Saturday, October 18, 2014

SEPENGGAL CERITA CAK SHON

Tadi malam, ketika malam kian beringsut pelan, dan suasana di rumah tiada lagi diwarnai keriuhan suara anak-anak yang mengaji Al-Quran, sementara istri berada jauh di Pulau Seram, Maluku serta dua putri saya sedang “menikmati perjuangan mereka” di Jakarta, saya pun duduk di depan laptop yang menyala sejak dini hari. Kemudian, entah kenapa, tiba-tiba muncul pikiran untuk menelusuri kehidupan para mahasiswa Indonesia di negeri orang. Dan, selepas lama “berkelana”, pencarian itu akhirnya berakhir di sebuah blog milik seorang mahasiswa Indonesia yang menyebut dirinya Cak Shon. Lembar demi lembar blog mahasiswa s-3 University of Nottingham, Inggris itu pun saya simak. Entah kenapa, mungkin karena saya orang yang dikaruniai usia lebih dari 60 tahun, pandangan saya tertarik dengan tulisannya tentang masa tua.
“Kawan, apa yang kau pikirkan tentang sebuah hari tua?,” tulis Cak Shon ketika memulai tulisannya tentang sepenggal cerita di hari tua. “Di hari ketika raga kita semakin tak berdaya. Ketika kulit kita mulai kendur, wajah kita tak setampan dan secantik di kala muda lagi. Otak pun tak lagi tajam dalam berfikir. Perlahan, kita pun kehilangan memori ingatan kita. Hari-hari ketika kita semakin mendekati ketidakberdayaan. Hari-hari ketika tak ada lagi yang bisa kita sombongkan. Sebelum akhirnya, kita pun musnah. Benar-benar tiada dari panggung kehidupan dunia yang sementara ini.
Sebagian dari kita mungkin membayangkan hari tua yang indah. Menikmati manis buah perjuangan ketika muda, bersama lucunya cucu cicit kita. Hari tua yang penuh kehangatan kasih sayang orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita. Hari-hari ketika kita semakin dekat dan mengenal Tuhan, yang ketika muda sering kita lupakan. Hari-hari ketika kita semakin bijak memaknai kehidupan. Yang coba kita abadikan dalam goresan tulisan sebagai warisan abadi untuk anak turun kita.
Kawan, kita pun tak ingin membayangkan akan hari tua yang penuh sepi kesendirian. Tiada hari berlalu tanpa kesedihan. Hari-hari penuh rintihan penyesalan. Ketika orang-orang tiada lagi memperhatikan. Hari-hari menunggu penuh ketakutan akan datangnya misteri gelap. Sebuah kematian.”
Usai menulis demikian, Cak Shon kemudian menuturkan tentang sepenggal kehidupan masa tua di negeri orang, Kota Nottingham, “Kawan, pagi sekali hari ini hatiku menangis. Ketika aku menyaksikan seorang perempuan tua di hari tuanya. Dia yang tidak bisa baca tulis sejak lahir, di usianya yang semakin renta, dia masih harus bekerja sangat keras membanting tulang. Hanya sekadar untuk bertahan hidup.
Kawan, malam tadi kembali hatiku menangis. Saat aku kembali dari kampus, aku saksikan lagi-lagi seorang perempuan tua, tertatih keluar dari rumahnya. Mencoba berjalan, tangannya merayapi tembok, kakinya tak mampu menyangga tubuhnya yang ringkih. Rupanya, dia hanya ingin membeli kentang dan ikan goreng. Beruntung aku menemukannya, dan aku bisa membelikannya. Terlihat senyum dan wajahnya yang teramat dalam, ketika bibirnya bergetar berucap berkali-kali , “God Blesses You.”
Konon, cerita sedih di hari tua di negeri yang konon tingkat kemakmuranya tertinggi di atas bumi ini adalah cerita biasa. Semoga kita ditakdirkan memiliki hari tua yang indah. Allâhumma âmîn.”
Allâhumma âmîn,” bibir saya pun pelan mengaminkan doa Cak Shon. 

