Wednesday, October 16, 2013

IBRAHIM: NABI YANG MEMOHON AGAR DIKARUNIAI HIKMAH

Wahai Ibrahim,” gumam bibir saya, kemarin pagi, ketika sedang menyimak khutbah ‘Idul Adha, “hari ini, entah berapa ribu kali namamu disebut. Di pelbagai penjuru dunia!”

Tidak lama kemudian, entah kenapa, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” jauh sekali. Ya, jauh sekali, ke Al-Khalil (Hebron), Palestina. Tiba-tiba, yang muncul dalam benak saya adalah saat saya berada di depan makam Nabi yang dikaruniai Allah Swt., sesuai dengan permohonannya, hikmah yang luar biasa itu. Kala itu, bulan Maret 2013. Berada di Masjid Al-Khalil, selepas melintasi pemeriksaan ketat oleh polisi dan tentara Israel, sebersit kebahagiaan membuncah dalam kalbu saya. Bahagia, tentu saja, karena akhirnya saya dapat mengunjungi makam “Kekasih Allah”, meski saya sendiri tidak merasa yakin, apakah makam itu memang makam sang Nabi.

Ketika berdiri di depan makam sang Nabi, entah kenapa, tiba-tiba yang mencuat dalam benak saya justru doa indah yang pernah disampaikan sang Nabi kepada Tuhannya, “Ya Allah, Tuhanku, karuniakanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam kelompok orang-orang saleh. Jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian. Jadikanlah aku termasuk orang-orang yang memusakai surga yang penuh kenikmatan… Dan, janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS Al-Syu‘arâ’ [26]: 83-89).

Betapa indah doa itu. Teringat doa indah itu, seraya berdiri di depan makam sang Nabi, saya pun menggumamkan kembali doa indah itu. Dan, kemarin pagi, entah kenapa, ketika mendengar nama sang Nabi, doa indah itu pun kembali saya sampaikan kepada Tuhan sang Nabi. Dengan sepenuh hati.

Siapakah sang Nabi pemilik doa indah itu?

Tentu, banyak di antara kita yang telah tahu, sang Nabi adalah seorang Rasul yang namanya disebut 40  kali  dalam Al-Quran. Dalam Kitab Suci itu juga digambarkan, sang Nabi adalah orang yang  menyerahkan  diri sepenuhnya  kepada Allah. Sehingga, perintah apa pun  ia  lakukan, meski  harus  bertentangan dengan pikiran  dan  perasaannya. Nabi yang satu ini sendiri hidup  sekitar 2,100 sebelum Masehi yang silam. Putra  Adzar  ini lahir  di  Ur, di kawasan Chaldea (kini masuk wilayah Irak). Selepas menerima  wahyu  dari Allah, orang pertama yang ia seru adalah ayahnya sendiri, seorang pemahat.  Tetapi,  sang ayah menolak  seruannya,  malah  kemudian mengusirnya.  Meski  diusir  sang  ayah,  ia  tetap  menyampaikan seruannya di kalangan bangsanya. Akibatnya, ia menerima  berbagai ancaman  dari  mereka.

Menghadapi ancaman demikian, sang Nabi lantas meninggalkan  negerinya,  disertai istri pertamanya: Sarah, menuju Palestina lewat Damaskus. Ketika  Rasul  yang  mendapat gelar Khalil Allah  ini  tiba  di Palestina,  negeri  tersebut sedang tertimpa  paceklik.  Ia  lalu melanjutkan  perjalanannya ke Mesir. Di negeri terakhir  ini  ia tinggal  tidak  lama, dan kemudian ia kembali lagi ke  Palestina.

Kala tiba di Palestina, usia sang Nabi dan istri pertamanya, Sarah, kian lanjut. Meski demikian, kerinduan mereka untuk memiliki anak keturunan tidak pernah sirna. Karena itu, akhirnya sang Nabi pun berdoa, “Sungguh, aku akan pergi menghadap kepada Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. (Kemudian dia berdoa), “Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.” (QS Al-Shaffât [37]: 99-101).

Ternyata, Allah Swt. mengabulkan doa sang Nabi. Lahirlah  putra pertamanya, Ismail,  lewat  istri  keduanya Hajar,  ketika sang Nabi berusia sekitar 68 tahun. Kehadiran sang putra pertama tersebut ternyata menimbulkan kecemburuan Sarah. Oleh karena itu, sang Nabi kemudian mengungsikan Hajar dan Isma‘il a.s. ke sebuah yang jauh dari Palestina, sebuah negeri yang terkenal kering kerontang.

