Thursday, March 10, 2016

SEVILLA DAN LA GIRALDA

Sevilla! Akhirnya, aku menengokmu!”

Demikian ucap pelan bibir saya, ketika sebuah pesawat yang kami (saya, istri, dan dua sahabat) naiki dari Barcelona mendarat di Sevilla Airport. Sejak sebelum berangkat ke Andalusia, kami memang merancang setidaknya dalam kelana itu kami mengunjung Madrid, Barcelona, Sevilla, Cordoba, Medina Az-Zahra, dan Granada.

Setelah meninggalkan bandara dan merampungkan urusan tempat menginap, segera kami pun berjalan kaki menyusuri pelbagai sudut Sevilla (baca Sebiyya). Tujuan kami pagi itu adalah mengunjungi La Giralda dan senja harinya kami ingin “menikmati” Tarian Flamenco.  Tentu, Anda pernah mendengar tarian dengan bunyi suara hentakan kaki kuat di lantai yang memikat tersebut, “Tak, tak, tak, tak, tak, tak…”.  Sambil berjalan pelan, kami pun menikmati berbagai bangunan dan pemandangan lain di seputar kota yang pernah  bernama Hispalis.

Kini, bagaimanakah sejarah ringkas kota yang pernah dikelola kaum Muslim ini?

Selain bernama Hispalis, kota yang berada di ketinggian 7 meter di atas permukaan laut ini pernah diduduki Julius Caisar. Tak aneh jika nama kota itu, kala itu, juga dikenal dengan sebutan “Colonia Julia Romula”. Selain itu, kota yang menjadi ibu kota Provinsi Cordoba ini pernah diduduki bangsa Vandal dan dijadikan sebagai ibu kotakerajaan mereka.

Kaum  Muslim   mulai memasuki kota yang terletak di bagian selatan Semenanjung  Iberia ini  pada  94 H/712 M, lewat pasukan Dinasti Umawiyah  di  bawah pimpinan  Musa bin Nushair, seorang jenderal Muslim yang memimpin perluasan wilayah kekuasaan dinasti tersebut ke Semenanjung Iberia. Kala itu, kota ini masih bernama  Hispalis. Kemudian,  setelah jatuh ke tangan  mereka,  dengan  gubernur pertamanya:  ‘Abdul ‘Aziz ibn Musa bin Nushair,  namanya pun diubah  menjadi   Isybilyah.  Selama  itu,  banyak  para  pendatang   dari Semenanjung  Arab, terutama dari Yaman. Setelah  sang  gubernur pertama  itu berpulang, pada 98 H/716 M, ibukota Andalusia dipindahkan ke Cordoba.

Ketenangan  kota  yang indah ini  mulai  terusik  akibat  gempuran   pasukan Normandia  pada  230  H/844 M dan 241 H/855 M.  Namun,  kota  ini terselamatkan oleh kedatangan pasukan dari Cordoba yang kala  itu di bawah pimpinan ‘Abdurrahman Al-Ausath. Selepas itu, terutama  pada masa  pemerintahan  ‘Abdurrahman  III  Al-Nashir,  kota   ini mengalami  masa keemasannya. Kemudian, dengan tumbangnya  Dinasti Umawiyah  di  Cordoba,  kota yang terletak di tepi Sungai Guadalquivir (dalam bahasa Arab disebut “Wâdî Al-Kabîr”) ini  dengan  wilayah  di  sekitarnya memroklamasikan  diri  sebagai  kerajaan.   Kekuasaan   Kerajaan Sevilla  ini  kian  mantap selama di  bawah  pimpinan  Dinasti ‘Abbadiyah yang menguasai kota ini sejak 414 H/1023 M.

Pada  558  H/1163  M, Andalusia jatuh ke tangan Dinasti Al-Muwahhidun, di bawah pimpinan Sultan Abu Ya‘qub Yusuf bin ‘Abdul Mu’min. Penguasa itu pun segera menabalkan dirinya sebagai penguasa Andalusia. Dan, 9 tahun kemudian, ia mendirikan sebuah masjid agung nan megah dan indah di pusat Kota Sevilla. Menara masjid agung yang kini tegak di Distrik Santa Cruz itulah yang disebut La Tour de Giralda atau La Giralda saja. Pembangunan masjid agung itu sendiri baru rampung pada 595 H/1198 M. Kemudian, ketika Sevilla jatuh ke tangan pasukan Spanyol  di bawah pimpinan Raja Ferdinand III pada 646 H/1248  M, masjid   tersebut  diubah  menjadi  Katedral   Sevilla.   Sedangkan menaranya memiliki  tinggi 96 meter, pada 993  H/1585  M, kemudian diubah menjadi tempat lonceng yang berlanggam renaisans.

