Monday, October 29, 2012


KAPANKAH SESEORANG RIDHA KEPADA ALLAH SWT?

Ketika sedang berada di Bashrah, Irak, entah kenapa hari itu Sufyan Al-Tsauri ingin sekali menemui Rabi’ah Al-‘Adawiyyah, seorang sufi perempuan terkemuka di kota yang satu itu.

Sufyan Al-Tsauri, siapakah dia?

Seorang  ahli  hukum   Islam (faqîh)  dan sufi terkemuka  dari kalangan tâbi‘ûn, pada abad ke-2 H/8 M, itulah jati diri Sufyan Al-Tsauri. Lahir  di Kufah  pada  97 H/715 M, nama lengkapnya adalah  Abu  ‘Abdullah Sufyan  ibn  Sa‘id ibn Masruq Al-Tsauri Al-Kufi.  Sesuai  dengan tradisi  yang  berkembang  kala itu, ia  mula-mula  menimba  ilmu kepada  ayahandanya. Usai mendapatkan “pembinaan” dari sang ayahanda,  tokoh yang pernah menyatakan, “barang siapa kikir dengan ilmu yang ia miliki, sejatinya  ia mengharapkan tiga bencana: ia mungkin  akan  melupakan  ilmunya, atau ia mati tanpa sempat  memanfaatkan  ilmunya, atau  ia  mungkin  akan  kehilangan  buku-bukunya”,  ini   lantas memerdalam  ilmu kepada sejumlah ulama. Antara lain kepada  Al-Hasan Al-Bashri, seorang tabi’i terkemuka.

Usai  memperdalam  ilmu kepada sejumlah  ulama,  nama  ulama yang hidup sederhana dan berpulang di Makkah pada  161  H/778  M itu segera mencuat sebagai ahli hukum Islam yang berwawasan luas  dan mandiri.  Tidak  aneh  bila di bidang ini,  nama  ahli  hukum  yang menopang  penghidupannya dengan berdagang ini dapat  disejajarkan dengan  para  mujtahid terkemuka. Namun, tokoh yang satu ini tidak  hanya pakar  di  bidang hukum Islam semata. Ia  juga  terkenal  sebagai seorang  pakar hadis yang menuturkan banyak hadis.  Tidak  aneh, karena  kepakarannya  di bidang terakhir ini, ulama  yang  sangat berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah ini mendapatkan gelar Amîr Al-Mu’minîn di bidang hadis.

Betapa gembira Sufyan Al-Tsauri, ketika kunjungannya bersama beberapa ulama lainnya diterima dengan baik oleh Rabi’ah Al-‘Adawiyyah. Selepas berbagi sapa dan berbincang beberapa lama dengan Rabi’ah, Sufyan kemudian diminta untuk berdoa. Menerima permintaan demikian, ulama yang senantiasa menjauhi para penguasa itu lantas berdoa. Dalam doanya tersebut, Sufyan Al-Tsauri antara lain berdoa sebagai berikut, “Ya Allah, Tuhan kami. Ridhalah atas diri kami semua.”

Ketika Sufyan Al-Tsauri usai berdoa, Rabi’ah Al-‘Adawiyyah dengan suara pelan menyapanya, “Wahai saudaraku. Apakah engkau tidak malu kepada Allah Swt.: engkau memohon ridha-Nya, sedangkan engkau sendiri tidak ridha kepada-Nya.”
Astaghfirullâh. Aku memohon ampun kepada Allah,” sahut Sufyan Al-Tsauri begitu mendengar sapaan yang demikian.

Merasa tidak paham dengan sapaan Rabi’ah Al-‘Adawiyyah tersebut, seseorang yang ikut datang bersama Sufyan Al-Tsauri pun bertanya penuh rasa ingin tahu, “Bunda, kapankah sejatinya seseorang ridha kepada Allah Swt.?”
“Saudaraku,” jawab Rabi’ah Al-‘Adawiyyah tetap dengan suara pelan, “Seseorang ridha kepada Allah Swt. manakala kegembiraannya atas musibah yang menimpa dirinya laksana kegembiraannya atas nikmat yang dikaruniakan kepadanya.” 

Betapa indah, makna ridha tersebut. 

Thursday, October 25, 2012


IBRAHIM A.S. TIDAK PERNAH KE MAKKAH?