Sebelum meninggalkan keduanya di negeri jauh yang kini dikenal sebagai Kota Makkah, sang Nabi pun memohon kepada Tuhannya, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Ya Tuhanku, Sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan manusia. Karena itu, barang siapa mengikutiku, sesungguhnya orang itu termasuk golonganku dan barang siapa mendurhakai aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, sungguh aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. Ya Tuhan kami, sungguh Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku) Isma‘il dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha mendengar (memperkenankan) doa. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (QS Ibrâhîm [14]: 35-41).

Berkat doa sang Nabi, kini negeri yang kering kerontang itu kini menjadi Kota Makkah yang diberkahi. Dan, menurut sebuah sumber, sang Nabi berpulang pada  usia 175 tahun dan dimakamkan di Gua Machepelah, Al-Khalil, Palestina, yang kini menjadi lokasi Masjid Al-Khalil yang saya kunjungi pada Maret (dan April) 2013 itu.


Friday, October 11, 2013

HIJAZ RAILWAY, MRT JAKARTA, DAN AMANAH

Entah kenapa, ketika kemarin sore saya membaca kabar “groundbreaking” proyek MRT Jakarta, benak saya justru “melayang-layang” ke Madinah, Arab Saudi. Selepas “berputar-putar” dan “melayang-layang” di sekitar Kota Suci itu, tiba-tiba benak saya menukik ke sebuah museum stasiun kereta api yang tegak di samping Masjid Al-‘Anbariyyah. Bila kita dari Masjid Nabawi menuju Masjid Dzulhulaifah, kita dapat menyaksikan museum itu, Museum Hijaz Railway, tegak di tengah perjalanan antara dua masjid itu.

Apa kaitan antara Hijaz Railway dan MRT Jakarta yang sedang mulai dibangun?

Jika kita tahu sejarah pembangunan Hijaz Railway, segera kita akan menyadari: rakyat dan masyarakat di mana pun sejatinya mudah digerakkan untuk membantu pembangunan suatu proyek yang bermanfaat bagi masyarakat. Apalagi, bila pembangunan itu dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan amanah. Dalam situasi dan kondisi demikian, biasanya masyarakat mudah digerakkan untuk membangun pembangunan dan perampungan proyek tersebut. Sebagai contoh adalah proyek Hijaz Railway. Sejarah menorehkan, masyarakat begitu bersemangat membantu pembangunan proyek kereta api yang menghubungkan antara Madinah dan Damaskus itu. Sehingga, ketika proyek itu rampung, ternyata proyek itu tidak meninggalkan utang sama sekali. Malah, proyek itu untung besar: meninggalkan kelebihan dana sebesar 1.75 juta dolar Amerika Serikat. Dengan kata lain, Hijaz Railway adalah satu-satu proyek perkeretaapian di dunia yang telah lunas sebelum karcis pertama dijual!

Kini, mari sejenak kita kembali ke masa silam, untuk mengikuti dan “menguak” sejarah Hijaz Railway tersebut. Menurut catatan sejarah,  ide “si Unta Besi” (demikian sebutan yang diberikan orang-orang Badui kala kereta api itu masih berfungsi)  itu mulai timbul pada 1280 H/1864 M. Ide itu pertama kali dikemukakan seorang keturunan Jerman-Amerika, Dr. O. Zimple, selepas melihat jalur-jalur kereta api yang mulai dibangun di pelbagai penjuru dunia. Atas masukan seorang Izzet Pasya Al-Abed, ide itu kemudian direalisasikan atas perintah Sultan‘Abdul Hamid II, seorang penguasa dari Dinasti Usmaniyyah di Turki. Untuk itu, dibentuklah Hijaz Railway Commission, di bawah pimpinan Izzet Pasya Al-Abed.

Jelas, kala itu pembangunan Hijaz Railway itu merupakan tantangan yang berat. Baik dari segi pembiayaan maupun dari segi teknis. Biaya yang diperlukan untuk mewujudkan proyek itu sebesar 16 juta dolar Amerika Serikat. Sumbangan pertama diberikan sang sultan (sebesar 250.000 dolar Amerika Serikat), khedive Mesir kala itu, Syah Iran, para pegawai negeri dan angkatan bersenjata Turki kala itu. Melihat kemanfaatan jalur itu bagi jamaah umrah dan haji dari beberapa negara, kaum Muslim pun kemudian dengan penuh semangat ikut menyumbang pembangunan proyek itu. Tidak aneh manakala proyek itu rampung, ternyata proyek itu tidak meninggalkan utang sama sekali. Malah, proyek itu untung besar: meninggalkan kelebihan dana sebesar 1.75 juta dolar Amerika Serikat. Dengan kata lain, Hijaz Railway adalah satu-satu proyek perkeretaapian di dunia yang telah lunas sebelum karcis pertama dijual!

