaksanakan oleh beliau. Ibadah haji kali berbeda dengan yang dilakukan beratus-ratus tahun silam: seluruh jamaah akan menyembah hanya kepada satu Tuhan, dan tiada lagi para penyembah berhala yang akan mencemari Baitullah dengan mengadakan ritus-ritus kemusyrikan.
Lima hari sebelum akhir bulan Dzulqa‘dah, tepatnya pada 25 Dzulqa‘dah 10 H/23 Februari 632 M, Rasulullah Saw. keluar dari Madinah memimpin tiga puluh ribu pria dan perempuan. Selain diikuti oleh banyak kaum Muslim tersebut, beliau juga disertai oleh semua istri beliau. Di antara mereka adalah ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq, istri satu-satunya beliau yang masih gadis ketika menikah dengan beliau, Saudah binti Zam‘ah, Shafiyyah binti Huyay, dan Ummu Salamah. Mereka menginap semalam di Dzulhulaifah.
Menjelang waktu shalat subuh tiba, Rasulullah Saw. mandi untuk niat berihram. Kemudian, ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq memercikkan wewangian ke tubuh dan kepala beliau, hingga tetesan wewangian itu terlihat meleleh di anak-anak rambut dan jenggot beliau. Tetesan wewangian itu dibiarkan begitu saja dan tak dibasuhnya. Selepas itu, beliau mengenakan kain ihram. Selepas melaksanakan shalat sunnah dua rakaat, beliau kemudian membaca talbiyah untuk haji dan umrah di tempat itu, “Labbaika Allâhumma labbaik... Labbbaika lâ syarîka laka, labbaik, aku datang memenuhi panggilan-Mu, Allâhumma, ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Labbaik, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Segala puji, kenikmatan, dan kemaharajaan hanyalah semati bagi-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu... Labbaik, aku datang memenuhi panggilan-Mu.”
Sebelum iring-iringan jamaah haji tersebut akan bertolak dari Madinah, Rasulullah Saw. memerintahkan para calon jamaah haji yang tak bergabung dari Kota Suci itu untuk menempuh jalur tepi pantai, dengan harapan mereka bisa bertemu di tengah perjalanan. Benar, rombongan yang tak bertolak dari Kota Madinah itu akhirnya bertemu dengan rombongan yang berangkat bersama beliau. Setelah kedua rombongan itu bertemu, mereka semua kemudian berihram kecuali Abu Qatadah.
“Langit hari itu,” tulis Ali Shariati dalam karyanya Muhammad Saw., Khâtim Al-Nabiyyîn, “belum pernah menyaksikan pemandangan di muka bumi seperti yang ada kala itu. Lebih dari seratus ribu orang, laki-laki dan perempuan-di bawah sengatan matahari yang amat terik dan di padang pasir yang sebelumnya tak pernah dikenal orang-bergerak menuju satu arah. Tiada tanda-tanda apa pun yang mereka kenakan dan yang membedakan seseorang dari orang lainnya, satu bangsa dari bangsa lainnya yang bergabung dalam rombongan besar itu. Warna yang dimiliki semua orang sama: putih. Dan, potongannya pun sama pula: satu kain dibelitkan di bagian bawah tubuh, dan sehelai lainnya dibelitkan di pundak.”
“Medan ini merupakan lukisan paling indah dari satu warna yang menghiasi kehidupan umat manusia. Ia merupakan lukisan tentang persamaan seorang anak manusia dengan yang lain yang lainnya. Tiada perbedaan antara mereka. Busana yang mereka kenakan tak boleh dijahit yang bisa menutupi pengungkapan ciri pribadi. Semua orang yang berhimpun di sana adalah “manusia”. Bukan yang lain. Segala tanda-tanda yang membedakan seseorang dari yang lain telah ditinggalkan di Dzulhulaifah.”
