Wednesday, July 23, 2014

‘ABDUH:
Ulama Terkemuka dan Pembaharu Muslim yang Nyaris Dilupakan?

Muhammad ‘Abduh, seorang ulama terkemuka dan pembaharu Muslim Mesir, tahukah Anda? Jika Anda mengetahuinya, sejatinya itu merupakan hal yang luar biasa.

Lo, mengapa demikian?

Baiklah, kini, kita kembali dahulu ke Kairo pada akhir tahun 1970-an. Tentu Anda tahu, kala itu  Revolusi Islam Iran belum lama membara di Iran. Tidak lama selepas revolusi itu mengguncang negeri yang sebelumnya dipimpin Mohammed Reza Pahlavi, seorang ilmuwan Amerika Serikat dan mantan Rektor American University in Beirut (yang tewas pada Rabu, 14 Rabi‘ Al-Akhir 1404 H/18 Januari 1984  M karena ditembak dua orang bersenjata tidak dikenal di Beirut, Lebanon), Malcolm H. Kerr, datang ke Kairo.

Setiba di Negeri Piramid, penulis sejumlah buku, antara lain Lebanon in the Last Years of Feudalism 1840-1868,The Arab Cold War, Gamel Abd al-Nasr and his Rivals, 1958-1970, Islamic Reform: The political and legal theories of Muhammad Abduh and Rashid Ridā, The Elusive Peace in the Middle East, dan Economics and Politics of the Middle East  ini kemudian menebar kuesioner di antara sejumlah mahasiswa Muslim yang berasal dari pelbagai negara Arab dan sedang menimba ilmu di American University in Cairo. Kala itu, universitas tersebut masih berpusat di salah satu sisi Tahrir Square: jantung revolusi Mesir beberapa tahun terakhir. Universitas itu sendiri mulai beroperasi pada 1337 H/1919 M. Namun, sejak 1429 H/2008 M, program undergraduate dan graduate dialihkan ke sebuah pemukiman baru, New Cairo, yang terletak tidak jauh dari Cairo International Airport, berdampingan dengan Distrik Nasr City.

Nah, apa maksud Malcolm H. Kerr, seorang mantan guru besar kajian Timur Tengah di University of California, Los Angeles, Amerika Serikat,  dalam menebarkan kuesioner tersebut? Kuesioner itu dimaksudkan untuk mengetahui, sejauh mana pengenalan dan pengetahuan mereka tentang tiga pembaharu Muslim di Timur Tengah pada zaman modern: antara lain Muhammad ‘Abduh (perlu dikemukakan, disertasi Malcolm H. Kerr tentang Muhammad ‘Abduh dan  Muhammad Rasyid Ridha dengan judul “Islamic Reform: The Political dan Legal Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida” dan diajukan di Johns Hopkins University, Amerika Serikat, di bawah bimbingan Majid Khadduri dan Sir Hamilton Gibb). Bagaimanakah hasil kuesioner itu? Ternyata, hasil kuesioner itu benar-benar mengejutkan: sebagian besar mahasiswa tersebut tidak mengenal pembaharu Muslim pada zaman modern itu. Padahal, rata-rata para mahasiswa Muslim Arab tersebut berasal dari kalangan kelas menengah ke atas yang tentu saja dipandang cukup memiliki wawasan yang luas.

Oleh karena itu, jika Anda masih mengetahui kisah hidup ulama terkemuka dan pembaharu Muslim tersebut, pengetahuan Anda memang luar biasa. Kini, siapakah ulama terkemuka dan pembaharu Muslim yang nyaris dilupakan para mahasiswa dari sejumlah negara Arab itu?

Tokoh dan pemikir pembaharuan Muslim di Mesir ini lahir di Mehallah Nashr di Provinsi Buhaira pada  1266 H/1849  M  dalam  lingkungan  keluarga  petani.  Selepas  belajar membaca  dan  menulis  di desanya, ia kemudian  menimba  ilmu  di Masjid  Ahmadi  di  Thantha, di bawah  bimbingan  Syeikh  Darwisy Khidhr.  Pada 1285 H/1868 M ia mulai memasuki  Al-Azhar,  sebuah lembaga  pendidikan  terkemuka di  Kairo, Mesir. Selama dua belas tahun  ia  menimba ilmu dan mendalami tasawuf  dan  filsafat  di lembaga ini, sampai ia meraih gelar al-‘âlimiyyah. Pada masa ini pula, tokoh yang telah menikah sejak berusia 16 tahun ini  bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani,  seorang  tokoh pembaharuan  dalam  Islam,  yang  kala  itu  sedang mengunjungi Kairo.

Selepas  merampungkan pendidikannya di Al-Azhar dan  mengajar  di Perguruan Dar Al-‘Ulum (kini merupakan salah satu fakultas  dalam lingkungan  Universitas Kairo), antara 1294-1300  H/1877-1882  M, tokoh  Muslim  yang lebih menaruh  perhatian  terhadap  perbaikan masyarakat  melalui  pendidikan  ketimbang  melalui   pembangunan politik  ini  sering menulis di koran harian  Al-Ahrâm  dan  belakangan menjadi editor Al-Waqâ’i‘ Al-Mishriyyah. Karena terlibat dalam agitasi  terhadap politik dan intervensi militer Inggris di Mesir pada 1300  H/1882 M, ia dituduh termasuk kalangan para pemimpin partai ‘Urabi Pasya dan diusir dari Mesir.

Selepas  menerima perintah pengusiran,  ‘Abduh  kemudian pergi ke Suriah.  Kemudian,  pada  1303 H/1885  M, ia menapakkan kakinya ke Beirut dan tinggal  di  kota itu  selama  tiga  setengah tahun. Lantas,  ia  bergabung  dengan Jamaluddin  Al-Afghani di Paris dan  bersama-sama  menerbitkan majalah  Al-‘Urwah Al-Wutsqâ. Dari Paris, dia kemudian  pindah  ke Tunisia,  selama  beberapa bulan, sambil  berpropaganda  tentang seruannya.  Selanjutnya, ia menapakkan kakinya kembali ke  Beirut. Di kota ini selain mengajar, selama masa ini, ia sempat  menyalin satu-satunya karya Al-Afghani yang cukup berarti, Al-Rad ‘alâ Al-Dahriyyîn.

Pada  1306  H/1888 M tokoh dikatakan begitu longgar  dan  malahan pandangannya  tentang  peran  dan fungsi  akal  terhadap  wahyu disinyalir  lebih liberal daripada kaum Mu‘tazilah ini  diampuni dan  diizinkan kembali ke Mesir. Selepas melalui perantaraan  Lord Cromer dan lain-lainnya. Ia kemudian diangkat sebagai qâdhî, dan kemudian menjadi anggota Majelis Syura Pengadilan. Lantas, pada 1313 H/1895 M, ia ditunjuk sebagai Komite Administratif Al-Azhar,  dan akhirnya  diangkat  sebagai  Mufti Mesir yang  ia  jabat  sampai menghadap  Sang  Pencipta pada Kamis, 8 Jumada Al-Ula  1323  H/11 Juli  1905 M di Alexandria, dengan meninggalkan sejumlah  karya. Antara  lain  Risâlah Al-Tauhîd, sebuah karyanya di  bidang  ilmu tauhid  yang  pertama kali diterbitkan pada 1315  H/1897  M  dan  antara  lain  membahas mengenai keesaan  Allah,  hubungan  agama dengan  filsafat, kebutuhan umat manusia terhadap risalah  para rasul  dan nabi, dan peran Islam dalam membina umat  manusia,  Al-Islâm   wa  Al-Rad  ‘ala  Muntaqidih,  dan  Al-Islâm wa Al-Nashrâniyyah ma‘a Al-‘Ilm wa Al-Madaniyyah.

Ketika tokoh yang satu ini berpulang, menurut Dr. Muhammad Jabir Al-Anshari dalam sebuah karyanya berjudul Tahawwulât Al-Fikr wa Al-Siyâsah fî Al-Syarq Al-‘Arabî, ia “mewariskan” tiga kelompok para muridnya yang tidak seiring dari sisi pemikiran dan politik. Yang satu, dapat dikatakan, mendukung pemikiran yang dikatakan liberal dan yang satu mendukung pemikiran yang dikatakan konservatif. Dua kelompok tersebut, di samping kelompok tengah yang mengikuti garis pemikiran Muhammad ‘Abduh, tetap mewarnai dunia pemikiran dan politik di negeri kelahiran sang ulama hingga saat ini. Dan, mungkin, andai ‘Abduh masih hidup dan menyaksikan perseteruan di antara para murid-muridnya tersebut, ia akan menangis. Sebab, bukan itu sejatinya yang dituju oleh pembaharuan yang digelarnya. Sebuah pelajaran hidup yang menarik: dari pemikiran seorang tokoh dapat timbul dan berkembang aliran pemikiran dan politik yang beragam serta kadang satu sama lainnya saling berseteru. Mungkin, ini terjadi (salah satunya), karena para muridnya memiliki interpretasi yang berbeda atas pemikiran sang guru.

