Friday, February 28, 2014

USTADZ, APA TUJUAN DIUTUSNYA NABI NUH A.S.?

Kemarin sore, Kamis, 27 Februari 2014, seorang kiai sepuh datang berkunjung ke rumah kami di Baleendah, Kabupaten Bandung. Bagi kami, saya dan istri, menerima kunjungan tamu, siapa pun tamu itu, senantiasa kami pandang sebagai penghormatan dan kehormatan kepada kami. Apalagi, tamu itu seorang kiai terhormat yang memiliki sebuah pesantren dengan jumlah santri yang tidak sedikit: sekitar seribu santri.

Meski kunjungan itu singkat, namun kami sempat berbincang tentang banyak hal. Beliau banyak bercerita tentang kisahnya dalam membangun pesantrennya. Betapa diperlukan kesabaran, kedekatan dengan masyarakat, para orang tua, dan para santri, serta siap jatuh-bangun. Yang tidak kalah penting: siap mengayomi masyarakat. Seakan, dengan menuturkan kisah tersebut, beliau menasihati saya yang masih perlu banyak belajar, belajar, dan belajar dalam mengelola Pesantren Mini yang kami kelola. Saya pun dengan penuh perhatian mencoba menyimak dan menyerap inti-inti kisah itu. Entah kenapa, usai berkisah demikian, tiba-tiba dengan suara pelan beliau bertanya, “Ustadz, bolehkah saya bertanya tentang sesuatu?”
“Silakan, Bapak Kiai?” jawab saya. Penasaran dan khawatir tidak kuasa menjawab pertanyaan itu.
“Ustadz, apa sejatinya tujuan diutusnya Nabi Nuh a.s.?” tanya beliau.
“Duh, ini sih bukan sekadar pertanyaan. Tapi, ini adalah ujian dan tes,” gumam bibir saya sangat pelan.

Beberapa saat tiada sepatah kata pun terucap dari bibir saya. Saya pun mencoba “membangkitkan kembali” pengetahuan saya tentang Nabi Nuh a.s. Alhamdulillah, tiba-tiba saya teringat tulisan saya tentang Nabi tersebut. Tulisan itu saya susun atas permintaan seorang editor sebuah penerbit di Bandung. Ingat hal itu, saya kemudian menjawab pertanyaan Bapak Kiai. Mendengar jawaban saya, beliau menyimaknya dengan penuh perhatian. Dan, tidak lama kemudian, beliau berpamitan.

Kini, apakah sejatinya tujuan diutusnya Nabi Nuh a.s.?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama mari kita sejenak “kembali” ke masa jauh. Ya, ke masa yang jauh di belakang kita, ke sekitar 5.000 hingga 5.500 yang lalu, untuk menyimak kembali sejenak kisah Nabi Nuh a.s. Siapakah sejatinya Nabi Nuh a.s. yang juga terkenal dengan sebutan “Nabi Adam kedua”?

Ibn Katsir (700-774 H/1300-1373 M), seorang ahli tafsir Al-Quran yang terkenal  dengan karyanya Tafsîr Ibn Katsîr, di samping juga seorang ahli hadis  dan ahli  hukum  Islam  yang mengikuti  Mazhhab  Hanbali  pada  masa pemerintahan Dinasti Mamluk, dalam sebuah karyanya berjudul Qashash Al-Anbiyâ’, mengemukakan, garis keturunan lengkap Nabi Nuh a.s. adalah sebagai berikut: Nuh bin Lamik (atau Lamech) bin Mitoshilkh bin Enoch (atau Nabi Idris a.s.) bin Yarid bin Mahlabil bin Qinan bin Anoush bin Syits bin Adam a.s. Dengan kata lain, Nabi Nuh a.s. merupakan generasi ke-7 dari keturunan Nabi Adam a.s. dan generasi ke-2 dari keturunan Nabi Idris a.s. Demikian menurut Ibn Katsir.