“Muhammad melanjutkan perjalanannya diikuti oleh seratus ribu lebih manusia, dengan busana yang sama dan warna yang sama pula. Sementara itu, dunia dan sejarah menatap dengan kagum.”
“Aneh sekali. Pasukan apa ini? Komandannya berjalan kaki kelelahan. Demikian pula pengikut-pengikutnya. Nabi memang berjalan kaki semenjak dari Dzulhulaifah di belakang umatnya. Sejarah memang mendengar bahwa “penguasa” itu berada di tengah-tengah pasukan itu. Tapi, ketika dicari-carinya, ia tak juga kuasa menemukannya.”
Ketika rombongan jamaah haji yang dipimpin oleh Rasulullah Saw. tiba di Makkah, mereka segera bersiap-siap untuk melaksanakan umrah di Baitullah. Ummu Salamah, yang juga ingin segera melaksanakan umrah, segera menemui Rasulullah Saw., yang sedang melaksanakan shalat di sisi Ka‘bah, untuk mengadukan dirinya yang sedang sakit. Ucap Ummu Salamah, “Wahai Rasul! Aku ingin segera melaksanakan umrah bersama mereka! Tapi, aku sedang sakit!”
“Lakukanlah dengan naik unta di belakang mereka,” jawab Rasulullah Saw.
Maka, perempuan bangsawan Quraisy-yang oleh Ibn Hajar Al-‘Asqallani, dalam karyanya, Al-Ishâbah fî Tamyîz Al-Shahâbah, dilukiskan sebagai “perempuan yang memiliki kecantikan luar biasa, suara nan merdu, kekuatan berpikir cepat, dan kemampuan untuk memberikan pendapat yang tepat”-itu pun melaksanakan umrah dengan naik unta, sesuai dengan arahan sang suami tercinta.
Seusai melaksanakan shalat shubuh dan mandi, pada pagi hari Senin, 4 Dzulhijjah 10 H/2 Maret 632 M, begitu memasuki Baitullah, Rasulullah Saw. lantas memulai ibadah dengan mencium atau mengusap, dan memberi isyarat ke arah Hajar Aswad. Beliau melakukan tawaf dengan berlari kecil pada tiga putaran pertama dan berjalan biasa pada empat kali putaran terakhir.
Usai melakukan tawaf, Rasulullah Saw. dan rombongan lantas menuju Maqam Ibrahim a.s. seraya membaca ayat, “Jadikanlah Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.” (QS Al-Baqarah [2]: 125). Di tempat itu, beliau melaksanakan shalat dua rakaat.
“Muhammad datang kepada Tuhannya-di hari-hari akhir kehidupannya-di Maqam Ibrahim, Bapak agama-agama langit dalam sejarah umat manusia,” tulis lagi Ali Shariati dalam karyanya Muhammad Saw., Khâtim Al-Nabiyyîn, “untuk menyodorkan hasil jerih payah perjuangannya yang sarat semangat. Dan, di hadapan-Nya pula, beliau meminta kesaksian umat manusia bahwa beliau tak pernah berhenti bekerja dan tak pula kenal lelah dalam berjuang menunaikan risalahnya.”
“Beliau juga ingin memperlihatkan kepada Ibrahim, bahwa karya besar yang dimulainya dalam kehidupan manusia kini telah diantarkannya hingga batas tersebut, dan telah digerakkannya selaras dengan pedoman yang digariskannya.”
Selepas itu, Rasulullah Saw. kembali lagi ke Hajar Aswad untuk mencium atau mengusapnya. Dari situ, beliau kemudian melangkahkan kaki menuju Bukit Shafa untuk melaksanakan sa‘i. Ketika telah dekat dengan Shafa, beliau membaca ayat, “Sungguh, sa‘i antara Shafa dan Marwah merupakan sebagian dari pelbagai tanda kebesaran Allah.” (QS Al-Baqarah [2]: 158).
