Wednesday, December 14, 2011

Catatan Perjalanan Hidup: 33 Tahun yang Silam


Hari Ahad yang lalu, 11 Desember 2011, ketika sedang menerima sekitar 110 para ustadz dan ustadzah yang akan mendalami sebuah metode yang baik dalam mengajarkan Al-Quran, entah kenapa tiba-tiba dalam benak saya membersit pikiran, “Oh, pada hari ini, 33 tahun yang silam, untuk pertama kalinya saya menjejakkan kaki di Kairo, Mesir, untuk menimba ilmu. Betapa fase kehidupan itu sangat bermakna atas perjalanan kehidupan saya selepas itu.”

Bagaimanakah kisah perjalanan pertama kali saya ke Kairo?

Senin, 10 Muharram 1399 H/11 Desember 1978 M, itulah hari pertama kali saya meninggalkan Kota Jeddah, selepas menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya. Juga, itulah pertama kalinya pula saya menjejakkan kaki di Kota Kairo, selepas naik pesawat terbang Royal Air Maroc selama sekitar dua jam dari Kota Jeddah. Tanpa mengenal siapa pun. Juga, belum mengenal sama sekali tentang ibukota Mesir itu. Yang saya ketahui, Mesir adalah sebuah “ladang perburuan” ilmu. Itu saja dan tak lebih. Saya pun tidak tahu, setiba di Kairo mau menemui siapa, tinggal di mana, dan meneruskan studi di mana. Yang saya kenal hanyalah nama seseorang yang tercantum dalam sepucuk surat yang diberikan seorang paman saya. Orang itu adalah Mas Marzuki Ali Sibromalisi (alm.), seorang putra kiai terkemuka Jakarta yang tinggal di Asrama Putra Universitas Al-Azhar (Madînah Al-Bu‘ûts Al-Islâmiyyah). Itu saja. Karena itu, saya pun tak pernah membayangkan akan ada seseorang yang akan menjemput saya di Cairo International Airport.

Ternyata, menjelang tiba di Kota Kairo, ternyata pesawat terbang yang saya naiki saat itu mengalami kejadian yang tidak pernah saya lupakan hingga kini. Bagaimana kisah kejadian itu?

Tidak lama selepas pesawat terbang Royal Air Maroc yang saya naiki itu tinggal landas dari King ‘Abdul ‘Aziz International Airport, Jeddah pesawat terbang Boeing 727 itu dengan cepat dan gagah itu menguak relung langit biru. Sementara bila memandang bumi, tampak tergelar pemandangan Laut Merah yang kemerah-merahan membentang di antara dan membelah benua Asia-Afrika. Di sebelah barat Laut Merah itu tampak Pelabuhan Yanbu‘, dan kadang muncul kilang-kilang minyak. Tampak pula jalur jalan-jalan panjang menyobek padang pasir yang lengang. Sedangkan di sebelah timur Laut Merah itu berhamparan gurun sahara. Di dalam pesawat terbang yang sedang menuju Kota Kairo itu para penumpang kelihatan senang dan ceria dalam menikmati perjalanan. Apalagi, pelayanan para pramugara dan pramugari Royal Air Maroc cukup memuaskan.

Selepas beberapa lama mengangkasa, pesawat terbang dari Maroko itu telah berada di angkasa tinggi. Pemandangan yang tampak kini hanyalah langit biru, awan, dan bumi di kejauhan. Kadang, pemandangan pekat belaka yang kelihatan, bila pesawat sedang melintasi awan tebal. Selepas menempuh perjalanan sekitar satu setengah jam dan ketika pesawat terbang itu telah melintasi dan memasuki wilayah Mesir serta menjelang mendekati Kota Kairo, tiba-tiba pengumuman fasten seat belt (pasang sabuk pengaman di tempat duduk) menyala. Pramugara dan pramugari pun sigap membantu para penumpang memasang sabuk pengaman. Tiba-tiba telinga terasa tuli, perut mual sekali, dan kepala berkunang-kunang. Para penumpang yang sebelumnya tampak gembira, kini menampakkan wajah yang berbeda. Ada yang berdoa, ada yang terpaku diam, dan ada yang berwajah pucat pasi. Terasa sekali ketika itu Tuhan hadir dalam pesawat terbang. Kala itu, pesawat terbang terasa meluncur cepat sekali. Mungkin, pesawat itu terjerembab dalam ruang hampa udara. Belum lagi selesai meluncur, tiba-tiba pesawat terhempas keras sekali. Cuaca mendekati Kota Kairo kala itu benar-benar tak bersahabat. Musim dingin di bulan Desember dengan badai sedang menghantui.