Selain  sebagai menara, La Giralda juga dimanfaatkan  kaum  Muslim sebagai observatorium astronomis. Konon, menjelang kejatuhan Sevilla   ke  tangan  pasukan  Spanyol,  kaum  Muslim   berniat membumi hanguskan  Masjid Sevilla beserta Giralda,  karena  mereka tidak  ingin  bangunan yang sangat indah itu  tersebut  jatuh  ke tangan  lawan.  Namun, karena Pangeran Alfonso X-kelak  menjadi raja   yang   ahli  astronomi- mengancam:  jika   bangunan   itu dibumi hanguskan maka seluruh kaum Muslim Sevilla akan  dibunuh, akhirnya  bangunan  itu  akhirnya  terselamatkan.  Dan,  di  sini pulalah   Copernicus   mengkaji   khazanah   astronomis   yang ditinggalkan  Raja Alfonso X, berjudul Tablas Astronomicas Alfonsies.

Selepas Kota Sevilla jatuh ke tangan Raja Ferdinand III (596-650 H/1200-1252 M), pada 646 H/1248 M, masjid dari batu bata yang diplester ini diubah menjadi katedral berlanggam Gotik  dengan nama Katedral Santa Maria de la Sede. Shahn (ruang terbuka di dalam masjid) masjid yang satu masih dapat disaksikan hingga dewasa ini. Kini, shahn tersebut menjadi Lapangan Patio de los Naranyos. Di tengah lapangan itu terdapat sebuah kolam yang terbuat dari marmer. Dulu, kolam itu merupakan tempat wudhu. Pintunya, di sebelah barat, terbuat dari tembaga yang dihiasi dengan ukiran dan kaligrafi Arab. Bangunan yang masih utuh hingga kini adalah menaranya, La Giralda, yang didirikan pada 580 H/1184 M. Di bagian dalam menara itu terdapat tangga spiral menuju ke puncak menara.

Nah, jika Anda berkunjung ke Sevilla, sebaiknya kunjungi pula La Giralda. Siapa tahu, Anda mendapatkan inspirasi suatu ide yang Anda inginkan. 


Tuesday, March 8, 2016

MASJID CORDOBA

Entah kenapa, tadi pagi, ketika sedang memandangi ribuan huruf yang sedang “bermain-main” di laptop, tiba-tiba benak terlempar jauh, ke Cordoba, Spanyol, dan teringat perjalanan saya ke kota itu dua tahun yang lalu.

Lembaran sejarah menorehkan, kota yang berarti “Mempelai Perempuan Kota-Kota itu”, sebelum jatuh ke tangan kaum Muslim, berada  di bawah naungan Toledo yang kala itu menjadi ibukota Spanyol bersatu. Kemudian, tidak lama selepas pasukan kaum Muslim memasuki Andalusia pada 93  H/711 M, kota cantik di atas atas  Sungai Guadalquivir, di dataran luas dan subur di kaki Gunung  Sierra Morena, itu dijadikan sebagai ibukota penguasa  Muslim. Di kota yang cantik itu pulalah, pada 139 H/756 M, ‘Abdurrahman Al-Dakhil, pendiri  Dinasti  Umawiyyah  di  Andalusia,  menyatakan  dirinya sebagai penguasa. Dan, pada masa pemerintahan penguasa itulah  Masjid Cordoba yang megah dan tetap “mewarnai” kota  itu hingga kini mulai dibangun.

Sang penguasa  membangun masjid  ini sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah  Swt.  atas kemakmuran  yang dicapai kawasan yang ia pimpin.  Juga,  sebagai imbangan Masjid Umawi di Damaskus yang megah dan indah.  Konon, dia  sendiri  yang mempersiapkan rancangan  bangunan masjid ini. Kala itu, masjid ini memiliki ukuran panjang 65 meter, sama dengan panjang ruang utama shalat, dan lebar 75 meter, di samping memiliki shahn lapang yang memiliki luas yang sama dengan luas ruang shalat masjid itu.