Rasulullah Saw. memulai sa‘i dari Bukit Shafa. Beliau pertama-tama naik ke Bukit Shafa sehingga bisa melihat Baitullah. Lantas, beliau menghadap ke arah kiblat dengan mengucapkan kalimat yang mengesakan dan mengagungkan Allah, “Tiada Tuhan selain Allah. Dialah satu-satunya Tuhan, tiada sekutu bagi-Nya. Kekuasaan dan segala puji milik-Nya dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tiada tuhan selain Allah. Dialah satu-satunya Tuhan. Dia menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan menghancurkan musuh-musuh-Nya dengan sendiri-Nya.”
Usai berucap demikian, Rasulullah Saw. lantas berdoa. Doa tersebut diulanginya sampai tiga kali. Lalu, beliau berjalan menuju Bukit Marwah. Sesampainya di lembah, beliau berlari kecil, lantas berjalan biasa sampai beliau tiba di Bukit Marwah. Di situ, beliau melakukan seperti apa yang beliau lakukan di Bukit Shafa. Ketika beliau mengakhiri sa‘i di Bukit Marwah, beliau berpesan, “Andaikan aku belum melakukan apa yang telah kulakukan, tentu aku tak membawa hewan kurban (hadyu) dan ibadahku tadi kujadikan sebagai umrah saja. Karena itu, barang siapa yang tak membawa hewan kurban, hendaknya ia bertahallul dan menjadikan ibadahnya tadi sebagai umrah!”
Mendengar pernyataan Rasulullah Saw. yang demikian, Suraqah bin Malik bin Ju’tsum berdiri dan bertanya kepada beliau, “Wahai Rasul! Apakah hal itu untuk tahun ini saja ataukah juga untuk seterusnya?”
“Umrah untuk haji? Tak hanya untuk tahun ini saja. Tapi, juga untuk seterusnya!” jawab Rasulullah Saw.
Keberangkatan Rasulullah Saw. untuk beribadah haji itu, selain diikuti oleh banyak kaum Muslim dan para istri beliau, juga disertai oleh putri sangat tercinta beliau: Fathimah Al-Zahra’. Putri keempat dan termuda pasangan suami-istri Rasulullah Saw. dan Khadijah binti Khuwailid ini lahir pada Selasa, 20 Jumada Al-Tsaniyyah tahun pertama kenabian/13 Juli 605 M, di Makkah. Ibunda Al-Hasan bin ‘Ali dan Al-Husain bin ‘Ali ini dikatakan sebagai “pemimpin kaum perempuan di surga”. Perempuan yang menurunkan anak keturunan beliau ini berhijrah ke Madinah bersama ‘Ali bin Abu Thalib atau Zaid bin Haritsah. Ia menikah dengan khalifah keempat dalam sejarah Islam itu seusai Perang Badar. Ketika ‘Ali bin Abu Thalib meminangnya, Rasulullah Saw. langsung menanyakannya kepada putrinya. Ternyata, ia diam seribu bahasa. Diamnya wanita, menurut hukum Islam, adalah tanda setuju. ‘Ali ketika itu tak mempunyai apa-apa selain baju perang, sepotong kulit domba, dan sepotong pakaian. Lantas, ‘Ali bin Abu Thalib menjual baju perangnya, dan uangnya ia berikan kepada Fathimah sebagai mahar. Upacara pernikahan mereka sangat sederhana, tanpa kebesaran, pertunjukan, dan upacara.
Pada saat itu, ‘Ali bin Abu Thalib sedang berada di perjalanan pulang dari Yaman. Ia berada di sana semenjak bulan Ramadhan, bersama tiga ratus orang prajurit berkuda, untuk mengajak warga negeri itu memeluk Islam. Ia baru balik dari sana pada akhir bulan Dzulqa‘dah dan langsung menuju Makkah untuk bergabung dengan Rasulullah Saw. dan kaum Muslim yang akan menunaikan ibadah haji. Setibanya di Kota Suci itu, ia segera menemui sang istri yang sedang berihram dengan mengenakan busana berwarna-warni dan bercelak mata. Melihat hal itu, ia berupaya melarang sang istri melakukan hal yang demikian.
