Saturday, September 21, 2013

MANNEKEN PIS PUN PERNAH MEMAKAI BLANGKON DAN SURJAN:
Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (9)

Waduh, ini sih “rapat gelap” ketiga namanya! Belum sehari semalam di Kota Brussels harus menghadapi tiga “rapat gelap”, hehehe.”

Itulah gumam pelan bibir saya ketika tiba di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Brussels dan kemudian menghadiri jamuan makan siang bersama Pak Dubes Brussels di sebuah restoran yang terletak di Boulevard de la Woluwe.  Ternyata, lokasi restoran maupun gedung KBRI Brussels hanyalah sekitar sepuluh menit dari rumah Mas Andi Yudha Asfandiyar dan terletak di kampung yang sama.

Lantas, setelah duduk di kursi yang disediakan, dan melihat hadirin dan hadirat yang ada di situ, saya sudah memperkirakan, “rapat gelap” itu akan berlangsung lama. Namun, segera saya menyadari, pertemuan siang itu sangat penting dan positif, meski hasilnya mungkin baru dapat “dipanen” beberapa tahun kemudian. Lagi pula, selepas “mengintai” dan “mencermati” satu demi satu di antara hadirin dan hadirat yang ada di situ saat itu, juga isi perbincangan mereka, hati saya pun menjadi tenang: tidak jadi ‘kluyuran’ di seputar Kota Brussels pun tidak apa. Mereka semua  adalah orang-orang yang sedang berpikir keras, secara positif, demi negeri tercinta yang berada nun jauh di selatan. Mereka adalah orang-orang yang mencintai Indonesia tanpa mengharapkan imbalan apa pun dari negeri yang sedang mereka pikirkan nasib dan masa depannya. “Mungkin, para anggota dewan terhormat di Senayan pun tidak pernah berpikir sejauh yang sedang dipikirkan hadirin dan hadirat ini. Pernahkah para anggota dewan itu memikirkan, bagaimana cara menembus lebih jauh HTCE dan mendekati industri-industri canggih tingkat dunia, untuk kepentingan Indonesia, seperti yang sedang dipikirkan hadirin dan hadirat ini?” demikian protes hati saya saat itu.

Kemudian, ketika kian tahu tentang latar pendidikan hadirin dan hadirat saat itu, hati saya pun merasa “plong”. Dapat dikatakan, mereka semua berlatar pendidikan bagus dan memiliki “track record” bagus pula. Mereka semua berpendidikan pascasarjana, dengan latar belakang beragam: Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, TSM School, Belanda, Universitas Padjadjaran, Bandung, Universitas Toulouse, Perancis, dan Universitas Harvard, Amerika Serikat, di samping memiliki pengalaman kerja yang cukup bagus. Mereka berpandangan, “kini saatnya anak-anak Indonesia tampil di pelbagai industri canggih tingkat dunia. Betapa kerap kami, sebelum ini, dipandang sebelah mata. Namun, ternyata, kami dapat membuktikan, kami pun dapat menangani dan mengelola industri-industri canggih itu. Kini saatnya kami buktikan, anak-anak Indonesia pun mampu menangani industri-industri canggih. Di bidang apa pun.”

Setelah sekitar dua jam menikmati pelbagai hidangan, saya lihat Mas Andi Yudha Asfandiyar pamitan. Dia akan memimpin suatu kegiatan yang melibatkan anak-anak Indonesia di Kota Brussels. Dan, akhirnya, Pak Dubes pun menutup acara makan siang hari itu. Waktu, saat itu, telah menunjuk sekitar pukul 15.30. Kami pun segera pamitan kepada tuan rumah yang telah mengundang kami untuk menikmati makan siang. Meski hanya sebentar, dan sebelum kembali ke Eindhoven, dan kemudian balik ke Amsterdam, kami ingin menengok Grand-Place/Grote Markt dan Manneken Pis serta Menara Atomium.

Segera, dengan naik dua mobil, kami bertujuh bergerak menuju ke “jantung” Kota Brussels, Grand-Place de Bruxelles (dalam bahasa Perancis) atau Grote Markt  van Brussel (dalam bahasa Belanda), pusat Kota Brussels yang telah berusia lebih dari seribu tahun lebih. Kali ini, yang menjadi tour leader adalah sahabat kami yang seorang direktur perusahaan engineering di Brussels. Penunjuk jalan kami ini adalah seorang doktor di bidang penerbangan yang “warga” Brussels, Dr.Ing. Aji Purwanto. Dan, setelah menembus pelbagai jalan Kota Brussels, akhirnya kami tiba di jantung Kota Brussels.  Setelah Mas Aji Purwanto dan Mas Latif Gau memarkir mobil yang kami naiki, kami kemudian bergegas menuju “Alun-Alun” (kira-kira pas gak ya disebut demikian) Kota Brussels. “Alun-Alun” berbentuk persegi itu dikitari gedung-gedung indah yang bergaya gotik. Waktu yang terbatas membuat kami tidak lama di tempat itu.

Mas Aji Purwanto kemudian mengajak kami menyusuri Rue de l’Etuve. Setelah melintas perempatan Lombardstraat, akhirnya ketika tiba di perempatan berikut, di pojokan sebelah kiri kami ada sejumlah orang bule sedang mengitari pojokan itu. Ternyata, di situ terdapat sebuah patung berukuran kecil. Itulah Manneken Pis yang kondang di seantero dunia. Saya sendiri tidak habis pikir, kenapa patung anak kecil itu begitu terkenal. Ketika kami datang, patung yang dirancang Jerome Duquesnoy itu sedang mengenakan seragam tentara. Saya tidak tahu, seragam tentara mana yang dikenakannya saat itu. Kami kemudian berdiri di samping pagar yang membatasi sudut tempat si Manneken Pis berada.

Tidak lama kemudian, seorang laki-laki dengan mambawa tangga mendekati Manneken Pis. Segera, orang itu melukar seragam tentara yang dikenakan si Manneken Pis dan membuatnya telanjang. Alias tanpa baju apa pun, hehehe. Melihat hal itu, Mas Aji Purwanto berucap, “Manneken Pis ini juga pernah lo pakai blangkon dan surjan.”
“Yang bener saja?” kata Ibu Latifah (istri Mas Toyibi).
Bener kok, Mbak,” sahut saya. “Mbak gak melihat foto si Manneken Pis yang dipasang di ruang tamu Mas Andi? Di foto itu, patung itu memakai blangkon dan surjan lo.”

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar bunyi, “cur, cur,cur”, eh baju saya dan Dik Harca pun basah. Ternyata, setelah si Manneken Pis yang telanjang pipis kencang dan pipisnya membasahi baju saya dan Dik Harca. “Sialan, itu mesti ulah bapak yang mengganti bajunya tadi,” gerutu Dik Harca. Ketika saya melihat si bapak itu, orang itu hanya senyum-senyum saja. Tampaknya, orang itu mencandai kami. Untung saja, pipis si Manneken Pis bukan pipis beneran, tapi air biasa, hehehe.  

Setelah puas “berkenalan” dengan Manneken Pis yang telanjang dan kedinginan, hehehe, kami kemudian “digiring” (kaya bebek saja, hehehe) menuju Galeries Royales St. Hubert. Itulah pusat pertokoan paling bergengsi di Belgia. Di situ, beberapa orang di antara kami membeli cokelat di Toko “Pierre Marcolini Haute Chocolaterie”. Saya dan istri, yang tidak tertarik dengan cokelat, kemudian berfoto saja. Itu saja.

Usai dari Galeries Royales St. Hubert, kami kemudian diajak menuju Menara Atomium, sebuah ikon Kota Brussels yang dirancang André Waterkeyn. Menara yang terletak di pinggir Kota Brussels itu, di kawasan Heysel Park, terdiri dari sembilan bola baja raksasa (berdiameter 18 meter) yang membentuk struktur inti sebuah kristal. Sembilan bola raksasa itu tegak dengan bertumpu pada satu bola utama yang dilengkapi tiga tiang penunjang. Menakjubkan, meski menara itu dibikin untuk menyambut Expo 1958.

Di dekat Menara Atomium itulah kami kemudian berpisah dengan Dr. Ing. Aji Purwanto. Kami berenam kemudian melanjutkan perjalanan menuju Eindhoven, Belanda. Dan, setiba di Eindhoven, betapa terasa nikmatnya ketika berada di rumah Mas Latif Gau, ketika kami mendapatkan hidangan soto kudus dan kolak yang disiapkan istri Mas Latif Gau, Mbak Lili. Matur suwun sanget, Mbak. Lantas, setelah shalat, kemudian kami segera menuju Stasiun Eindhoven Centraal. Di stasiun itulah kami berpisah dengan Dik Harca dan Mas Latif.

Kemudian, setiba di Stasiun Amsterdam Centraal pukul 22.30, saya dan istri pun berpisah dengan Mas Toyibi dan istri yang melanjutkan perjalanan menuju Schiphol International Airport. Dan, hari berikut, Kamis 5 September 2013, saya dan istri kembali ke Negeri Tercinta. Entah kenapa, ketika saya menapakkan kedua kaki ke dalam perut pesawat terbang KLM, yang kemudian membawa kami menuju Jakarta dengan masa tempuh 14 jam, sebuah lagu merdu yang dinyanyikan Said Efendi, Nun Jauh di Sana, terngiang-ngiang di telinga saya:

Nun jauh di sana            
Di lembah Tanah Airku
Melambai bunga sekuntum
Berseri mewangi menghiasi ibu

Nun jauh di sana
Di lembah tanah nan hijau
Tersenyum bunga pujaan
Membisiki hatiku mengapa di rantau

Air mataku titik berlinang
Dusunku terkenang-kenang
Hasratku ingin segera kembali pulang
Ke pangkuan ibundaku sayang

Terasa betapa kurindu
Akan bunga nan indah ayu
Hasratku ingin segera menjelma kupu
Terbang malam menjelang kasihku.


THE END

Friday, September 20, 2013

“RAPAT GELAP” DADAKAN DI WOLUWE, BRUSSELS:
Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (8)

Neng, di mana kita ini?” tanya saya kepada istri, ketika terbangun dari tidur selepas melaksanakan shalat Subuh pada Rabu, 4 September 2013. Kami, karena sangat mengantuk, memang melanjutkan “perjalanan tidur” kami setelah sebelumnya baru memejamkan mata sekitar pukul 02.30 dini hari.
“Lo, bukankah kita di rumahnya Mas Andi Yudha,” jawab istri. “Kenapa gitu?”
“Kok saya mendengar lagu-lagu Indonesia. Mendengar lagu-lagu merdu dan syahdu itu kok membuat saya kangen sama Tanah Air.”
“Itu kan lagu-lagunya Iwan Abdurahman. Saya suka dengan lagu-lagu dia. Mungkin, Mas Andi sudah bangun dan sedang menyetel lagu-lagu itu. Yuk, kita bangun.”