Di manakah Nabi Nuh a.s. ini bermukim sebelum terjadinya prahara besar yang dikenal dengan sebutan “Badai atau Topan Nuh”? Menurut Dr. Shauqi Abu Khalil, dalam sebuah karyanya berjudul Atlas of the Qur’an, sang Nabi tinggal di sekitar Kufah, Irak. Kala itu, Kufah merupakan salah satu wilayah Kerajaan Babylonia.

Berbeda dengan sang kakek, Nabi Idris a.s., Al-Quran menuturkan cukup panjang lebar kisah sang cucu: Nabi Nuh a.s. Berkaitan dengan diri sang kakek, yang menurut Ibn Ishaq (85-150 H/704-767 M, seorang sejarawan Muslim pertama yang menulis  tentang perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw.) merupakan orang yang pertama kali menulis dengan pena, Al-Quran mengemukakan secara ringkas saja, “Dan kemukakanlah (wahai Muhammad) kepada mereka, (kisah) Idris (yang tersebut dalam Al-Quran), sesungguhnya dia adalah orang yang sangat membenarkan dan seorang Nabi. Dan, Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (QS Maryam [19]: 56-57).

Dalam Al-Quran dituturkan, Nabi Nuh a.s. diangkat sebagai Rasul kepada kaum yang menyembah berhala: Wadd, Suwwa‘, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr. Selain itu, mereka terbawa arus kehidupan yang sarat dosa dan menyimpang dari perintah Allah Swt. Padahal, mereka adalah anak keturunan seorang Nabi. Karena itu, Allah Swt. kemudian mengutus sang Nabi, sebagai rahmat kepada para hamba-Nya. Dengan pengutusan tersebut, Nabi Nuh a.s. menjadi Rasul pertama yang diutus di muka bumi. Berkenaan dengan misi Nabi Nuh a.s. yang demikian, Al-Quran mengemukakan, “Sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. Lalu, ia berkata, ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah. Sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Sungguh, (bila kalian tidak menyembah Allah), aku takut kalian akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).’ Pemuka-pemuka dari kaumnya (pun) menjawab,  ‘Sungguh, Kami memandang dirimu berada dalam kesesatan yang nyata.’ Nuh pun berkata, ‘Wahai kaumku, tiada padaku kesesatan sedikit pun. Tetapi, aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam.” (QS Al-A‘râf [7]: 59-61).

Menerima ajakan Nabi Nuh a.s. yang demikian, kaumnya bukannya senang dan bersyukur. Sebaliknya, mereka kian membangkang dan menyimpang. Malah, akhirnya, mereka kemudian merasa gusar kepada Nabi Nuh a.s. dan melabrak sang Nabi. Hal itu sebagaimana diungkapkan dalam ayat Al-Quran berikut, “Dan mereka berkata, “(Hai Nuh!) Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhanmu. Dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula meninggalkan (penyembahan) Suwwa‘, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr.” (QS Nûh [71]: 23).

Mungkin, di sini timbul pertanyaan, “Siapakah Suwwa‘, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr? Mengapa mereka menyembah berhala-berhala itu?”

“Mereka adalah nama orang-orang saleh dari kalangan Nabi Nuh a.s.,” jawab Ibn Katsir dalam karyanya di atas. “Ketika mereka berpulang, setan membisikkan kepada kaum mereka untuk membuat patung-patung mereka di tempat mereka kerap melakukan pertemuan dengan khalayak ramai. Kemudian, setiap patung diberi nama dengan nama mereka. Usulan setan itu mereka terima. Sehingga, ketika generasi pertama mereka sudah tiada dan ilmu mereka juga sudah sirna, patung-patung itu akhirnya disembah.”