“Ayahkulah yang menyuruhku begini!” jawab Fathimah Al-Zahra’ membela diri.
Merasa kurang yakin dengan jawaban sang istri, ‘Ali bin Abu Thalib pun menemui Rasulullah Saw. dan mengeluhkan tentang busana berwarna-warni yang dikenakan sang istri. Menerima keluhan sang menantu, beliau pun menjawab, “Fathimah benar! Fathimah benar!”
Kemudian, ketika hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) tiba, Rasulullah Saw. bermaksud meninggalkan Makkah menuju Mina dan kemudian ke Dataran ‘Arafat. Sebelum bertolak, beliau masuk ke tempat seorang putri pasangan suami-istri Abu Bakar Al-Shiddiq dan Ummu Ruman binti ‘Amir bin Uwaimir Al-Kinaniyyah: ‘A’isyah. Ternyata, istri beliau yang kala itu baru berusia tujuh belas tahun itu sedang menangis. Melihat sang istri menangis, beliau pun bertanya, “Ada apa denganmu?”
“Aku sedang haid, wahai Rasul! Orang-orang lain telah bertahalul. Sedangkan aku sendiri saat ini belum bertahalul dan belum melakukan tawaf di Baitullah. Dan, kini, orang-orang telah bersiap-siap untuk memulai ibadah haji!” jawab putri Abu Bakar Al-Shiddiq-yang terkenal sebagai penutur hadits yang berwawasan luas, terutama yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam-itu seraya menahan tangisnya.
“Ini adalah ketetapan Allah terhadap kaum perempuan. Mandilah, lalu berihramlah untuk haji!” ucap Rasulullah Saw. menenangkan hati sang istri tercinta.
‘A’isyah, yang kala bertolak dari Madinah berniat memilih haji tamattu‘ (beribadah umrah sebelum beribadah haji) tanpa membawa hewan kurban, kemudian melaksanakan perintah Rasulullah Saw. tersebut, lalu bertolak bersama beliau untuk melaksanakan wukuf di ‘Arafat dan rangkaian ibadah haji lainnya. Setelah suci, ia kemudian melaksanakan tawaf di Baitullah dan sa‘i antara Shafa dan Marwah serta bertahallul.
Melihat ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq telah bertahalul, Rasulullah Saw. pun berkata kepada sang istri, “Engkau telah bertahallul dari hajimu dan umrahmu bersama-sama!”
“Wahai Rasul!” sergah sang istri dengan nada manja. “Tapi aku kan tak melakukan tawaf di Baitullah kecuali setelah aku menunaikan ibadah haji?”
Beberapa hari kemudian Rasulullah Saw. menyuruh ‘Abdurrahman bin Abu Bakar Al-Shiddiq agar menemani ‘A’isyah, saudara kandung perempuannya, untuk berumrah dari Tan‘im, sebagai ganti umrah sebelumnya yang gagal karena dialihkan menjadi ibadah haji, padahal ‘A’isyah saat itu belum bertahalul, tanpa harus memberikan hewan kurban, tanpa puasa, dan tanpa sedekah.
Rasulullah Saw. pun pergi ke Mina dan melaksanakan shalat zuhur, asar, magrib, ‘isya’, dan subuh di sana. Seusai menanti beberapa saat hingga matahari terbit, beliau lantas melanjutkan perjalanan hingga tiba di Arafah. Tenda-tenda waktu itu telah didirikan di sana. Beliau pun masuk tenda yang disiapkan bagi beliau. Setelah matahari tergelincir, beliau meminta agar Al-Al-Qashwa’, unta beliau, didatangkan. Beliau kemudian menungganginya hingga tiba di tengah Dataran ‘Arafat. Melihat ribuan jamaah yang memenuhi panggilan Allah dan menaati perintah-Nya, beliau merasa lega karena umatnya telah menegakkan kebenaran Islam dengan ikhlas. Saat itu beliau berniat menanamkan inti ajaran Islam di dalam hati mereka dengan memanfaatkan pertemuan mulia itu sebagai kesempatan itu untuk mengucapkan khutbah guna mengikis habis sisa-sisa kejahiliahan yang masih mengendap dalam jiwa kaum Muslim. Beliau juga hendak menekankan soal-soal akhlak, hukum, dan hubungan antar sesama kaum Muslim, termasuk hubungan antara suami-istri.