Segera, saya sadar, kalau kami sedang berada Saint-Pierre, Woluwe, Brussels, di rumah sahabat akrab kami, Mas Andi Yudha Asfandiyar, mantan CEO Penerbit Mizan, dan Mbak Sinta Rismayani, Atase Perindustrian Republik Indonesia untuk Brussels, Luxemburg, dan Uni Eropa. Rumah yang terletak di kawasan elite di Brussels itu terasa sepi sekali. Saat itu, Mbak Sinta Rismayani, istri Mas Andi, sedang bertugas di Polandia. Dari sana, Mbak Sinta akan melanjutkan perjalanannya menuju Rusia. Tugas sebagai seorang atase perindustrian untuk Uni Eropa membuatnya kerap melakukan perjalanan ke pelbagai negara di Benua Eropa. Sedangkan semua anak-anak mereka sedang menimba ilmu di Belanda. Dengan kata lain, saat itu Mas Andi sedang “ngejomblo” alias kesepian dalam kesendirian, hehehe.

Betapa bahagia kami, bersama Mas Toyibi dan istri, dapat berkunjung dan mendapatkan kehormatan dapat menginap di kawasan yang dalam bahasa Belanda disebut  Sint-Pieters-Woluwe itu. Kawasan itu merupakan salah satu dari sembilan semacam “kecamatan” (tentu saja di Belgia gak ada kecamatan) di ibu kota Belgia, Brussels. Kawasan elite yang sepi, bersih, tertata bagus, dan terkelola baik. Namun, kebanyakan para penghuni kawasan itu adalah para pensiunan dan orang-orang yang berusia lanjut. Apa akibatnya? “Jika musim dingin datang,” tutur Mas Andi kepada kami sebelum kami beristirahat pada malam ketika kami datang, “saya selalu was-was jika mendengar bunyi lonceng gereja yang ‘mengumumkan kematian seseorang’. Di musim dingin, lonceng gereja itu lebih kerap dibunyikan ketimbang di musim panas seperti saat ini, karena sebagian besar para penghuni kawasan ini adalah orang-orang yang berusia lanjut. Karena itu, di sini, kita jarang bertemu dengan anak-anak dan anak-anak muda.” Weleh, gak seperti di Baleendah, tempat tinggal kami: dari pagi hingga sore ramai dengan anak-anak.

Usai mandi, kami kemudian berkemas-kemas. Rencananya, kami berempat baru akan dijemput “Tim Eindhoven” sekitar pukul 12.30 siang, untuk “menikmati” Kota Brussels. Mereka akan bertemu dan rapat dulu dengan Dubes RI untuk Belgia, Luxemburg, dan Uni Eropa, Arif Havas Oegroseno. Kami sendiri, setelah berkemas-kemas, sambil menunggu jemputan empat jam kemudian, lantas turun ke lantai satu: ruang tamu. Aha, di situ Mas Andi ternyata sedang menyetel lagu-lagu Indonesia sambil menggambar entah apa. Yang jelas, di depannya bertebaran kertas-kerta yang penuh gambar-gambar hitam putih. Tidak lama kemudian, Mas Toyibi dan istri bergabung. Rasanya, kami saat itu berada di Bandung, bukan di Brussels, hehehe.

Melihat kami berempat sudah “siap tempur”, Mas Andi Yudha Asfandiyar pun menyilakan kami untuk menikmati breakfast, dengan hidangan roti-roti ala “londo”, juice, dan teh hangat. Asyik, lezat sekali roti-roti yang dihidangkan. Seperti halnya ketika kami berkunjung di rumah Mas Aji Purwanto pada malam sebelum itu, dan kemudian ke rumah Mas Latif Gau di Eindhoven, ternyata Mas Andi dan keluarga juga tidak memiliki asisten pembantu rumah tangga. Padahal, sebagai seorang atase, Mbak Sinta (istri Mas Andi) tentunya dapat jatah asisten rumah tangga. “Kami tidak memerlukan asisten pembantu rumah tangga kok,” jawab Mas Andi ketika ditanya mengapa di rumahnya sepi dan tanpa asisten pembantu rumah tangga. “Kami kan hanya berdua. Apalagi saya, atau istri, kan sering tidak berada di rumah. Apalagi, anak-anak tidak tinggal di sini.” Budaya yang bagus dan patut ditiru!

Setelah kami berlima duduk di seputar meja makan, eh “rapat gelap” yang dimulai di rumah Mas Aji Purwanto pun berlanjut. Jika dalam “rapat gelap” di rumah direktur perusahaan engineering itu lebih berkisar tentang bagaimana cara “menaklukkan Eropa”, meski  akhirnya menyenggol masalah “Jokowi for President”, sedangkan “rapat gelap” kami berlima berkisar seputar kreativitas. Tentu saja, perbincangan pagi itu berkaitan dengan  kreativitas untuk anak-anak. Dengan gaya, mimik, dan gerakan kedua tangannya yang khas, “dedengkot” Sanggar PicuPacu Kreativitas itu memaparkan pelbagai kegiatannya yang berkaitan dengan pembinaan kreativitas untuk anak-anak di Indonesia di pelbagai tempat di Tanah Air. Sampai pun selepas Mas Andi bermukim di Kota Brussels.

Meski “disidang”, hehehe, empat orang, Mas Andi dengan gayanya yang ekpresif mampu mempertahankan argumentasi-argumentasinya tentang kreativitas. Malah, ketika Mas Andi menuturkan perilaku seorang penulis yang terkenal dengan gaya nyelenehnya, PB, sebagai contoh salah satu bentuk kreativitas, Mas Toyibi sampai tertawa terbahak-bahak. Padahal, biasanya, dokter spesialis senior yang satu ini selalu tampil serius. Saya yakin, Mas Andi tahu, dirinya “disidang” karena ilmu dan pengalamannya tentang kreativitas untuk anak-anak sedang “dioperasi dan disedot”. Dan, Mas Andi pun tahu, kian banyak ilmu dan pengalamannya dia berikan, kian banyak pula ilmu dan pengalamannya yang dianugrahkan kepadanya. Bukan begitu, Mas Andi.

Tidak terasa, “rapat gelap” itu berlangsung hingga sekitar pukul 10.30. Ketika “rapat gelap” itu menjelang ditutup, “kera ngalam” yang lulusan Jurusan Desain Grafis, Institut Teknologi Bandung itu kemudian menuturkan, jika saat ini dia sedang “didaulat” menjadi Ketua Pelaksana pembangunan sebuah masjid yang diharapkan mampu menampung sekitar 1,000 jamaah di Kota Brussels. Alhamdulillah. Masjid tersebut, menurut pengurus Keluarga Pengajian Muslimin Indonesia yang satu ini, selain diharapkan dapat menjadi tempat ibadah untuk kaum Muslim dari Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei, juga diharapkan mampu menjadi tempat yang menjadi rahmat bagi semua orang. Tidak hanya bagi kaum Muslim saja, tapi juga bagi kaum non-Muslim. Dengan kata lain, setiap Muslim yang hadir di masjid itu merasa nyaman, krasan, dan membuat “orang-orang lain” pun merasa nyaman dan hormat dengan kehadiran mereka dan masjid itu. “Dana yang diperlukan sekitar 250,000,- euro,” tutur Mas Andi. “Saat ini, dana yang terkumpul baru sekitar 70,000,- euro.” Nah, jika Anda ingin ikut membangun “sebuah gedung indah dalam surga”, silakan kontak Mas Andi selaku Ketua Pelaksana pembangunan masjid di Brussels itu. Paling tidak, dengan doa, kiranya masjid yang menjadi rahmatan lil ‘alamin itu segera terealisasi, amin.

Ketika “rapat gelap” itu diakhiri, Mas Andi Yudha Asfandiyar kemudian bercerita, salah satu ilmu dan pengalaman yang dia dapatkan di Brussels adalah teknik melukis sekali gores tanpa henti. Salah satu karyanya, dengan teknik sekali gores tanpa henti, adalah karya lukisnya yang dia taruh di depan meja kerjanya. “Mas Andi ini orang hebat,” gumam saya dalam hati ketika melihat Mas Andi sedang mempraktikkan cara dia melukis sekali gores. “Selain bisa melukis, dia juga piawai mendongeng dan menjadi motivator ulung dalam menanamkan dalam kalangan orang tua tentang pentingnya  kreativitas untuk anak-anak. Kiranya Allah Swt. senantiasa melimpahkan kepadanya kesehatan dan kemampuan dalam merealisasikan cita-citanya, amin.”

Usai berbincang dan bertukar pikiran dengan Mas Andi Yudha Asfandiyar, kami berempat kemudian berjalan-jalan di seputar kompleks tempat kediaman Mas Andi dan keluarga, Saint Pierre-Woluwe. Saat itu, di kompleks yang “dihiasi” dengan sebuah gereja yang disebut “Eglise Sainte-Alix”, atau dalam bahasa Belanda disebut “Sint-Aleidiskerk”, itu sedang ada pasar kaget. Ternyata, di Brussels pun juga ada pasar kaget. Yang menarik, baik di pasar itu, maupun di seputar kompleks yang kami datangi, tidak banyak anak-anak muda. Apalagi anak-anak kecil yang berlari-lari ke sana ke mari. Kayaknya, Benua Eropa saat ini sedang defisit anak-anak kecil, hehehe.

Kemudian, sekitar pukul 12.30 waktu Brussels, satu mobil Audi Q7 dan satu mobil Toyota Highlander Hybrid datang ke rumah Mas Andi. Ternyata, Mas Adi Purwanto dan Mas Latif Gau yang datang. Mereka meminta kami berlima supaya segera bersiap menuju Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) di Brussels, untuk menikmati makan siang bersama Bapak Dubes. Menerima kehormatan demikian, saya pun berkata kepada Mas Latif Gau, “Bagi saya, ini merupakan kramat gandul.”
“Apa itu kramat gandul?” tanya Mas Latif, yang sejak muda usia sudah bermukim di Belanda, kebingungan.
“Istilah ‘kramat gandul’ itu semula berkembang dalam kalangan pesantren saja. Mas Latif tentu tahu, ketika seorang kiai mendapatkan undangan, misalnya, biasanya dia didampingi seorang atau beberapa orang santrinya. Lantas, ketika mereka tiba di tempat perhelatan, tentu yang mendapatkan sajian lezat kan tidak hanya sang kiai saja, tapi juga santri atau para santrinya. Mas Latif tentu faham, andaikan si santri atau para santri itu tidak bersama kiai mereka, tentu mereka tidak akan kehormatan yang sama. Iya kan. Nah, dalam kasus ini, saya dapat kramat gandul dari ‘Tim Eindhoven’. Tanpa kehadiran ‘Tim Eindhoven’, tentu saya tidak akan mendapatkan undangan untuk makan siang bersama Bapak Dubes, hehehe.”
“Hahahaha, Pak Rofi’ bisa saja.”