Berkenaan dengan hal yang sama, Muhammad ibn Jarir Al-Thabari (224-313 H/839-926  M),  sejarawan  Muslim  dan  ahli tafsir  Al-Quran terkemuka pada Masa Pertengahan, menjelaskan lebih jauh, “Mereka memiliki banyak pengikut yang senantiasa meneladani kehidupan mereka. Ketika mereka berpulang, para pengikut mereka pun berucap, ‘Bagaimana bila kita buatkan patung mereka. Hal itu akan membuat kita senantiasa ingat mereka dam mendorong kita agar tekun beribadah.’ Rencana itu pun mereka laksanakan. Ketika para pengikut mereka telah berpulang, Iblis pun membisikkan kepada generasi berikutnya, ‘Sejatinya mereka (para pendahulu kalian) menyembah mereka dan meminta hujan dengan perantara patung-patung itu.’ Akhirnya, patung-patung itu pun mereka sembah.”

Lewat kisah itu, Al-Quran sejatinya juga menyajikan suatu ajaran yang indah: hendaknya kita menghindari kultus individu atau pendewaan  pemimpin, karena hal itu sangat berbahaya bagi terbentuknya pribadi manusia seutuhnya yang mendekatkan diri kepada Allah. Hal itu sebagaimana halnya yang terjadi pada diri kaum Nabi Nuh a.s.

Kemudian, dengan bergulirnya sang waktu, penyembahan yang dilakukan anak keturunan Nabi Adam a.s. dan Nabi Idris a.s.  terhadap berhala-berhala itu kian merajalela. Karena itu, Allah Swt. pun mengutus Nabi Nuh a.s. Sebagai Rasul pertama, sang Nabi mendapatkan tugas utama: menyerukan kepada kaumnya supaya kembali pada ajaran yang dibawa Nabi Adam a.s., yaitu ajaran yang didasarkan pada tauhîd.

Tauhîd, sebagai ajaran utama yang dibawa Nabi Nuh a.s., sejatinya tidak hanya mengesakan  Allah Swt. semata. Tetapi, dalam tauhîd terkandung ajaran-ajaran indah sebagai berikut: Pertama, kesatuan ketuhanan. Kedua,  kesatuan  penciptaan bahwa  hanya Allah Swt. semata yang  berkuasa menciptakan  segala sesuatu. Ketiga, kesatuan  kemanusiaan  bahwa manusia  sebagai anak keturunan Adam a.s. memiliki kedudukan  yang sama di hadapan Allah Swt., tidak terbatas pada etnis, ras, suku, bangsa, dan negara tertentu saja. Keempat, kesatuan petunjuk atau hidâyah yang menuntun  manusia ke jalan yang dikehendaki Allah Swt. Kelima, kesatuan tujuan hidup yang harus dipahami secara utuh dan menyeluruh.

Menebarkan ajaran Tauhid, itulah tujuan utama diutusnya  Nabi Nuh a.s. Juga, para Nabi setelahnya. Betapa indah risalah itu!


Wednesday, February 19, 2014

KERENDAHAN HATI DAN KASIH SAYANG

Mas, punten, (calon) buku yang pernah saya janjikan beberapa waktu yang lalu akan segera rampung terpaksa saya tunda,” ucap saya kepada seorang editor sebuah penerbit di Bandung sekitar tiga minggu lalu. “Entah kenapa, ketika saya sedang bersujud di Masjid Al-Aqsha (sekitar empat minggu lalu), tiba-tiba muncul ide untuk mengubah sepenuhnya outline dan isi (calon) buku itu.”
“Tidak apa-apa, Pak Rofi’,” jawab editor yang ramah dan santun itu. “Silakan dilanjutkan penulisan (calon) buku itu.”

Usai mendapatkan “acc” demikian, segera saya pun “tenggelam” dalam dunia buku: membaca, membaca, dan membaca, serta menulis, menulis, dan menulis. Demikian yang terjadi nyaris selama tiga minggu terakhir dalam kehidupan saya.

Lantas, entah kenapa tadi pagi, ketika sedang menyiapkan salah satu anak pasal (calon) buku itu, lama saya termenung ketika membayangkan suatu peristiwa yang terjadi sekitar 1385 tahun silam. Itulah saat Rasulullah Saw. dan kaum Muslim berhasil menaklukkan Kota Makkah. Betapa indah perilaku dan akhlak beliau kala kemenangan yang sangat beliau dambakan akhirnya berhasil diraih di tangan.