Rasulullah Saw. kemudian berdiri di hadapan sekitar seratus dua puluh empat ribu atau seratus empat puluh ribu kaum Muslim untuk menyampaikan khutbah haji terakhir beliau, yang diulang dengan ucapan yang lebih keras oleh Rabi‘ah bin Umayyah bin Khalaf, yang lebih dikenal dengan sebutan haji wada‘,
Wahai manusia! Dengarkanlah nasihatku baik-baik, karena barangkali aku tak dapat lagi bertemu muka dengan kamu semua di tempat ini. Tahukah kalian semua, hari apakah ini? (Beliau menjawab sendiri) Inilah Hari Nahr, hari kurban yang suci. Tahukah kalian bulan apakah ini? Inilah bulan suci. Tahukah kalian tempat apakah ini? Inilah kota yang suci. Karena itu, aku permaklumkan kepada kalian semua bahwa darah dan nyawa kalian, harta benda kalian dan kehormatan yang satu terhadap yang lainnya haram atas kalian sampai kalian bertemu dengan Tuhan kalian kelak. Semua harus kalian sucikan sebagaimana sucinya hari ini, sebagaimana sucinya bulan ini, dan sebagaimana sucinya kota ini. Hendaklah berita ini disampaikan kepada orang-orang yang tak hadir di tempat ini oleh kamu sekalian! Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Tuhan, saksikanlah!
Hari ini hendaklah dihapuskan segala macam bentuk riba. Barang siapa memegang amanah di tangannya, hendaklah ia bayarkan kepada yang empunya. Dan, sungguh, riba jahiliah adalah batil. Dan awal riba yang pertama sekali kuberantas adalah riba yang dilakukan pamanku sendiri, Al-‘Abbas bin ‘Abdul-Muththalib.
Hari ini haruslah dihapuskan semua bentuk pembalasan dendam pembunuhan jahiliah, dan penuntutan darah cara jahiliah. Yang pertama kali kuhapuskan adalah tuntutan darah ‘Amir bin Al-Harits.
Wahai manusia! Hari ini setan telah putus asa untuk dapat disembah pada bumi kalian yang suci ini. Tapi, ia bangga bila kalian dapat menaatinya walau dalam perkara yang kelihatannya kecil sekalipun. Karena itu, waspadalah kalian atasnya! Wahai manusia! Sungguh, zaman itu beredar semenjak Allah menjadikan langit dan bumi.
Wahai manusia! Sungguh, bagi kaum perempuan (istri kalian) itu ada hak-hak yang harus kalian penuhi, dan bagi kalian juga ada hak-hak yang harus dipenuhi istri itu. Yaitu, mereka tak boleh sekali-kali membawa orang lain ke tempat tidur selain kalian sendiri, dan mereka tak boleh membawa orang lain yang tak kalian sukai ke rumah kalian, kecuali setelah mendapat izin dari kalian terlebih dahulu. Karena itu, sekiranya kaum perempuan itu melanggar ketentuan-ketentuan demikian, sungguh Allah telah mengizinkan kalian untuk meninggalkan mereka, dan kalian boleh melecut ringan terhadap diri mereka yang berdosa itu. Tapi, bila mereka berhenti dan tunduk kepada kalian, menjadi kewajiban kalianlah untuk memberi nafkah dan pakaian mereka dengan sebaik-baiknya. Ingatlah, kaum hawa adalah makhluk yang lemah di samping kalian. Mereka tak berkuasa. Kalian telah mengambil mereka sebagai amanah dari Allah dan kalian telah halalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah. Karena itu, bertakwalah kepada Allah tentang urusan perempuan dan terimalah wasiat ini untuk memperlakukan mereka dengan baik. Wahai umatku! Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Tuhan, saksikanlah!