Thursday, October 9, 2014

DELAPAN PEDOMAN HIDUP

Suatu  saat seorang Tuan Guru kondang bertanya kepada salah seorang muridnya, “Muridku, sejak kapan engkau menimba ilmu kepadaku?
“Sejak tiga puluh tahun, Tuan Guru,” jawab si murid dengan suara pelan dan seraya menundukkan kepalanya.
Mâsyâ Allâh!  Apa saja yang engkau pelajari  selama tiga puluh tahun itu?  tanya Tuan Guru selanjutnya. Sangat penasaran.
“Delapan persoalan, Tuan Guru,” jawab si murid. Tetap dengan suara pelan dan tetap dengan kepala tertunduk.
Innâ  lillâhi  wa innâ ilaihi râji‘ûn. Terbuang  percuma  sajalah umurku  bersamamu.  Selama tiga puluh tahun engkau hanya  memelajari  delapan  persoalan saja?” tanya Tuan Guru. Sangat terperanjat. Dan, tentu saja, sangat penasaran.
“Benar, Tuan Guru,” jawab si murid pelan.  “Selama itu, saya  tidak mempelajari  hal-hal yang lain. Sungguh, Tuan Guru. Itulah yang saya pelajari dan lakukan selama itu.”
“Baiklah. Jika demikian, paparkan   delapan   persoalan   itu kepadaku. Aku ingin   sekali mendengarkannya.”  
“Yang pertama,”  jawab si murid, tetap dengan nada suara pelan, “ketika anak manusia yang  hidup di  dunia  ini saya cermati, saya perhatikan, setiap orang ingin punya kekasih  dan ingin bersama dengan kekasihnya hingga ke liang kubur. Namun, ketika  dia telah  sampai  ke  liang  kubur,  ternyata  dia  berpisah   dengan kekasihnya. Karena itu, saya pun menjadikan perbuatan baik  sebagai kekasih saya.  Sebab, bila saya  masuk ke dalam kubur, masuk pulalah  kekasih saya bersama saya.
“Benar sekali apa yang engkau kemukakan, muridku. Lantas, yang kedua apa?
“Ketika  firman  Allah Swt, “Dan adapun  orang-orang  yang  takut pada  kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari  keinginan  hawa nafsunya, maka surgalah tempat tinggalnya.” (QS Al-Nâzi‘ât, [79]: 40-41) saya renungkan,  saya benar-benar meyakini bahwa firman Allah Swt. tersebut  benar.  Karena itu, saya lalu berusaha menolak hawa nafsu. Sehingga, dengan demikian, saya tetap taat kepada-Nya.
“Indah sekali jawabannmu. Lantas, yang ketiga?
“Ketika anak manusia yang ada di dunia ini saya renungkan, ternyata saya lihat setiap  orang ingin memiliki harta benda,  menghargainya,  memandangnya bernilai,  dan memeliharanya. Kemudian, saya merenungkan firman  Allah Swt., Apa yang di sisi kalian akan lenyap dan apa yang ada di  sisi Allah adalah kekal.” (QS Al-Nahl, [16]: 96). Karena itu, setiap  kali saya mendapatkan sesuatu yang berharga dan  bernilai,  sesuatu itu pun  saya hadapkan kepada Allah Swt. Semoga sesuatu itu kekal dan terpelihara di sisi-Nya.
Mâsyâ Allâh, indah sekali jawabanmu. Yang keempat?
“Tuan Guru, ketika  pandangan saya terarah kepada anak manusia yang ada di dunia  ini,  saya perhatikan setiap  orang  senantiasa menaruh  perhatian  terhadap  harta, jabatan,  kemuliaan, dan keturunan. Lalu, ketika semua itu saya cermati, tiba-tiba nampak semua itu tiada artinya. Kemudian,  saya lantas merenungkan firman Allah Swt., Orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah  adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS Al-Hujurât [49]: 13). Karena itu, saya pun bertakwa kepada-Nya. Kiranya saya menjadi orang mulia di sisi Allah.