Hampir setengah jam lamanya pesawat terbang tersebut bermain akrobat. Laksana sabut di lautan diguncang prahara. Sebentar terhempas ke sana, sebentar terbanting ke sini. Pemandangan menarik Kota Kairo, dengan piramid-piramid dan sphinx menghiasi salah satu sudutnya serta Bukit Muqaththam dengan perbentengan yang didirikan Shalahuddin Al-Ayyubi di sudut lain menjadi tak menarik lagi. Yang membersit dalam benak dan kalbu saya hanyalah doa kiranya Allah Swt. melindungi. Akhirnya, pesawat itu berhasil menguak mendung tebal dan mendapat lampu hijau untuk mendarat di Cairo International Airport. Begitu pesawat menjejakkan roda-rodanya di landasan dan kemudian berhenti, para penumpang pun berpelukan gembira. Ketika telah berada di dalam gedung bandar udara, tampak wajah mereka berseri kembali. Kejadian di angkasa yang belum lama mereka alami tinggal kenangan belaka.

Demikianlah “sambutan meriah” yang diberikan kepada saya menjelang kedatangan saya pertama kali ke Kota Seribu Menara itu.

Kemudian, selepas melewati pemeriksaan imigrasi dan menyelesaikan urusan bagasi, beberapa lama saya kebingungan. Ini karena, kala itu, saya tidak mengenal siapa pun di Kota Seribu Menara itu. Selepas lama merenung dan bingung, saya akhirnya mencari sebuah taksi dan meminta si sopir untuk mengantarkan saya menuju ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang terletak di 13 Aisha El Taymouria St., Garden City, yang terletak tak jauh dari pusat Kota Kairo yang ditandainya dengan Mîdân Tahrîr. Saya sendiri tidak tahu, di mana kawasan Garden City itu.

Taksi pun segera meluncur menuju kawasan Garden City, melintasi pelbagai jalan dan bangunan yang pertama kali saya kenal, sementara hujan rintik-rintik di musim dingin di pertengahan bulan Desember sedang menyergap seluruh penjuru kota yang didirikan oleh Jauhar Al-Shiqilli itu. Tak terbayangkan oleh saya kala itu, selepas tiba di KBRI, saya mau bertemu siapa dan selepas itu mau ke mana. Semua saya serahkan kepada Allah Swt., seperti halnya ketika saya pertama kali memasuki Yogyakarta pertama kali pada 1391 H/1972 M, sebagai anak daerah, untuk menimba ilmu di Kota Gudeg itu.

Sekitar satu jam selepas menelusuri Kota Kairo dari airport, taksi tua berwarna hitam yang saya naiki itu berhenti di depan sebuah gedung megah yang bentuknya mirip istana. Begitu turun dari taksi yang segera berlalu, dengan menjinjing tas satu-satunya yang saya bawa, saya menerobos hujan rintik menuju ke pos penjagaan. Yang ada di pos penjagaan itu hanyalah dua security Mesir berkulit hitam legam berseragam hitam dan menjinjing senjata bersangkur terhunus. Suasana perang kala itu masih sangat mewarnai Kairo. Kala itu, Perjanjian Camp David belum lagi dilangsungkan. Di depan setiap bangunan, kala itu, masih di“hiasi” bunker.

Dengan bahasa Arab baku (fushhah) dan sedikit bahasa harian (‘âmiyyah) ala Arab Saudi (karena belum menguasai bahasa harian Mesir), saya mencoba berkomunikasi dengan dua security Mesir tersebut. Sementara suasana di sekitar kian temaram dengan cepat, karena kala itu musim dingin sedang datang menyergap dan mendung sedang memayungi Kota Kairo. Hati pun kian gelisah dan galau, karena komunikasi dengan dua security dari Mesir Selatan itu tak berjalan lancar. Apalagi saya tak tahu, malam itu akan menginap di mana, sedangkan tubuh mulai menggigil kedinginan. Kala itu saya tak pernah berpikir untuk membawa jaket, karena sebelum itu saya belum pernah pergi ke kawasan yang mengenal empat musim.