Dan, kini, dengan usainya penyajian kisah hidup Muhammad ‘Abduh, usai pula sudah seri perjalanan hidup sejumlah ulama dan ilmuwan Muslim dari berbagai penjuru dunia yang dapat saya sajikan pada bulan Ramadhan ini. Mungkin, tulisan-tulisan itu membosankan dan menjemukan. Untuk itu, mohon dimaafkan. Tetapi, dengan mengetahui kisah hidup mereka, kiranya kita dapat menyerap hal-hal positif dari kehidupan mereka dan menjadikan semua sebagai “ibrah” bagi kita dan menjadi setetes ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Tentu, masih ada banyak manfaat lain yang kiranya bisa didapatkan dari pengenalan dan pengetahuan tentang perjalanan hidup para tokoh tersebut. Tentu pula, kehadiran kisah-kisah itu tidak dimaksudkan untuk mendewakan mereka.

Sejatinya, masih banyak tokoh-tokoh lain yang akan saya sajikan (dan sekitar 1,100 biografi para tokoh Muslim telah usai saya tulis dan insya Allâh segera akan diterbitkan). Namun, karena ada tugas lain yang harus segera saya siapkan, dengan berat hati seri ini saya cukupkan sampai hari ini saja. Dan, dengan akan hadirnya Hari ‘Idul Fitri, saya dan keluarga menyampaikan permohonan maaf, lahir dan batin, dan “Selamat Hari ‘Idul Fitri”. Kiranya Allah Swt. menerima ibadah puasa Ramadhan dan amal-amal kita. Taqabballâhu Minna wa Minkum min Al-‘Âidin wa Al-Fâ’izîn wa Al-Maqbulîn, Kullu ‘Âm wa Antum bi Khair.


Tuesday, July 22, 2014

ALI MAKSUM:
Kiai Terkemuka yang Piawai Bercerita dan Berwawasan Luas

Senyampang masih berada di lingkungan  Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, kini mari kita  bersilaturahmi sejenak dengan salah seorang kiai kondang yang pernah mengelola pesantren tersebut. Tentu tidak patut, ketika kita berkunjung ke sebuah pondok pesantren, sementara kita tidak sowan dan mengenal tokoh di tempat tersebut.

Setelah KH Munawwir berpulang, pengelolaan pesantren Al-Quran itu kemudian beralih ke tangan dua putranya, KHR Abdullah Afandi dan KHR Abdul Qadir, dan seorang menantunya, KH Ali Maksum. Pada periode itu, Pondok Pesantren Krapyak kian berkembang pesat. Kini, tidak hanya mencetak para hafizh Al-Quran semata, tapi juga mendidik para santri yang belajar dan menimba ilmu-ilmu keislaman lainnya. Selepas KH Abdul Qadir berpulang pada 1961, dan KH Abdullah Afandi menyusul tujuh tahun kemudian, akhirnya pimpinan pondok pesantren kemudian beralih tangan kepada KH Ali Maksum.

Ketika belum berpulang, dan ketika di bulan Ramadhan seperti saat ini, KH Ali Maksum, di luar kegiatan-kegiatannya yang lain, senantiasa memberikan bimbingan kepada para santrinya selepas shalat tarawih, lewat pengajian sebuah kitab hadis, Riyâdh Al-Shâlihîn, yang tebalnya nyaris 500 halaman. Pengajian khusus di bulan Ramadhan itu diberikan hingga sekitar pukul 12 malam. Pengajian yang  diberikan kiai kita ini senantiasa dihadiri ratusan santri. Pasalnya, pengajian itu begitu menarik dan sarat ilmu. Padahal, daras yang ia berikan merupakan daras kering: hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Tetapi, daras itu, di tangan beliau, berubah menjadi daras yang segar dan memikat. Dalam memberikan pengajian tersebut, ia senantiasa memberikan contoh-contoh yang hidup, segar, dan memikat. Juga, diselingi dengan cerita, anekdot, dan humor. Apalagi, ketika ia melihat para santri nyaris tidak kuasa menahan kantuk ketika tengah malam menjelang datang. Contohnya adalah cerita berikut:

“Suatu saat,” ucap kiai kita dengan suara baritonnya, yang meyakinkan para santrinya suatu ketika, ketika menuturkan sebuah cerita, “seorang kiai dari daerah pantai utara Jawa Tengah diajak seorang pengusaha ibukota provinsi itu jalan-jalan ke Hongkong: sebuah kota di sebuah negara di sebelah utara Indonesia. Sebelum berangkat, kiai tersebut “berpamitan” kepada seorang sahabatnya. Ketika mereka berdua bertemu, sang sahabat berpesan, bila kiai dari pantai utara Jawa Tengah itu telah sampai di Hongkong, diharap ia segera berkirim kabar.

Benar, ketika kiai dari pantai utara Jawa itu tiba di Hongkong, ia teringat pesan sahabatnya. Ia pun segera membeli selembar kartu pos bergambar. Kartu pos itu dimasukkan ke dalam sampul, disertai pesan tertulis, “Saya telah tiba di Hongkong. Kotanya secantik gambar ini.” Surat itu kemudian dikirimkan kepada sahabatnya. Ketika surat itu dibuka, betapa kaget sang sahabat melihat gambar yang terdapat pada kartu pos itu: duh, ternyata kartu pos yang menampilkan foto seorang bintang film Hongkong yang aduhai cantiknya dan mengenakan busana nan menantang. “Edan, sahabatku yang satu ini. Awas, balasanku,” gumamnya.

Sang sahabat yang menerima kartu itu, ternyata, tidak kurang akal. “Awas ya, balasan dariku,” gumamnya. Karena ingin melakukan revanche terhadap kiai dari pantai utara Jawa Tengah itu, segera sang sahabat itu pun mengambil sehelai kertas dan menulis sebagai berikut, “Ini ada titipan kartu pos dari sahabat kita yang sedang terbuai oleh keindahan Kota Hongkong!” Kemudian, kartu pos itu ia masukkan ke dalam amplop bersama surat darinya. Selanjutnya, amplop itu ia kirimkan kepada seorang kiai terkemuka di sebuah kota yang terletak beberapa puluh kilometer di sebelah timur Kota Surabaya, Pasuruan. Kiai yang satu itu terkenal sebagai kiai yang sufi. Mereka bertiga, memang, bersahabat sejak muda usia.

Menerima surat dan kartu pos yang “berhiaskan” bintang film dengan busana menantang tersebut, kiai dari Jawa Timur itu kemudian langsung memasukkan kartu pos itu ke dalam amplop disertai sepucuk surat singkat, “Terima kasih atas kiriman kartu posmu. Sayang, saya tidak memerlukan kartu pos itu!” Amplop itu kemudian dikirimkan kepada sahabatnya: kiai yang pertama, kiai dari pantai utara Jawa Tengah.

Betapa terkejut kiai dari pantai utara Jawa Tengah itu menerima amplop yang berisi surat dan kartu pos itu. Gumamnya, “Rasa-rasanya, aku tidak pernah mengirimi dia kartu pos ini.” Tetapi, selepas lama ia berpikir dan merenung, akhirnya ia tertawa sendiri dan berucap, “Senjata makan tuan. Kartu pos ini kan kartu pos yang kukirimkan ke Yogyakarta. Ali memang memang cerdas. Ha ha ha.”

Mendengar cerita tersebut, yang entah benar atau tidak, kantuk para santri pun sirna. Melihat hal itu, kiai kita pun melanjutkan pengajian kitab Riyâdh Al-Shâlihîn.

Itulah sekelumit kisah yang “mewarnai” pengajian segar dan memikat yang diberikan KH Ali Maksum, seorang kiai terkemuka yang juga seorang Guru Besar Ilmu Tafsir di sebuah institut Islam negeri di Yogyakarta. Kini, bagaimanakah kisah hidup kiai yang setiap Hari ‘Idul Fitri senantiasa disowani seorang muridnya, sampai pun ketika si murid menjabat Menteri Agama sekali pun, karena menghormati gurunya yang kiai itu?