Bagaimanakah perilaku dan akhlak Rasulullah Saw. dalam situasi dan kondisi demikian?

Sejenak mari kita ke Makkah, untuk menyimak apa yang terjadi pada 20 (ada yang menyatakan tanggal 21)  Ramadhan 8 H/11 Januari 630 M. Hari itu, ketika pasukan kaum Muslim mulai bergerak menuju jantung Makkah, Kota Suci itu sendiri membisu di depan Rasulullah Saw. dan para pendukung beliau. Ya, kini Makkah membisu dan tak lagi meneriakkan seruan-seruan Abu Jahal, Abu Lahab bin ‘Abdul Muththalib, Hindun bin ‘Utbah, Al-Walid bin Al-Mughirah, dan Umayyah bin Khalaf, digantikan oleh hiruk pikuk suara sekitar sepuluh ribu pasukan kaum Muslim yang membahana. Ketika pasukan kaum Muslim itu kian mendekati jantung Kota Makkah, mereka berpencar dan memasuki kota melalui empat penjuru. Khalid bin Al-Walid dari bawah, sedangkan yang lain dari bukit, melintasi tiga jalur yang berbeda. Dan, tak lama kemudian, Kota Makkah berhasil dikuasai pasukan kaum Muslim. Mereka kemudian bergabung kembali di sekitar Masjid Al-Haram. Kini, usai sudah tugas mereka.  

Ya, kini tugas mereka telah usai, karena Makkah telah jatuh. Kini, suasana kota itu pun beda jauh dengan suasana sekitar delapan tahun sebelum itu. Kala itu, Rasulullah Saw. terpaksa meninggalkan bumi kelahirannya secara sembunyi-sembunyi, tapi dengan kepala tegak. Sedangkan kini, beliau kembali ke Makkah di siang hari sebagai pemenang. Tapi, kali ini kepala beliau merunduk di atas untanya, sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Swt., seraya membaca ayat berikut, “Sungguh, Kami telah memberikan kemenangan yang nyata kepadamu, agar Allah memberikan pengampunan kepadamu atas kesalahanmu yang lalu dan yang kemudian, dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu, dan membimbing engkau ke jalan yang lurus.” (QS Al-Fath [48]: 1-2).

Rasulullah Saw. memasuki Makkah dengan mengungkapkan kerendahan hati yang paling dalam, dan beliau memerintahkan agar kaum Muslim memperlihatkan kasih sayang yang paling luhur untuk merendah diri, bukan untuk menyombongkan diri. Sedangkan saat kebebasan agung adalah saat bersyukur kepada Zat yang telah memeliharanya dari kesewenang-wenangan dan penindasan. Dan, saat mendapatkan kekuatan adalah saat bersyukur atas anugerah yang dikaruniakan Yang Merajai langit dan bumi serta mengakui karunia-Nya.

Selepas Makkah jatuh, Rasulullah Saw. kemudian berwudhu, melaksanakan shalat sunnah delapan rakaat,  dan beristirahat di tenda bersama Ummu Salamah, Maimunah binti Al-Harits, dan Fathimah Al-Zahra’. Kemudian, saat yang sangat dinantikan kaum Muslim pun tiba. Selepas beristirahat cukup, beliau lantas menaiki unta beliau, Al-Qashwa’, dan pergi menuju Ka‘bah untuk bertawaf tujuh kali. Kemudian, dengan tongkatnya, beliau memerintahkan agar berhala-berhala yang ada diruntuhkan seraya mengulang-ulang ayat Al-Quran, Yang benar telah datang dan yang batil telah sirna. Sungguh, yang batil niscaya sirna.” (QS Al-Isra’ [17]: 81).

