Friday, December 7, 2012


BERBUAT YANG TERBAIK, MENGAPA TIDAK?

Rrrrrrr…. Rrrrrr…. Rrrrr….”

Tiba-tiba suara berisik demikian itu “mewarnai” suasana di tempat tinggal kami, di Baleendah, Kab. Bandung, beberapa waktu yang lalu. Kian lama suara itu kian kencang. Saya yang sedang asyik di depan laptop, di lantai dua rumah kami, di Pondok Pesantren Mini Nun Learning Center, pun segera turun ke lantai satu. Ohoi, ternyata, Pak Apo, petugas kebersihan di lingkungan pondok pesantren, sedang asyik memotong rumput dengan mesin pemotong rumput yang telah berusia senja. Saya lihat, Pak Apo begitu asyik “menari-nari” dengan mesin tua itu. Bidang demi bidang di pelbagai sudut pondok pesantren yang ditumbuhi rumput pun menjadi bersih, rancak, dan indah.

Ketika sedang “bermain-main” dengan mesin pemotong rumput, saya lihat Pak Apo begitu asyik dengan pekerjaannya. Bila bahasa kaum sufi dapat dipakai di sini, dapat dikatakan ketika sedang memegang mesin pemotong rumput Pak Apo sedang dalam keadaan “trance” alias majdzûb. Lupa segala-galanya dan yang dia lakukan adalah “menari”, “menari”, dan “menari” dengan mesin pemotong rumput yang ada di tangannya. Dengan cara kerja yang demikian, tidak aneh jika dalam waktu tidak lebih dari tiga jam seluruh sudut pondok pesantren, dengan luas sekitar 1.700 meter persegi, pun menjadi bersih dan indah kembali. Memang, meski hanya sebagai seorang petugas kebersihan, namun Pak Apo dapat dikategorikan sebagai orang yang ketika bekerja dia senantiasa bekerja dengan hatinya dan sepenuh hati. Tanpa mengharapkan pujian. Hasilnya luar biasa:  setiap pekerjaan yang dia lakukan menghasilkan hasil yang patut diacungi jempol.

Entah kenapa, ketika melihat Pak Apo sedang mengalami “ekstase” dengan pekerjaannya, tiba-tiba saya teringat kejadian di awal tahun 1980-an di Universitas Kairo, Mesir. Sore itu, selepas mengikuti bimbingan seorang supervisor tesis master saya, Prof. Dr. Ahmad Shalaby, seorang pakar sejarah dan kebudayaan Islam terkemuka di Mesir, tiba-tiba memanggil saya, “Ahmad (di Mesir, saya dipanggil dengan nama tersebut, bukan dipanggil Rofi’, karena nama pertama saya memang Ahmad), dua buku yang kamu terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia telah diterima sebuah penerbit di Singapura. Mereka memuji hasil terjemahanmu.”
“Terima kasih, Prof. Tapi, terjemahan yang saya lakukan masih banyak kekurangannya,” jawab saya.
“Ahmad,” tiba-tiba sang profesor bertanya, “tahukah kamu Prof. Dr. A.J. Arberry?”

Menerima pertanyaan demikian, sejenak saya kebingungan. Untung, beberapa waktu sebelumnya saya sudah membaca sebuah buku yang menuturkan perjalanan hidup supervisor saya tersebut, dengan judul Hayâtî. Karena itu, tidak lama kemudian saya menjawab, “Ya, saya sedikit tahu tentang Prof. Dr. A.J. Arberry, supervisor profesor ketika sedang mengambil program doktor di Universitas Cambridge, Inggris.”

A.J. Arberyy, siapakah tokoh yang ditanyakan supervisor saya itu?

A.J. Arberry, atau lebih lengkapnya Arthur John Arberry, adalah seorang orientalis terkemuka  yang  pakar tasawuf  dan  sastra  Persia. Orientalis yang satu ini lahir  di  sebuah  desa  kecil, Fratton,  Portmouth,  Inggris pada Jumat, 7 Rabi‘ Al-Awwal  1323 H/12  Mei 1905 M. Setelah merampungkan pendidikan menengahnya  di Grammar  School,  di tempat kelahirannya, putra  seorang  perwira Angkatan  Laut  Inggris  ini lantas  memasuki  Pembroke  College, Universitas Cambridge. Di universitas terkemuka itu, ia bertemu dengan  Reynold A.   Nicholson, seorang orientalis terkemuka,   yang  kemudian  banyak   mengarahkan Arberrry  untuk mempelajari  bahasa Arab dan Persia. Malah, Arberry kemudian  menjadi pengganti sang mahaguru yang juga pakar di bidang tasawuf.