Alhamdulillah, menyiapkan sebuah buku tentang Haji dan Umrah kembali memberikan kesempatan kepada saya untuk melacak “kisah panjang” kedua ibadah tersebut dari pelbagai aspek. Lewat “pembacaan” sejarah ibadah tersebut, sejak masa Ibrahim a.s. hingga dewasa ini, baik dari aspek teologis, historis, sosial, dan politik, sejatinya kita dapat “membaca” kisah banyak hal. Termasuk pula bagaimana menjawab “pertanyaan penuh keraguan” seorang penulis asal Jordania (kini menetap di Amerika Serikat) yang meragukan perjalanan Ibrahim a.s. (yang hidup sekitar 4.000 tahun yang silam) ke Makkah dan posisi Kota Suci itu pada masa silam. Menurut penulis tersebut, perjalanan Ibrahim a.s. sekadar mitos belaka. Menurutnya, sulit dibayangkan Ibrahim a.s. kuasa melakukan perjalanan antara Al-Khalil (atau Hebron yang terletak di Palestina) dan Makkah. 

Menghadapi pertanyaan yang penuh keraguan demikian tentu tidak dapat dijawab dengan jawaban penuh emosi. Apalagi dengan amarah. Tetapi, pertanyaan tersebut memerlukan jawaban yang meyakinkan.  Untuk menjawab keraguan tersebut sejatinya tidak terlalu sulit. Sebagai contoh, kisah Senad Hadric, seorang warga Bosnia-Herzegovina (yang kini sedang naik haji) yang menempuh perjalanan sekitar 5.600 kilometer dengan jalan kaki dari negerinya ke Makkah belum lama ini sejatinya menguatkan kisah perjalanan Ibrahim a.s. dari Al-Khalil di Palestina ke Makkah bersama Hajar dan Isma’il a.s. 

Mengapa?

Perjalanan Senad Hadric tersebut sejatinya dapat memberikan gambaran bahwa perjalanan dengan berjalan kaki dalam jarak yang jauh bukan hal yang tidak mungkin. Nah, bila Senad Hadric mampu menempuh perjalanan dengan berjalan kaki sejauh sekitar 5.600 kilometer, tentu dahulu Ibrahim a.s. pun kuasa melakukan perjalanan dengan berjalan kaki yang “hanya” berjarak sekitar 1.225 kilometer, antara Al-Khalil (tempat sang Nabi menetap bersama istrinya: Sarah) dan Makkah. 

Keraguan yang demikian sejatinya dapat dipatahkan pula bila kita membaca karya seorang ilmuwan Inggris asal Lebanon, George F. Hourani (saudara kandung Albert Hourani, seorang pakar sejarah pemikiran Islam modern), Arab Seafaring in the Indian Ocean in Ancient and Medieval Times. Dalam karyanya tersebut George F. Hourani mengemukakan, sejak masa dinasti-dinasti Fir’aun di Mesir, kapal-kapal Mesir telah mengarungi Lautan Hindia untuk mencari rempah-rempah di Indonesia. Selain untuk dijadikan pengawet dan penyedap makanan, rempah-rempah itu juga mereka gunakan untuk membalsem mummi-mummi. Selain mengarungi Lautan Hindia, kapal-kapal itu juga menuju ke arah utara, ke sebuah pelabuhan sebuah kota yang kini menjadi Kota Suez.

Seperti diketahui, Ibrahim a.s.  hidup pada masa dinasti-dinasti Fir’aun tersebut dan pernah berkunjung ke pusat pemerintahan para Fir’aun tersebut. Seperti diketahui pula, pusat pemerintahan dinasti-dinasti tersebut sejatinya tidak jauh dari Kota Jeddah dewasa ini. Lokasi pusat pemerintahan para Fir’aun tersebut berada di seberang Laut Merah yang agak sejajar dengan posisi Kota Jeddah. Nah, dari sini dapat dibayangkan, sebelum pergi Makkah bersama Hajar dan Isma’il, sebelumnya Ibrahim a.s. bersama Sarah pernah melintasi kawasan itu dalam perjalanannya menuju ke pusat pemerintahan para Fir’aun. Baik apakah lewat laut, dengan naik kapal, atau jalan darat. Karena itu, ketika sang Nabi menerima perintah untuk membawa Hajar dan Isma’il ke Makkah, ia telah cukup mengenal lokasi tempat yang akan ia tuju, sesuai dengan perintah tersebut. Dan, perjalanannya ke Tanah Suci itu bukan merupakan mitos belaka.

Bagaimana pendapat Anda?