Usai itu, Rasulullah Saw. lantas memegang kunci masuk ke dalam Ka‘bah yang dibawakan ‘Utsman bin Thalhah untuk beliau. Beliau pun memasuki tempat suci itu bersama Usamah bin Zaid dan Bilal bin Rabah. Selepas beberapa lama di dalam Ka‘bah, beliau lantas keluar dan memerintahkan agar semua simbol sesembahan kaum musyrik disirnakan. Ini, agar Rumah Allah dikembalikan pada esensinya. Yaitu untuk mengungkapkan penyembahan Tuhan Yang tak dapat diserupakan atau diasosiasikan dengan simbol apa pun. Dengan tindakan itu, beliau mengubah Ka‘bah menjadi masjid sesungguhnya yang semenjak itu hanya diabdikan untuk penyembahan satu Tuhan.

Kala itu sendiri, sedikit demi sedikit, orang-orang Quraisy keluar dari rumah mereka. Mereka kemudian berkumpul di sekitar Ka‘bah. Kini, semua orang menanti dengan tak sabar apa yang terjadi berikutnya. Rasulullah Saw. kini berdiri di depan Ka‘bah, menghadap ke arah kaum Muslim. Sedangkan orang-orang Quraisy menanti nasib mereka. Sebab, hidup dan mati mereka, kini tergantung di bibir beliau. Sungguh, detik-detik yang mencekam dan menentukan.

“Inilah saat dimulainya sejarah”, tulis Dr. Ali Shariati dalam karyanya, Muhammad Saw. Khâtim Al-Nabiyyîn: min Al-Hijrah hattâ Al-Wafâh, “karena kala itu Rasulullah Saw. telah merampungkan tugas berat yang telah beliau emban selama dua puluh tahun, dengan menanggung segala derita dan siksaan. Dan, kini, beliau dalam kemenangan besar dan di puncak cita-citanya dulu. Dengan sepuluh ribu pedang di tangan para pengikut beliau, beliau memegang nasib kota yang telah menimpakan siksaan atas diri beliau selama tiga belas tahun, dan senantiasa mengacungkan pedangnya selama dua puluh tahun dalam kehidupan beliau.”

Tak aneh jika manakala Rasulullah Saw. akan menyampaikan pernyataan beliau, jantung semua orang berdebar-debar. Puluhan ribu orang, laki-laki dan perempuan, kawan dan lawan, tegang menanti keputusan yang bakal keluar dari bibir beliau. Seakan, burung-burung bertengger di kepala mereka. Tiba-tiba beliau menghadapkan mukanya ke arah orang-orang Quraisy dan kemudian berucap, “Tiada Tuhan selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Yang tak  memiliki sekutu. Ia telah menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan mengalahkan gabungan musuh-musuh-Nya. Hanya Ia sendiri (yang dapat melakukannya).”

Kemudian Rasulullah Saw. menyampaikan kepada orang-orang Quraisy pelbagai aturan Islam dan membaca ayat, Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sungguh, orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kalian. Sungguh, Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal.” (QS Al-Hujurât [49]: 13).

Selepas itu, Rasulullah Saw. bertanya kepada orang-orang Quraisy, “Wahai orang-orang Quraisy. Bagaimana pendapat kalian tentang apa yang akan kulakukan kini?”
“Amat baik, wahai saudara yang baik dan putra saudara kami yang mulia,” jawab mereka. Serempak.
Tiba-tiba saja Rasulullah Saw. berseru, “Pergilah, kalian adalah orang-orang yang bebas.”

Betapa indah sikap dan tindakan Rasulullah Saw. itu. Ketika beliau berada di puncak kekuasaan dan kemenangan, meminjam ungkapan Dr. Ali Shariati dalam karyanya, Muhammad Saw. Khâtim Al-Nabiyyîn: min Al-Hijrah hattâ Al-Wafâh, “ternyata beliau pun sampai pula di puncak kerendahhatian dan kasih sayang beliau. Inilah salah satu di antara sifat beliau yang menonjol. Selepas menyampaikan amnesti umum, beliau menggunakan cara yang paling sederhana untuk mengampuni orang-orang yang dikecualikan karena pengkhianatan yang luar biasa.”