Kiai terkemuka dengan sosok yang tinggi besar dan pancaran mata yang begitu  tajam ini lahir di sebuah kota pesisir  utara  perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur, Lasem, pada Selasa, 15 Rabi‘ Al-Akhir 1333 H/2 Maret 1915 M.  Ayahandanya,  Kiai  Haji Maksum, juga seorang kiai terpandang. Sedangkan sang ibunda, yang lebih terkenal  dengan sebutan “Simbah Nyai”, tidak lebih kecil  wibawa dan pengaruhnya dari sang ayahanda. Sebelum  menetap di Yogyakarta, perjalanan hidup Ali Maksum  muda dilaluinya  di  Pondok  Pesantren Tremas,  Pacitan,  Jawa  Timur, sebuah pondok pesantren yang kala itu terkenal sebagai salah satu tempat  penggemblengan  para calon kiai.  Kemudian,  sekitar 1357  H/1938 M, selepas menikah dengan Hasyimah, putri Kiai  Haji Mohammad Moenawwir, pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, ia bertolak ke Makkah untuk belajar di sana. Perang Dunia  kedua memaksanya untuk pulang ke Tanah Air.

Sekembali dari  Tanah Suci, Ali Maksum menetap  Lasem,  untuk membina  pesantren yang didirikan sang ayahanda. Tetapi, kemudian  ia diminta  sang mertua untuk menetap di Yogyakarta, guna  membenahi Pondok  Pesantren  Krapyak. Tampaknya, ia pun  telah  dipersiapkan untuk  menggantikan sang mertua. Bila sang mertua lebih  terkenal sebagai  kiai yang pakar Tahfîzh Al-Quran, sedangkan sang menantu  terkenal sebagai  pakar  Tafsir Al-Quran. Tidak aneh bila  ia  akhirnya diangkat  sebagai guru besar bidang Tafsir Al-Quran di  Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mantan  Rais  Am Syuriah Pengurus Besar Besar  Nahdlatul  Ulama (1401-1404  H/1981-1984  M)  yang terkenal  berwawasan  luas  ini berpulang di Yogyakarta pada Kamis, 8 Jumada Al-Ula  1410 H/7  Desember  1989 M dengan meninggalkan beberapa  karya  tulis. Antara  lain  Mîzân Al-‘Uqûl fî ‘Ilm  Al-Manthiq,  Al-Sharf  Al-Wâdhih, dan Hujjah Ahl Al-Sunnah wa Al-Jamâ‘ah.

Perjalanan hidup kiai kita ini memberikan suatu pelajaran indah: pengajaran suatu materi yang berat, di bidang apa pun, sejatinya dapat disajikan dengan mudah jika ditampilkan dengan segar dan memikat. Apalagi, jika disertai dengan penjelasan dengan wawasan yang luas, seperti halnya yang dilakukan KH Ali Maksum dalam setiap pengajian yang diberikan olehnya!


Monday, July 21, 2014

KH MUNAWWIR:
Perintis Tahfizh Al-Quran di Indonesia

Kini, kita masih di Yogyakarta.

Mungkin Anda tahu, di bagian selatan Kota Pelajar itu tegak sebuah pondok pesantren besar. Ya, itulah Pondok Pesantren “Al-Munawwir”, Krapyak: sebuah pesantren yang terkenal telah melahirkan para ulama dan ahli tentang Al-Quran.

Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, mari kita naik sepeda saja. Kita berangkat dari depan Gedung Agung yang terletak di pusat keramaian Kota Yogyakarta, tepatnya di ujung selatan Jalan A. Yani, dengan mengayuhkan sepeda ke arah selatan. Setelah melintasi perempatan, kita bergerak lurus saja ke arah Alun-Alun Utara. Setelah sampai di alun-alun tersebut, kita belok ke kanan menuju ke arah Jalan Kauman, dengan melintasi Masjid Besar Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Nah, setelah berada di Jalan Kauman, sepeda yang kita naiki kita arahkan ke arah selatan, dengan melintasi Taman Sari. Dari situ, tanyakan ke mana arah menuju Alun-Alun Selatan. Dari alun-alun tersebut, bergeraklah menuju ke arah selatan, menuju ke Jalan Panjaitan. Setelah berada di Jalan Panjaitan, kayuhlah sepeda Anda ke selatan sampai di sebelah kiri Anda menemukan sebuah plang yang bertuliskan Pondok Pesantren “Al-Munawwir”. Ya, di situlah Pondok Pesantren “Al-Munawwir” Krapyak, Yogyakarta berada.

Usia pondok pesantren ini sejatinya cukup lama: 104 tahun. Ini karena awal perjalanan pondok pesantren ini bermula pada 1911. Kala itu, perintis dan pendiri pondok pesantren ini, KH Munawwir, mulai membuka pengajian di Kampung Kauman, tidak lama setelah pulang dari Makkah dan menimba ilmu di Tanah Suci itu selama 21 tahun. Karena jumlah para santrinya kian banyak, maka tempat pengajian itu kemudian dipindahkan ke Desa Krapyak Kulon. Tempat pengajian itu kemudian kian berkembang dan akhirnya menjadi sebuah pondok pesantren. 

Pada awal berdirinya, pesantren ini menekankan pengajaran Al-Quran. Baik dengan membaca langsung (bi al-nadzar) atau dengan hapalan (bi al-ghaib). Kemudian dari pelajaran Al-Quran bi al-ghaib tersebut dilanjutkan dengan pelajaran qirâ’at sab‘ah, tujuh macam bacaan Al-Quran oleh Nafi‘ bin Na‘im (berpulang pada 109 H) dari Madinah, Abu Ma‘bad ‘Abdullah bin Katsir atau Ibn Katsir  (berpulang pada  120 H/738 M) dari  Makkah,  ‘Abdullah bin ‘Amir (berpulang pada 118  H/736 M)  dari Syam, Abu ‘Amr bin Al-A‘la (berpulang pada 154  H/771 M) dari Bashrah, Abu Bakar ‘Ashim bin Abu  Al-Nujud  (berpulang pada 127 H/745 M),  Abu  ‘Imarah Hamzah  bin  Habib  (berpulang pada 216 H/831  M), dan ‘Abdul Hasan  ‘Ali bin  Hamzah Al-Kisa’i (berpulang pada 189 H/805 M),  dari Kufah. Melengkapi pelajaran Al-Quran, diberikan pula pelajaran berbagai kitab fikih, tafsir, dan kitab-kitab agama lainnya.  Karena itu, dapat dikatakan, pendiri pondok pesantren sebagai perintis pendidikan penghapalan Al-Quran secara sistematis di Indonesia.

Kini, bagaimanakah perjalanan hidup pondok pesantren tersebut?

Kiai  Haji Mohammad Munawwir,  kiai yang pendiri  dan  pengasuh Pondok Pesantren Krayak, Yogyakarta ini lahir di Kauman,  kampung para  santri  di  belakang  Masjid  Besar  Keraton  Ngayogyokarto Hadiningrat.  Selepas menimba ilmu di berbagai pesantren,  antara lain  kepada  Syaikhuna Khalil Bangkalan, Madura  dan  Kiai  Haji Saleh nDarat, Semarang, putra kedua pasangan Kiai Haji  Abdullah Rosyad  dan Khodijah ini bertolak ke Makkah, Arab Saudi,  untuk menimba  ilmu. Selama menimba ilmu di Tanah Suci, selama  sekitar 21 tahun, kiai yang telah hapal Al-Quran ketika berusia 10 tahun itu berguru kepada sejumlah ulama besar di Makkah  dan Madinah. Antara lain ia belajar qira’ah sab‘ah kepada Syeikh Yusuf Hajar.
   
Selepas  tiba  kembali  di Tanah Air pada  1327  H/1909  M,  adik kandung  Kiai  Mudzakkir, ayahanda Prof. Abdul Kahar Mudzakkir,  yang  kelak menjadi  tokoh Muhammadiyah,  ini  lantas  membuka pengajian Al-Quran di rumah asalnya, Kauman, Yogyakarta. Ketika pengajiannya  kian berkembang, cucu Kiai Haji  Hasan  Bashari yang  dikenal  pula  dengan  sebutan  Kasan  Besari,  ajudan  dan sekaligus komandan pasukan Pangeran Diponegoro untuk daerah Kedu ketika   menghadapi  pasukan  Belanda,  ini  memindahkan   tempat pengajiannya  ke luar kota. Pilihannya jatuh pada  desa  Krapyak, sekitar 5 kilometer arah selatan Keraton Yogyakarta.