Pembangunan proyek Hijaz Railway yang dilaksanakan oleh sebuah tim internasional: 17 orang Turki, 12 orang Jerman, 5 orang Italia, 5 orang Perancis, 2 orang Austria, 1 orang Belgia, 1 orang Yunani, dan ditopang oleh 5.630 tentara Turki itu ternyata menghadapi pelbagai kendala sosial dan teknis. Para syaikh dan orang-orang yang merasa akan dirugikan dengan kehadiran “si Unta Besi” itu, merasa tidak senang dengan adanya proyek itu. Karena itu, mereka kerap mengganggu dan menghalangi proses pembangunan proyek itu.

Penolakan yang demikian itu dapat dimengerti. Karena dengan adanya jalur kereta api itu, membuat pendapatan dan penghasilan mereka sirna. Hal itu terbukti selepas proyek itu rampung. Jika sebelumnya, perjalanan antara Damaskus-Madinah memerlukan biaya paling sedikit 40 poundsterling, nah dengan dengan naik kereta api  itu biaya yang mereka keluarkan menurun tajam menjadi sekitar empat setengah poundsterling. Apalagi, lama perjalanan pun menjadi sangat pendek. Bila sebelumnya perjalanan antara Damaskus-Madinah, dengan naik unta, memerlukan masa sekitar dua bulan, dengan kehadiran kereta api itu masa perjalanan yang diperlukan tinggal menjadi 55 jam. Di sisi lain, tantangan dan hambatan teknis penyelesaian dan pelaksanaan proyek Hijaz Railway juga tidak ringan. Misalnya, hambatan geografis di Jordania selatan. Belum lagi masalah cuaca, air minum, air untuk lokomotif, jembatan, dan rel yang tertimbun pasir akibat “ulah” badai gurun pasir.

Semenjak Ahad, 17 Jumada Al-Awwal 1329 H/1 September 1901 M jalur Damaskus-Dir‘ah mulai dioperasikan. Tahun berikut, jalur Dar‘a-Al-Zarqa’ mulai dibuka. Tahun-tahun berikutnya jalur itu telah tersambung hingga Amman (1321 H/1903 M), Ma‘an (1322 H/1904 M), Tabuk (1324 H/1906 M), Mada’in Shalih (1325 H/1907 M), dan Madinah (1326 H/1908 M). Jalur yang ini sendiri memiliki 48 stasiun, dengan jarak rata-rata antara satu stasiun dengan stasiun berikut sekitar 11 kilometer. Yang menarik, rancang bangun stasiun-stasiun itu mirip benteng. Malah, pada setiap stasiun dilengkapi dengan sebuah sumur dan tempat perlindungan dari tembakan senjata dari luar stasiun.

Kereta api dari Damaskus pertama kali tiba di Madinah Al-Munawwarah pada Jumat, 14 Rajab 1325 H/23 Agustus 1908 M. Setahun kemudian, tepatnya pada Selasa, 4 Sya‘ban 1326 H/1 September 1908 M, proyek Hijaz Railway diresmikan. Semula, belum banyak jamaah umrah maupun haji yang berminat naik kereta api itu. Pada 1330 H/1912 M, misalnya, selama tahun itu, kereta api hanya mengangkut sekitar 30.000 jamaah. Tetapi, dua tahun kemudian, peminat kereta api itu naik luar biasa. Selama tahun itu, kereta api mengangkut tidak kurang dari 300.000 penumpang. Bagi penumpang non-Muslim, kecuali mereka yang mendapatkan izin khusus, hanya diperkenankan naik kereta api itu hingga Ma‘an saja.

Ternyata, kemudian, tidak hanya para jamaah umrah dan haji yang memanfaatkan kereta api itu. Malah, Angkatan bersenjata Turki pun memanfaatkan kereta api itu untuk mengangkat pasukan Turki dan perbekalan mereka. Akibatnya, ketika Perang Dunia I meletus dan Turki mendukung Jerman, Inggris memprovokasi orang-orang Badui dan orang-orang yang tak senang untuk melakukan sabotase atas Hijaz Railway, dengan menghancurkan 80 jembatan dari sekitar 2.000 jembatan yang membentang di jalur kereta api itu, 17 lokomotif, dan berpuluh-puluh kilometer rel di jalur itu. “Proyek sabotase” yang digalang Inggris itu di bawah pimpinan T.E. Lawrence yang lebih terkenal dengan sebutan Lawrence of Arabia. Akibatnya, selepas sekitar sepuluh tahun beroperasi, jalur kereta api itu pun menjadi mangkrak.

