Friday, March 22, 2013


Al-Buthi, Siapakah Ulama yang Satu ini?

Sedih, itulah suasana hati saya begitu membaca berita tentang berpulangnya kemarin seorang ulama terkemuka Suriah yang satu ini, Prof. Dr. Muhammad Sa‘id Ramadhan Al-Buthi, dalam peristiwa bom yang meledak di lingkungan Masjid Umawi, Damaskus. Mengapa sedih? Lepas dari pemikiran politik yang beliau dukung, beliau tidak hanya seorang ulama kondang semata. Tetapi, beliau juga seorang penulis produktif sejumlah karya tulis ilmiah yang berbobot. Dewasa ini, di Dunia Islam, tidak mudah menemukan seorang ulama terkemuka yang juga seorang penulis yang berbobot seperti beliau. Apalagi, beliau sejak dahulu terkenal memiliki akhlak yang indah.

Siapakah Prof. Dr. Muhammad Sa‘id Ramadhan Al-Buthi?

Ulama  dan pemikir Muslim terkemuka asal Suriah ini lahir pada 1348 H/1929 M di sebuah desa Turki, Jilika, di Pulau Butan (dalam bahasa  Arab disebut  Jazirah Ibn ‘Umar), Anatolia Barat. Putra semata  wayang seorang  ulama  berdarah Kurdi yang juga seorang  penjual  buku, Mulla Ramadhan Al-Buthi, ini pindah ke Damaskus, Suriah pada 1353 H/1934  M,  bersama keluarganya yang menghindar  dari  penindasan pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk. Di kota baru tersebut mereka bermukim  di  Distrik Ruknuddin yang  warganya  sebagian  besar berdarah Kurdi.

Di kota yang pernah menjadi ibukota pemerintahan Dinasti Umawiyyah itu,  Al-Buthi muda memperdalam ilmu. Antara lain  kepada  Syaikh Hasan Habannakah Al-Midani dan Syaikh Al-Maradini di Masjid  Raya Manjak  di Al-Midan. Di sisi lain, tatkala berusia 18  tahun,  dia dinikahkan  ayahandanya  dengan adik perempuan istri  kedua  ayahandanya. Usai  menimba  ilmu  di  Suriah, Al-Buthi muda  lantas  memperdalam  ilmu  di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir.

Selepas  menimba ilmu di Negeri Piramid pada 1376 H/1956  M,  Al-Buthi  meniti  karier sebagai guru. Lantas, pada 1381  H/1961  M, tatkala  Universitas  Damaskus  membuka  Fakultas  Syariah,   dia direkrut  sebagai  staf pengajar di bidang  perbandingan  mazhab, akidah, dan sîrah. Karier ilmiahnya kian berpendar  selepas dia  berhasil meraih gelar doktor dari Universitas  Al-Azhar  pada 1385  H/1965  M.  Jabatan yang dia pangku,  antara  lain,  adalah sebagai Dekan Fakultas Syariah, Universitas Damaskus.

Selain  itu, Al-Buthi juga meluangkan sebagian waktunya untuk  menyusun sejumlah karya tulis. Karya-karya tulisnya, antara lain Dhawâbith Al-Mashlahah fî Al-Syarî‘ah  Al-Islâmiyyah,  Fiqh  Al-Sîrah  Al-Nabawiyyah   ma‘a Mu‘jaz li Târîkh Al-Khulafâ’ Al-Râsyidah, Kubrâ Al-Yaqîniyyât  Al-Kauniyyah,  Muhadharât fî Al-Fiqh Al-Muqârin, Min Al-Fikr wa  Al-Qalb,  Minhâj Tarbawî Farîd fî Al-Qur’ân, Al-Islâm  wa  Musykilât Al-Syabâb, Al-Insân wa ‘Adâlah Allâh fî Al-Ardh, Min Rawâ’i‘  Al-Qur’ân,  Minhâj Al-‘Audah ilâ Al-Islâm,  Al-Salafiyyah:  Marhalah Zamâniyyah  Mubârakah  ilâ Madzhab Islâmî, Hiwâr  Haula  Musykilât Hadhâriyyah,  Minhâj Al-Hadhârah Al-Insâniyyah fî Al-Qur’ân,  Al-Jihâd  fî Al-Islâm, Qadhâyâ Fiqhiyyah Mu‘âshirah, dan  Al-Dîn  wa Al-Falsafah.

Mengiringi kepulangan Prof. Dr. Muhammad Sa‘id Ramadhan Al-Buthi ke hadirat Allah Swt., saya hanya dapat mengiringinya dengan doa, “Allahumma ighfir lahu warhamhu wa‘âfihi wa‘fu ‘anhu wawassi‘ madkhalahu waj‘al al-jannnata matswâhu.” Kiranya Allah Swt. menerima amal-amal beliau dan mengampuni dosa-dosanya, amin.