Pada 1328 H/1910 M kiai yang pernah mendapat pesan dari  gurunya, Syaikhuna  Khalil Bangkalan, Madura, “Jadilah  engkau  bagaikan air, diperlukan oleh siapa pun dan kapan pun. Dan, janganlah engkau menjadi   bagaikan  kalajengking,  siapa  yang  melihatnya   akan ketakutan”  ini  pun mulai menempati tempat  baru  yang  kemudian terkenal  dengan nama Pondok Pesantren Krapyak  yang  pembangunan pertamanya  rampung  pada 1346 H/1927 M.  Segera,  pesantren  yang semula  mengkhususkan  pada  kajian  Al-Quran,  yang  qira’ahnya berdasarkan qira’ah Imam ‘Ashim (Abu Bakar ‘Ashim bin Abu Al-Najudi Al-Kufi bin Bahdalah) menurut riwayat Imam Hafsh (Abu ‘Umar Hafsh bin Sulaiman bin Al-Mughirah Al-Bazzaz),   ini berkembang.  Dan,  pengasuh  pesantren ini  kembali  kepada  Sang Pencipta  pada  12 Jumada Al-Tsaniyyah 1361 H/26 Juni  1942  M  selepas melaksanakan shalat Jumat dalam kompleks pesantren yang ia dirikan.

Kini, dapat dikatakan, beberapa pesantren tahfizh Al-Quran besar di Jawa bermuara kepada KH Munawwir. Misalnya Pesantren Yanbu‘ Al-Quran, Kudus (didirikan KH Arwani Amin), Pesantren Al-Mu’ayyad, Mangkuyudan, Solo (didirikan KH Ahmad Umar), Pesantren Al-Asy‘ariyah, Kalibeber, Wonosobo (didirikan KH Muntaha), Pesantren Kempek, Cirebon (didirikan KH Umar Sholeh), Pesantren Benda Bumiayu, Brebes (didirikan KH Suhaimi), dan pesantren Sunan Pandanaran, Sleman, Yogyakarta. Dan, “taburan” benih pengajaran Al-Quran yang dirintis KH Munawwir kini telah membuahkan hasil yang luar biasa. Kini, ribuan penghapal Al-Quran bermunculan di Indonesia. Rintisan dan teladan kehidupan yang indah!


Sunday, July 20, 2014

HASBI ASH-SHIDDIEQY:
Ulama Hadis Terkemuka dan Penulis Produktif  yang “Produk Dalam Negeri”


Yogyakarta, 1973.


Pagi menjelang siang di bulan Maret tahun itu cerah sekali. Waktu saat itu menunjuk sekitar pukul setengah sepuluh pagi. Usai mengikuti kuliah pagi di tingkat baccalaureate di sebuah institut yang tegak di Jalan Adisucipto, seorang mahasiswa, yang sedang duduk di tangga menuju ke lantai dua tempat ia sedang menimba ilmu, melihat seorang lelaki sepuh, dengan usia sekitar 70 tahun, turun dari sebuah mobil kuno. Kemudian, setelah keluar dari mobil, lelaki sepuh itu berjalan pelan dengan ditopang sebuah tongkat di tangan kirinya. Sementara tangan kanan lelaki itu membawa tas butut yang tampak berat. Mungkin, tas itu berisi sejumlah buku.

Melihat lelaki sepuh itu berjalan pelan dengan membawa tas berat, segera mahasiswa itu lari turun dari tangga dan menjemput lelaki sepuh itu. Begitu dekat dengan lelaki sepuh itu, dan seusai mengucapkan salam, lantas ucap si mahasiswa, “Prof., biar saya bawakan tas ini.” Begitu tas itu berada di tangan kanannya, dan kemudian beralih ke tangan kirinya, ia kemudian “menyambar” tangan kanan lelaki sepuh itu dan menciuminya. Betapa kaget lelaki sepuh itu dengan kelakuan si mahasiswa. Lantas, lelaki sepuh yang tidak suka dicium tangannya itu pun berucap pelan seraya memandangi si mahasiswa, “Siapa engkau ini? Mengapa engkau cium tanganku. Apa engkau tidak tahu, aku tidak suka seseorang mencium tanganku?”
“Saya mahasiswa di sini, Prof. Ya, saya tahu. Tetapi, saya sejak kecil dididik ayah saya untuk mencium tangan kanan guru-guru saya setiap kali bertemu mereka, sebagai penghormatan dan rasa terima kasih kepada mereka atas ilmu yang mereka ajarkan. Saya sendiri sudah banyak membaca dan menelaah karya-karya tulis bapak. Karena itu, meski saya belum pernah mengikuti kuliah bapak, saya memandang bapak sebagai guru saya dan karena itulah saya tadi mencium tangan kanan bapak. Mohon maaf bila saya salah.”
“Ya sudah. Tapi, lain kali jangan engkau lakukan lagi.”

Tidak lama selepas itu, dua orang itu kemudian menuju ke sebuah rungan di lantai dua. Kemudian, ketika lelaki sepuh itu memberikan kuliah Ilmu Hadis kepada para mahasiswa tingkat doktoral, mahasiswa yang membawakan tasnya ikut mendengarkan kuliah yang diberikan lelaki sepuh itu, meski sejatinya ia belum pantas mengikuti kuliah di tingkat doktoral. Dan, ketika mendengar kuliah menarik yang diberikan lelaki sepuh itu, mahasiswa itu bergumam pelan, “Aku harus banyak membaca dan tekun belajar. Biar suatu ketika aku memiliki ilmu pengetahuan yang luas seperti profesor itu.”

Siapakah profesor yang dihormati mahasiswa itu?

Itulah Hasbi Ash-Shiddieqy, salah seorang ulama kondang Indonesia.    Bernama lengkap Teungku Muhammad Hasbi Al-Shiddieqy, putra asli  Aceh  ini lahir di Lhokseumawe, Aceh Utara pada  Kamis,  22 Dzulhijjah 1321 H/10 Maret 1904 M. Selaras dengan tradisi yang berkembang kala itu, putra sulung  pasangan suami-istri  Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husain bin Muhammad Su‘ud dan Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz  ini  mendapat  pendidikan  pertamanya  dari  ayahandanya sendiri. 

Selepas  itu,  Hasbi muda menimba ilmu  kepada  beberapa  ulama setempat. Antara lain Teungku Haji Idris. Selain selama bertahun-tahun juga belajar di berbagai pesantren di Aceh  dan memerdalam bahasa  Arab,  ia juga belajar kepada Syaikh Muhammad bin  Salim  Al-Kalali,  pendiri Islam Menjadi Satu di Aceh, yang sangat  berjasa dalam  pembentukan  pemikiran Hasbi lebih lanjut. Sang  guru  ini menyarankan kepadanya untuk menimba ilmu di Perguruan Al-Irsyad Surabaya.

Mengikuti saran Al-Kalali, Hasbi muda kemudian meninggalkan Aceh untuk menuntut ilmu di Perguruan Al-Irsyad, Surabaya. Di ibukota Provinsi Jawa Timur itu,  ia  bertemu dengan gurunya yang  seorang  pemikir  asal Sudan,  Syeikh  Ahmad  Surkati. Seusai  menimba  ilmu  di  Kota Pahlawan,   dengan   mengambil   jurusan   takhashshush,  program spesialisasi  dalam bidang pendidikan dan bahasa  dengan  jenjang pendidikan  selama dua tahun, ia kembali ke Aceh  dan  melibatkan diri  dalam  dunia  pendidikan. Pada 1347 H/1928  M  ia  memimpin Perguruan Al-Irsyad di Lhokseumawe. Tahun berikutnya, ia merangkap sebagai pimpinan Madrasah Al-Huda di Krueng Mane.

Perjalanan   hidup   Hasbi   berikutnya   tetap   sarat    dengan pengabdiannya di dunia pendidikan. Pada 1352 H/1933 M,  misalnya, ia  mengajar  di  Hollandsch Inlandsche  School  (HIS)  dan  Meer Uitgebreid  Lager  Onderweijs (MULO)  Muhammadiyah  di  Kutaraja. Tahun  berikutnya  ia  mendirikan  dan  memimpin  Sekolah   Darul Mu‘allimin  Muhammadiyah  di kota yang sama. Selain itu,  ia  juga menjadi  pengajar  di  Jong  Islamieten  Bond  Cabang  Kutaraja. Lantas,  pada  1360  H/1941 M, ia  mendapat  kepercayaan  sebagai pengajar  di  Ma‘had  Iskandar  Muda  di  Lampaku,  Aceh   Besar. Kemudian,  tujuh  tahun kemudian, ia  menjabat  sebagai  Direktur Sekolah Menengah Islam di Lhokseumawe.

