Thursday, June 21, 2012


Gelar Doktor


Assalamu’alaikum… Rofi’, izayy akhbarku? Rofi’, apa kabar?” demikian ucap seseorang ketika telpon genggam saya berbunyi dan kemudian saya pencet dua hari yang lalu, Selasa 19 Juni 2012. “Fein intu dzil wa’ti. Di mana Anda sekarang?”

Mendengar kata-kata dalam bahasa Arab dengan dialek Mesir yang demikian, saya segera sadar, si penelpon adalah seseorang yang pernah tinggal di Kairo. “Ini mesti salah seorang sahabat saya yang seangkatan dengan saya ketika menimba ilmu di ibu kota Mesir itu,” ucap saya dalam hati. Setelah berpikir sebentar, segera saya teringat, si penelpon adalah seorang sahabat  yang kini menjabat sebagai seorang hakim agung di Jakarta.
“Wa’alaikumussalam… Alhamdulillah, kuwayyis. Intu fi Bandung dzil wa’ti? Izayy akhbarku? Alhamdulillah, baik-baik saja. Anda di Bandung? Bagaimana kabar?”

Sahabat saya yang satu itu kemudian mengemukan, kalau esok harinya dia akan datang ke Kota Bandung. Kali ini, kepergiannya bukan sebagai seorang hakim agung. Tapi, sebagai seorang guru besar yang akan menjadi salah seorang penguji seorang kandidat doktor di Universitas Islam Negeri Gunung Jati, Bandung. Mendengar penjelasannya yang demikian, saya pun bersyukur karena kini kian banyak pemegang gelar doktor di negeri ini.

Bertambahnya jumlah para pemegang gelar doktor di Indonesia memang merupakan sesuatu hal yang patut disyukuri. Saya pun termasuk orang yang suka memberikan semangat kepada sahabat-sahabat saya untuk meraih gelar tersebut. Sehingga, saya digelari putri sulung saya sebagai “tukang ngomporin para calon doktor”, meski saya sendiri hanya seorang  “tukang ketik”, “tukang ngluyur”, dan “tukang jaga lele” serta bukan seorang doktor.


Mengapa saya begitu terobsesi demikian?

Pada tahun 1983, ketika saya masih di Mesir, saya membaca sebuah buku terbitan Kuwait dan dalam buku tersebut dikemukakan: posisi ilmiah Indonesia lebih rendah dari posisi Palestina jika dilihat dari jumlah para pemegang gelar doktor. Kala itu, Indonesia baru memiliki sekitar 1.500 doktor, sedangkan jumlah orang-orang Palestina di perantauan  yang memiliki gelar doktor sekitar 3.000 orang. “Duh, sama orang-orang Palestina yang belum punya negara saja keok. Memalukan!” keluh saya kala itu. Karena itu, sejak itu, saya selalu memberikan dorongan kepada para sahabat yang memiliki potensi ilmiah untuk “memburu” gelar doktor.

Namun, di sisi lain, bagi saya, gelar doktor sejatinya bukan merupakan terminal terakhir pencapaian ilmiah seseorang. Tapi, gelar itu, bagi saya, hanyalah sebagai “pintu gerbang” pertama untuk menjadi seorang peneliti dan harapan saya juga menjadi seorang penulis piawai. Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan di negeri ini dapat berkembang pesat. Tapi, saya sendiri kerap bersedih hati ketika melihat para sahabat saya yang telah berhasil meraih gelar doktor tidak sesuai dengan harapan saya tersebut. Mereka kini lebih tersibukkan dengan tugas-tugas yang kerap kali membuat mereka tidak sempat melakukan penelitian dan penulisan ilmiah yang benar-benar berbobot.

Semoga saja kesedihan saya tersebut tidak berdasar!



Friday, June 15, 2012


New KAIA
Tidak terasa sudah 34 tahun berlalu sejak saya pertama kali melaksanakan ibadah haji. Sejak itu, Allah Swt. memberikan kesempatan berkali-kali kepada hamba-Nya yang satu ini untuk mengunjungi tiga kota utama di Arab Saudi: Jeddah, Makkah, dan Madinah. Selama itu, ketiga kota itu mengalami perubahan dan perkembangan yang luar biasa. Jeddah tiga puluh empat tahun yang lalu, misalnya, masih “kampungan”. Tapi, dewasa ini, kota yang berada di tepi Laut Merah itu telah berkembang demikian pesat. Dan, tidak lama lagi, kota pusat bisnis nomer satu di Arab Saudi itu bakal memiliki gedung pencakar dunia tertinggi di dunia, mengalahkan Burj Al-Khalifah di Dubai. “Skycraper” yang satu itu bernama “Kingdom Tower”