Pada 180 H/796 M Hisyam Al-Ridha, putra ‘Abdurrahman Al-Dakhil, menambah baris ruang shalat yang berada di sisi shahn. Perhatian yang sangat besar terhadap masjid ini juga diberikan penguasa ke-4 Dinasti Umawiyyah di Cordoba, ‘Abdurrahman Al-Ausath. Semula, pada 218 H/833 M, ia melakukan perluasan kecil pada masjid ini. Namun, karena melihat jumlah jamaah yang kian banyak, seiring dengan perkembangan Kota Cordoba, maka pada 234  H/848 M ia menambah kedalaman ruangan shalat sebanyak delapan baris ke arah kiblat (yakni ke arah selatan menuju ke Sungai Guadalquivir) dan memindahkan dinding kiblat ke tempat yang baru. Selain itu, dia juga melengkapi masjid ini dengan sebuah mihrab baru yang indah. Dengan penambahan tersebut, ukuran masjid ini pun menjadi 130 x 75 meter, termasuk shahn.

Perluasan tersebut disempurnakan dengan pembuatan pelbagai dekorasi pada masjid ini oleh Pangeran Muhammad ibn ‘Abdurrahman Al-Ausath pada 241 H/855 M. Selepas itu, pada 340 H/951 H, ‘Abdurrahman Al-Nashir mendirikan sebuah menara baru di ujung paling utara dinding shahn masjid ini. Menara tersebut dibuat berbentuk benteng raksasa yang memiliki dua balkon untuk melantunkan azan. Menara tersebut masih sediakala hingga dewasa ini meski telah diubah menjadi menara untuk tempat lonceng gereja. Selain itu, ‘Abdurrahman Al-Nashir juga melengkapi masjid ini dengan banyak dekorasi.

Di sisi lain, kala itu ‘Abdurrahman Al-Nashir berpendapat, masjid ini tidak boleh tidak harus diperluas untuk ketiga kalinya. Karena itu, ia memerintahkan putranya, Al-Hakam, yang kala menjadi penguasa bergelar Al-Mustanshir, untuk menjadi pemimpin proyek perluasan yang baru rampung pada 351 H/961 M. Perluasan ini, seperti perluasan sebelumnya, menuju ke arah selatan. Untuk itu, dinding mihrab dipindahkan 35 meter ke arah selatan. Dengan demikian, karena adanya penambahan baru sebanyak 12 baris, masjid ini menjadi mencapai tepi Sungai Guadalquivir. Selain itu, dibuat sebuah mihrab baru yang menjadi salah satu puncak keindahan di bidang arsitektur dan seni ukir dalam sejarah arsitektur Islam. Sedangkan kedalaman ruang shalat menjadi 75 meter. Dengan kata lain, apabila shahn ikut dihitung, panjang masjid menjadi 105 meter.

Perluasan keempat atas Masjid Cordoba ini dilakukan Al-Manshur Muhammad ibn Abu ‘Amir yang bertindak otoriter pada masa pemerintahan Hisyam Al-Mu‘ayyad. Perluasan tersebut baru rampung pada 377 H/987 M. Perluasan tersebut dilakukan pada seluruh panjang masjid di sebelah timur. Dalam perluasan tersebut, Al-Manshur berusaha sekuasa mungkin supaya selaras dengan bentuk dan semangat secara umum bagian-bagian lainnya masjid ini. Meski perluasan tersebut tidak seratus persen orisinal, yang menjadi ciri khas ketiga bagian lainnya masjid ini, namun lewat perluasan tersebut masjid ini kian luas melebih luas semua masjid yang ada di Dunia Islam kala itu. Dalam hal ini yang paling menarik ialah masjid ini tetap sediakala hingga dewasa ini, sebagai saksi pencapaian kaum Muslim di bidang teknik dan arsitektur.

Masjid ini diubah menjadi sebuah katedral ketika penguasa Spanyol menguasai kembali Cordoba pada 634 H/1236 M. Pada abad ke-8 H/14 M di sisi barat masjid ini-yang dibangun pada perluasaan yang dilakukan ‘Abdurrahman Al-Ausath-didirikan sebuah katedral kecil atas perintah Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Selepas itu, yakni pada abad ke-10 H/16 M, tepatnya pada 930 H/1523 M, di jantung masjid ini didirikan sebuah katedral besar yang terkenal dengan  nama  “La Mezquita”. Bangunan katedral ini menyita sepersepuluh luas  masjid ini.  Sejatinya, pembangunan katedral terakhir tersebut ditentang Kaisar Carlos V, dengan alasan pembangunan tersebut merusak tampilan indah ruang shalat masjid yang membanggakan tersebut. Anehnya, hingga dewasa ini ruang shalat masjid ini masih terpelihara dengan sebagian besar keindahan dan kemegahannya.


Masjid Cordoba dapat dikatakan merupakan saksi bahwa kaum Muslim sejak dulu tidak hanya piawai tentang masalah ibadah murni semata. Tapi, mereka juga andal di bidang-bidang lain. Semoga, kini dan ke depan, demikian pula!