Monday, March 4, 2013


Kisah 2 Potong Celana Panjang Baru

Perjalanan, bagi saya, senantiasa menyajikan berbagai pengalaman baru. Baik apakah berupa sajian ilmu, pengalaman, maupun ide baru. Nah, dalam perjalanan terakhir (ke Arab Saudi, Turki, dan Dubai), antara 15 sampai dengan 26 Februari 2013 yang lalu, ada suatu pengalaman kecil yang menarik buat saya: kisah dua potong celana baru saya.

Dapat dikatakan, saya adalah manusia “jadul” (jaman dulu). Selama ini, saya tidak pernah terpikat untuk mengenakan celana jeans atau celana jadi. Seperti halnya dalam hal memotong rambut, saya pun jarang berganti penjahit celana panjang. Sejak tinggal di Kota Bandung, sejak 1984, dapat dikatakan ketika membuat celana saya tidak pernah berpindah dari seorang penjahit di Jalan Sukajadi, Bandung. Sang penjahit  sampai hapal ukuran celana saya. Karena itu, ketika menjelang bertolak menuju Timur Tengah pada pertengahan bulan lalu, saya menjahitkan dua potong kain untuk dibuat celana, hanya dalam dua hari dua potong celana itu telah siap. Saya menyiapkan dua potong celana itu karena celana-celana yang lain sudah “berusia senja”.  Dalam perjalanan ke Timur Tengah itu, saya membawa empat celana: dua celana lama dan dua celana baru.

Kemudian, apa yang terjadi dengan dua potong celana baru itu?

Selama di Arab Saudi, dalam perjalanan itu saya senantiasa didampingi para sahabat dari Madura. Mereka adalah para sahabat yang begitu tulus dalam melakukan tugas yang harus mereka laksanakan. Atas bantuan mereka, tugas yang saya emban selama di Tanah Suci pun menjadi terasa ringan. Nah, ketika berada di Makkah, dan ketika sedang rehat di hotel, seorang sahabat dari Sampang, sebut saja Sahih namanya, tiba-tiba mendekati saya dan berucap, “Ustadz, selama bermukim selama 10 tahun di Makkah, Sahih belum pernah menemukan penjahit celana yang pas. Saat ini, celana-celana Sahih sudah usang semua. Selama beberapa hari ini saya perhatikan, celana-celana baru yang Ustadz kenakan tampaknya kok enak dikenakan. Bolehkah saya mencoba celana-celana itu. Kalau cocok, saya akan pesan beberapa potong celana. Lewat Ustadz?”
“Silakan dicoba, Mas Sahih.”

Oh, ternyata ketika kedua celana baru itu dikenakan Mas Sahih, dua celana itu pas sekali dengan ukuran tubuhnya. Betapa gembira hatinya begitu Mas Sahih tahu hal yang demikian itu. Dan, sambil melukar salah satu celana itu, dia berucap pelan, “Ustadz, bagaimana jika dua celana baru ini untuk Sahih. Ustadz bikin saja celana-celana baru begitu tiba di Bandung nanti?”

Begitu mendengar ucapan Mas Sahih yang demikian, sejenak saya tercenung dan bingung. Sebab, perjalanan saya masih panjang. Saya masih akan meneruskan perjalanan menuju Turki dan Dubai. Padahal, saat itu, salah satu dari celana lama saya dalam keadaan kotor dan hari berikutnya saya akan meneruskan perjalanan menuju Istanbul. Tentu, selama dalam perjalanan selanjutnya, satu celana bersih saja tidak cukup. Tapi, segera, saya abaikan semua pertimbangan itu dan menjawab, “Silakan, ambil saja kedua celana itu.”
Betapa gembira Mas Sahih mendengar jawaban saya demikian. Dia pun segera memegang tangan saya dan menciuminya berkali-kali sambil mengucapkan terima kasih, “Terima kasih, Ustadz. Saya doakan, perjalanan Ustadz senantiasa di bawah lindungan Allah Swt. Juga, Ustadz dan keluarga senantiasa dikaruniai keberkahan dan kemudahan, amin…”

Mendengar ucapannya yang tulus tersebut, saya hanya dapat mengaminkan saja. Dan, alhamdulillah, Allah Swt. senantiasa memberikan kemudahan dalam perjalanan saya selanjutnya. Juga, mengaruniakan limpahan karunia yang jauh lebih berharga dan bernilai daripada kedua celana baru saya tersebut.

Hikmah: jadilah selalu pemberi, kapan pun dan di mana pun, dengan hati yang ikhlas.