Meski Jeddah, Makkah, dan Madinah mengalami perkembangan yang sangat pesat, namun setiap kali pesawat terbang yang saya naik mendarat di Jeddah, saya selalu merasa sedih. Mengapa? Kondisi Bandara Jeddah (alias King Abdul Aziz International Airport/KAIA) dan pelayanannya,  itulah yang membuat saya sedih dan kadang bergumam, “Lo, ini kan sebuah negara super kaya. Mengapa pelayanan di bandara ini demikian memble? Mengapa bandara ini tidak dibangun ulang dan pelayanannya ditata kembali seperti Dubai Airport? Kalau Dubai Airport bisa memberikan pelayanan yang prima, mengapa KAIA tidak bisa? Apalagi, setiap tahun, bandara ini merupakan salah satu bandara tersibuk di dunia, lewat kedatangan para jamaah haji dan umrah?”

Kemarin, Kamis, Juni 2012, suasana hati saya tiba-tiba berbunga-bunga. Mengapa? Pasalnya, ketika sedang menyiapkan manasik ibadah umrah di akhir minggu ini, saya mendapatkan foto-foto menarik pembangunan yang sedang dilaksanakan di Jeddah: pembangunan kembali KAIA yang akan berubah menjadi New KAIA. Dan, insya Allah, New KAIA akan dapat dinikmati para pengunjung Kota Jeddah pada 2014. Harapan saya, kiranya tidak hanya bandaranya saja yang dibangun. Tapi, sumber daya manusianya juga di”upgrade”, sehingga dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi para pengunjung Kota Jeddah, amin.  

Monday, June 4, 2012

Nasib Tragis Empat Presiden Mesir 

Membaca media massa edisi Ahad, 3 Juni 2012, tentang nasib mantan Presiden Muhammad Housni Mubarak yang dijatuhi hukuman seumur hidup, tiba-tiba tanpa sadar saya bergumam pelan, “Tragis benar nasib para presiden Mesir. Akhir perjalanan keempat presiden negeri itu senantiasa menyedihkan.” Menyedihkan? Ya, akhir perjalanan karier mereka semuanya berujung pada kisah yang menyedihkan.

Lembaran sejarah menorehkan, Mesir baru meraih kemerdekaannya pada Rabu, 1 Dzul Qa'dah 1371 H/23 Juli 1952 M. Sebagai presiden pertama negeri yang terletak di antara dua benua, Benua Asia dan Afrika, itu adalah Presiden Muhammad Naguib, seorang jenderal yang memimpin Kelompok Perwira Bebas Mesir dalam mengambil kekuasaan dari raja terakhir Mesir, Raja Farouk, lewat Revolusi Juli 1952. Setelah revolusi, sang jenderal diangkat sebagai presiden pertama Mesir dan juga sebagai perdana menteri. Namun, sang jenderal hanya menikmati kedudukan sebagai orang pertama Mesir antara 18 Juni 1953 hingga 14 November 1954. Karena tidak seiring pendapat dengan sang jenderal, yang ingin mengembalikan kekuasaan politik Mesir ke tangan kelompok sipil dan membawa kelompok militer ke barak, Kelompk Perwira Bebas, di bawah pimpinan Kolonel Gamal Abdel Nasser yang kala itu juga menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, pun memaksa Jenderal Naguib turun dari jabatannya sebagai presiden. Bagaimana nasib sang jenderal setelah dikudeta? Ia pun dijebloskan dalam tahanan di sebuah vila milik Zeinab Al-Wakil di Kairo. Selama Nasser menjadi Presiden Mesir, Jenderal Naguib tidak pernah dilepaskan dari bui. Baru pada 1972, pada masa pemerintahan Presiden Anwar Sadat, sang jenderal menikmati udara bebas dan berpulang pada 1984.

Setelah berhasil menyingkirkan Jenderal Muhammad Naguib dari pentas kekuasaan, Nasser pun tampil sebagai presiden kedua Mesir sejak 1956. Lembaran sejarah mencatat, tokoh yang satu ini lahir di sebuah kampung miskin dekat Iskandariah, Beni Mor, yang masuk propinsi Asyyut, pada Selasa, 2 Rabi‘ Al-Akhir 1336 H/15 Januari 1918 M. Putra pasangan suami-istri Abdel Nasser (seorang pegawai kantor pos) dan Fahimah dengan nama lengkap Gamal Abdel Nasser ini memasuki pendidikan militernya di Akademi Militer Mesir pada 1355 H/1936 M. Selepas menyelesaikan pendidikan militer pada Jumada Al-Ula 1357 H/Juli 1938 M, ia kemudian bergabung dengan tentara nasional Mesir. Lantas, pada 1365 H/1945 M, karena merasa tidak puas dengan korupsi yang mewarnai pemerintahan Raja Farouk dan pendudukan Inggris, Nasser membentuk Kelompok Al-Dhubât Al-Ahrâr (Perwira Bebas), sebuah organisasi semi bawah tanah. Pada Rabu, 11 Dzulqa‘dah 1371 H/23 Juli 1952 M kelompok itu, di bawah pimpinan Jenderal Muhammad Naguib, berhasil mengambilalih kekuasaan Mesir dari tangan sang raja. Selama menjadi presiden, tokoh ini berusaha tampil sebagai penguasa populis yang dicintai rakyat. Namanya pun berkibar. Tetapi, kekalahan tragis dalam perang melawan Israel, dalam Perang Perang 6 Juni 1967, membuat sang presiden frustasi. Dan, akhirnya, pada Senin, 27 Rajab 1390 H/28 September 1970 M, ia berpulang secara mendadak akibat serangan jantung.