Tidak lama kemudian, kami pun tiba di gedung KBRI Brussels dan kemudian menikmati makan siang di sebuah restoran di samping kanan gedung KBRI tersebut. Terima kasih Bapak Arif Havas Oegroseno, atas kehormatan yang diberikan kepada kami. (Bersambung: “MANNEKEN PIS PUN PERNAH MENGENAKAN BLANGKON DAN SURJAN: Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (9). Kisah kluyuran ke pusat kota Brussels). 
MENJENGUK “LEMBAH SILICON”NYA BELANDA:
Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (7)

Mas, nanti kalau di Belanda, mau kan saya ajak ke Eindhoven, menengok kantor saya di sana. Dari kota itu, kita nanti menuju Brussels.”

Demikian, ajakan seorang sahabat, yang sudah seperti adik saya sendiri, sebelum saya dan istri bertolak ke Belanda. Dia adalah seorang juragan sebuah perusahaan di Jakarta yang bergerak di bidang jasa teknologi informasi. Perusahaan yang memiliki cabang di Australia, Singapura, Belanda, dan Jerman ini sejak berdiri merupakan sebuah perusahaan jasa teknologi informasi berbasis Systems Applications and Products in Data Processing (SAP) dari Jerman dan penciptaan aplikasi game. Menerima ajakan demikian, bibir saya pun bergumam, “Eindhoven? Ada apa di kota itu?”

Dasar santri ndeso, saya memang tidak mengenal kota yang terletak di provinsi Brabant Utara, Belanda itu. Apalagi, dua adik saya, yang pernah menimba ilmu di Negeri Kincir Angin, tidak pernah bercerita sama sekali tentang Eindhoven. Mereka berdua lebih banyak bercerita tentang Enschede dan Utrecht, tempat mereka berdua mendalami bidang teknologi dan medis. Meski demikian, akhirnya, saya menerima ajakan untuk menjenguk Kota Eindhoven. Ternyata, kota itu merupakan “jantung” perkembangan produk-produk yang berbasis sains dan teknologi Belanda, selain juga sebagai pusat industri kreatif. Juga, di kota itu pulalah perusahaan Philips lahir dan berkembang menjadi perusahaan kelas dunia.

Menerima ajakan demikian, maka pada waktu subuh Selasa, 3 September 2013, saya dan istri sudah berkemas-kemas. Kemudian, selepas menikmati breakfast, kami melapor kepada resepsionis hotel, bahwa kami akan pergi ke Belgia dan baru kembali ke hotel Selasa menjelang tengah malam. Selepas itu, kami pergi ke  Rijksmuseum dan Amsterdam RAI. Setelah istri menerima sertifikat keikutsertaannya dalam kongres ESC 2013, kami berdua kemudian bergegas menuju Stasiun Amsterdam Centraal, dengan tujuan mendapatkan tiket kereta api yang berangkat menuju Eindhoven sekitar pukul 13.30 waktu Amsterdam.

Alhamdulillah, kami mendapat tiket kereta api yang kami harapkan, seharga 38,40 euro setiap orang untuk kelas 2. Kereta api tersebut, antara lain, melewati Utrecht dan ‘s-Hertogenbosch. Perjalanan antara Amsterdam-Eindhoven, yang berjarak sekitar 126 kilometer, akan ditempuh kereta api tersebut dalam masa 1 jam 25 menit. Kemudian, pada saat yang ditentukan, kereta api yang nyaman dan bersih itu pun berangkat dan kemudian melaju menuju Eindhoven. Tepat satu jam dua puluh lima kemudian, kereta api itu memasuki Stasiun Eindhoven Centraal. Ketika kami keluar dari stasiun, ternyata Mas Toyibi, seorang dokter spesialis jantung senior dari RS Persahabatan Jakarta, dan istri sedang duduk di sebuah kursi panjang di depan stasiun. “Sebentar lagi,” ucap Mas Toyibi setelah bertemu dan menyambut kedatangan kami,” kita akan dijemput seseorang bernama Latif Gau. Dari sini, kita akan bertemu dengan Dik Harca di High Tech Campus, Eindhoven (HTCE).”

Benar, sekitar seperempat jam kemudian, seseorang berpostur Indonesia berusia sekitar 45 tahun memberhentikan mobilnya di tempat parkir yang letaknya tidak jauh dari tempat kami menunggu. Orang itu kemudian keluar dari mobil SUV baru, Toyota Highlander Hybrid 2013. Melihat orang itu, saya pun berkata kepada Mas Toyibi, “Mas, orang itu kayaknya adalah Mas Latif Gau yang akan menjemput kita. Bagaimana kalau saya tanya dia?”
“Silakan,” jawab Mas Toyibi.

Ternyata, dugaan saya benar. Orang itu adalah Mas Latif Gau, Direktur Abyor Europe BV, yang akan membawa kami ke HTCE. Orang Bugis yang sangat lancar berbahasa Belanda itu telah bertahun-tahun bermukim di Belanda, sejak sekolah menengah atas. Selain menyelesaikan program s-1 di Universitas Teknologi Eindhoven dan program MBA di  bidang bisnis dan teknologi di TSM School Enschede, dia pernah bekerja lama di perusahaan Philips. Baik di Indonesia maupun di Belanda. Kini, mulai awal 2013, suami seorang perempuan asal Solo itu menjabat Direktur Abyor Europe BV yang bermarkas besar di HTCE, Belanda.

Setelah berkenalan dengan kami berempat, kami kemudian dipersilakan Mas Latif Gau naik mobilnya yang masih gres banget, alias baru, dan “eco-friendly”. Kami pun, kemudian, diajak keliling Kota Eindhoven. Setelah Mas Latif mengisahkan perjalanan hidupnya, sejak sebagai anak kecil di sebuah desa terpencil di Sulawesi Selatan, sampai dijadikan anak angkat sebuah keluarga Belanda hingga dia dapat merampungkan program MBAnya di TSM School, Enschede, Mas Toyibi yang duduk di sampingnya bertanya, “Mas Latif ini kan lama bekerja di perusahaan Philips, baik di Indonesia maupun Belanda. Mengapa sekarang mengundurkan diri dan mendirikan Abyor Europe BV bersama Dik Harca serta masuk di HTCE?”
“Pak Toyibi,” jawab juragan Abyor Europe BV yang setiap minggu ikut pengajian di Masjid Al-Hikmah, Den Haag itu, “Sebelum mendirikan Abyor Europe BV, dapat dikatakan pekerjaan saya adalah keliling ke mana-mana sebagai orang bagian pemasaran. Ke pelbagai penjuru dunia. Namun, sebagai orang Indonesia yang pernah bekerja di perusahaan Philips dan tahu tentang sejarah HTCE, apalagi setelah bertemu Harca, dia kan teman seangkatan saya di TSM School, Enschede ketika mengikuti program MBA, kami segera menyadari, ada potensi luar biasa yang tersimpan di HTCE.”

Usai menjawab demikian, Mas Latif Gau berhenti berucap. Dan, tidak lama kemudian, Mas Toyibi bertanya lagi, “Bagaimana sejarah HTCE dan potensinya? Juga, mengapa HTCE diposisikan sebagai “Silicon Valley”nya Belanda?”
“Pak Toyibi, sebentar lagi kita akan sampai di kompleks HTCE,” jawab Mas Latif Gau. “Di sana, kita akan melihat kompleks itu. Dulunya, kompleks itu yang menjadi pusat kegiatan tidak kurang dari 90 perusahaan dan lembaga, dan melibatkan sekitar 8,000 peneliti dan enterpreneur dari 50 negara itu merupakan Natlab, fasilitas riset utama perusahaan Philips yang lahir dan tumbuh berkembang di Eindhoven ini. Namun, kemudian, Natlab dibuka untuk perusahaan-perusahaan non-Philips. Hasilnya, luar biasa. Kompleks ini menjadi kompleks penelitian dari pelbagai produk, di pelbagai bidang. Selain itu, di sekitar kompleks juga tumbul pelbagai industri. Menyadari belum ada satu perusahaan Indonesia pun yang “bergabung” dalam kompleks ini, saya kemudian memberanikan diri keluar dari tempat kerja sebelumnya. Lalu, bersama Harca, kami masuk ke lingkungan HTCE. Sehingga, dapat dikatakan, Abyor Europe BV adalah perintis dan perusahaan Indonesia pertama yang bergerak di lingkungan HTCE. Dengan masuk di lingkungan HTCE, harapan kami, kami dapat mendapatkan job-job yang kemudian dikerjakan di Indonesia. HTCE ini merupakan salah satu pusat industri kreatif. Semestinya, bukan hanya perusahaan-perusahan China dan India saja yang masuk, tapi juga perusahaan-perusahaan Indonesia . Mohon doanya semua, semoga langkah kami ini dimudahkan Yang Maha Pemurah, amin.”
“Amin ya Rabb Al-‘Alamin,” sahut kami. Bersama.

Tidak lama kemudian, mobil yang kami naiki memasuki sebuah kompleks sepi dan nyaman sekali. Tiada orang yang berkeliaran. Setelah kami turun dari mobil, kami kemudian diajak masuk ke dalam sebuah gedung dan sebuah kantor. Ternyata, di situ telah hadir beberapa orang: Dik Harca (dirut PT Abyor International), Mas Ferizal Ramli (orang Minang yang berdomisili di München, Jerman dan berprofesi sebagai Unternehmensberater/Corporate Consultant for Management, System Integration and SAP Standard Software pada Cirquent GmbH), Dr. Aloysius Tan, dan dua orang Belanda.

Setelah saling berkenalan, dan mengenal tentang HTCE serta Abyor Europe BV, kami kemudian diajak ke kantor sebelah. Eh, ternyata kantor sebelah adalah kantor PV Microlab, sebuah perusahaan yang memproduksi peralatan dan software di bidang kesehatan. Tidak lama kemudian, seorang pemilik kantor tersebut, seorang perempuan berusia sekitar 50 tahun, mempresentasikan software baru yang mampu mengvisualisasikan hasil CT-Scan, rontgen, dan MRI dengan tampilan 3D. Mas Toyibi, sebagai seorang dokter spesialis jantung senior hanya menggeleng-geleng kepalanya saja begitu menyaksikan presentasi tersebut. Lewat software tersebut, kita dapat “melihat” secara hidup segala penyakit yang menimpa seseorang. “Ini merupakan revolusi di bidang teknik medis. Software ini sangat penting bagi para dokter. Khususnya para dokter spesialis, “ komentar Mas Toyibi.

Saya, sebagai satu-satunya orang yang tidak memiliki latar belakang sains, teknik, maupun medis di antara mereka, hanya “terbengong-bengong” melihat penyakit yang divisualisasikan dengan sangat hidup tersebut. Dasar santri ndeso. Apalagi, setelah tahu harga software itu. Mahal banget: 70.000 euro, hehehe.