Wahai manusia! Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian sesuatu, yang bila kalian memeganginya erat-erat, niscaya kalian tak akan sesat selamanya. Yaitu: Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Wahai manusia! Dengarkanlah baik-baik apa yang kuucapkan kepada kalian, niscaya kalian bahagia untuk selamanya dalam hidup kalian!!
Wahai manusia! Kalian hendaklah mengerti bahwa orang-orang beriman itu bersaudara. Karena itu, bagi masing-masing pribadi di antara kalian terlarang keras mengambil harta saudaranya, kecuali dengan izin hati yang ikhlas. Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Tuhan, saksikanlah!
Janganlah kalian, setelah aku meninggal nanti, kembali kepada kekafiran, yang sebagian kalian mempermainkan senjata untuk menebas batang leher kawannya yang lain. Sebab, bukankah telah kutinggalkan untuk kalian pedoman yang benar, yang bila kalian mengambilnya sebagai pegangan dan lentera kehidupan kalian, tentu kalian tak akan sesat, yakni Kitab Allah (Al-Quran). Wahai umatku! Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Tuhan, saksikanlah!
Wahai manusia! Sesungguhnya Tuhan kalian itu satu, dan sesungguhnya kalian berasal dari satu bapak. Kalian semua dari Adam dan Adam terjadi dari tanah. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian semua di sisi Tuhan adalah orang yang paling takwa. Tidak sedikit pun ada kelebihan bangsa Arab dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa. Wahai umatku! Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Tuhan, saksikanlah! Karena itu, siapa saja yang hadir di antara kalian di tempat ini berkewajiban untuk menyampaikan wasiat ini kepada mereka yang tak hadir
!’”
Kemudian, begitu usai melaksanakan wukuf di ‘Arafat, ketika matahari telah terbenam dan mega kuning mulai sirna, Rasulullah Saw. lantas meneruskan perjalanan hajinya dengan menaiki unta bersama Usamah bin Zaid, putra Zaid bin Haritsah. Setelah tiba di Muzdalifah, beliau melaksanakan shalat magrib dan isya dengan sekali azan dan dua kali iqamat, tanpa shalat sunnah apa pun di antara kedua shalat itu. Selepas itu, beliau berbaring sampai shubuh. Lalu, beliau melaksanakan shalat shubuh dengan sekali azan dan sekali iqamat. Usai shalat, beliau lantas naik unta beliau dan meneruskan perjalanan hingga tiba di Masy‘ar Al-Haram. Ketika tiba di sana, beliau lantas menghadap ke aras kiblat, kemudian berdoa, bertakbir, bertahlil, dan mengucapkan kalimat tauhid. Beliau tetap berada di sana hingga langit kekuning-kuningan. Beliau kemudian melanjutkan perjalanan beliau sebelum matahari terbit dengan naik hewan tunggangan beliau, kali ini bersama Al-Fadhl bin Al-‘Abbas, saudara sepupunya dan putra sulung Al-‘Abbas bin ‘Abdul-Muththalib, yang memiliki rambut yang bagus dan wajah yang tampan.
Ketika Al-Fadhl bin Al-‘Abbas mulai menggerakkan unta yang ditungganginya bersama Rasulullah Saw., ada sejumlah perempuan lewat di dekat beliau. Melihat Al-Fahdl menatap mereka berlama-lama, beliau pun menutupkan tangannya pada wajah Al-Fadhl dan memalingkan wajahnya dari mereka. Tiba-tiba salah seorang di antara perempuan itu mendekati beliau dan bertanya, “Wahai Rasul! Sesungguhnya ibadah haji yang diwajibkan Allah kepada hamba-hamba-Nya berlaku atas ayahku yang telah berusia lanjut. Namun, ia tak kuat lagi berada di atas hewan tunggangan lama-lama. Bolehkah saya beribadah haji atas nama ayah saya?”