Selepas Indonesia meraih kemerdekaan, ulama yang pakar di bidang ilmu hadis dan juga seorang penulis produktif ini lebih  banyak meniti kehidupannya di Yogyakarta, sebagai guru besar di Institut Agama  Islam  Negeri  Sunan  Kalijaga  dan  Universitas   Islam Indonesia.  Di  antara karya-karya tulisnya adalah  2002  Mutiara Hadis,  Al-Islam, Pedoman Shalat, Pedoman Puasa, Pengantar  Ilmu Fikih, Pengantar Ilmu Hadis, Sejarah dan Pengantar Ilmu  Tafsir, Pokok-Pokok Dirayah Hadis, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, dan Tafsir An-Nur. Karena jasanya dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman  di Indonesia,  pada 22 Maret 1975 Hasbi Ash-Shiddieqy dianugerahi gelar doctor honoris causa dari Universitas Islam Bandung (UNISBA). Dan, guru besar di bidang  Ilmu  Hadis  ini menghadap kepada  Yang  Maha  Kuasa  di Jakarta  pada  Selasa, 6 Dzulhijjah 1395 H/9  Desember  1975  M, ketika   berada   di  karantina  menunggu   keberangkatan untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah, dalam usia 71 tahun.

Perjalanan hidup ulama yang berwawasan luas ini memberikan suatu pelajaran indah: untuk menjadi seorang ulama atau ilmuwan terkemuka tidak harus merupakan produk luar negeri! Hasbi Ash-Shiddieqy adalah salah satu buktinya. Meski ia tidak pernah merantau dan menimba ilmu di luar Indonesia, namun keluasan ilmu dan wawasannya di bidang-bidang yang ditekuninya diakui para ilmuwan dan ulama!


Saturday, July 19, 2014

HASSAN FATHY:
Arsitek Kondang dan “Urakan” yang Pencinta Kaum Papa

Kini, sebelum meninggalkan Mesir, mari kita sejenak jalan-jalan kembali ke ibukota Negeri Piramid itu: Kota Kairo.

Selepas melintasi Gedung Syaikh Al-Azhar, ke arah yang bertentangan dengan Cairo International Airport, segera Anda akan menyaksikan kawasan yang bertebing dan berbenteng di depan Anda. Di sebelah kiri jalan, Anda akan melihat Bukit Muqaththam yang tegak dengan garangnya. Sedangkan di sebelah kanan jalan, mencuat dengan gagahnya Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi dengan Masjid Muhammad ‘Ali yang “menghiasi”  puncak kompleks perbentengan itu.  

Lembaran sejarah menorehkan, Bukit Muqaththam merupakan salah satu saksi pelbagai peristiwa historis sepanjang sejarah Mesir. Termasuk sebagai “pemasok” batu-batu yang digunakan untuk membangun piramid-piramid di Giza. Di bukit itu pula terdapat makam beberapa ulama terkemuka: Ibn ‘Atha’illah Al-Iskandari, Ibn Daqiq Al-‘Id, dan Abu Jamrah, dan pada tahun 1960-an di salah satu sudut bukit itu terdapat gedung Badan Intelijen Mesir. Selain itu, di salah satu sisi puncak Bukit Muqaththam itu tegak Masjid Al-Juyusyi. Masjid itu didirikan Amir Al-Juyusy Badr Al-Jamali, pendiri sejumlah pintu gerbang Kota Kairo dan tangan kanan Dinasti Fathimiyyah. Tidak aneh jika masjid tersebut, seperti tertera dalam relief yang ada di dalam masjid tersebut, disebut sebagai masyhad atau makam seorang syahid. Mungkin, sang panglima ingin menjadikan masjid tersebut sebagai Masyhad  Imam ‘Ali bin Abu Thalib. Masjid itu berukuran kecil. Namun, masjid tersebut memiliki ruang shalat indah yang berhiaskan dekorasi semen indah yang berbentuk buah anggur dan tandan-tandannya. Di sisi lain, masjid ini dihiasi pula dengan sebuah menara yang tingginya hampir setinggi kubah masjid tersebut.

Kemudian, jika Anda berada di kaki Benteng Shalahuddin dan melintasi kawasan kumuh di sekitar kaki benteng itu, nah di situlah tempat tinggal seorang kondang Mesir sebelum ia berpulang. Hassan Fathy, itulah nama arsitek beken itu.

Kini, bagaimanakah kisah hidup Hassan Fathy?

Begawan arsitektur asal Mesir  yang  pada November  1987  M mendapat  gelar  “Arsitek  Terbaik  Dunia”   dari Persatuan Arsitek Internasional ini lahir Jumat, 21 Dzulqa‘dah 1317  H/23 Maret 1900 M  di  Alexandria, Mesir,  dan  lulus sebagai insinyur dari  Institut  Teknik  Kairo pada  usia  25 tahun. Sekitar tahun 1930-an dan  1940-an ia menjadi  arsitek  di Balaikota Kairo,  Departemen  Kepurbakalaan, Kementerian  Pendidikan,  dan sebagai konsultan  pada  UNRWA.  Di tengah  kesibukannya  itu,  ia  masih menyempatkan  diri  mengajar   di Fakultas Seni Rupa, Universitas Kairo (1355-1366 H/1936-1946 M). Ketika  bekerja di Departemen Kepurbakalaan itulah ia mendapat  tugas untuk merancang proyek pemukiman Gourna Baru,  di Mesir  Selatan.  Kisah proyek ini ia  publikasikan  dalam  sebuah tulisan  berjudul   Gourna: A Tale of Two  Villages.  Belakangan, karya  kontroversial ini diterbitkan kembali  oleh  Massachusetts Institute  of  Technology (MIT), Amerika  Serikat,  dengan  judul Architecture for the Poor.

Pada  tahun 1373 H/1953 M Hassan Fathy kembali  berkutat  sebagai staf  pengajar di Fakultas Seni Rupa, Universitas Kairo.  Setahun kemudian,   ia  diangkat  sebagai  Ketua  Jurusan  Arsitektur   di universitas yang sama. Selepas Gourna, ia kemudian merancang  dan membangun  sebuah  sekolah  di Fares.  Kembali  rancangannya  ini menyabet perhatian banyak pihak. Selepas proyek di Fares rampung, ia meninggalkan negerinya menuju Athena, ibukota Yunani.  Suasana politik  yang membelenggu Mesir kala itu membuatnya terpaksa  meninggalkan tanah  air yang ia cintai itu. Ia menetap di Athena hingga 1382 H/1962 M, bekerjasama dengan Doxiadis. Selama berada di kota kuno  itu,  ia menangani sejumlah proyek, antara  lain  perumahan rakyat di Irak dan rancangannya tentang Kota Masa Depan.

Pada  tahun 1960-an, selain menangani proyek-proyek tadi,  Hassan Fathy juga menggarap sejumlah proyek lain. Di antaranya penyiapan pemukiman  baru  Baris  di oase Kharjah.  Kemudian,  arsitek  yang menghadap  kembali kepada Yang Memilikinya pada Kamis, 1  Jumada Al-Ula  1410  H/30 November  1989  M  ini  mulai  menangani rancangan  desain rumah-rumah pribadi, di Mesir dan Arab  Saudi. Selama  menapaki kehidupannya 15 tahun terakhir,  sejumlah  gelar doktor  “honoris causa”, award, medali, dan hadiah telah diterima Hassan Fathy.

Mungkin, Anda membayangkan, tempat tinggal arsitek beken di lingkungan Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi itu, yang lebih terkenal dengan sebutan “Qal‘ah” atau “Citadel”, merupakan sebuah tempat tinggal megah dan indah. Dengan kata lain, layak dengan namanya yang tinggi menjulang. Tetapi, ternyata, tempat tinggal “arsitek urakan” yang terletak di lantai empat itu nyaris tiada bedanya dengan tempat tinggal penduduk di sekitarnya. Perabot rumah tangganya pun tidak mewah. Meski demikian, di tempat tinggal yang sederhana itulah ide-idenya yang cemerlang lahir.

Memang, bagi arsitek yang sangat mengagumi kubah masjid, khususnya Masjid Ahmad bin Thulun yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya, rumah bukanlah sekadar tempat meniti kehidupan. Rumah, menurutnya, merupakan ungkapan budaya dan kepribadian seseorang yang menempatinya. Di sisi lain, kecintaan Hassan Fathy kepada kaum papa membuat ia kerap mengeluh ketika melihat perkembangan kota dan pemukiman baru. Ucapnya, “Kita telah memunggungi rumah ‘ayahku’. Kini, rumah kita bukan lagi rumah ‘ayahku’, tapi rumah Paman Sam. Setiap langkah di baliknya adalah dolar! Tampaknya kini arsitektur Amerika Serikat yang paling dominan. Apa akibatnya? Rumah menjadi tempat tinggal yang asing. Manusia yang menghuninya ikut menjadi asing. Kita jadi kebingungan, mengapa kita kerap resah dan gampang marah? Ini semua karena bangunan modern yang kerap kita banggakan sejatinya tidak cocok untuk penduduk negeri ini. Juga, tidak sesuai sebagai tempat tinggal mereka. Lihatlah bangunan-bangunan buruk itu! Bukankah bangunan-bangunan itu merupakan penjungkirbalikan arsitektural dan kultural?”