Thursday, October 11, 2012


SEKALI LAGI: BERMIMPILAH

Mas, saya benar-benar iri dengan tempat Antum ini, dengan pelbagai kegiatannya,” demikian ucap seorang sahabat yang guru besar Universiti Islam Antarabangsa Malaysia ketika berkunjung ke rumah kami bulan lalu dan melihat pelbagai kegiatan yang ada. “Tempat ini benar-benar nyaman dan kiranya senantiasa diberkahi Allah Swt. Saya benar-benar iri lo. Tapi, juga sangat bahagia. Antum dan keluarga Antum beruntung memiliki tempat yang penuh kegiatan ini.”

Saya sendiri tidak tahu, entah kenapa setiap kerabat dan sahabat yang datang ke tempat kami, di Baleendah, Kabupaten Bandung, merasa krasan dan “iri” kepada kami. Tempat tinggal saya dan keluarga dengan lahannya sejatinya tidak terlalu besar: hanya sekitar 1.700 meter persegi. Namun, kini, tempat ini berbeda jauh dengan ketika saya dan keluarga mulai menempatinya sekitar lima tahun yang lalu. 

Kini, tempat tinggal yang saya sebut “Pondok Pesantren Mini Nun Learning Center” ini sangat nyaman: penuh dengan pohon-pohon rindang, dilengkapi dengan lima kolam ikan lele, saung, dan tempat senam, di samping taman bacaan. Di sinilah pelbagai kegiatan dilakukan, sejak pagi hingga sore: Taman Pendidikan Al-Quran (dengan murid sekitar 115 anak), Taman Kanak-Kanak (terkenal dengan sebutan TK Sekolah Alam Gaharu), senam sehat setiap Rabu dan Sabtu pagi (khususnya untuk para penderita diabetes dan orang-orang yang lanjut usia), dan pelbagai kegiatan lain (parenting, simposium kesehatan untuk masyarakat awam, dan pembinaan para ustadz/ustadzah Al-Quran).

Tentu saja “ponmin”, alias pondok pesantren mini, ini tidak terbentuk seketika. “Ponmin” ini sejatinya merupakan “mimpi” saya dan istri tercinta saya, seorang dokter spesialis penyakit dalam yang energik dan kreatif. Semula, “ponmin” itu hanya berupa lahan dengan luas sekitar 264 meter persegi. Semula, kami tidak memiliki minat sama sekali untuk memiliki lahan tersebut: lahan itu semula milik seorang pasien yang kekurangan biaya pengobatan dirinya. Ketika lahan itu ditawarkan kepada orang-orang yang sekira mampu membelinya, ternyata tidak seorang pun mau membelinya. Akhirnya, istri saya turun tangan: membeli lahan itu dengan mencicil. Lantas, karena kami tidak memerlukan lahan itu, kami pun berusaha menjualnya. Tetapi, selama bertahun-tahun tidak seorang pun yang tertarik untuk membeli lahan yang kala itu penuh dengan semak belukar.

Lantas, ketika saya dan istri “ngluyur” ke Kuala Lumpur, Malaysia dan berkunjung ke rumah seorang sahabat di Kajang, di situlah mulai muncul “ide dan mimpi gila” untuk mengubah lahan “tak berguna” itu menjadi sebuah “ponmin”. Ketika ide itu diketahui pemilik lahan sekitar 1.100 meter di samping lahan kecil kami, ternyata sang pemilik itu tertarik dengan ide tersebut. Ia pun menjual lahan itu, dengan harga murah, kepada kami. Berdirilah kemudian sebuah “ponmin” di lahan tersebut sejak Mei 2008. Kemudian, dengan berjalannya sang waktu, lahan “ponmin” pun berkembang sehingga luasnya menjadi 1.700 meter persegi. Alhamdulillah, sejak itu fasilitas “ponmin” kian lengkap (antara lain atas jasa Ustadz Budi Prayitno: Jazakumullah Ahsan Al-Jaza’, Ustadz). Tentu saja, berjalannya dan berkembangnya “ponmin” ini tidak lepas dari jasa para ustadz/ustadzah yang berjuang bersama kami, juga jasa masyarakat luas.  Jazakumullah Ahsan Al-Jaza’.