“Ya, boleh,” jawab Rasulullah Saw.
Usai memberikan jawaban demikian, Rasulullah Saw. lantas melanjutkan perjalanan beliau. Ketika beliau sampai di tengah Lembah Muhassir, beliau mempercepat langkah-langkah unta yang dinaikinya bersama Al-Fadhl, lantas menempuh jalan tengah yang langsung menuju Jamrah ‘Aqabah. Begitu tiba di dekat jamrah tersebut, beliau lantas menambatkan untanya di sebuah pohon. Selepas itu, beliau melempar jamrah tersebut dengan tujuh buah kerikil dengan bertakbir pada setiap kali lemparan. Beliau melempar dari tengah lembah. Setelah itu, beliau menuju ke tempat penyembelihan hewan dan menyembelih enam puluh tiga hewan kurban, sesuai dengan usia beliau kala itu, dengan tangan beliau sendiri. Sisanya beliau serahkan kepada ‘Ali bin Abu Thalib, menantu tercinta beliau.
Di sisi lain, selain diikuti oleh banyak kaum Muslim, seperti telah dikemukakan di muka, Rasulullah Saw. juga disertai oleh para istri beliau. Di antara mereka adalah ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq, satu-satunya istri beliau yang masih gadis ketika menikah dengan beliau. Dan, tak lama selepas penyembelihan hewan-hewan kurban tersebut, seseorang membawa sebagian daging hewan kurban tersebut ke hadapan para istri beliau. Melihat hal itu, ‘A’isyah pun bertanya, “Apa ini?”
“Wahai Ibunda Orang-Orang Beriman! Ini adalah daging hewan kurban yang disembelih Rasulullah Saw. atas nama istri-istri beliau,” jawab orang yang membawa daging tersebut.
Kemudian, ketika hari Idul Adha tiba dan di saat dhuha, selepas Rasulullah Saw. dan kaum Muslim usai melaksanakan wukuf di ‘Arafat dan melempar jamrah di Mina, beliau pun menyampaikan pidato kepada kaum Muslim, ada yang berdiri dan ada yang duduk, dari atas punggung bagal. Pidato tersebut ditirukan ‘Ali bin Abu Thalib dengan suara yang nyaring, “Sesungguhnya masa beredar laksana bentuknya saat langit dan bumi diciptakan. Satu tahun terdiri dari dua belas bulan, di antaranya empat bulan suci, tiga bulan berturut-turut, yaitu Dzulqa‘dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab yang terletak di antara Jumada Al-Tsaniyyah dan Sya‘ban.”
Selepas berucap demikian, Rasulullah Saw. sejenak diam. Dan, beberapa saat kemudian beliau bertanya, “Bulan apakah sekarang ini?”
“Allah dan Rasul-Nya lebih tahu, wahai Rasul,” jawab mereka yang hadir.
Rasulullah Saw. kemudian diam sejenak. Sehingga, mereka yang hadir kala itu mengira beliau akan memberi nama yang lain. Dan, beberapa saat kemudian, beliau berucap, “Bukankah sekarang ini bulan Dzulhijjah?”
“Benar, wahai Rasul,” jawab mereka yang hadir.
“Negeri apakah ini?” tanya Rasulullah Saw. lebih lanjut.
“Allah dan Rasul-Nya lebih tahu, wahai Rasul,” jawab mereka yang hadir.
Rasulullah Saw. kemudian diam sejenak seperti sebelumnya. Sehingga, mereka yang hadir kala itu mengira beliau akan memberi nama lain. Dan, beberapa saat kemudian, beliau berucap, “Bukankah ini negeri Haram, negeri kalian?”