Tidak aneh jika, hingga akhir hayatnya, Hassan Fathy tetap kuat memegang ide-idenya yang merupakan perpaduan tiga unsur: manusia-arsitektur-seni. Baginya, paduan tiga unsur itu merupakan syarat utama suatu bangunan: manusia dengan segala tuntutan fisik, psikis, dan intelektualnya, arsitektur dengan segala tuntutan konstruksi, teknis, dan kulturalnya, dan seni dengan segala tuntutan estetis, visual, dan terapannya!


Friday, July 18, 2014

ZEWAIL:
Ilmuwan Muslim yang Penerima Hadiah Internasional Raja Faisal dan Hadiah Nobel

Selepas dari Kota Kairo, kini mari kita sejenak pergi ke sebuah kota yang terletak sekitar 225 kilometer di sebelah utara ibukota Mesir itu. Kota Alexandria, atau Iskandariah dalam bahasa Arab, itulah nama kota itu.

Mungkin, Anda pernah mengunjungi kota yang satu ini. Jika pernah ke sana, tidak salah jika Anda berpandangan bahwa kota yang satu ini  merupakan sebuah kota pantai indah yang membentang panjang sekitar 32 kilometer di tepi Laut Mediterania. Sebuah kota indah, memang. Namun, di balik keindahannya, sejatinya sejarahnya yang panjang juga “menyimpan” sejarah pergolakan pemikiran luar biasa yang kerap sarat duka. Kota yang terletak di tepi Laut Mediterania ini, menurut torehan sejarah, dibangun Alexander Agung. Tokoh yang berhasil menaklukkan tiga benua itu ingin mengabadikan namanya, pada 332 SM, pada sebuah megalopolis baru yang akan menjadi pusat pemerintahan kekaisaran yang ia bangun. Berdirilah kemudian Kota Alexandria.

Dewasa ini, jika Anda berada di jantung Kota Alexandria, yang di masa kuno juga disebut Ad Aegyptum (berarti “dekat Mesir”) dan telah berusia ribuan tahun serta pernah menjadi pusat budaya dunia, tentu Anda merasa seakan sedang berada di Eropa, ketika Anda sedang menikmati pemandangan indah sepanjang Sungai Danube di Vienna, Austria atau Sungai Seine di Paris, Perancis. Gaya arsitektur bangunan-bangunan kota di tepi Laut Mediterania ini memang banyak mengadaptasi gaya arsitektur bangunan-bangunan di Eropa.

Lantas, jika Anda berdiri di tepi Al-Geish Avenue, yang terdiri dari sepuluh jalur, di sisi kiri jalan dari arah Istana El-Montazah, di situ Anda akan melihat sebuah bangunan megah berbentuk silinder miring. Itulah gedung baru Perpustakaan Alexandria yang dirancang Snøhetta, sebuah biro arsitektur Norwegia. Nah, setelah “menikmati” Perpustakaan Alexandria baru tersebut, berjalan kakilah Anda ke arah Benteng Qait-Bey. Setelah melangkah beberapa saat, di sisi kiri Anda akan terlihat gedung Universitas Alexandria. Sekilas bangunan itu tidak menarik perhatian. Tentu saja, karena sebelumnya perhatian Anda telah “tersedot” oleh pesona Perpustakaan Alexandria baru. Tetapi, di universitas itulah salah seorang pemenang Hadiah Nobel di bidang kimia pernah menimba ilmu sebelum ia ber“kelana” ke Amerika Serikat. Ilmuwan itu tidak lain adalah Prof. Dr. Ahmed Hassan Zewail.

Barang kali Anda juga tahu, hingga dewasa ini ada tiga tokoh Mesir yang menerima Hadiah Nabel di bidang-bidang yang berbeda: Anwar Sadat (1398 H/1978 M) di bidang perdamaian, Naguib Mahfouzh (1408 H/1988 M) di bidang sastra, dan yang terakhir adalah Ahmed Hassan Zewail (1420 H/1999 M) di bidang kimia. Tokoh yang pertama dan kedua mungkin Anda  mengenal mereka. Sedangkan tokoh ketiga, kenalkah Anda? Baiklah, kini, bagaimanakah kisah hidup ringkas ilmuwan Muslim yang meraih Hadiah Nobel di bidang kimia itu?

Sejatinya, ilmuwan  Muslim  yang  pertama  kali menerima  Hadiah  Nobel di bidang kimia ini tidak lahir di sebuah kota besar seperti halnya Kota Alexandria. Tetapi, ia lahir  di  Damanhur, Mesir, (terletak di antara Alexandria dan Rosetta) sebuah kota kecil yang hanya berjarak sekitar 60 kilometer dari  kota yang pernah menjadi saksi kisah percintaan antara Cleopatra VII dan Marcus Antonius. Tokoh kita ini lahir pada  Selasa, 24 Rabi‘ Al-Awwal 1365 H/26 Februari   1946  M.  Selepas  merampungkan  pendidikan  tinggi   di Universitas Alexandria, Mesir, pada 1387 H/1967 M, putra seorang pegawai negeri  ini lantas meniti karier di lingkungan almamaternya sebagai mu‘îd, alias asisten dosen. Namun,  dorongan untuk  mengembangkan diri kemudian memacunya  untuk  meninggalkan negerinya,  untuk  menimba  ilmu di Amerika  Serikat, dua tahun kemudian.  Di  negeri adikuasa   tersebut,  putra pasangan suami-istri Hassan Ahmed Zewail dan Rauhiyyah Dar ini  berhasil  meraih  gelar   Ph.D   dari Universitas Pennsylvania pada 1393 H/1973 M tentang  spektroskopi pasangan-pasangan molekul.

Selepas  meraih  gelar  doktor,  pencinta berat lagu-lagu Umm Kultsum, seorang penyanyi legendaris (virtuoso) Mesir, ini (lagu-lagu yang senantiasa ia dengarkan hingga kini ketika benaknya sedang gelisah dalam menghadapi suatu problem ilmiah)  tidak  kembali  ke negerinya. Tetapi, ia mengajukan lamaran kerja ke lima posisi: tiga di Amerika Serikat, satu di Jerman, dan satu lagi di Belanda. 

Selepas diterima  di kelima posisi tersebut, Zewail kemudian memilih meniti karier  di lingkungan  Universitas  California, Berkeley,  Amerika  Serikat. Segera,  karier  ilmiahnya  berpendar cemerlang. Dua tahun kemudian, ia pindah ke California Institute of Technology  (Caltech) dan  akhirnya  ia  berhasil menjadi guru besar kimia Linus Pauling Chair dan Direktur National Science Foundation Laboratory for Molecular Sciences di perguruan  tinggi tersebut.  Di  sisi lain, berkat sederet karya  dan  penemuannya, penemu  femto  kedua  ini  berhasil  meraih  sederet  hadiah  dan penghargaan,  antara lain Robert A. Welch Prize  Award,  Benjamin Franklin  Medal, Leonardo Da Vinci Award of Excellences,  Rontgen Prize,  Paul Karrer Gold Medal, Bonner Chemiepreis, Medal of  the Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences, Carl Zeiss Award, Hoechst  Award,  Alexander von Humbolt Award, Herbert  P.  Broida Prize, Linus Pauling Medal Award, E.O. Lawrence Award, Chemical Sciences Award, J. G. Kirkwood Medal, Peking University Medal, Pittsburgh Spectroscopy Award, First E. B. Wilson Award, Richard C. Tolman Medal Award,  William H. Nichols Medal Award, Merski Award,  Faye Robiner Award, Golden Plate Award, City of Pisa Medal,  Medal of “La Sapienza” (“Wisdom”), Médaille de l’Institut du Monde Arabe, G. M. Kosolapoff Award, Sir C. V. Raman Award,  Arab American Award, Medal of University of Buenos Aires, Medal of National University of Cordoba, Jubilee Medal of National Research Council of Egypt, 150th Anniversary Medal of the French Chemical Society, Gold Jubilee Medal (50th Anniversary) of Assiut University, Jabir Ibn Hayyan (“Geber”) Medal, MIT Lifetime Achievement Award,  700th Anniversary Medal, Universidad Complutense de Madrid, Othmer Gold Medal, Arab American of the Year Award, Pioneer in Photonics Award,  375th Anniversary Celebration Medal, G. Robert Oppenheimer Medal, Gilbert Newton Lewis Medal,  Sir Humphrey Davy Medal, Sven Berggren Prize, Medal of the University of Tunis, Mendel Medal of Villanova University,  dan World Harmony Award of University of California.