Usai berdiskusi lama di HTCE, kemudian dengan naik mobil kami pun meneruskan perjalanan menuju Brussels. Setiba di kota terakhir itu, kami berempat yang akan menginap di rumah Mas Andi Yudha Asfandiyar, diajak mampir ke rumah Mas Aji Purwanto, seorang doktor di bidang aeronautika. Namun, apa yang berlangsung di sana setelah kami tiba di rumah seorang direktur sebuah perusahaan engineering di Belgia itu? Diskusi tentang pelbagai masalah, termasuk “masalah Jokowi”. Serunya, diskusi yang diisi dengan sajian pizza yang disiapkan tuan rumah itu berlangsung sampai larut malam sekali: pukul 01.30.

Setelah itu, barulah kami berempat: Mas Toyibi dan istri serta saya dan istri diantarkan ke rumah Mas Andi Yudha Asfandiyar di Woluwe, Brussels untuk menginap di sana. Mohon maaf, Mas Andi, kami datang terlambat sekali! (Bersambung: “RAPAT GELAP” DADAKAN DI WOLUWE, BRUSSELS: Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (8). Perbincangan tentang kreativitas Anak-Anak dan pembangunan sebuah masjid yang rahmatan lil ‘Alamin).



Wednesday, September 18, 2013

MADURODAM ITU DI DEN HAAG, BUKAN DI MADURA:
Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (6)

Memiliki sebuah pesantren mini, alias memiliki pesantren besarnya masih dalam imajinasi, karena baru terdiri dari Taman Pendidikan Al-Quran (dengan santri sekitar 150 anak), Taman Kanak-Kanak Sekolah Alam Gaharu, Senam Sehat untuk Orang Dewasa, Pelatihan Para Calon Ustadz/Ustadzah yang mengajar Al-Quran, dan beberapa kegiatan edukatif lainnya, membuat saya dan istri, setiap kali ‘ngluyur’ senantiasa berupaya menemukan ide-ide kreatif. Di mana pun dan ke mana pun kami melangkah.

Dalam perjalanan ke Amsterdam kali ini, misalnya, ketika saya sedang ‘bengong’ melihat ribuan dokter sedang ‘mengaji’ di gedung Amsterdam RAI, tiba-tiba saya menemukan ide sekat yang akan saya buat untuk TPQ kami. Sekat itu sederhana, tapi sangat fungsional dan dapat dibongkar-pasang (knocked down) dengan cepat. Sebelumnya, saya dapat ide sekat lain ketika sedang ‘ngluyur’ di Singapura beberapa bulan yang lalu. Tetapi, ide dari gedung Amsterdam RAI, menurut saya, lebih ciamik alias luar biasa. Itulah salah satu “buah” kluyuran bagi saya. Tentu, masih banyak ide lain yang saya dapatkan dari perjalanan kali ini.

Nah, ketika memasuki hari ke-4 di Kota Amsterdam, tepatnya pada Senin, 2 September 2013, ketika saat menjelang subuh tiba, istri, yang asyik ‘bermain’ dengan laptop kesayangannya, tiba-tiba bertanya kepada saya, “Mas, ke mana kita akan ‘ngluyur’ hari ini?”
“Saya pengin tahu dulu, program ‘pengajian’ di Amsterdam RAI hari ini bagaimana?” jawab saya sambil mendengarkan tilawah Al-Quran oleh Misyari Rasyid Al-‘Afasyi lewat handphone.
“Bagaimana jika pagi hari ini hingga pukul dua belas siang saya akan ‘mengaji’ dulu di Amsterdam RAI,” ucap istri. “Lepas itu, kita ‘ngluyur’?.”
“Oke, jika begitu, kita hari ini ke Madurodam.”
“Madurodam, di mana itu?”
“Madurodam itu di Den Haag, bukan di Madura. Madurodam itu sebuah taman miniatur yang ‘menampilkan’ Belanda dalam bentuk miniatur,” jawab saya. “Seperti Miniaturk yang pernah kita kunjungi di Istanbul pada 2009. Mungkin, di sana kita dapat menemukan ide-ide kreatif yang berguna untuk pengembangan sekolah kita.”
“O, gitu. Oke, nanti siang kita ke sana saja,” ucap istri. “Kalau begitu, saya mau menanak nasi dulu. Karena nanti siang kita pergi ke Den Haag, sebaiknya kita membawa bekal. Biar tidak kelaparan dan kesulitan mencari makan siang.”

Mendengar ucapan istri yang demikian, saya sih oke-oke saja. Daripada kelaparan (kan menjelang musim gugur), saya pun mempersilakan istri menyiapkan bekal. Kemudian, selepas “persiapan tempur” untuk hari itu siap sedia, dan selepas menikmati breakfast di resto hotel, kami pun bergerak menuju Halte Westermarkt. Sadar kalau kartu GVB (untuk naik trem dan bus GVB) kami sudah kadaluarsa, maka ketika naik trem saya pun membeli kartu GVB yang masa berlakunya hanya dua hari, Senin dan Selasa. Sebab, hari Rabu, karena berada di Belgia, kami tidak akan memakai kartu itu. Kartu yang berlaku dua hari, alias 48 jam, harganya 12 euro. Mahal ya, 12 euro kan sekitar 180 ribu rupiah. Yah, harga-harga di Belanda memang mahal jika dikurskan dengan rupiah, hehehe.

Meski hari Senin, trem yang kami naiki, dari Halte Westermarkt ke Amsterdam Centraal dan dari Amsterdam Centraal ke Amsterdam RAI ternyata tidak terlalu penuh. Jalan-jalan pun tidak macet. Jauh sekali dengan “suasana” di Jakarta. Nyaman dan lancar, itulah yang kami rasakan. Apalagi cuaca hari itu bersahabat dengan kami, antara 19-25 derajat celcius. Enak dan nyaman untuk ‘urang Bandung’ seperti kami ini.

Selama istri ‘mengaji’, saya menunggu. Selama itu, saya bertemu dengan sejumlah dokter Indonesia dan keluarganya. Di antara mereka tiada satu pun yang menikmati perjalanan seperti yang kami jalani: menginap di hotel kecil dan ‘kluyuran’ ke mana-mana. Mereka semua menginap di hotel-hotel bintang empat dan ikut tour group. Akibatnya, mereka tidak dapat “menikmati” Amsterdam. Padahal, meski baru beberapa hari di kota itu, kami hampir dapat dikatakan telah “menguasai” Amsterdam. Jakarta, menurut saya, lebih berat dan sulit “dikuasai” ketimbang Amsterdam.

Menjelang pukul dua belas siang istri telah usai ‘mengaji’. Karena itu, kami pun segera melangkahkan kaki menuju Halte Dintelstraat. Dari halte itu, kami langsung menuju Stasiun Amsterdam Centraal, karena tujuan ‘kluyuran’ kami hari itu adalah Kota Den Haag. Jarak antara Amsterdam dan Den Haag sekitar 63 kilometer. Dekat. Setiba di Stasiun Amsterdam Centraal, kami pun segera memberi tiket pulang-pergi, alias ‘dagretour’, seharga 21,70 euro untuk satu orang. Masih jauh murah harga tiket Argo-Parahyangan antara Jakarta-Bandung yang berjarak sekitar 140 kilometer. Itulah harga yang harus dibayar ketika kita ‘kluyuran’ di Benua Eropa. Semuanya mahal jika dikurskan dengan rupiah.

Setelah menikmati perjalanan antara Amsterdam-Den Haag, melewati Kota Leiden, akhirnya kami pun tiba di Stasiun Den Haag Centraal. Stasiun ini cukup besar dan sibuk. Begitu keluar dari Stasiun Den Haag Central, kami kemudian melangkahkan menuju Malieveld, sebuah taman. Taman di depan Stasiun Den Haag Centraal itu terkenal sebagai tempat konser, pertunjukan, dan juga protes serta unjuk rasa. Di taman itulah kami duduk sambil bersantap siang, dengan bekal yang kami bawa dari rumah, eh hotel. Ndeso tenan, hehehe, menikmati bekal nasi kok di taman yang saat itu sepi sekali. Tidak lama kemudian, ketika asyik mengamati rusa-rusa yang berkeliaran di taman itu, tiba-tiba saya tersadarkan kalau di taman itulah setiap tahun di taman itu dilangsungkan sebuah perhelatan budaya kondang  yang idenya berasal dari Indonesia, yaitu Tong Tong Fair alias Pasar Malam Besar. Andaikan saat itu Tong Tong Fair sedang dilangsungkan, tentu kami akan menontonnya.

Ketika kami sedang asyik menikmati Taman Malieveld, sebuah pesan singkat (short message) masuk ke handphone saya. Ketika pesan itu saya buka, ternyata pesan itu dari Eindhoven, Belanda. Bunyi pesan itu, “Mas, bisa gak besok sampai ke Eindhoven pukul 16.00 (maju satu jam dari rencana semula). Acara saya besok selesai lebih awal dan saya ingin mengajak mampir ke perusahaan sebelah kantor saya.” Membaca pesan yang demikian itu, saya pun berkata kepada istri, “Neng, ini ada pesan dari Eindhoven. Kita diharapkan tiba pukul 16.00 di sana. Kalau begitu, besok kita berangkat dari Amsterdam paling lambat pukul 14.00. Kan perjalanan antara Amsterdam-Eindhoven, dengan kereta api, sekitar satu setengah jam.”
“Gak apa-apa,” jawab istri. “Jika demikian, besok saya ‘mengaji’ materi yang paling penting saja. Setelah itu, dari gedung Amsterdam RAI kita langsung menuju Stasiun Amsterdam Centraal. Kemudian, dari sana, kita menuju Eindhoven.”
“Oke, kalau begitu.”

Usai menikmati makan siang, kami kemudian bertanya kepada seseorang yang lewat tentang arah Madurodam. Orang itu menjawab, Madurodam tidak jauh dari taman itu dan kita lebih baik berjalan kaki lewat Jalan Koningkade, di seberang taman. Karena tujuan utama kami ke Den Haag adalah menengok Madurodam, kami pun mengabaikan ‘kluyuran’ ke tempat-tempat lain, meski kami tahu di kota itu banyak situs dan tempat yang memikat untuk dikunjungi. Kali ini, tujuan kami hanyalah ‘berziarah’ ke Madurodam. Itu saja.

Apa yang kemudian terjadi?
Weleh-weleh, ternyata, Jalan Koningkade itu sepi dan panjang. Mungkin ada sekitar tiga kilometer. Karena jalan itu begitu sepi, tidak aneh jika selama menyusuri jalan itu, kami hanya bertemu dengan empat orang saja. Bayangkan, Den Haag kan sebuah gementee, kota pemerintahan Belanda, tempat parlemen, dan ibu kota provinsi Zuid Holland (Holland Selatan), selain itu juga menjadi lokasi kedutaan besar negara-negara asing, termasuk Kedutaan Besar Republik Indonesia, tapi sepi banget. Ketika di tengah jalan, sambil menikmati jalan yang sepi, kami berhenti di depan gedung pemerintahan Provinsi Belanda Selatan, alias “Provinciehuis Zuid-Holland”. Selepas itu, kami meneruskan perjalanan, sampai akhirnya menemukan Raamweg dan Plesmanweg, setelah kami berjalan kaki sekitar empat kilometer. Di ujung Plesmanweg itulah, setelah belok ke kiri, terletak Madurodam. Dengan kata lain, jarak antara Stasiun Den Haag-Madurodam sejauh perjalanan sa’i di Makkah, hehehe.  Lumayan pegal.