Nah, insya Allah, bulan depan, “ponmin” kami akan dilengkapi dengan sebuah bangunan baru (lihat gambarnya di atas). Penambahan bangunan tersebut juga tidak lepas pula dari kontribusi masyarakat (antara lain seorang dokter dan suaminya yang bekerja di Metrodata yang menyumbang 35 juta rupiah dan seorang nenek berusia 84 tahun yang tiba-tiba datang dan menyumbang 10 juta rupiah, Jazakumullah Ahsan Al-Jaza’). Dengan penambahan bangunan tersebut mudah-mudahan kapasitas tempat untuk anak-anak yang belajar Al-Quran dan kegiatan lain-lainnya insya Allah kian memadai.

Sekali lagi hal ini membuktikan “dahsyatnya mimpi”. Ini karena sejatinya “mimpi” adalah doa. Dan, sejatinya untuk hidup yang berbahagia dan berguna tidak hanya harus menjadi pejabat tinggi atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Apalagi dengan menjadi koruptor. Sejatinya, banyak jalan menuju kehidupan bahagia dan berguna bagi masyarakat yang diberkahi dan diridhai Allah Swt. Karena itu, silakan Anda “bermimpi” yang positif. 

Tentu saja tidak dengan bermimpi menjadi koruptor!

Monday, October 8, 2012


BERMIMPILAH DAN BERKELANALAH

"Ya Allah, ternyata tahun ini, Engkau memberikan kesempatan kepada hamba-Mu ini untuk menengok sejumlah kota di empat benua: Asia, Afrika, Eropa, dan Australia, dengan jarak sekitar 120 ribu kilometer," demikian gumam bibir saya seraya berdiri di pinggir dermaga Darling Harbour, Sydney, Australia, minggu lalu (maaf, sejatinya saya enggan menulis demikian, khawatir riya’). "Ya, Allah, hamba-Mu ini bukan pejabat, anggota DPR, ataupun orang yang Engkau karuniai harta melimpah. Tapi, mengapa Engkau tahun ini memberikan kesempatan kepada hamba-Mu ini menginjakkan kaki di empat benua?"

Berkelana memang sudah mendarah daging dalam diri saya.

Sejatinya, keinginan untuk berkelana, alias “ngluyur”, sudah tumbuh dalam diri saya ketika saya masih menjadi anak sekolah dasar di sebuah kota kecil di Jawa Tengah: Cepu. Meski kota kecil, kala itu kota itu cukup lengkap dengan prasarana dan sarana publik: kolam renang, gedung bioskop megah, lapangan sepak bola yang lengkap, perumahan megah dan indah, dan juga taman perpustakaan rakyat. Mungkin, karena kota di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur itu kala itu masih menjadi tempat tinggal bule-bule Belanda yang mengendalikan perusahaan minyak BPM (Bataafsche Petroleum Matschappij).

Sebagai rakyat biasa dan ayah bukan karyawan BPM (ayah adalah seorang kiai yang juga pegawai di Departemen Agama), tentu saja saya tidak memiliki hak untuk menikmati prasarana dan sarana mewah tersebut di atas, selain Taman Perpustakaan Rakyat yang kala itu memiliki buku-buku bacaan yang sangat lengkap. Betapa saya kala itu mendambakan dapat menikmati prasarana dan sarana semua itu. Namun, saya hanya dapat “menikmati” semua prasarana dan sarana itu dari kejauhan. Tak aneh bila kerap kali rasa cemburu saya pun membuncah melihat nonik-nonik dan sinyo-sinyo yang sedang asyik menikmati semua prasarana dan sarana mewah tersebut.

Tidak memiliki kesempatan menikmati prasarana dan sarana mewah di tempat kelahiran saya itu, saya pun akhirnya menjadikan Taman Perpustakaan Rakyat sebagai pelarian. Nah, lewat buku-buku yang tersedia di taman perpustakaan itu, termasuk karya-karya Karl May, saya mulai mengenal pelbagai kawasan dunia. Entah kenapa, sejak itu, dalam benak saya mulai tumbuh keinginan untuk mengelilingi dunia, meski tidak tahu caranya. Saya pun mulai bermimpi dapat mengunjungi pelbagai kota di pelbagai penjuru dunia. “Mimpi” itu kian membuncah ketika keluarga saya pindah ke Blora. Di kota itu, saya memiliki seorang saudara angkat, keturunan Arab, yang memiliki buku bacaan yang sangat lengkap satu lemari besar: komik, kisah petualangan, kisah cowboy, dan novel. Rasanya, kala itu, saya mulai mencandu buku. Segala jenis buku saya baca dan mimpi saya untuk berkelana kian terbentuk. Di sisi lain, kala itu saya mulai mendalami bahasa Arab di pesantren di Kudus selama sekitar enam tahun.