Penghargaan  demi  penghargaan  atas  karya-karya  suami  seorang dokter, Dema Zewail (putri seorang penerima Hadiah  Internasional Raja  Faisal  yang  dikenal Ahmad Hassan Zewail selepas  ia  menerima  hadiah tersebut pada 1989 M) dan ayah empat orang anak yang pakar laser dan  menetap  di San Marino, California  ini   berpuncak dengan   keberhasilannya  menerima   Hadiah  Internasional   Raja Faisal  di bidang sains tahun 1409 H/1989 M dan Hadiah  Nobel  di bidang kimia tahun 1420 H/1999 M. Mengapa Hadiah Nobel dipandang layak diberikan kepada ilmuwan Muslim yang kala itu menjabat guru besar di California Institute of Technology (Caltech) itu? Akademi Ilmu Pengetahuan Swedia berpandangan, Zewail “membuat terjadinya revolusi di bidang kimia (brought about a revolution in chemistry)”, sehingga memungkinkan para ilmuwan “melihat gerakan-gerakan atom-atom individual (to see the movements of individual atoms).” Sedangkan Komite Hadiah Nobel mengakui bahwa karya Zewal melempangkan jalan bagi para ilmuwan untuk “memahami dan memprediksi reaksi-reaksi (kimiawi) penting (to understand and predict important [chemical] reactions).”

Perjalanan hidup ilmuwan Muslim yang pemegang dwi-kewarganegaan  ini, Amerika Serikat dan Mesir, memberikan sebuah pelajaran indah: hadiah ilmiah paling bergengsi di dunia pun dapat diraih siapa pun dan dari manapun serta meski berasal dari desa tertinggal sekalipun. Ini seperti halnya yang dialami Prof. Dr. Ahmed H. Zewail, seorang ilmuwan Muslim penerima sekitar 40 gelar doctor honoris causa, dari berbagai universitas di berbagai penjuru dunia, dan kini menjadi anggota Majelis Penasihat di Bidang Sains dan Teknologi Presiden Obama, selain menjadi guru besar kimia dan fisika Linus Pauling Chair dan Direktur Physical Center for Ultrafast Science & Technology di Caltech!


Thursday, July 17, 2014

‘ABDUL HALIM MAHMUD:
Syeikh Al-Azhar yang Berani Berkata Tidak kepada Penguasa

Selepas  dua hari yang lalu Anda “menikmati”  Kota Istanbul, kini mari sejenak kita berjalan-jalan sekitar 1,250 kilometer ke arah barat daya, ke Kairo, ibukota Mesir. Tentu, Anda tahu kota yang satu ini.

Ketika Anda melintasi Salah Salem Street dari arah Cairo International Airport, kemudian perjalanan Anda melintasi persimpangan antara Salah Salem Street dan Jawhar Al-Qa‘id Street, di kawasan Darasah, di sebelah kanan Anda akan terlihat sebuah bangunan megah di pojokan. Gedung itu tidak lain adalah markas besar Syeikh Al-Azhar (Idârah Al-Azhar Al-Syarîf) yang dalam bahasa Inggris disebut Grand Sheikh Al-Azhar. Nah, di gedung itulah sejatinya pelbagai persoalan keislaman dikaji dan dikelola. Baik di tingkat Mesir maupun Dunia Islam,

Jabatan Syeikh Al-Azhar tersebut sangat bergengsi. Ini karena pemegang jabatan tersebut membawahi sebuah lembaga yang disebut Al-Azhar Al-Syarif, sebuah lembaga pendidikan tertua di Dunia  Islam. Berbeda dengan Lembaga Al-Azhar Al-Syarif, yang telah berusia lebih dari seribu tahun, gelar “Syeikh Al-Azhar” yang diberikan kepada seseorang yang menjadi “panglima tertinggi” lembaga tersebut baru dipakai  pada 1101  H/1690  M.  Pemegang  pertama  jabatan  itu  adalah  Syeikh Muhammad  ‘Abdullah Al-Kharrasyi. Hingga tahun  1355  H/1936  M, jabatan Syeikh Al-Azhar dapat diwariskan. Kemudian, sejak 1366 H/1946 M,  keluar aturan  yang  membolehkan  pemegang  jabatan  itu  berasal   dari luar lingkungan Al-Azhar. Pengangkatan pemegang jabatan ini ditetapkan Kepala Negara Mesir. Dalam perjalanan sejarah jabatan  ini, sebagian besar para pemegangnya berasal dari Mazhab Syafi‘i.
Pemegang jabatan Syeikh Al-Azhar sendiri memimpin lima lembaga: Majelis Tinggi Al-Azhar,  Lembaga  Penelitian Islam, Biro Kebudayaan  dan  Missi Islam,  Universitas  Al-Azhar, dan Lembaga  Pendidikan  Dasar  dan Menengah. Majelis Tinggi Al-Azhar merupakan lembaga tertinggi yang menggariskan kebijaksanaan umum Al-Azhar. Majelis ini terdiri dari Syeikh  Al-Azhar (sebagai Ketua), Wakil Syeikh  Al-Azhar,  Rektor Universitas  Al-Azhar, para dekan berbagai fakultas di lingkungan Universitas Al-Azhar, empat  orang  dari Lembaga Penelitian Islam, seorang  wakil  dari berbagai  departemen  Mesir,  Kepala Biro  Kebudayaan  dan  Missi Islam, Direktur Pendidikan Dasar dan Menengah Al-Azhar, dan tiga pakar pendidikan tinggi.

Sejatinya, jabatan Syeikh  Al-Azhar merupakan jabatan umat, semacam kepausan di kalangan para pengikut Agama Kristen Katolik. Kurang lebih begitu, tetapi tidak sama persis. Ini karena di Dunia Islam yang beraliran Sunni tidak dikenal sistem seperti itu. Di sisi lain, jabatan itu merupakan jabatan independen dan otonom yang memiliki otoritas penuh tanpa campur tangan pemerintah. Tetapi, sejak Presiden Anwar Sadat berkuasa, pemerintah Mesir mulai berusaha menggoyang kedudukan Syeikh Al-Azhar, dengan tujuan supaya pemerintahan Mesir dapat  melakukan campur tangan di dalamnya. Ini karena sebenarnya jabatan  Syeikh Al-Azhar setara kedudukannya dengan jabatan Perdana Menteri. Namun, usaha yang dilakukan Presiden Anwar Sadat senantiasa kandas di tangan kewibawaan seorang Syeikh Al-Azhar yang kala itu dijabat Prof. Dr. Syeikh ‘Abdul Halim Mahmud.

Siapakah ulama kharismatik yang wajahnya memancarkan keteduhan dan kesejukan ini?
  
Syeikh Al-Azhar Mesir ke-40,  yang  juga terkenal  sebagai  seorang pemikir Muslim terkemuka  dan  penulis yang  produktif,  ini  lahir  di  Desa Abu Ahmad (sekarang disebut Desa  Salam),  Bilbis,   Provinsi Syarqiyah  pada Selasa, 29 Rabi‘ Al-Akhir 1328 H/10 Mei 1910 M. Ia dalam  lingkungan keluarga yang terkenal dermawan dan penghapal Al-Quran. Nama lengkapnya sejak lahir adalah ‘Abdul Halim bin Mahmud bin ‘Ali bin Ahmad. Selepas menimba  ilmu-ilmu  keislaman di tempat kelahirannya,  pada  1342 H/1923  M ia memasuki dunia pendidikan di  lingkungan  Al-Azhar: Perguruan  Awwaliyyah. Sembilan tahun  selepas  itu,  ia berhasil  meraih  gelar  al-‘âlimiyyah termuda sepanjang  sejarah  Al-Azhar,  dalam usia 22  tahun.  Lantas,  ia bertolak  ke  Paris, Perancis, untuk menimba ilmu  di  Universitas Sorbonne dengan biaya sendiri.

Ketika  anak keturunan ‘Ali bin Abu Thalib dari  garis  ayahandanya ini  sedang  meniti  pendidikan  di  Kota Cahaya tersebut,  Perang  Dunia   II berkecamuk dan menyelubungi negeri itu. Meski demikian, ia  tetap melanjutkan pendidikannya. Sehingga, akhirnya, gelar doktor dari universitas terkemuka di Paris tersebut, di bidang tasawuf, ia raih  pada 1359  H/1940  M di bawah bimbingan seorang  orientalis  terkemuka Perancis kala itu, Louis Massignon. Disertasinya tentang  seorang tokoh  sufi terkemuka pada masa pertengahan: Al-Harits bin  Asad Al-Muhasibi.   Dan,  karena  suasana  perang  kala  itu   sedang mencekam, ia terpaksa pulang ke negerinya dalam waktu yang  cukup lama, dengan melewati Tanjung Harapan, Afrika.