Pada awal 1357 H/1938 M muncul upaya untuk menghidupkan jalur Hijaz Railway itu yang kini hanya beroperasi antara Damaskus-Amman saja. Tapi, upaya itu kemudian meredup. Pada 1375 H/1955 M, Raja Ibn Saud juga berusaha menghidupkan jalur itu. Tetapi, lagi-lagi usaha itu tidak berhasil. Kemudian, pada 1386 H/1966 M, usaha itu mencuat kembali. Sayang, terjadinya Perang 6 Juni 1967 M, antara negara-negara Arab dan Israel, membuat upaya itu meredup. Usaha itu kian melemah selepas terbangunnya moda-moda transportasi lainnya: bus dan pesawat terbang. Meski demikian, kini  timbul kembali upaya untuk menghidupkan jalur kereta api itu. Misalnya, pameran foto-foto Hijaz Railway yang diadakan di Turki pada 1429 H/2008 M. Dalam pameran itu, ditampilkan 80 foto eksklusif Hijaz Railway yang dimiliki Sultan ‘Abdul Hamid II.

Sebuah pelajaran indah tertoreh lewat proyek Hijaz Railway: manakala suatu proyek dilaksanakan  penuh amanah, rakyat biasanya tidak akan segan-segan mengulurkan tangan untuk membantu terealisasikannya proyek tersebut. Semoga, Proyek MRT Jakarta juga dilaksanakan dengan sikap yang sama. Sehingga, tidak hanya satu jalur saja yang segera terbangun. Tetapi, dengan dukungan rakyat, pelbagai jalur segera pula terbangun. Kiranya demikian, amin. 

Wednesday, October 9, 2013

KITA TIDAK SENDIRIAN

Pak Rofi’, mohon doakan saya! Saya gak ingin gagal lagi, Pak. Tapi, masalahnya ada saja, gak selesai-selesai. Saya capek, Pak.”

Itulah bunyi sebuah pesan singkat dari seorang sahabat yang masuk ke telpon genggam saya, beberapa hari yang lalu. Gelisah, resah, dan tidak berdaya, malah, kadang, disertai amarah karena merasa semua orang menjauh, itulah suasana hati dan pikiran yang kerap menyergap diri kita kala kita sedang menghadapi suatu persoalan yang berat dan seakan tiada jalan keluar baginya. Malah, kadang, kita merasa tiada siapa pun yang menyertai dan mendampingi kita. Ketika kita dalam suasana hati yang demikian, mungkin ada baiknya kita menyimak sejenak keresahan, kegelisahan, dan rasa tidak berdaya yang pernah dialami Rasulullah Saw. menjelang beliau berhijrah ke Yatsrib yang kini disebut Madinah.

Kala itu, meerasa Makkah bukan tempat yang baik bagi perkembangan Islam, Rasulullah Saw. mulai berpikir untuk mencari lingkungan lain yang dapat menerima agama Islam tanpa penentang yang terlalu keras. Salah satu kabilah yang paling penting di Semenanjung Arab setelah kaum Quraisy adalah Bani Tsaqif di Thaif. Selain itu, mereka  juga memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan kaum Quraisy. Beliau berpikir, barangkali dakwah Islam akan disambut dengan baik di kota yang menjadi pusat penyembahan berhala Al-Lat itu. Karena itu, di suatu hari di akhir bulan Syawwal tahun kesepuluh kenabian, sekitar sebulan selepas Khadijah wafat, beliau berangkat ke Thaif. Meski tidak seramai Makkah, Thaif terletak di daerah yang lebih subur dan berudara sejuk. Ketika mendekati kota yang terkenal dengan buah anggurnya yang manis itu, beliau harus melintasi kebun-kebun luas. Beberapa anggota Bani ‘Abd Syams dan Bani Hasyim memiliki tempat peristirahatan di sana.

Di  Thaif, Rasulullah Saw. menghubungi pemuka-pemuka Bani Tsaqif, yaitu putra-putra ‘Amr bin ‘Umair: ‘Abd Yalil, Mas‘ud, dan Habib, dan menyeru mereka agar memeluk Islam dan bersedia melindungi kaum Muslim dari musuh-musuh mereka. Selama sepuluh hari di sana, tidak seorang pun pemuka Bani Tsaqif yang terlewatkan oleh beliau. Tapi, hasilnya nihil. Para pemuka Thaif  mencemooh pernyataan beliau sebagai Nabi. Mereka mempertanyakan, jika beliau benar-benar seorang Nabi, mengapa Tuhan membiarkan Utusan-Nya mengemis dukungan dari kabilah-kabilah asing! Tiga bersaudara dari Bani Tsaqif itu tidak saja menolak risalah beliau. Tetapi, mereka juga menggerakkan masyarakat untuk menentang beliau.

