Friday, February 3, 2012

3 Hari Menikmati "Hotel Prodeo" di Kairo


“Menikmati internet”, itulah sajian dan hidangan pagi bagi saya setiap kali usai melaksanakan shalat subuh. Nah, pagi tadi, ketika menikmati sajian dan hidangan tersebut, saya berkesempatan “menikmati perjalanan” ke Kairo, sebuah negeri yang pernah saya tinggali selama sekitar enam tahun. Ketika sedang menikmati “sajian dan hidangan” pagi hari ini, saya berusaha mencari informasi seputar Cairo International Bookfair 2012 yang sedang berlangsung di ibukota Negeri Piramid itu.

Entah kenapa, ketika sedang asyik “menikmati sajian” yang demikian, tiba-tiba kenangan saya selama tiga hari ditahan di Cairo International Airport pada 1995 menyeruak kuat dalam benak saya. Ditahan di Kairo? Ya, ditahan di Kairo, itulah salah satu “buah” perjalanan yang pernah saya nikmati. Bagaimanakah kisah penahanan atas diri saya tersebut, berikut kisahnya:

Pada penggal kedua Januari 1995 saya bermaksud pergi ke Kairo, dengan tujuan untuk menghadiri Cairo International Bookfair. Sebelum bertolak menuju Kairo, kala itu saya berkunjung ke Brunei Darussalam untuk suatu urusan. Kemudian, dengan naik pesawat terbang Royal Air Brunei, saya berangkat ke Kairo tanpa visa sama sekali. Kala itu, saya berangkat ke Kairo dengan keyakinan bahwa visa itu dapat diperoleh di Cairo International Airport (on arrival visa). Memang, demikianlah yang berlaku kala itu. Sebelum berangkat, saya mengontak dahulu Mas Ahmad Dja‘far Bushiri (alm.), seorang koresponden Majalah Gatra dan mahasiswa s-3 Universitas Al-Azhar yang tinggal di Rabi‘ah Al-Adawiyyah District, Nasr City, Kairo. Namun, ketika saya tiba di Cairo International Airport, apa yang terjadi?

Begitu saya mengurus on arrival visa, ternyata permintaan saya ditolak. Alasannya, dua minggu sebelum kedatangan saya, pemberian on arrival visa untuk pemegang paspor Indonesia dihapuskan. Di antara negara-negara ASEAN kala itu, pencabutan on arrival visa hanya dikenakan atas para pemegang paspor Indonesia. Ini karena kala itu kian banyak tenaga kerja Indonesia yang masuk Mesir dengan on arrival visa dan kemudian menyalahgunakannya untuk bekerja secara ilegal di Mesir. “Duh, merananya menjadi pemegang paspor Indonesia,” gumam pelan saya.

Saya kemudian diminta menghadap seorang petugas imigrasi Mesir. Selepas mengecek paspor saya yang tanpa visa dan melihat dalam kolom pekerjaaan saya tertulis “employee”, si petugas langsung memerintahkan saya berdiri menjauh dari antrian. Ketika saya jelaskan bahwa saya adalah seorang anggota dewan komisaris sebuah perusahaan penerbitan di Jakarta yang akan menghadiri Cairo International Bookfair, alasan itu tetap tidak diterima. Gara-garanya, pekerjaan yang tertulis di paspor saya adalah “employee” yang artinya “karyawan”. Menurut penjelasan petugas Mesir itu, seseorang asal Indonesia yang dalam paspornya tertulis “employee” harus mengurus visa Mesir di Jakarta dan tak berhak mendapatkan on arrival visa. “Duh, beginilah nasib pemegang paspor Indonesia,” keluh saya dalam hati.

Tidak lama kemudian, datang seorang petugas lain yang memerintahkan saya agar mengambil kopor saya di bagian bagasi. Selepas menemukan kopor itu, saya lantas diperintahkan mengikuti si petugas. Selepas melintasi lorong-lorong panjang, akhirnya saya dimasukkan ke dalam sebuah ruangan berukuran sekitar 4 x 10 meter: sebuah ruangan tanpa jendela sama sekali dengan satu pintu yang dijaga seorang petugas. Oh, ternyata, saya dijebloskan ke dalam ruang karantina. Ketika saya memasuki ruangan itu, dalam ruangan itu ternyata ada seorang tenaga kerja wanita (TKW) asal Serang, Banten dan beberapa orang dari negara-negara Afrika. TKW tersebut datang ke Kairo bersama majikannya yang berasal dari Arab Saudi dengan naik pesawat terbang Saudi Airlines tanpa visa Mesir. Akibatnya, ia dimasukkan ke dalam ruangan karantina seperti saya.