Setiba  di  Mesir,  ulama dan ilmuwan  yang  acap  menghadiri berbagai pertemuan Islam internasional ini diangkat menjadi  staf pengajar  di  bidang  ilmu  jiwa  di  Fakultas  Bahasa  Arab   di almamaternya. Pada 1371 H/1951 M tugasnya dipindahkan ke Fakultas Ushuluddin di universitas yang sama. Lantas, pada 1384 H/1964  M, ulama  yang  pernah menjadi penasihat  keagamaan  Presiden  Anwar Sadat ini diangkat menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin. Pada tahun yang sama ia juga menjadi anggota Lembaga Riset Islam (Majma‘ Al-Buhuts Al-Islâmiyyah). Jabatan Menteri Wakaf Mesir dipegang ulama yang berpendapat bahwa “tasawuf  adalah jalan yang selamat, akomodatif, dan  konstruktif bagi  kehidupan dan kemajuan” ini pada 1390 H/1970  M.  Sedangkan jabatan tertinggi Al-Azhar, Syeikh Al-Azhar, menggantikan Muhammad Al-Fahham, diduduki ulama  yang juga menjabat dosen terbang di beberapa perguruan tinggi  seperti Universitas Zaitunah di Tunisia dan Universitas Islam di  Libya ini sejak 1393 H/1973 M.

Nah, baru selepas Prof. Dr. ‘Abdul Halim Mahmud berpulang di Kairo, pada Selasa, 14 Dzulqa‘dah 1398 H/17 Oktober 1978 M, mulailah tangan pemerintah Mesir masuk ke dalam otoritas Syeikh Al-Azhar. Di sisi lain, sejatinya jabatan Syeikh Al-Azhar bukan hanya milik ulama Mesir. Tetapi, jabatan tersebut merupakan milik Dunia Islam. Siapa pun ulama dan tokoh Dunia Islam, termasuk Anda, berhak menjadi Syeikh Al-Azhar. Bila terpilih tentunya. Meski begitu, selama ini baru sekali jabatan itu dipegang seorang ulama non-Mesir. Memang unik posisi Lembaga Al-Azhar dan jabatan sebagai Syeikh Al-Azhar!


Kewibawaan seperti halnya yang ada pada diri Prof. Dr. ‘Abdul Halim Mahmud, tentu, tidak tumbuh bila tokoh yang satu ini tidak memiliki kepribadian yang kuat, jujur, amanah, merendah, berilmu, serta memiliki integritas yang senantiasa terjaga  baik. Sehingga, karena semua itu, kewibawaan ulama terkemuka yang satu ini tidak “tersedot” dalam kewibawaan seorang presiden yang juga memiliki kewibawaan yang juga kuat. Teladan yang indah!

Wednesday, July 16, 2014

AL-FARUQI:
Ilmuwan Palestina yang Memilih Berjuang Lewat Pena

Beberapa hari terakhir, nyaris setiap hari saya mengikuti channel tivi Al-Jazeera, untuk menyimak berita dengan topik berjudul “Gaza under Fire”. Entah kenapa, ketika sedang mengikuti perkembangan menyedihkan yang menimpa kawasan Gaza, Palestina,   sebuah negara di kawasan Timur Tengah ini  berbatasan dengan  Sungai Jordania di sebelah timur, Laut Tengah di  sebelah barat,  Lebanon  di  sebelah utara, dan  Gurun  Sinai  dan  Teluk Aqabah  di sebelah selatan itu tiba-tiba ingatan saya “melayang-layang” jauh ke sana. Dan, tidak lama kemudian teringat seorang ilmuwan Muslim Palestina yang berpulang 27 tahun yang silam, pada bulan Ramadhan seperti saat ini. Ilmuwan itu tidak lain adalah Prof. Dr. Isma‘il Raji Al-Faruqi.

Kini, bagaimanakah kisah hidup sang ilmuwan?

Seorang pakar keislaman terkemuka  yang pendiri  Pusat  Pengkajian Islam di Universitas  Temple,  Amerika Serikat  ini  lahir di Jaffa, Palestina pada Sabtu,  21  Rabi‘ Al-Akhir  1339  H/1 Januari 1921  M.  Selepas merampungkan  pendidikannya  di Sekolah Dominika Perancis, de  Freres,  di  Lebanon, putra  seorang  qâdhî dan ulama, ‘Abdul Huda  Al-Faruqi,  ini memasuki Universitas Amerika di Beirut. Lantas, selepas  menyabet gelar  sarjana muda, tokoh kita ini menjadi pegawai pemerintah  Palestina  di bawah  mandat  Inggris  dan kemudian  diangkat  menjadi  Gubernur Galilea.  Ketika  wilayah itu jatuh ke tangan Israel, maka pada 1368 H/1948 M ia berhijrah ke Amerika Serikat.

Di  negara  adidaya  itu penulis lebih dari dua  puluh  buku  ini menapaki  dunia akademis. Pada 1369 H/1949 M ia  berhasil meraih gelar Master of Arts (MA) dari Universitas Indiana.  Gelar master of arts kedua  ia  dapatkan dari Universitas  Harvard  dengan  judul  On Justifying  the  Good:  Metaphysic  and  Epistemology  of  Value. Lantas,  gelar  Ph.D  ia peroleh pada  Dzulhijjah 1371 H/September  1952  M  dari Universitas  Indiana.  Selepas merampungkan program  sarjana, ia kemudian menimba ilmu di Al-Azhar, Kairo, Mesir selama sekitar empat tahun (1954-1958 M).

Perjalanan  hidup  presiden dua kali The  Association  of  Muslim Social  Scientists,  yang didirikannya pada 1392  H/1972  M,  ini kemudian  lebih banyak terarah pada dunia akademis. Antara  lain, misalnya,  pada  1379  H/1959  M  ia  menjadi  staf  pengajar  di Universitas  McGill,  Montreal, Kanada.  Selanjutnya,  dua  tahun kemudian,  ia  terlibat  dalam  kegiatan  Central  Institute  for Islamic  Research,  Pakistan. Dua tahun  kemudian  ia  menapakkan kakinya   di  Universitas  Chicago,  sebagai  guru  besar.   Dari universitas tersebut, ia kemudian pindah ke Universitas Syracuse.

Di sisi lain, selepas menjadi seorang ilmuwan, putra Palestina ini senantiasa berusaha mengabdikan dirinya dalam usaha memartabatkan kembali ilmu-ilmu Islam atau lebih terkenal sebagai Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Tidak aneh jika ia tidak pernah lelah dalam menggemakan gerakan perjuangan intelektual. Dengan kata lain, suatu gerakan ilmiah yang mengajak umat Islam agar giat memelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Untuk itu, ia berusaha memanfaaatkan dan menyelaraskan khazanah warisan ilmiah Islam dengan ilmu-ilmu modern. Tujuannya adalah untuk melahirkan suatu sintesia ilmu yang begitu berharga: paduan antara antara ilmu-ilmu wahyu dan ilmu-ilmu rasional.

Selepas dari Universitas Syracuse, ternyata   Universitas  Temple  menjadi  universitas  terakhir   yang menerima kehadirannya sebagai guru besar hingga ia tewas  bersama istrinya,  Lois  Lamya Al-Faruqi, pada tengah  malam  Selasa,  18 Ramadhan  1406  H/27  Mei  1987  M,  di Wyncote,  Pennsylvania,  Amerika Serikat oleh  seseorang yang tidak dikenal. Sedangkan putrinya, Anmar Al-Zein, meski mengalami banyak luka di tubuhnya, nyawanya terselamatkan.

Selain sebagai ilmuwan, salah  seorang pelopor pendirian The International  Institute  of Islamic  Thought  ini juga seorang penulis yang produktif. Karya-karya tulisnya, antara lain, adalah Tawhid: It’s Implications for Thought and Life, Islamization of Knowledge, Christian Ethics: A Historical and Systematic Analysis of Its Dominant Idea,, Trialouge of the Abrahamic Faiths, The Life of Muhammad, Urubah and Religion, Particularisme in the Old Testament and Contemporary Sect in Judaism, The Great Asian Religion, dan Historical Atlas of the Religions of the World, dan The Cultural  Atlas  of  Islam, sebuah  karya  yang  ia susun bersama istrinya, Lois Lamya Al-Faruqi.

Perjalanan hidup Prof. Dr. Isma‘il Al-Faruqi memberikan suatu pelajaran indah: medan perjuangan tidak hanya di medan pertempuran saja dan daya gentar perjuangan intelektual kadang tidak kalah kuat dampaknya ketimbang perjuangan lewat senjata. Kiranya, perjuangan sang ilmuwan, di pentas perjuangan intelektual, ada yang meneruskannya!