Kepasrahan kepada Allah Swt. dan kenekadan, itulah bekal saya ketika pertama kali menapakkan kaki di Kota Kairo. Saya memang datang ke kota yang sedang disergap musim dingin ini sebagai “penerjun bebas”, sebuah istilah yang dikenakan bagi mahasiswa Indonesia yang datang ke Kairo tanpa beasiswa. Saya datang ke kota ini karena merasa tidak berhasrat menimba ilmu di Arab Saudi. Apalagi, sejak berangkat dari Tanah Air memang saya tidak berniat akan “memburu” ilmu di Timur Tengah. Yang terpikir oleh saya kala itu, selepas naik haji saya akan kembali ke Tanah Air dan kemudian mencari pekerjaan. Karena itu, saya “melarikan diri” ke Mesir hanya dengan sebuah tekad, saya harus dapat menaklukkan kota yang satu ini dengan segala kesulitannya, kepahitannya, keindahannya, keceriaannya, dan khazanah ilmiahnya yang kaya.

Tampaknya, Allah Swt. masih mencintai saya yang saat itu benar-benar galau dan gelisah. Tidak lama kemudian, seorang pria bercelana hitam dan berbaju putih dengan tubuh jangkung, hidung mancung, dan wajah dihiasi senyum serta berpayung mendekat. Begitu dekat, orang itu segera menyapa saya dengan ramah dan santun, “Anda siapa dan dari mana? Kenapa sore dan hujan begini masih ada di sini?”

Subhânallâh, betapa gembira dan damai hati saya begitu tahu orang itu tak lain adalah Prof. Dr. Fuad Hassan (alm.), seorang guru besar di bidang psikologi Universitas Indonesia yang kala itu sedang menjabat Duta Besar Indonesia di Kairo. Wajah dubes kelahiran Semarang pada Rabu, 18 Muharram 1348 H/26 Juni 1929 M itu sebelumnya telah saya kenal dari beberapa buku beliau yang pernah saya baca. Segera saja kami pun terlibat dalam perbincangan lama di pos keamanan. Karena kemudian tahu saya berasal dari Jawa Tengah, kemudian dubes yang gemar menggesek biola dan bermain biliar itu menelpon seseorang dan memerintahkan seorang sopir KBRI untuk mengantarkan saya ke flat seorang pegawai lokal KBRI yang berasal dari Kebumen, Jawa Tengah. Segera sebuah mobil KBRI membawa saya menuju ke ‘Abdullah Sharqawi St., Manial Raudhah, Kairo, untuk “menitipkan” saya kepada keluarga Mas Ahmad Zabidi (alm). Dan, selepas itu, ternyata selama enam tahun kemudian saya tidak pernah pindah dari distrik tersebut.

Kejadian demi kejadian yang saya alami itu kian menanamkan keyakinan dalam diri saya, manusia hanya kuasa berikhtiar dan Allah Swt. kuasa atas segala sesuatu. Di samping itu, dalam hidup kadang diperlukan kenekadan dan keberanian mengambil keputusan yang berisiko tinggi. Yang tak kalah penting, menurut saya, adalah doa orang tua. Mengapa? Mungkin, karena doa dan keinginan Ibunda saya yang sangat kuat agar saya menimba ilmu kembali, tak lebih dari sebulan setiba di Kairo, saya telah diterima sebagai mahasiswa di dua universitas sekaligus: Universitas Al-Azhar dan Universitas Kairo. Ya, dua universitas sekaligus. Ini karena saya mengajukan dua ijazah: untuk Universitas Al-Azhar saya mengajukan ijazah sarjana muda dan untuk Universitas Kairo saya mengajukan ijazah sarjana penuh. Ternyata, pengajuan saya diterima oleh kedua universitas tersebut.