Rasulullah Saw. pun pergi dengan diiringi hinaan dan anak-anak yang melempari beliau dengan batu. Kian lama kian banyak orang yang mengerubungi dan mencibir beliau. Akhirnya, beliau yang dalam keadaan terluka parah berlindung di dalam sebuah kebun milik ‘Utbah bin Rabi‘ah dan saudaranya, Syaibah, untuk menghindari kejaran orang-orang itu. Di tengah kesendirian, di bawah naungan pohon anggur, tanpa perlindungan dari sesamanya, beliau berpaling kepada Allah Swt. dan hanyut dalam doa yang berisi pengaduan:

Ya Allah, hanya kepada-Mu kuadukan kelemahan dan kekurangan diriku serta ketidakberdayaanku di hadapan manusia. Wahai Yang Maha Penyayang di atas para penyayang, Engkau, Tuhanku, adalah Tuhan orang-orang yang lemah. Ke tangan siapakah Engkau menggiring diriku? Ke tangan orang-orang asing yang akan mencelakai diriku? Atau kepada musuh yang telah Engkau berikan kekuasaan atas urusanku? Aku tidak menyimpan rasa takut selama Engkau tidak murka kepadaku. Namun, dukungan-Mu dapat membukakan jalan yang lebih lapang dan cakrawala yang lebih luas untuk diriku. Aku mencari perlindungan di bawah sinar wajah-Mu, yang dapat memendari kekelaman dan menyelesaikan segala urusan di dunia dan di akhirat kelak, sehingga aku tidak mengundang amarah-Mu dan tidak tersentuh murka-Mu. Sungguh, tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.”

Ya, adakah tempat  mengadu yang lebih baik dan lebih layak dari Yang Maha Esa dan Pemberi Keyakinan? Tentang doa yang dipanjatkan Rasulullah Saw. yang dalam kondisi fisik dan psikis yang sangat tertekan itu, Tariq Ramadan, dalam karyanya In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammand, menulis, “Pertanyaan dalam doa beliau itu tidak mengisyaratkan keraguan terhadap risalah yang diembannya. Tetapi, hal itu dengan jelas menyuarakan ketidakberdayaan beliau sebagai manusia. Juga,  ketidaktahuan beliau akan maksud dan tujuan Allah. Di saat seperti itu, ketika jauh dari orang lain, dalam kebeningan iman dan keyakinannya kepada Yang Maha Penyayang, beliau benar-benar meletakkan diri sepenuhnya dalam genggaman Allah. Dalam hal ini, doa beliau mengungkap semua kepercayaan diri dan ketenangan jiwa yang beliau peroleh dari hubungan beliau dengan Yang Mahadekat. Doa yang sangat terkenal itu melukiskan kelemahan manusia dan kekuatan ruhaniah Rasulullah Saw. yang luar biasa. Dalam kesepian dan tanpa pertolongan, Nabi tahu beliau tidak sendirian.”

“Dalam kesepian dan tanpa pertolongan, Nabi tahu beliau tidak sendirian,” sejatinya merupakan ungkapan yang juga berlaku bagi kita. Dengan kata lain, pada saat dalam kondisi apa pun, termasuk dalam kondisi dan suasana hati yang paling menyedihkan sekali pun, sejatinya kita tidaklah sendirian: sejatinya Allah Swt. Yang Mahadekat senantiasa mendampingi kita. Hanya, kita saja yang kerap tidak menyadari kehadiran-Nya bersama kita!


Monday, October 7, 2013

JABATAN INI AKAN MEMBUAT SAYA BERDUSTA

Beberapa hari yang lalu, usai melaksanakan shalat Zhuhur, entah kenapa mata saya terasa berat sekali. Tidak lama kemudian, tanpa saya sadari sama sekali, saya terlempar jauh ke masa silam. Ya, jauh sekali, ke masa sekitar abad ke 2 H/8 M. Yang lebih mengherankan lagi, tiba-tiba saya seakan berada di Kufah, Irak. Jauh sekali. Berada di sebuah kota yang pertama kali dibangun kaum Muslim itu, saya pun kebingungan. Kebingungan saya kian membuncah setelah saya menyadari, ternyata saya tiba-tiba hidup di masa silam: tujuh abad yang lalu. Karena kebingungan, saya kemudian segera menuju Masjid Raya Kufah. Selepas melaksanakan shalat Tahiyyah Masjid di sana, eh saya melihat seseorang berusia lanjut berwajah tampan dengan “nuansa” Afghanistan dan memancarkan kewibawaan, sedang duduk tidak jauh dari mihrab masjid serta dikitari banyak orang.