“Benar, wahai Rasul,” jawab mereka yang hadir, tak tahu ke mana arah ucapan Rasulullah Saw. itu.
“Hari apakah sekarang ini?” tanya Rasulullah Saw. lebih jauh.
“Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu, wahai Rasul,” jawab mereka yang hadir.
Rasulullah Saw. kemudian diam sejenak seperti sebelumnya. Sehingga, mereka yang hadir kala itu mengira beliau akan memberi nama lain. Dan, beberapa saat kemudian, beliau berucap, “Bukankah hari ini adalah hari nahar (hari penyembelihan hewan kurban)?”
“Benar, wahai Rasul,” jawab mereka yang hadir, kian tak tahu ke mana arah ucapan Rasulullah Saw. itu.
Rasulullah Saw. kemudian berucap, “Sungguh, darah, harta, dan kehormatan diri kalian adalah suci atas kalian, laksana kesucian hari ini, di negeri kalian ini, dan di bulan kalian ini. Kalian akan menghadap Tuhan. Lalu, Dia akan menyakan amal-amal kalian. Karena itu, janganlah kalian menjadi sesat sepeninggalku, hingga sebagian di antara kalian memenggal leher sebagian yang lain. Apakah aku sudah menyampaikan pesan ini?”
“Benar, wahai Rasul,” jawab mereka yang hadir kala itu.
“Ya Allah, saksikanlah! Ingat, hendaklah yang hadir saat ini mengabarkan kepada yang tak hadir. Betapa banyak orang yang diberitahu lebih sadar daripada orang yang mendengarnya langsung dariku,” ucap Rasulullah Saw.
“Nabi,” komentar Tariq Ramadan dalam karyanya In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad perihal khutbah Rasulullah Saw. itu, “benar-benar menjadi saksi bagi masyarakat spiritual Muslim. Dalam berhubungan dengan mereka, di titik pusat ibadah haji-di mana ibadah itu sendiri menuntut kesederhanaan dan keharmonisan manusia di hadapan Pencipta mereka-Rasul mengingatkan butir penting dalam pesan Tuhan: tanpa melihat ras, kelas sosial, atau jender, karena satu-satunya yang membedakan mereka adalah apa yang mereka perbuat terhadap diri, intelijensia, kualitas, dan, di atas segalanya, hati mereka. Dari mana pun asal mereka, orang Arab atau bukan; apa pun warna kulit mereka, hitam, putih atau lainnya, manusia menjadi unggul karena perhatian mereka terhadap hati, pendidikan spiritual, pengendalian diri, dan kemekaran iman, kebaikan, kemulian jiwa, dan untuk kepentingan persatuan, komitmen terhadap sesama manusia atas dasar prinsip-prinsip mereka. Di hadapan ribuan jamaah dari semua tempat dan kedudukan, budak dan pemuka suku, laki-laki dan perempuan, Nabi bersaksi bahwa beliau telah menunaikan risalahnya. Dan, semua kaum Muslim serentak bersaksi bahwa mereka telah menerima dan memahami makna dan kandungannya.”
Tak lama kemudian, beberapa jam kemudian, selepas Rasulullah Saw. menyampaikan khutbah tersebut, turunlah firman Allah, “Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku dan Islam telah Kuridhai menjadi agama bagi kalian.” (QS Al-Mâ’idah [5]: 3).
Mendengar firman Allah tersebut, ‘Umar bin Al-Khaththab pun tak kuasa menahan air matanya. Melihat hal itu, ia pun ditanya, “‘Umar! Mengapa engkau menangis? Bukankah engkau ini jarang sekali menangis?”
“Karena aku tahu, selepas kesempurnaan hanya ada kekurangan!” jawab mertua Rasulullah Saw. itu. Ia merasa, beliau akan segera kembali ke tempat pilihan beliau, rumah beliau di balik kehidupan dunia ini. Di sisi Tuhan beliau.