Beberapa jam selepas menikmati ruang tahanan, teman-teman dari Afrika tiada lagi karena dideportasi ke negara mereka masing-masing dengan naik pesawat terbang yang menuju negara mereka. Tinggallah saya dan TKW asal Serang itu. Seharian kami tak mendapat sajian makanan apa pun. Kemudian, ketika malam datang, dingin ruangan terasa kian menusuk tulang. Saya lihat TKW itu menggigil kedinginan. Ternyata, ia tidak membawa baju hangat atau pun jaket. Padahal, kala itu Kairo sedang berada di puncak musim dingin di akhir bulan Januari. Melihat kondisinya yang demikian, saya pun segera membongkar kopor saya dan menyerahkan sarung dan kaos kaki kepadanya. Kemudian, tengah malam, TKW itu diambil petugas Mesir karena akan dideportasi dengan pesawat Saudi Airlines yang akan membawa ia kembali ke Arab Saudi. Saya kemudian tidur dalam posisi duduk di sebuah kursi dari fiber, karena di ruangan karantina itu tidak tersedia sama sekali tempat tidur. Hingga kini saya tidak tahu, bagaimana nasib TKW tersebut. Kiranya Allah Swt. melindungi TKW itu dan kiranya ia tidak bernasib buruk. Saya sendiri belum dideportasi, karena pesawat terbang Royal Air Brunei kala itu berkunjung ke Kairo hanya seminggu sekali.

Pada hari kedua, tinggal saya seorang diri dalam ruangan karantina itu. Di pagi hari kedua itu, lapar yang sangat pun menyergap diri saya. Musim dingin memang membuat seseorang cepat lapar. Saya lihat, petugas yang mengawal pintu ruang karantina tidak memberikan tanda akan menyajikan makanan atau masakan apa pun. Malah, ia sedang asyik menulis sesuatu. Saya pun mendekatinya. Ternyata, ia sedang mengerjakan “pekerjaan rumah”: pelajaran bahasa Perancis. Melihat saya mendekat, wajahnya pun segera berubah menjadi garang dan galak. Namun, dengan santun kepadanya saya kemukakan, saya bisa membantu “mengatasi” pekerjaan rumahnya. Selepas tahu saya benar-benar bisa mengajari ia bahasa Perancis, apalagi selepas ia tahu saya pun bisa berbahasa Arab lancar dengan dialek Mesir, selamatlah saya dari derita dalam “tahanan” di ruang karantina Cairo International Airport, karena si petugas kini berubah menjadi seorang sahabat. Saya pun tidak lagi kelaparan, karena dengan senang hati ia mencarikan saya masakan dan makanan Mesir untuk saya.

Ketika memasuki hari ketiga, pada siang hari saya diminta petugas agar mengemasi barang-barang yang saya bawa. Kemudian, saya dibawa menghadap Kepala Urusan Imigrasi di Cairo International Airport. Oh, di situ sahabat saya, Mas Ahmad Dja‘far Bushiri, telah menunggu. Ternyata, ketika pesawat Royal Air Brunei mendarat tiga hari sebelum itu, ia menjemput saya. Karena saya tak kunjung keluar, kemudian ia menanyakan kepada petugas perusahaan penerbangan Royal Air Brunei tentang diri saya. Mengetahui nama saya ada dalam master list para penumpang pesawat terbang dari Brunei Darussalam itu dan tahu saya dijebloskan ke dalam ruang karantina, ia pun segera bergerak cepat: datang ke KBRI di Kairo dan melaporkan kasus saya. Atas bantuan mantan Ketua Badan Kerjasama Persatuan Pelajar Indonesia se-Timur Tengah itu dan KBRI, akhirnya saya dibebaskan dan dapat mengunjungi Kairo.

Perjalanan dan kejadian itu mengajarkan kepada diri saya, “Bila seseorang gemar melakukan perjalanan, ia harus siap menghadapi pelbagai kejadian yang tidak terduga!”