Lokasi Madurodam sendiri, sejatinya, terletakj di kawasan Scheveningen. “Belanda miniatur” ini adalah model dari sebuah negara Belanda dalam skala 1:25 dan terdiri dari bangunan-bangunan khas Belanda serta pelbagai landmark yang ada di berbagai lokasi di Negeri Kincir Angin itu. Nah, tempat kunjungan wisata ini dibangun pada  1952 dan telah dikunjungi  puluhan juta umat manusia, hehehe. Nama negara miniatur ini diambil dari nama George Maduro, seorang pelajar dari Curocao yang meninggal di  kamp konsentrasi Dachau pada  1945. Kemudian, orangtuanya menyumbangkan uang untuk memulai proyek Madurodam.  “Belanda miniatur” ini terbagi menjadi tiga tema: “City Centre”, “Water World”, dan “Innovation Island”. Di area pertama disajikan bangunan-bangunan tua terindah di pelbagai kota tua di Belanda. Area kedua “berkisah” tentang “air sebagai teman dan lawan” (ada-ada saja, hehehe). Sedangkan area ketiga menampilkan pelbagai inovasi Belanda demi kepentingan umat manusia.


Setelah membeli tiket seharga 15 euro, kami pun diberi dua kartu scan. Jika kartu itu ditempelkan di card reader, kita dapat mengoperasikan pelbagai “permainan” yang ada di situ. Betapa gembira kami berada di Madurodam. Hampir semua area kami kunjungi dan coba. Dasar santri ndeso mlebu kuto, hehehe. Dan, tidak terasa berjam-jam kami berada di Madurodam. Dan, setelah puas menikmati Madurodam, kami kemudian kembali ke Stasiun Den Haag Centraal. Kali ini, kami sudah tidak kuat jalan kaki lagi. Karena itu, kami naik bus nomer 69, yang menuju ke stasiun tersebut. Alhamdulillah, gratis. Dan dari stasiun tersebut, kami kemudian kembali ke Amsterdam. Tiba di hotel, sekitar pukul 20.00 waktu setempat, kami kecapekan. Apalagi, hari berikut kami akan pergi ke Eindhoven. Tidur, itulah obatnya, hehehe. (Bersambung: MENGUNJUNGI “LEMBAH SILICONE”NYA BELANDA DI EINDHOVEN: Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (7). Kisah perjalanan menengok pusat riset paling bergengsi di Belanda). 

Tuesday, September 17, 2013

LO, ITU KAN FOTO IBU MEGA, KOK DIJAJAKAN DI SITU:
Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (5)

Meski berada di Kota Amsterdam, namun kebiasaan kami berdua: bangun sebelum subuh, tetap terjaga baik. Karena itu, sebelum waktu shalat Subuh tiba, istri pun segera membuka laptop yang dibawanya, meski  kamar hotel yang kami inapi sempit sekali.  Beberapa tugas presentasi di rumah sakit, alhamdulillah, akhirnya dapat dia rampungkan selama beberapa hari di kota itu. Sedangkan saya, selain membuat catatan ringkas hasil perjalanan, juga “melahap” beberapa buku yang saya bawa dan beli di kota itu, sambil menyiapkan outline (calon) buku-buku baru yang kerap kali muncul dalam perjalanan.

“Bekerja”, “Mengaji (menimba ilmu dan mencari pengalaman baru)”, dan “Kluyuran”, itulah yang kami lakukan setiap kali melakukan perjalanan. Ke manapun kami melangkahkan kaki. Baik ketika ke Singapura, Malaysia,Turki,  Hongkong, China, Macao,  maupun Australia. Tidak aneh  jika, kini, penyakit “suka kluyuran” itu menular kepada dua putri kami. Yang sulung sudah “kluyuran” ke 24 provinsi di Indonesia (termasuk Aceh dan Papua) dan 11 negara. Sedangkan yang bungsu sudah “kluyuran” ke 12 provinsi dan 8 negara. Kadang, kami “kluyuran” berempat, kadang mereka jalan sendiri.  Dengan biasa “kluyuran”, kami pun menjadi terbiasa membuat perencanaan mendadak, keluar dari zona nyaman, serta senantiasa siap menghadapi situasi dan kondisi tidak terduga dengan budaya, adat istiadat, dan agama yang beragam. Di mana pun berada, alhamdulillah.

Nah, usai melaksanakan shalat subuh dan menanak nasi (dasar orang Indonesia, sulit berpisah dengan nasi), istri tiba-tiba berucap kepada saya, “Mas, hari ini aku mau “mengaji” materi penyakit jantung yang dipresentasikan sore nanti saja. Pagi ini, bagaimana kalau kita “ngluyur”. Ke mana enaknya?”
“Baru sehari “mengaji” sudah membolos, hehehe. Bagaimana kalau pagi ini kita pergi ke Desa Zaanse Schans, tempat kincir angin-kincir angin kuno di Belanda ini. Dari sana, kita pergi ke Vollendam, sebuah desa nelayan terkenal di negeri ini.”
“Membolos sih tidak. Kan selain “mengaji”, kita juga perlu “kluyuran”, untuk membuka wawasan kita.” “Oke,  jika demikian, hari ini kluyuran ke Desa Zaanse Schans dan Vollendam. Lalu, kita ke Amsterdam RAI. Setelah itu, kita “kluyuran” lagi, naik dan turun trem di seputar Amsterdam!”

Segera, kami pun berkemas-kemas. Saya, yang kerap menjadi tour leader ke berbagai negara, segera membaca peta Belanda. Dan, seusai menikmati breakfast, kami segera “bergerak” menuju Stasiun Amsterdam Centraal, karena memburu kereta api pagi. Tujuan kami, saat itu, adalah Stasiun Koog-Zaandijk. Kemudian, setiba di stasiun terbesar di Kota Amsterdam itu, kami kemudian pergi menuju ke loket penjualan tiket domestik, yang berada di seberang loket internasional. Kami pun membeli tiket “dagretour”, tiket pulang-pergi yang berlaku sehari, seharga 6,30 euro. Mahal, memang, kalau dihitung dengan rupiah. Itu pun untuk kereta api kelas dua, bukan kelas satu dengan kursi yang mewah dan lapang. Kami mendapat jadwal kereta api dengan keberangkatan pukul 08.25 pagi waktu Amsterdam.

Kami pun segera menuju ke peron 7 a, tempat mangkal kereta api yang akan menuju ke Koog-Zaandijk pagi itu. Untuk menuju peron tersebut, kita perlu naik ke lantai kedua dengan elevator. Begitu sampai di lantai dua, ternyata suasana masih sepi. Hanya ada satu atau dua penumpang yang sedang menunggu. Salah seorang di antara mereka adalah seorang anak muda ganteng dan berkulit putih. Semula, saya kira dia adalah anak muda Belanda. Ternyata, dia anak muda keturunan Maroko. Dia bermaksud mengambil mobilnya yang dia parkir di luar kota. Tahu kami Muslim dari Indonesia, anak muda itu pun mendampingi kami dalam perjalanan menuju Koog-Zaandijk. Selama dalam perjalanan, anak muda yang bekerja di restoran dan tinggal di pinggir Kota Amsterdam hanya dengan ibu dan saudara perempuannya itu banyak bercerita tentang kehidupannya di Kota Amsterdam.

Tidak lama kemudian, kereta api yang akan menuju Koog-Zaandijk pun datang. Segera, kami mencari gerbong yang bertuliskan angka 2, karena kami membeli tiket kelas dua. Ternyata, ruangan yang kami tempati di kereta api itu nyaman sekali, meski hanya kelas dua. Kami memilih duduk di ruang lantai dua, karena dapat melihat dengan leluasa sekali pandangan di luar kereta api. Setelah berhenti beberapa lama, kereta api milik Netherlands Spoorwegen (NS) yang berwarna kuning-biru itu kemudian bergerak dan kemudian melaju cepat. Menurut keterangan bagian informasi, jarak tempuh antara Amsterdam Centraal-Koog Zaandijk, dengan kereta api, hanya 17 menit. Saya, yang pernah menjadi pengguna kereta Jakarta-Bandung setiap minggu selama beberapa tahun, pun bertanya dalam hati, “Bagaimana pihak NS mengelola kereta api ini demikian rapi dan tepat waktu?”

Selain dengan manajemen perkeretaapian yang bagus, ternyata, berdasarkan pengamatan saya, rata-rata di Belanda jalur kereta api ada empat. Beda dengan di Indonesia yang kebanyakan hanya satu jalur saja. Pantas, efisien, tepat waktu, dan nyaman.

Rasanya, kami hanya sebentar saja naik kereta api tersebut. Sekitar 15 menit saja. Sedangkan jika naik bus diperlukan waktu sekitar 40 menit. Juga, dari Amsterdam Centraal. Setiba di Stasiun Koog-Zaandijk, yang turun dari kereta api hanya delapan orang: kami berdua dan enam orang Jepang yang, ternyata, juga peserta kongres ESC 2013. Mungkin, karena masih pagi, baru sedikit orang yang pergi ke sana dengan naik kereta api. Mengikuti petunjuk yang ada, kami kemudian melewati terowongan. Setelah melewati terowongan, kami belok kiri dan kemudian belok kanan. Begitu belok kanan, di samping kanan dan kiri Stationsstraat (alias Jalan Stasiun) tegak rumah-rumah tradisional Belanda. Namun, saya tidak melihat satu pun warga yang nongol di rumah-rumah itu, meski di depan rumah-rumah itu banyak mobil sedang parkir. “Sepi banget begini, ya,” ucap istri sambil memandangi rumah-rumah yang cantik dan terawat baik itu. “Padahal, di depan rumah-rumah itu banyak mobil parkir.”
“Mungkin, karena baru pukul 09.00 pagi, mereka masih tidur pulas selepas menikmati malam minggu,” jawab saya. “Barang kali saja, hehehe.”

Setelah melintasi Stationsstraat, kami kemudian belok kiri. Eh, di situ tegak sebuah kincir angin besar dan kuno. Kami pun berfoto, sebagai kenangan, tentu saja. Kemudian, tidak jauh dari situ, kami belok kanan. Ternyata, di situ terbentang jembatan. Melihat jembatan itu, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” ke sebuah jembatan di dekat Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, karena sedikit ada kemiripan di antara keduanya. Kemudian, tidak jauh dari situ ada jalan belok ke kiri. Nah, di gerbang jalan itu terdiri kotak setinggi orang disertai tuas. Ketika tuas itu digerakkan istri, yang keluar ternyata peta Desa Wisata Zaanse Schans.