Melihat sekilas penampilan orang itu, entah kenapa saya merasa, orang itu adalah seorang ulama besar. Menyadari hal yang demikian, saya kemudian segera mendekati mereka dan duduk di belakang mereka. Tidak lama duduk di situ, saya mendengar tokoh yang satu itu berucap pelan, “Saya akan menolak jabatan qâdhî (hakim) ini.”
“Bagaimana cara menolak tawaran itu, Tuan Guru,” tanya salah seorang di antara hadirin kala itu.
“Caranya sedang saya pikirkan,” jawab ulama yang dipanggil Tuan Guru itu, dengan nada suara yang sangat berwibawa. “Saya akan temui langsung penguasa itu di Baghdad. Saya tidak akan melarikan diri dari penguasa itu, seperti yang dilakukan saudaraku Sufyan Al-Tsauri. Juga, saya tidak akan pura-pura gila, seperti yang dilakukan saudaraku yang lain, Mis‘ar ibn Kidam. “
“Tuan Guru,” sergah salah seorang yang hadir kala itu, “sebaiknya jangan Anda lakukan ide itu. Lebih baik Anda menjauh ke negeri yang jauh. Sebab, penguasa kita saat ini tidak pernah mau mendengar ada orang yang menolak penawarannya. Bisa-bisa Tuan Guru dijatuhi hukuman berat.”
“Saya lebih baik dijatuhi hukuman daripada menjadi seorang pendusta, saudaraku,” jawab ulama yang dipanggil Tuan Guru itu.

Tidak lama kemudian, Tuan Guru itu menuju Baghdad. Penasaran dengan apa yang bakal terjadi, saya pun ikut dengan rombongan yang mengantarkan Tuan Guru itu menuju ibu kota Dinasti ‘Abbasiyyah kala itu. Setiba di kota itu, Tuan Guruyang senantiasa mengenakan busana terbaiknya ketika shalat itu kemudian menuju istana. Mengetahui kedatangan sang ulama, penguasa yang tinggal di istana itu pun menyambut kedatangannya dengan penuh kemegahan.

Kemudian, selepas berbagi sapa beberapa lama, Tuan Guru itu berucap dengan suara yang sangat berwibawa, “Amir Al-Mu’minin, kiranya Allah Swt. menganugerahkan kebijakan kepada Anda. Saya sudah menerima surat Anda yang berisi penawaran untuk menjabat hakim. Namun, sungguh, saya tidak kuasa menduduki jabatan itu.”
“Tuan Guru! Engkau harus bersedia menerima tawaran itu!” sergah sang penguasa.
“Wahai Amir Al-Mukminin,” jawab ulama yang kelak, ketika berpulang ke hadirat  Allah Swt., di usia tujuh puluh  tahun  pada 150  H/767 M, diantar ribuan anak manusia yang mencintainya  dan menghormatinya. “Saya bukan orang Arab. Para pemuka Arab tentu tidak akan menerima keputusan-keputusan yang akan saya tetapkan sebagai qâdhî. Karena itu, saya merasa bahwa saya tidak cocok dengan jabatan itu.”
“Tuan Guru!” sahut sang penguasa. “Jabatan itu tiada kaitannya dengan masalah keturunan. Tetapi, jabatan itu berkaitan dengan keahlian. Dan, engkau adalah seorang ulama terkemuka di masa ini!”
“Wahai Amir Al-Mukminin,” sahut sang ulama, dengan nada suara yang bijak. “Saya telah memutuskan, sepenuh hati, bahwa saya tidak kuasa menduduki jabatan itu. Jabatan itu akan menyebabkan saya menjadi seorang pendusta. Manakala saya menjadi seorang pendusta, tentu saya tidak pantas menduduki jabatan itu. Sedangkan jika saya menjadi orang yang jujur, saya telah menjelaskan kepada Anda, wahai Amir Al-Mukminin, saya tidak pantas menduduki jabatan itu.”

Mendengar penolakan demikian, amarah sang penguasa pun meledak. Ia pun memerintahkan agar ulama itu dihukum dera. Benar saja, ulama yang telah berusia lanjut itu pun dihukum dera hingga mencapai bilangan seratus tiga puluh cambukan. Saat itu, keluarlah ‘Abdurrahman ibn ‘Ali ibn ‘Abdullah ibn Al-‘Abbas ibn ‘Abdul Muththalib, pamanda sang penguasa, seraya berteriak kepada kemenakannya itu, “Wahai Amir Al-Mukminin! Engkau telah menghunus seratus ribu pedang yang mengancam jiwamu. Tokoh itu adalah seorang ulama kondang penduduk negeri bagian timur. Dia dihukum dengan cambuk tanpa dosa. Tidakkah engkau takut akan siksaan yang datang dari langit?”