Dalam memberi komentar perihal sikap dan tindakan Rasulullah Saw. itu sendiri, Seyyed Hossein Nasr, dalam karyanya Muhammad Man of Allah, menulis, “Berkat keluhuran dan kasih sayangnya, beliau menerima semua penentangnya ke dalam haribaan Islam. Selama mereka mengakui Islam, walau hanya dengan kata semata, mereka diampuni dan diterima ke dalam masyarakat baru ini. Beliau tak mendendam dan tak pula menaruh syak. Karena yang dicitakan beliau adalah tatanan baru berlandaskan kebenaran dan keadilan. Bukan hasrat membalas perbuatan buruk yang selama itu mereka lancarkan kepada Nabi dan para sahabat.

Sampai sejauh itu Nabi memaafkan manusia, walau beliau senantiasa ditantang oleh sifat musyrik orang-orang yang menyembah berhala itu. Kemurkaan beliau sejatinya tidak ditujukan kepada pribadi yang meminta diampuni dan menyatakan menyembah Allah. Tak peduli apakah itu bertolak dari hati yang tulus atau hanya kemestian semata. Tapi, ditujukan pada berhala-berhala yang bersifat benda dan individualis itu. Ini karena berhala-berhala itu menistakan Rumah Allah dan menyembunyikan Hadirat Allah, yang tak dapat digambarkan atau pun dicerminkan oleh patung atau berhala mana pun jua.”


Ya, kerendahan hati dan puncak kasih sayang, itulah perilaku dan akhlak indah Rasulullah Saw. ketika berhasil meraih kemenangan. Sebagai umat beliau, tidak inginkah kita meneladani perilaku dan akhlak yang sangat indah itu? Semoga.

Friday, February 7, 2014

“Menikmati” Pendaratan Darurat di Marka Airport, Jordania

Mungkin, karena kerap melakukan perjalanan lewat udara Timur Tengah dalam pelbagai musim, saya sedikit tahu karakter cuaca di kawasan yang satu itu. Musim dingin di kawasan itu, menurut saya, merupakan musim yang paling tidak nyaman untuk melakukan perjalanan udara di kawasan itu. Di musim itu pula, saya pernah mengalami sederet kejadian yang kurang mengenakkan dalam perjalanan-perjalanan tersebut. Termasuk merasakan naik pesawat terbang yang memasuki ruang hampa dan tiba-tiba “melayang-layang” seperti layang-layang yang lepas kendali dan tiba-tiba “menikmati” pendaratan darurat di sebuah airport kurang terkenal di Jordania: Marka Airport, ketika dalam perjalanan dari Arab Saudi menuju Jordania seperti yang terjadi tiga minggu yang lalu.

Saat itu, tepatnya Sabtu dini hari, 19 Januari 2014, saya yang berlaku sebagai “komandan” perjalanan, dengan 34 “anak buah”, telah berada di Prince Mohammad ibn Abdul Aziz International Airport, Madinah Al-Munawwarah. “Acara” kami hari itu adalah melakukan perjalanan menuju Jordania, sebelum meneruskan perjalanan menuju Palestina, seusai berumrah dan berziarah ke Kota Nabi. Sekitar pukul 06.15 pagi, pesawat terbang Royal Jordanian dengan nomor penerbangan RJ-723 pun tinggal landas dari Bandara Kota Madinah. Jarak antara Madinah-Amman sekitar 900 kilometer saja, sehingga dapat ditempuh dalam masa sekitar satu jam lima belas menit. Kala itu, para penumpang dapat dikatakan hanya terdiri dari dua kelompok: para jamaah umrah Turki dan Indonesia. Diperkirakan, pesawat terbang yang kami naiki itu akan mendarat di Queen Alia International Airport, Amman pada pukul 08.25 pagi waktu setempat.