Pada 1350 H/1931 M Arberry melakukan perjalanan ilmiah ke Kairo, Mesir. Di "Kota Seribu Menara" itulah ia bertemu dengan seorang mahasiswi  Romania,  Sabrina Simons, yang  kemudian  disuntingnya menjadi istrinya. Lima tahun kemudian, pada 1355 H/1936 M,  gelar doktor ia raih dari almamaternya. Segera langkah-langkah pastinya dalam  menapaki kajian tentang tasawuf dan satra  Persia  kian terentang  jauh.  Dan,  segera pula  lahir  sejumlah  karya-karya ilmiahnya di bidang tersebut.

Karier Arberry pada tahun-tahun berikutnya kian berpendar. Pada 1364  H/1944 M, misalnya, ia diangkat sebagai guru  besar  bahasa Persia  di Oriental and African Studies School, menggantikan  V.F Minorsky.  Lantas, dua tahun kemudian, ia diangkat  sebagai  guru besar  bahasa Arab. Lalu, tahun berikutnya, ia  diangkat  sebagai guru  besar  kursi  bahasa  Arab  di  almamaternya,   Universitas Cambridge, menggantikan C.A. Storey.  Perjalanan hidup selanjutnya guru besar yang terkenal santun  ini diwarnai dengan berbagai kegiatannya dalam meneliti, menulis, dan menerjemahkan  karya-karya yang menjadi bidang kajiannya,  sampai ia  meninggal dunia di Cambridge, pada Kamis, 20 Rajab 1387  H/2 Oktober 1969 M. Karya-karyanya, antara lain, adalah  Specimens of Arabic  and Paleography, Revelation and Reason in Islam,  Aspects of Islamic Civilization, Sufism: An Account of Mystics of  Islam, dan The Koran Interpreted.

“Prof, ada apa dengan Prof. Dr. A.J. Arberry?” saya kemudian balik bertanya. Sangat penasaran.
“Ahmad,” jawab Prof. Dr. Ahmad Shalaby,  “kerap kali ketika kita menilai para tokoh orientalis atau para ilmuwan Barat, kita terjebak dalam usaha untuk senantiasa mencari kesalahan dan kelemahan mereka. Kita langka sekali berusaha mengetahui dan memahami aspek-aspek positif yang mereka miliki. Prof. Dr. A.J. Arberry, misalnya. Saya sejatinya sangat mengagumi cara kerja ilmiah beliau. Mengapa? Beliau adalah seorang ilmuwan yang sangat cermat dan teliti. Ketika beliau menerjemahkan karya-karya dari bahasa Persia atau bahasa Arab, misalnya, dan beliau merasa kurang sreg dengan terjemahan satu kosakata, beliau bisa berhari-hari tidak beranjak dari kosakata itu hingga menemukan terjemahan yang paling tepat. Juga, ketika menulis sebuah buku, beliau sangat teliti dan cermat sekali. Hal-hal positif yang demikian itu sebaiknya juga kamu lakukan ketika kelak kamu menjadi seorang ilmuwan, penulis, atau penerjemah. Malah, juga ketika kamu bergerak di bidang-bidang lain. Berbuatlah sebaik mungkin di bidang apa pun yang kamu geluti dan tangani.”
“Prof, terima kasih sekali atas nasihat yang indah tersebut. Insya Allah saya akan melaksanakan nasihat tadi,” sahut saya dengan perasaan sangat gembira.

“Berbuatlah  yang terbaik. Di mana pun dan kapan pun”, pesan indah yang demikian itulah sejatinya yang menjadi pesan Pak Apo dan Prof. Dr. A.J. Arberry, lewat tindakan cermat dan teliti yang senatiasa mereka lakukan. Betapa indah pesan itu. Akan lebih indah lagi bila kita dapat melaksanakan pesan indah itu. Di bidang apa pun yang kita kerjakan dan tekuni. Tentu saja, di bidang dan usaha yang positif dan bukan negatif.  Pesan yang indah tersebut sejatinya juga pernah disampaikan Rasulullah Saw. “Sungguh, sejatinya Allah senang bila hamba-Nya beramal dengan amal yang terbaik.” Karena itu, semestinyalah kita berbuat yang terbaik, di bidang apa pun yang kita tekuni, dengan mengharap ridha Allah Swt.!