Begitu memasuki desa wisata itu, yang sangat rapi, bersih, dan tenang, di situ berdiri sederetan rumah-rumah tradisional. Kami pun masuk ke desa itu. Ternyata, di situ tegak enam kincir angin berukuran besar. Masing-masing kincir-kincir angin itu memiliki nama dan fungsi yang berbeda: “De Huisman”,  tempat pembuatan rempah-rempah, “De gekroonde Poelenburg”, tempat pembuatan gergaji, “De Kat”, tempat pembuatan cat, “De Zoeker”, tempat pembuatan minyak, “Het Jonge Schaap”, tempat pembuatan gergaji, dan “De Bonte Hen”, tempat pembuatan minyak. Selain kincir angin-kincir angin, di desa itu juga terdapat beberapa museum: museum wine, museum keju dan bengkel cara membikinnya, museum klompen, museum Albert Heijn, dan museum Zaanse Schans.

Mengingat waktu yang terbatas, kami hanya “melongok” keenam kincir itu saja dan tidak sempat memasuki museum-museum tersebut. Ketika kami meninggalkan lokasi tersebut, kami lihat rombongan para dokter dari Indonesia, dengan naik beberapa bus, baru saja datang. Dari Desa Zaanse Schans, kami kemudian kembali ke Stasiun Koog-Zaandijk. Jalan kaki, tentu saja. Tidak lama kemudian, datanglah kereta api yang membawa kami kembali ke Stasiun Amsterdam Centraal. Karena ketika berangkat kami telah membeli tiket “dagretour”, maka ketika dari Koog-Zaandijk kami tidak perlu membeli tiket lagi. Sekitar seperempat kemudian, kami sudah tiba di Stasiun Amsterdam Centraal. Setelah turun dari kereta api, kami lantas menuju ke bagian belakang stasiun. Di situ, kami membeli tiket bus EBS yang menuju Vollendam. Ternyata tiket seharga 15 euro itu berlaku selama sehari dan dapat digunakan untuk naik bus EBS. Ke mana saja.

Menunggu tidak lebih dari lima menit, datang kemudian bus nomer 118 (ke Vollendam kita juga bisa naik bus nomer 110). Sepanjang perjalanan, kami melihat kebun-kebun yang juga dijadikan tempat penggembalaan sapi-sapi perah. Semuanya terawat bagus. Dan, tidak lebih lima puluh menit kemudian, tibalah kami di Desa Vollendam, sebuah kampung nelayan Belanda. “Wow, bersih, rapi, dan asri sekali,” seru istri. “Andaikan Pantai Pangandaran atau Pantai Gili Trawangan di Lombok dapat dibuat seperti ini, tentu kian banyak pengunjungnya.”
“Ya, andai saja kan,” jawab saya sambil tersenyum. “Barang kali, di Indonesia terlalu banyak pantai indah. Akibatnya, pengelolaannya seenaknya saja. Lihat orang-orang itu. Betapa santai sekali mereka naik sepeda, ke sana ke mari. Tiada mobil satu pun yang tidak menghormati mereka.”

Tidak jauh dari tempat pemberhentian bus itu, tiba-tiba kami melihat enam orang yang berpenampilan “Indonesia banget”. Kami pun menyapa mereka. Ternyata, mereka memang orang Indonesia. Dan, mereka tinggal di situ. “Duh, di mana-mana bertemu dengan orang Indonesia. Padahal, kampung ini kan ‘di ujung dunia’,” gumam saya dalam hati.
“Bapak dan Ibu ke sini naik apa?” tanya mereka.
“Naik bus dari Stasiun Amsterdam Centraal,” jawab saya. “Memangnya kenapa?”
“Berani sekali,” sahut mereka. “Biasanya orang-orang Indonesia, ketika pergi ke sini, ikut tour group.”
“Kami bukan mereka, hehehe. Kami memang suka ‘kluyuran’ kok.”

Segera, kami berpamitan dengan mereka, karena waktu yang terbatas. Segera pula, kami menuju ke arah Kampung Nelayan Vollendam. Meski tidak besar, kampung itu tertata rapi, bersih, dan nyaman. Di situ, banyak kafe dan restoran yang menyajikan sea-food. Tentu saja, kan kampung itu kampung nelayan. Ketika kami berjalan semakin jauh, eh di sisi kiri jalan kami menemukan sebuah toko foto, Toko Z. Begitu melihat ke etalase toko itu, eh di situ terpampang foto-foto sejumlah tokoh papan atas Indonesia sedang mengenakan pakaian ala nelayan Vollendam, “Lo, itu kan fotonya Ibu Megawati dan Pak Taufik Kiemas (alm). Kenapa dijajakan di situ,” gumam saya begitu melihat foto-foto itu. “Ibu Mega kan pernah jadi Presiden Indonesia. Selayaknya, tidak dijadikan model begitu, ah.”

Itulah pintarnya toko tersebut. Nampaknya, untuk memikat supaya orang-orang Indonesia, termasuk saya dan istri yang akhirnya juga ikut-ikutan berfoto di situ, toko itu “menjajakan” foto-foto para penggede Indonesia. Termasuk foto Prof. Dr. Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah saat ini. Tidak aneh, ketika melihat foto-foto para penggede itu, banyak orang Indonesia yang tertarik ikut berfoto di situ.

Karena asyik ‘kluyuran’ ke Zaanse Schans dan Vollendam, tidak terasa waktu sudah mendekati pukul dua siang. Karena perut kelaparan, dan tidak membawa bekal, akhirnya kami mengikuti jejak para mahasiswa Malaysia dari Inggris yang asyik menikmati nasi kuning ala Belanda dan udang goreng. Hal itu kami lakukan setelah kami bertanya kepada mereka, apakah makanan yang mereka nikmati halal atau tidak. Sayang, rasa nasinya hambar sekali. Tanpa sambal soalnya, hehehe.

Selepas menikmati makan siang, kami segera kembali ke Amsterdam Centraal dan kemudian menuju gedung Amsterdam RAI. Setelah istri ‘mengaji’, saya pun ingat pesan Mas Muzammil Basyuni, mantan wakil duta besar Indonesia dan mantan duta besar Indonesia di Suriah, yang berpesan kepada saya sebelum saya berangkat ke Belanda, “Mas, cari Pak Ahmad Naf’an Sulchan atau Meneer KH. Hambali di sana, ya.” Teringat pesan itu, saya pun kebingungan, karena tidak punya sama sekali ‘data’ mereka. Apalagi, saya belum kenal dan belum pernah bertemu dengan mereka. Akhirnya, saya pun mengambil keputusan untuk tidak jadi mencari mereka. Karena itu, seusai istri ‘mengaji’ tentang penyakit jantung, kami pun mengambil keputusan untuk ‘kluyuran’ lagi. Kali ini, kami menuju Osdorp.

Eh, ketika di tengah perjalanan, kami bertemu seorang anak muda asal Kediri, Mas Suherman. Dia baru saja pulang bermain badminton. Ketika dia kami tanya tentang masjid orang Indonesia di Kota Amsterdam, kami kemudian dia ajak menuju Masjid Al-Ikhlash yang terletak tidak jauh dari Osdorpplein, “Mari saya antarkan ke sana,” ucapnya penuh semangat. “Saya tadi siang juga ikut pengajian di sana, kemudian main badminton bersama seorang teman.”


Sayang, ketika sampai di sana, pengajian mingguan yang mereka adakan baru saja bubaran. Meski demikian, kami sempat  bertemu dan berbincang dengan beberapa pengurus masjid tersebut, alhamdulillah. Dan, dari masjid itu kami kemudian ‘kluyuran’ lagi hingga agak larut malam ke pelbagai penjuru Kota Amsterdam, sampai kami kenal dengan pelbagai sudut kota tua itu. (Bersambung: MADURODAM ITU DI DEN HAAG, BUKAN DI MADURA: Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (6). Kisah Kluyuran ke Den Haag). 

Monday, September 16, 2013

MELONGOK  PASAR KONDANG VAN AMSTERDAM:
Perjalanan Santri nDeso ke Belanda-Belgia (4)

Payungi pun sampun cumepak, Diajeng. Payungnya sudah siap, Diajeng?” tanya saya kepada istri, Sabtu pagi, 31 Agustus 2013, di dalam sebuah kamar Clemens Hotel, Amsterdam, dengan bahasa Jawa halus. 
Sampun, Ndoro. Sudah, tuan besar,” jawab istri yang faham, ketika saya menggunakan bahasa Jawa halus, seperti kosa kata “diajeng” (adik), artinya saya sedang menggodanya dan bercanda dengannya. Karena itu, dia pun membalas candaan itu dengan ucapan candaan pula: “Ndoro”. Kami berdua, memang, kerap bercanda untuk membuat cair suasana di antara kami berdua.

Menurut ramalan cuaca, baik BBC maupun tivi Belanda, hari itu cuaca Amsterdam turun mendadak, dari antara 22-14 celcius menjadi 16-11 celcius. Lagi pula, hari itu akan hujan. Mendengar ramalan yang demikian, kami pun mempersiapkan diri: membawa payung dan jaket anti-dingin di tas punggung kami. Ternyata, cuaca yang tidak menentu tidak hanya melanda Indonesia, tapi juga benua Eropa. Cuaca yang naik dan turun membuat kami harus selalu siap dengan payung dan jaket. Ke mana pun kami melangkah, selama di Belanda dan Belgia. Dan, dalam cuaca yang demikian, saya sendiri selalu “mempersenjatai diri” dengan meminum vitamin c dosis tinggi.  

Usai mempersiapkan segala sesuatu untuk “menyambut” perjalanan kami hari itu, kami pun segera turun ke resto hotel, untuk menikmati breakfast. Setelah itu, segera kami turun dari hotel dan menuju Halte Dam, dengan tujuan Stasiun Amsterdam Centraal. Hari itu, istri mulai “mengaji” alias “sekolah” di Amsterdam RAI. Ketika kami sedang melihat peta di Halte Dam, sambil menunggu trem nomer 13 atau 17 datang, tiba-tiba seseorang  berusia lanjut, sekitar 70 tahun, mendekati kami dan bertanya, “Tahukah kalian, bagaimana cara menuju Amsterdam RAI?”
“O, Anda akan ikut kongres European Society of Cardiology, ya?” tanya istri kepada orang itu.
“Benar,” jawab orang itu. “Kalian juga akan ke sana? Jika kalian juga akan ke sana, di mana tempat membeli tiket trem yang menuju ke sana?”
“Silakan Anda pergi bersama kami. Kami memang akan pergi ke Amsterdam RAI. Anda dapat membeli tiket itu kepada masinis trem atau petugas lainnya di gerbang ketiga. Di situ, Anda dapat membeli tiket dengan beberapa pilihan masa berlakunya: ada yang satu jam, satu hari, dua hari, atau tiga hari. Anda dari mana?”
“Terima kasih. Saya seorang dokter spesialis jantung dari Spanyol,” jawab orang itu sambil memandangi istri yang mengenakan jilbab. “Tetapi, asal saya dari Lebanon. Saya juga seorang Muslim kok, seperti ibu ini.”
“Mas, pagi begini kita mendapatkan kesempatan bersedekah: mendampingi seseorang berusia lanjut yang masih bersemangat menimba ilmu pengetahuan,” kata istri.