Selama dalam perjalanan, hanya awan dan mendung tebal yang menyertai kami. Suasana di luar tampak gelap. Hal itu dapat dimengerti, karena saat itu berada di puncak musim dingin. Saat itu, matahari masih malas “menampakkan senyumnya”. Kemudian, selepas menempuh perjalanan selama sekitar satu jam, pilot mengumumkan, “Para penumpang yang terhormat. Sebentar lagi, kita akan mendarat di Queen Alia International Airport" dan seterusnya.Tidak lama kemudian, pesawat terbang yang kami naiki mulai berjalan pelan dan siap mendarat.

Namun, apa yang kemudian terjadi?

Tiba-tiba pesawat terbang itu naik cepat dan membubung tinggi, seperti saat pesawat terbang itu ketika tinggal landas. Para penumpang terlihat kebingungan. Meski demikian, mereka tidak tampak  panik. Tidak lama kemudian, pilot mengumumkan, pesawat terbang yang dikendalikannya gagal mendarat di Queen Alia International Airport, karena cuaca buruk. Karena itu, pendaratan akan dialihkan ke sebuah airport lain. Dan, sekitar 10 menit kemudian diumumkan, pesawat terbang akan mendarat di Marka Airport. “Marka Airport? Di mana letak airport ini?” gumam saya dalam hati.

Benar saja, tidak lama kemudian pesawat terbang Royal Jordanian itu mendarat di sebuah airport yang belum pernah saya kenal. Ketika pesawat terbang itu mulai melambat jalannya, di sebelah kiri pesawat terbang tampak oleh saya jejeran panjang pesawat dan helikopter tempur. “Oh, ini sih airport militer. Tapi, di mana?” gumam saya kembali. Pelan dan bingung.

Kemudian, ketika pesawat terbang itu berhenti, diumumkan bahwa para penumpang diharapkan sabar menunggu. Setelah menunggu sekitar setengah jam, diumumkan bahwa hanya para penumpang yang turun di Jordania yang boleh turun dari pesawat terbang. Ternyata, hanya kami saja yang turun. Sedangkan para penumpang lain tetap berada dalam pesawat terbang. Dan, segera, kami pun diangkut dengan sebuah bus menuju sebuah bangunan lama. Ketika berada di bangunan itu, suasana sunyi dan dingin karena tanpa heater. Saya pun segera mengumpulkan paspor-paspor para “anak buah”. Lo, ketika saya menuju konter Visa on Arrival (VOA), petugasnya masih tidur di kursi. Begitu dia bangun dan meneliti paspor-paspor kami, dia pun berucap, “Setiap orang harus bayar 30 USD!”

Mendengar ucapan demikian, saya pun menahan diri untuk tidak membayarnya, karena sebelumnya saya telah dipesan bahwa pembayaran visa telah dibereskan oleh pihak penjemput kami dari Jordania. Karena itu, saya pun segera menghubungi orang itu. “Ahmed!” seru orang itu, alias tour guide kami dari Jordania, bernama Abdel Aziz, “Di manakah kalian? Saya telah menunggu kalian sejak pukul 06.30 di gedung baru Queen Alia International Airport.”
“Pesawat terbang yang kami naiki mendarat darurat di Marka Airport,” jawab saya. “Di manakah kami ini?”
“Masya Allah,” seru A. Aziz. “Kalian mendarat di sebuah airport  lama yang terletak sekitar 70 kilometer dari Queen Alia International Airport. Oke, saya segera meluncur ke sana. Sekitar satu jam lagi saya sampai ke sana. Kalian tidak usah membayar visa lagi. Suratnya saya bawa. Sabar ya.”


Kami pun terpaksa menunggu di ruangan yang terasa sangat dingin dan tanpa tempat duduk. Salah seorang “anak buah” saya, yang baru berusia 9 bulan, pun mulai menangis karena kedinginan.  Duh. Dan, akhirnya, setelah menanti sekitar satu jam, Abdel Aziz muncul dan kami pun segera meninggalkan Marka Airport dan menuju Amman, ibu kota Jordania, alhamdulillah.