Menerima sergahan keras demikian, sang penguasa pun memerintahkan seorang pejabat agar melepaskan Tuan Guru dari bui. Mendengar sergahan keras itu, saya pun terbangun dari mimpi. Ternyata, saya tidak sedang berada di Baghdad Darusalam. Tapi, saya sedang berada di Bandung. Dan, ternyata, apa yang saya alami tadi adalah mimpi belaka.


Wednesday, October 2, 2013

DAN, MUHAMMAD PUN MENJADI YATIM-PIATU

Entah kenapa, ketika membaca “gerakan” sebagian para jamaah haji dari Makkah menuju Madinah, tadi pagi, tiba-tiba yang muncul dalam benak saya justru kisah Nabi Muhammad Saw. ketika muda usia: ketika tiba-tiba dia menghadapi kenyataan yang sangat perih. Ya, sangat perih, karena ibundanya berpulang tidak lama selepas “menjenguk” makam ayahandanya, ‘Abdullah ibn ‘Abdul Muththalib. Membayangkan suasana hati Muhammad muda usia itu, tiba-tiba bibir saya bergumam, sangat pelan, “Wahai Muhammad, betapa berat derita yang engkau lintasi sejak engkau lahir.”

Menjadi yatim sejak lahir dan menjadi yatim-piatu ketika baru berusia sekitar 6 tahun, itulah “nasib” yang dialami Muhammad. Kini, mari kita simak kembali perjalanan hidup Muhammad ketika kehilangan ibundanya, Aminah binti Wahb.

Setelah sekitar lima tahun tinggal bersama keluarga Halimah Al-Sa‘diyyah, Muhammad tumbuh sehat dan berkembang pesat walau ia harus menjalani kehidupan orang Badui di alam  tandus nan keras dan sejauh memandang hanya terlihat hamparan pemandangan yang menyadarkan hati tentang kerapuhan manusia serta menggugah diri untuk merenung dan menyendiri. Selama masa kecil di lingkungan Bani Sa‘d ini tidak terjadi sesuatu yang layak dicatat sebagai peristiwa besar, kecuali suatu peristiwa yang di kemudian hari terkenal dengan nama “Peristiwa Pembedahan Dada”.

Tentang peristiwa pembedahan dada itu dituturkan, ketika Muhammad berusia empat tahun, dua malaikat membuka dadanya dan menyucikannya dengan salju. Ini berarti batinnya telah dimurnikan di usia muda oleh malaikat Allah Swt. Selepas itu, ia didudukkan di atas timbangan dan ditimbang terhadap orang-orang biasa. Berapa pun banyaknya orang yang ditambahkan di sisi lain timbangan tersebut, ternyata ia masih saja lebih berat. Ini berarti, dialah yang paling penting dalam pandangan Allah Swt. dan kelak ia akan membimbing umatnya ke jalan-Nya.

Selepas beberapa tahun tinggal di lingkungan gurun pasir nan kerontang, Muhammad kecil pun pulang ke Makkah untuk menjumpai ibundanya tercinta yang senantiasa sangat merindukannya. Juga, sang kakek yang senantiasa memandang cucunya yang yatim itu sebagai pengganti putranya yang telah berpulang. Tentu, ibundanya sangat bahagia menerima kembali putra tunggalnya itu.

Tidak lama selepas itu, sang ibunda mengajak putra tersayang itu, disertai Ummu Aiman, berangkat meninggalkan Makkah dan menempuh perjalanan sekitar empat ratus lima puluh kilometer ke Yatsrib, untuk mengenalkan putranya tersebut dengan kaum kerabat ibunda kakeknya, di samping berziarah ke makam ayahandanya, ‘Abdullah ibn ‘Abdul Muththalib, yang dimakamkan di sana.

Aminah binti Wahb bukannya tidak tahu betapa sulitnya perjalanan yang akan ditempuhnya itu: mengarungi padang pasir nan kerontang dengan pasir-pasirnya yang membatu. Juga, ia bukannya tidak tahu pelbagai kesulitan yang kerap dialami oleh mereka yang melintasi jantung padang pasir dengan lembah-lembahnya nan sunyi dan tanah tandusnya yang menggetarkan hati. Namun, kerinduannya untuk berkunjung ke Yatsrib dan berziarah ke makam suaminya sedemikian kuat, sehingga kuasa menundukkan pelbagai kesulitan yang sejatinya merupakan semacam siksaan. Ya, istri mana yang tidak ingin mengetahui dan mengunjungi makam sang suami tercinta yang tidak pernah dikunjunginya semenjak sang suami berpulang.