Betapa gembira dokter itu, begitu dia tahu, saya pun menguasai bahasa Arab. Dia pun mengajak saya berbincang dalam bahasa Arab. Dalam hati, saat itu, saya bersyukur kepada Allah, karena sejak muda sudah menyadari pentingnya penguasaan beberapa bahasa asing, terutama bahasa Arab. Dengan menguasai tiga bahasa utama di dunia: bahasa Arab, Inggris, dan Perancis (maaf, tidak bermaksud pamer), alhamdulillah saya dapat berbincang dengan banyak bangsa. Ke mana pun pergi, ke pelbagai belahan dunia.

Ketika trem nomer 13 datang, kami dan dokter dari Spanyol itu pun segera naik ke atas trem tersebut. Tidak lebih dari sepuluh menit, kami sudah tiba di Amsterdam Centraal. Dari situ, kami kemudian naik trem nomer 4 menuju Halte Dintelstraat yang dekat dengan gedung Amsterdam RAI. Ketika trem yang kami naiki kian dekat dengan Amsterdam RAI, kian banyak para penumpang pria yang mengenakan jas dan dasi dan para penumpang yang berpakaian resmi. Dengan mudah dapat diduga, sebagian besar di antara mereka adalah para peserta kongres ESC 2013. Entah kenapa, melihat para dokter yang mengenakan jas dan dasi tersebut, benak saya tiba-tiba “melayang-layang” ke Kairo, Mesir, ketika saya sedang mengikuti program pascasarjana di Universitas Kairo pada awal tahun 1980-an. Ketika itu, musim dingin. Semua para peserta program tersebut mengenakan jas, kecuali saya yang mengenakan jaket. Seumur-umur saya, memang, hanya sekali saja mengenakan jas. Itu pun pinjaman. Melihat hal itu terjadi berulang kali, seorang profesor bertanya, “Ahmed (itulah panggilan saya ketika menimba ilmu di Mesir). Mengapa engkau tidak pernah mengenakan jas seperti teman-temanmu?”
“Maaf, Prof,” jawab saya, “saya tidak terbiasa mengenakan jas. Di Indonesia tidak ada musim dingin, karena itu saya tidak terbiasa mengenakan jas. Saya lebih terbiasa mengenakan jaket.”

Mendapat jawaban demikian, profesor tersebut diam saja. Sejak itu, beliau tidak pernah bertanya lagi tentang persoalan jas. Dan, setelah itu, hingga kini, saya tidak pernah mengenakan jas. Dalam acara apa pun. Memang, dalam hal ini, saya adalah seorang santri ndeso, yang tidak tertarik sama sekali untuk mengenakan jas.

Ketika kami tiba Halte Dintelstraat, hujan tiba-tiba turun. Karena kami sudah “sedia payung sebelum hujan”, kami pun dengan tenang turun dari trem dan melangkah menuju gedung Amsterdam RAI, dengan menggandeng dan memayungi dokter spesialis jantung dari Spanyol yang pergi bersama kami. Ketika tiba di gedung Amsterdam RAI, gedung itu telah penuh dengan ribuan peserta kongres ESC 2013. Saya sendiri, setelah berpamitan dengan istri, segera kembali ke Halte Dintelstraat dengan tujuan: Halte Rembrandtpleine. Sepanjang perjalanan, saya pun berusaha “merekam dengan pandangan mata langsung”, dengan kamera yang saya bawa, lingkungan di sebelah kanan dan kiri sepanjang jalur trem. Itulah kebiasaan saya, sebelum saya menuangkannya dalam sebuah kisah perjalanan.

Ketika trem yang saya naiki tiba di Halte Rembrandtplein, dan kemudian melangkah ke seberang jalan menuju Rembrandt Square. Karena saat itu baru sekitar pukul 08.30 pagi, tidak banyak orang yang sedang “menikmati” patung Rembrandt van Rijn. Di sekitar kawasan itulah, dulu, pelukis kondang Belanda itu tinggal antara 1639-1656. Semula, square alis taman itu merupakan tembok-tembok pertahanan yang dibangun pada Masa Pertengahan untuk melindungi Kota Amsterdam. Sedangkan patung sang pelukis mulai dibuat pada 1852,oleh seorang pematung kondang kala itu, Louis Royer. Patung itu kemudian diletakkan di tengah-tengah taman. Karena itu, taman tersebut disebut Rembrandtplein, alias “Taman Rembrandt”. Di sekitar taman yang terkenal itu, kini, banyak terdapat kafe, hotel, dan pelbagai sarana hiburan. Beberapa trem melintasi taman itu, yaitu trem nomer 4, 9, dan 14.

Puas menikmati patung karya Louis Royer, tentu saja juga mengambil sejumlah foto di situ, saya kemudian meneruskan perjalanan menuju Dam Square. Kali ini, dengan berjalan kaki. Setiap kali melintasi gang dan jalan, gang dan jalan itu saya masuki. Juga, dengan menikmati kanal sepanjang jalan yang saya lalui. Kayak orang yang tanpa tujuan sama sekali. Setiap kali kedua kaki saya “meminta istirahat”, saya pun berhenti dan membaca buku yang senantiasa mengikuti saya ke manapun  pergi. Dari “petualangan” itu, saya kian memahami: tidak semua orang-orang Amsterdam kaya. Meski demikian, menurut penilaian saya, mereka ramah dan rata-rata dapat berbahasa Inggris. Selain itu, mereka sangat sadar berlalu lintas dan penikmat sepeda yang luar biasa serta pencinta fanatik anjing.

Karena saya sangat menikmati petualangan dengan jalan kaki, ketika tiba di Dam Square tidak terasa tiga jam berlalu. Kemudian, ketika saya sedang asyik menikmati taman tersebut, yang penuh dengan turis, tiba-tiba short message (sms) dari istri, “Mas ada di mana? Kongres sebentar lagi istirahat. Lama: sampai pukul 15.00 nanti.”

Menerima pesan demikian, saya pun segera tersadarkan: saat itu saya berada di Belanda. Kayaknya, orang-orang Belanda suka istirahat siang lama. Atau, barang kali, mereka masih menerapkan ‘siesta’, alias tidur siang. Entahlah. Karena itu, saya pun segera naik trem menuju ke gedung Amsterdam RAI.  Begitu bertemu dengan saya, istri pun berucap, “Lapar, nih. Gak ada makanan apa pun. Hanya ada minum air mineral saja.”

Untung, paginya kami sudah “membekali diri” dengan nasi dan lauk yang ikut saya (di tas punggung) kluyuran, hehehe. Kami pun segera makan dengan lahap, karena cuaca hari itu dingin bagi kami. Dan, seusai menikmati makan siang, di taman di depan gedung Amsterdam RAI, istri berucap, “Daripada menunggu lama, sampai pukul 15.00, bagaimana jika kita ‘ngluyur’ saja dulu. Nanti, kita kembali lagi ke sini?”
“Siap! Bagaimana jika kita pergi ke pasar kondang di kota ini, yaitu Albert Cuyp Markt?”
“Mengapa ke pasar itu?”
“Entah kenapa, saya tiba-tiba ingat Edin (adik saya yang telah berpulang karena kecelakaan: seorang insinyur mesin lulusan Insitut Teknologi Bandung yang kemudian mengambil program MBA di bidang bisnis dan teknologi di Enschede, Belanda). Bukankah dia kerap bercerita, ketika dia sedang menimba di sini, salah satu cara dia untuk menghemat bea siswa yang diterimanya, dia sering pergi ke pasar dan membeli barang-barang yang diperlukannya dengan harga murah. Saya ingin tahu, bagaimana suasana pasar di negeri ini. Lagi pula, ngapain kita pergi ke mall. Mall-mall di Indonesia gak kalah lengkap daripada mall-mall di sini…”
“Oke, kalau begitu.”

Kami pun kemudian meninggalkan gedung Amsterdam RAI, dengan naik trem dari Halte Dintelstraat. Setelah trem itu tiba di Halte Centuurbaan, kami pun turun dan menyeberang jalan. Setelah sampai di perempatan jalan, kami kemudian belok kiri dan ketika sampai di jalan berikut, sampai kami ke jalan yang menuju ke Albert Cuyp Markt. Eh, ketika kami sedang melangkah menuju pasar tersebut, dari arah berlawanan kami melihat seseorang yang posturnya seperti orang Indonesia. Ketika kami menyapanya, ternyata dugaan kami memang benar. “Saya sudah 13 tahun tinggal di Amsterdam, Pak,” jawab orang itu, ketika saya tanya telah berapa lama dia tinggal di Amsterdam. Dia sedang berbelanja banyak, karena hari Ahad pasar yang namanya diambil dari nama seorang pelukis kondang Belanda dari abad ke-17, Albert Cuyp, itu tutup.

Di pasar yang terletak di Distrik Oud-Zuid itu kami melihat, yang berjualan di situ, ternyata, berasal dari berbagai bangsa. Yang terbanyak adalah orang Belanda. Di samping mereka, ada juga orang Turki, Maroko, dan Suriname. Dengan mengunjungi pasar itu saya sampai kesimpulan: mudah bagi Muslim mana pun untuk mendapatkan bahan mentah masakan yang halal di Kota Amsterdam.

Setelah mendekati pukul 15.00, kami segera kembali ke Amsterdam RAI. Di sana, istri kembali “mengaji” sampai pukul 16.30. Selepas itu, kami pun ‘ngluyur’ kembali, dengan naik dan turun trem, ke pelbagai sudut Kota Amsterdam. Eh, ketika kami sampai ke salah satu ujung jalur trem yang kami naiki, ternyata kami berhenti di kawasan tidak jauh dari Universiteit van Amsterdam. Dan, ternyata, jalan-jalannya menyandang nama-nama Indonesia, seperti Javastraat, Balistraat, Erste Atjehstraat, Riowstraat, Delistraat, Makassarstraat, Niasstraat, Semarangstraat. Rasanya, kami sedang berada di Indonesia, bukan di Belanda, hehehe.  


Setelah puas ‘ngluyur’, kami kemudian kembali ke hotel, di Raadhuistraat, ketika malam sudah agak larut, dalam keadaan capek. “Mengaji” dan “ngluyur”, itulah kerjaan kami berdua hari itu. (Bersambung: LO, ITU KAN FOTO IBU MEGA, KOK DIJAJAKAN BEGITU: Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (5). Selamat menunggu, ya). 

Thursday, September 12, 2013

“MELIHAT” RED LIGHT DISTRICT DARI SISI LAIN:
Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (3)

Amsterdam, aku datang!”