“Benar sekali jawabanmu, muridku. Lantas, yang kelima?
“Ketika anak manusia yang hidup di dunia ini saya perhatikan, ternyata  mereka suka  saling  menohok  dan  mengutuk  satu  sama  lainnya.  Penyebab semuanya itu adalah perasaan dengki. Kemudian, saya pun memperhatikan  firman Allah  Swt., Kami telah menentukan di antara  mereka  penghidupan mereka dalam kehidupan di dunia.” (QS Al-Zukhrûf [43]: 32)  Karena itu,  perasaan  dengki pun saya tinggalkan dan diri saya  pun  saya jauhkan dari orang banyak. Saya tahu, saya akan mendapatkan pembagian rezeki dari sisi Allah Swt. Karena itu, permusuhan orang banyak kepada saya pun saya abaikan.
“Menarik sekali, muridku. Yang keenam?
“Ketika anak manusia yang hidup di dunia ini saya cermati, ternyata mereka suka  berbuat kedurhakaan dan berperang satu sama lain.  Saya  pun kembali  pada firman Allah Swt., Sungguh, setan  adalah  musuhmu. Karena itu, jadikanlah dia sebagai musuh(mu).” (QS Fâthir [35]: 6). Karena itu pula,  setan pun saya pandang sebagai musuh saya satu-satunya. Dan, saya  pun sangat  berhati-hati  terhadapnya, karena  Allah  Swt.  menyatakan setan sebagai  musuh saya. Dan, permusuhan antarmanusia pun saya tinggalkan.
“Duh, indah sekali jawabanmu, muridku. Yang ketujuh?
“Ketika  anak manusia yang hidup di dunia ini saya perhatikan,  ternyata saya  lihat setiap  orang  berusaha memburu sekeping dari dunia  ini.  Lalu,  dia menghinakan   diri  padanya  dan  memasuki   bagiannya   yang terlarang. Kemudian, saya pun merenungkan firman Allah Swt., Dan, tidak ada suatu  binatang  melata  pun di  Bumi  melainkan  Allah-ah  yang memberikan  rezekinya.” (QS Hûd [11]: 6). Saya pun menjadi  tahu,  ternyata diri saya ini  termasuk binatang melata yang rezekinya ada di tangan  Allah Swt. Karena itu, saya pun lantas melakukan sesuatu  yang menjadi hak Allah atas diri saya, saya tinggalkan  segala sesuatu yang  menjadi  hak  Allah  atas  diri saya, dan saya tinggalkan segala sesuatu yang menjadi hak saya di sisi-Nya.
“Luar biasa indah jawabanmu, muridku. Lantas, yang kedelapan?
“Ketika  anak manusia  yang hidup di  dunia  ini saya perhatikan,  ternyata setiap orang menggantungkan  diri  pada  yang selain dirinya.  Yang ini pada bendanya. Yang itu pada perniagaannya. Yang lain  lagi  pada  perusahaannya. Dan,  yang  satunya  lagi   pada kesehatan badannya. Masing-masing orang bergantung pada sesamanya. Lalu, saya pun kembali pada firman Allah  Swt.,  Dan, barang siapa  yang  bertawakkal kepada Allah,  niscaya  Allah  akan mencukupi  keperluannya.” (QS Al-Thalâq [65]: 3). Karena itu, saya  pun berserah diri kepada Allah Swt. Ternyata, Allah Swt. mencukupi segala keperluan saya.
“Muridku,” ucap Tuan Guru memungkasi perbincangan di antara mereka berdua.  “Kiranya Allah Swt. melimpahkan karunia-Nya  kepadamu!  Sejatinya, segala ilmu yang ada di dalam Taurat,  Injil, Zabur,  dan  Al-Quran mulia telah saya pelajari dan renungkan. Ternyata, aku mendapatkan, segala  persoalan kebaikan dan keagamaan dalam kitab-kitab suci itu berkisar  pada  delapan persoalan tersebut. Dengan kata lain, barang siapa melaksanakannya, berarti dia telah melaksanakan kandungan keempat kitab tersebut!