Setiba  mereka  di  Yatsrib, kepada  anak  itu diperlihatkan rumah tempat ayahandanya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama  kalinya Muhammad merasakan  sebagai  anak yatim. Dan, barang kali, ibundanya juga pernah menceritakan dengan panjang lebar perihal sang ayahanda tercinta,   yang   selepas beberapa  waktu  tinggal  bersama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamandanya dari  pihak ibu.  Selepas  berhijrah ke Kota Suci, Rasulullah  Saw. pernah menceritakan kepada para sahabat kisah perjalanannya yang pertama ke Yatsrib dengan  ibundanya itu. Kisah yang penuh cinta pada Yatsrib dan kisah yang penuh duka orang yang ditinggalkan keluarganya.

Sang ibunda dan putranya itu tinggal di Yatsrib, di lingkungan sanak kerabat, sekitar satu bulan. Di kota itu, Muhammad kecil sempat memanfaatkan waktunya untuk belajar berenang di kolam pemandian. Dan, ketika mereka dalam perjalanan pulang dari Yatsrib menuju Makkah, tiba-tiba badai kencang menghajar rombongan yang sedang di tengah perjalanan itu dengan suhu udara yang tinggi membakar, sehingga menyebabkan pasir-pasir di sekeliling mereka beterbangan laksana bunga api yang membara. Perjalanan jadinya terpaksa dihentikan selama beberapa hari, menanti redanya badai itu dan mengendap kembalinya pasir-pasir yang diterbangkannya. Tetapi, tidak lama kemudian Aminah merasa, daya tahan tubuh dan kondisi psikisnya runtuh serta tidak lagi kuasa lagi menghadapi beratnya perjalanan yang sangat meletihkan itu. Dan, ketika merasa perjalanan hidupnya di dunia yang fana ini akan usai, Bunga Quraisy yang masih muda usia itu pun mendoakan, dalam bentuk puisi, putranya yang ada di dekapannya:

Wahai putra seorang ayahanda yang telah tiada selamanya
Ayah yang selamat dari sembelihan karena pertolongan Yang Mahabijaksana
Ditebus dengan penyembelihan seratus unta
Wahai putraku, kiranya Allah memberkahimu, selamanya

Tidak lama kemudian Aminah binti Wahb berpulang di usia muda.  Dan, kemudian, Ummu Aiman membungkus tubuh yang telah terbaring membujur itu, menutup wajah yang telah lesu itu, dan memejamkan kedua mata yang telah padam itu. Sedangkan Muhammad kecil hanya kuasa mengikuti pelayannya yang berkulit hitam sangat legam itu dengan menundukkan kepala dan pasrah, menghadapi kenyataan tentang kematian ibundanya tercinta. Mereka kemudian membawa jenazah itu menuju Abwa’, untuk dikebumikan di tempat pembaringannya yang terakhir. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn!

Lengkaplah kini Muhammad sebagai anak yatim-piatu. Tanpa ayahanda dan ibunda yang membimbingnya dan mengasihinya. Muhammad kemudian dibawa  pulang  oleh  Ummu  Aiman,  yang kini menjadi “ibunda pengganti” yang senantiasa menyertai Muhammad  hingga berpulang di usia enam puluh tiga tahun kelak, ke  Makkah. Pulang menangis dengan hati yang pilu dan kini hidup sebatang kara.

Muhammad kecil, sebagai anak yatim, kian merasa kehilangan. Terasa olehnya hidup yang kian sunyi,  kian  kelam, dan kian perih.  Baru  beberapa hari   yang   lalu  ia  mendengar  dari  sang ibunda  keluhan  duka kehilangan ayahanda semasa ia masih dalam kandungan.  Kini,  ia melihat  sendiri  di hadapannya,  sang ibunda pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayahandanya dulu.  Tubuh  yang  masih  kecil  itu  kini mendapat cobaan dan ujian memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu. Akibatnya, dampak kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu menggores dalam sekali di jiwanya. Sehingga, belakangan Al-Quran menuturkan kondisinya itu berikut pelajaran-pelajaran ruhaniah yang terkait dengan pengalaman hidup di padang pasir, Bukankah Dia mendapati engkau sebagai anak yatim, lantas Dia melindungi? Dan Dia mendapati engkau tidak tahu jalan, lantas Ia memberi bimbingan? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Karena itu, janganlah engkau berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim, tidak menghardik orang yang minta-minta, dan  hendaklah engkau senantiasa bersyukur terhadap nikmat Tuhanmu. ” (QS Al-Dhuhâ [93]: 6-11).

Betapa getir kisah hidup Muhammad belia. Kala baru berusia sekitar enam tahun dia telah menjalani pengalaman getir tidak berayah, kemiskinan, kesendirian, dan kematian ibunda tercinta. Namun, di sepanjang perjalanan hidupnya dia senantiasa menemukan tanda-tanda takdir yang–melalui manusia dan lingkungan-menemani  dan mempermudah perkembangan dan pendidikan dirinya.