Mumpung saat itu sedang sepi, saya pun berteriak kencang begitu, ketika saya sedang berdiri di samping ‘Amsterdam Sign’,  di lingkungan Amsterdam RAI, setelah kami turun di Halte Amsterdam RAI dan menyeberangi jalan ke arah gedung Amsterdam RAI. Mendengar teriakan saya demikian, istri yang akan memotret saya pun berucap gemas, “Mas, kok ndesit gitu sih!” ‘Ndesit’ itu, dalam bahasa Jawa Semarang (asal istri saya), artinya, “udik sekali alias kampungan sekali’.
“Hehehehe, ya gak apa-apa ndesit. Bukankah kita ini memang orang desa yang datang ke Kota Amsterdam, hehehe,” jawab saya. Santai sambil bergaya di samping ‘Amsterdam Sign’. Santri ndesit tenan, hehehe.

Tugu yang menjadi penanda Kota Amsterdam itu, selain menghiasi lingkungan Amsterdam RAI, sebenarnya juga menghiasi lingkungan Rijksmuseum yang terletak di Hobbemastraat, Amsterdam. Tinggi tugu itu setinggi orang ‘bule’. Entah kenapa, ketika melihat tugu itu, benak saya tiba-tiba kembali ke Cikapayang, Bandung dan berandai-andai, “Andai tugu ‘BDG: emerging creative city’ dibuat lebih impresif, tentu banyak orang yang tertarik berfoto di situ, seperti halnya yang dilakukan orang-orang ketika mereka berada di dekat ‘Amsterdam Sign’ dengan tulisan ukuran gede ‘I AMSTERDAM’.

Usai berfoto di dekat ‘Amsterdam Sign’, kami kemudian bergerak menuju gedung Amsterdam RAI. Hari itu, Jumat 30 Agustus 2013, pihak European Society of Cardiology 2013 tampak sangat sibuk menyambut sekitar 43 ribu dokter. Ya, 43 ribu dokter. Tidak aneh, karena jumlah para dokter yang hadir dalam perhelatan ilmiah itu demikian banyak, jika hotel-hotel di Amsterdam kala itu, baik yang bintang lima, empat, tiga, dan dua penuh dengan para tamu. Malah, sebagian di antara mereka menginap di hotel-hotel di kota-kota di luar Amsterdam, seperti Den Haag, Leiden, dan Rotterdam. Namun, karena transportasi yang nyaman dan tepat waktu, seperti Rotterdam yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Amsterdam, semua itu tidak menjadi halangan bagi mereka.

Ketika melihat pihak penyelenggara ESC 2013 sedang sibuk menerima para dokter yang sedang melakukan heregistrasi (bayarnya 750 euro, tanpa makan siang dan hanya disediakan minum air mineral saja), saya pun termenung lama. Penyelenggaraan event itu tentu memerlukan manajemen yang bagus, rapi, dan cekatan. Saya sendiri, yang pernah mengamati dan mengikuti pelbagai event di Messe Frankfurt, Singapore Expo, KLCC Exhibition and Convention, Cairo International Bookfair, dan Dubai Festival, lama termenung ketika mengamati kemampuan organisasi pihak penyelenggara. Rasanya, kepada mereka kita harus rajin mengaji, mengaji, dan mengaji, dan juga (meminjam ungkapan Mas Toyibi) rajin “kulakan ilmu dan pengalaman”.  Dan, kita tidak perlu malu mengakui kebodohan dan ketertinggalan kita di bidang-bidang tertentu. Bukankah Rasul Saw. berpesan, “Pungutlah hikmah di mana pun engkau temukan?”

Setelah urusan dengan pihak ESC 2013 rampung, istri pun muncul kembali. Lalu, tanyanya kepada saya, “Kita jadi ke Red Light District?”

Menerima pertanyaan yang sulit dan pelik tersebut, lama saya berpikir. Entah kenapa, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” dan “mudik” ke Cepu, Jawa Tengah. Tiba-tiba pula, saya teringat perjuangan kakek saya, seorang kiai yang oleh Prof. Dr. A. Mukti Ali (alm.) diberi gelar “Gurunya Orang Cepu”, dalam menaklukkan suatu lokasi yang dulunya merupakan pusat ‘kupu-kupu malam’ (yang dalam bahasa Jawa ala Cepu kala saya masih kecil disebut ‘upruk’ dan oleh Gus Mus disebut ‘begenggek’) yang terletak di dekat “Brug (ini bahasa Belanda yang artinya ‘Jembatan’) Basin” (bahasa Jawa, artinya anyir sekali). Dalam perjuangan tersebut, kakek tidak pernah sama sekali menggunakan kekerasan. Tapi, beliau menggunakan “hikmah”, “mau’izhah hasanah”, dan “dialog yang paling indah”. Dengan tiga pendekatan tersebut, kini lokasi tersebut menjadi pesantren yang dikitari masyarakat yang taat pada agama. Alhamdulillah.

Teringat dengan perjalanan hidup kakek di lingkungan “merah” tersebut dan keberhasilan beliau dalam mengubahnya tanpa kekerasan, saya kemudian menjawab pertanyaan istri tersebut, “Ayo, kita ke sana sekarang! Semoga Allah mengampuni kita. Niat kita baik kok!”

Jika ketika datang ke Amsterdam RAI kami turun di Halte Amsterdam RAI, kini kami mengambil halte lain yang ternyata lebih dekat: Halte Dintelstraat. Segera, kami pun naik trem nomer 4, menuju Amsterdam Centraal dengan melewati halte-halte: Mastraat-Waalstraat-Victorieplein-Amstelkade-Lutmastraat-Ceintuurbaan- Stadhourderskade-Prinsengracht-Kaizergracht-Victorieplein-Visserplein-Waterlooplein-Rembrandtplein-Muntplein-Spui-Dam (setelah itu Amsterdam Centraal). Sepanjang perjalanan, meski terkantuk-kantuk, kami tetap bertahan untuk tidak tidur: menikmati pemandangan di samping kanan dan kiri trem yang kami naiki. Ketika melihat kanal-kanal yang tertata dan terkelola baik, di sepanjang perjalanan itu, istri pun berucap, “Mengapa kota-kota di Indonesia tidak dikelola seperti ini ya?”
“Tanya saja pada rumput yang bergoyang, hehehe,” jawab saya. Santai.

Tidak lama setelah dari trem nomer 4, kami kemudian menuju Monumen Nasional yang tegak di seberang Dam Square. Karena lelah, kami kemudian duduk, bersama orang-orang lain, di kaki monumen itu. Ketika saya memandang ke arah orang-orang yang berada di Dam Square, tiba-tiba saya melihat tiga pemandangan menarik: ada satu orang sedang bergaya “mirip” Rembrandt, satu orang mirip tentara Romawi, dan satu orang mirip bajak laut. Mereka, tentu kita semua tahu, sedang ber”acting” untuk mendapatkan uang sumbangan. Melihat pemandangan demikian, tiba-tiba saya teringat kisah petualangan Andrea Hirata seperti yang dia tuturkan dalam bukunya berjudul Edensor.

Setelah sekitar setengah jam duduk di kaki Monumen Nasional, saat waktu itu telah memasuki pukul lima sore waktu Amsterdam. Matahari saat itu masih mencorong. Namun, meski langit masih berpendar terang, namun saya melihat orang-orang bergerak ke arah belakang monumen itu. Melihat hal itu, kami pun berdiri dan kemudian mengikuti gerakan orang-orang itu. O, ternyata mereka melangkahkan kaki menuju ke arah sebuah jembatan yang membentang di atas sebuah kanal. Ketika berdiri di jembatan itu dan memandang orang-orang yang melangkah di samping kiri kanal, ke arah Amsterdam Centraal, saya pun segera menyadari, itulah “titik pusat” distrik “merah” membara yang terkenal itu. Menyadari hal itu, entah kenapa lama saya termangu lama di pinggir jembatan.

Melihat saya tidak bergerak lama, istri pun bertanya kepada saya, “Mas, ada apa, kok berdiri lama?”
“Entahlah,” jawab saya. “Ketika menyadari inilah “titik pusat” Red Light District, kok tiba-tiba saya membayangkan, andaikan Imam Asy-Syafi’i sampai di sini, apa kira-kira fatwa beliau tentang pelbagai hal yang terjadi di sini.”
“Sudahlah, jangan banyak melamun. Ayo kita teruskan perjalanan kita.”

Kami pun kemudian turun dari jembatan dan menuju jalan yang terletak di sebelah kiri kanal. Tidak lama berjalan, segera kami melewati toko-toko yang menjajakan aneka ragam barang-barang yang tidak boleh dibawa masuk ke Indonesia. “Bebas sekali ini negeri,” gumam saya.
“Ini bukan Indonesia. Apalagi Arab Saudi,” sahut istri. Dan, kemudian ketika istri melihat sebuah hotel yang di plangnya tertulis “hanya untuk laki-laki” dan di depannya ada bendera pelangi, alias warna-warni, dia pun berucap, “Itu hotel khusus. Bendera itu menjadi penanda yang jelas bagi “orang-orang yang memahami”. Salah seorang temanku, seorang dokter laki-laki, banyak bercerita tentang Belanda setelah dia “menikah” dengan teman laki-lakinya di sini.”

Istri, sebagai seorang dokter spesialis penyakit dalam, kemudian bercerita banyak tentang kasus-kasus yang berkaitan dengan “persoalan yang pelik dan rumit itu”. Kemudian, setelah kami melintasi beberapa gang di samping kiri kami, tidak jauh dari sebuah gereja kuno, dan kemudian ketika kami memasuki sebuah gang, tiba-tiba kami melihat “pemandangan” seorang cewek ceking dan nyaris tanpa busana dalam “aquarium”. Melihat “pemandangan” demikian,  istri yang terlatih dalam menangani para pasien yang terkena narkoba dan HIV pun berucap, “Kasihan dia! Dia, menurut pengamatan saya, adalah seorang penderita narkoba. Kalau tidak dikontrol baik, menurut perkiraan saya, dia akan segera terpapar HIV.”
“Duh,” sahut saya seraya menarik napas. “Ayo, sudahlah, kita melangkah lebih cepat lagi. Semua ini kita diskusikan di hotel saja ya.”

Kami pun melangkah cepat ketika melihat semakin banyak pemandangan di “aquarium-aquarium”. Eh, ketika kami sampai di gang-gang berikut, ternyata kami semakin kerap menemukan rumah-rumah yang di depannya dipasangi bendera-bendera pelangi. Melihat hal itu, kami pun segera melangkah cepat dan kembali ke hotel. Dan, setelah itu, kami pun terlibat lama dalam perbincangan tentang penanganan “dunia merah” seperti halnya Red Light District itu.

Kemudian, ketika tengah malam telah berlalu, saya pun terbangun dari tidur, karena mendengar suara berisik di jalan yang membentang di depan hotel yang kami inapi.  Apa yang sedang terjadi? Ketika saya membuka vitrage kamar dan melihat ke bawah, tampak oleh saya dua cewek berpelukan sambil berjalan terhuyung-huyung. Melihat hal itu, vitrage itu pun saya kembalikan ke posisinya semula sambil bergumam,”Duh, Amsterdam.”  (Bersambung: MELONGOK PASAR LOAK VAN AMSTERDAM: Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (4).)