Setelah Nasser berpulang, jabatan presiden Mesir dipegang Anwar Sadat. Mantan Sekretaris Jenderal Konferensi Islam ini lahir pada Rabu, 21 Rabi‘ Al-Awwal 1337 H/25 Desember 1918 M, di Desa Mit Abu Al-Kum, di Provinsi Minufiyyah. Selepas lulus dari Akademi Militer Abbasiyah, Kairo, putra seorang pegawai negeri ini menjadi teman kental Nasser dan sejumlah perwira muda Mesir waktu itu kala ia ditempatkan di Manqabad, Mesir Selatan. Pada awal akhir tahun 1940-an, selama beberapa tahun, ia mendekam di penjara akibat kegiatannya yang anti-pemerintah Mesir kala itu yang berada di bawah kendali Raja Farouk. Lantas, pada 1370 H/1950 M, sekeluarnya dari penjara, namanya direhabilitasi. Sekitar dua tahun kemudian, tepatnya Rabu, 1 Dzulqa‘dah 1371 H/23 Juli 1952 M, ia bersama “Kelompok Perwira Bebas” terlibat dalam kudeta terhadap Raja Farouk. Kariernya pun mulai menanjak, antara lain sebagai Menteri Negara, Ketua Majelis Nasional, editor surat kabar Al-Jumhûriyyah, dan Wakil Presiden Mesir. Pada Senin, 27 Rajab 1390 H/28 September 1970 M ia diangkat sebagai Presiden Mesir, menggantikan Presiden Nasser yang berpulang karena sakit jantung. Selama menjadi orang nomor satu, banyak peristiwa yang mewarnai masa pemerintahannya. Antara lain, pengusiran para penasihat militer Uni Sovyet (1972), Perang 6 Oktober 1973, kunjungannya ke Israel (November 1977), dan Penjanjian Camp David (September 1978). Tiga tahun selapas ditandatanganinya perjanjian itu, tepatnya pada Selasa, 7 Dzulhijjah 1401 H/6 Oktober 1981 M. ia mengalami nasib tragis: tewas dalam peristiwa pembunuhan ketika sedang menghadiri parade militer dalam rangka memeringati Perang 6 Oktober.

Tewasnya Presiden Anwar Sadat melempangkan jalan kepada Wakil Presiden Mesir kala itu, Muhammad Housni Mubarak, untuk menjadi orang nomor satu negerinya. Lembaran sejarah mencatat, presiden yang satu itu terlena dengan kekuasaan selama sekitar 30 tahun. Akibatnya, akhirnya, ia pun mengalami nasib tragis: diturunkan dari jabatannya sebagai presiden dan kini dijatuhi hukuman seumur hidup. Duh.

Melihat nasib tragis keempat presiden Mesir tersebut, entah kenapa saya teringat pesan seorang penguasa adikuasa Andalusia. Sang penguasa mengemukakan, sejatinya menjadi penguasa tidak membahagiakan dirinya. Ucapnya, “Saya telah memerintah selama 50 tahun yang sarat dengan keamanan dan kemegahan, dicintai rakyat, ditakuti lawan, dan disegani para kawan. Dengan saya, para penguasa adikuasa di muka bumi ini pun selalu berupaya menjalin persahabatan. Saya telah menginginkan sesuatu yang bukan mustahil, bukan pula ketenaran, atau kekuasaan, atau kesenangan. Selama hidup yang panjang ini, saya telah menghitung hari-hari di mana saya bisa merasakan sepenuhnya kebahagiaan. Ternyata, semua ini hanya berjumlah empat belas hari. Segala puji bagi-Nya yang memiliki kemegahan yang abadi dan Dia-lah Yang Maha Kuasa dan tiada sekutu bagi-Nya.”

Berkuasa selama 50 tahun dan hanya menikmati kebahagiaan selama 14 hari. Menyadari hal ini, entah kenapa tiba-tiba bibir saya bergumam pelan, “Kenapa masih saja banyak orang yang berambisi menjadi penguasa?” Wallahu a’lam.