Perjalanan selanjutnya mengantarkan saya ke Jogjakarta. Selepas empat tahun menimba ilmu dan memperdalam bahasa Arab di Pondok Pesantren Krapyak, di samping menimba ilmu di Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, saya kemudian pindah ke daerah Sagan. Mengapa? Adik bungsu Ibunda saya, seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang merangkap jadi mahasiswa IAIN, mengajak saya untuk “menaklukkan dunia”. Ucapnya, “Ayo kita taklukkan dunia. Kita kan sudah menguasai bahasa Arab. Sekarang, sebaiknya kita menguasai bahasa Inggris. Dengan dua bahasa itu, bagaimana jika dik Rofi’ sebaiknya pergi ke Timur Tengah dan “menaklukkan” Universitas Al-Azhar. Sedangkan saya akan pergi ke Amerika Serikat. Saya ingin “menaklukkan” Universitas Harvard. Kan saya saat ini, selain bahasa Arab, sudah menguasai bahasa Perancis.”

Tentu saja tidak mudah untuk mewujudkan mimpi dan keinginan yang melambung tinggi tersebut. Apalagi kami berdua kala itu adalah para mahasiswa berkantong tipis. Di Sagan kami hanya mampu tinggal di sebuah tempat kos-kosan sangat sederhana. Tanpa listrik dan hanya memakai lampu teplok. Namun, keinginan kami untuk mendalami bahasa Inggris tak terbendung lagi. Kami pun memilih kursus bahasa Inggris di tempat kursus yang paling bergengsi kala itu: di Institut Keguruan dan Pendidikan Negeri Jogjakarta.

Untuk membiayai kursus mahal tersebut, kami berdua mulai menulis di media massa. Hasilnya lumayan: kami kian lancar menulis dan mampu membiayai kursus bahasa Inggris yang cukup mahal kala itu. Karena kami sangat bersemangat dalam usaha untuk menaklukkan bahasa Inggris, akibatnya di setiap jenjang hingga jenjang terakhir, advanced level, kami dengan bergantian menjadi juara level. Kemudian, setelah meraih gelar sarjana, Allah ternyata memberikan kesempatan kepada saya untuk memasuki Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Demikian pula mimpi paman saya pun terpenuhi: ia menerima beasiswa program pascasarjana di John F. Kennedy School, Harvard University, Amerika Serikat, salah satu sekolah paling prestisius di negara adikuasa tersebut. Luar biasa: mimpi kami benar-benar terwujud. Dan, lewat kelana tersebut, betapa banyak pengalaman dan ide kreatif yang kami dapatkan.

Selepas menapakkan kaki di Kairo, mimpi saya untuk keliling dunia kian terpicu oleh kisah-kisah petualangan. Khususnya karya seorang wartawan terkemuka Mesir kala itu, Anis Mansur, yang menuturkan kisah perjalanannya keliling dunia selama 200 hari. Juga, kisah petualangan Dr. Husain Fauzi ke Amerika Serikat dan Eropa. Kisah-kisah itu, ternyata, membangkitkan obsesi yang kuat dalam benak saya dan memicu saya untuk memelajari bahasa Perancis selama enam tahun di Mesir.

Karena itu, selepas kembali ke Tanah Air, hingga kini, setiap ada kesempatan, entah kenapa saya selalu ingin berkelana ke pelbagai negara yang belum pernah saya kunjungi. Alhamdulillah, entah kenapa pula, hingga kini Allah senantiasa memberikan kesempatan kepada saya untuk “ngluyur”. Dan, untuk tahun ini, kesempatan itu membuat saya mengunjungi sejumlah kota di empat benua dan menempuh jarak tidak kurang dari 120 ribu kilometer: Singapura, Kuala Lumpur, Dubai, Jeddah, Madinah, Makkah, Istanbul, Hong Kong, Shenzen, Macao, Kairo, dan Sydney.

Mungkin di sini timbul pertanyaan: kawasan manakah yang kini ingin saya kunjungi? Hal itu sejatinya pernah ditanyakan putri sulung saya, “Bapak, andai Mona memiliki rezeki dan dapat mengajak Bapak berkelana, ke kawasan mana yang ingin Bapak kunjungi?” Jawab saya pasti, “Alaska!”

Kiranya Allah Swt. memenuhi mimpi saya, amin.