Monday, April 4, 2016

IN MEMORIAM: ACHMAD NOE’MAN


Ciparay, Bandung, 1987.

“Mas, sebaiknya tanah kosong ini dimanfaatkan untuk apa? Lahan luas begini kok tampak kosong.”

Demikian ucap istri saya, kala itu sedang menjabat sebagai Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Pakutandang, Ciparay, Kabupaten Bandung, kepada saya seraya memandangi bukit kecil indah di belakang Puskesmas. Kala itu, kami menempati rumah dinas puskesmas yang memiliki luas sekitar 4.000 meter persegi. Selain rumah dinas dan bangunan puskesmas, di lahan tersebut juga telah kami lengkapi dengan balong alias kolam ikan mas dan nilai. Meski demikian, lahan tersebut terasa masih kosong.

“Bagaimana jika di ujung akhir lahan ini kita dirikan masjid?” jawab saya.
“Oh, ide yang bagus. Tetapi, sebaiknya kita dirikan sebuah masjid kecil, tapi indah, yang pas dengan lahan itu. Mas kenal arsitek yang dapat merancang masjid yang demikian itu?”
“Saya kenal Pak Achmad Noe’man, seorang arsitek yang merancang Masjid Salman ITB. Tetapi, kita kan tidak punya banyak dana.”
“Coba temui beliau. Barang kali beliau berkenan merancangkan masjid kecil tapi indah seperti yang saya dambakan. Siapa tahu, beliau mau membantu kita.”

Beberapa hari selepas perbincangan di hari Ahad itu, saya pun menemui Pak Achman Noe’man di biro arsitek beliau, Birano, yang berada di Jalan Ganesha no. 3 Bandung, tidak jauh dari kampus Institut Teknologi Bandung. Selepas berbagi sapa beberapa lama, akhirnya saya kemukakan maksud kedatangan saya. “Rofi’, seminggu lagi datang ke sini ya. Insya Allah, rancangan masjid yang Rofi’ maksudkan sudah saya siapkan,” jawab beliau.

Benar, seminggu kemudian saya datang menemui kembali beliau. Masya Allah, ternyata rancangan masjid itu benar-benar telah siap. Ketika saya menanyakan tentang biaya perancangannya, beliau hanya tersenyum dan kemudian berucap pelan, “Rofi’. Jangan pernah menanyakan lagi biayanya ya. Doakan, semoga hal itu dapat menjadi amal saya kelak, ketika saya menghadap Allah Swt.”
“Jazakumullah ahsanal jaza’, Pak Noe’man. Semoga doa bapak diijabah Allah Swt., amin.”

Setahun kemudian, masjid kecil dan indah itu tegak di lingkungan Puskesmas Pakutandang.

Itulah kenangan terindah yang “membara” dalam benak saya, ketika tadi siang saya mendengar Bapak Ir. Achman Noe’man berpulang. Sejak itu, saya menganggap beliau sebagai ayah, pencerah, dan sahabat saya. Terakhir saya bertemu dengan beliau ketika beliau berkunjung ke Pesantren Mini kami di Baleendah, Kabupaten Bandung. Beliau, yang telah berusia 90 tahun, datang dengan didampingi seorang sahabat yang juga boss sebuah penerbit di Kota Bandung: Ammar Haryono. Sekitar dua jam beliau berkunjung ke pesantren kami. Ternyata, sebulan selepas kunjungan itu beliau berpulang. Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un.

Siapakah Achmad Noe’man?

Arsitek  Muslim  kondang yang  terkenal  pula sebagai perancang piawai masjid tanpa kubah ini lahir di  Garut pada  Jumat, 11 Rabi‘ Al-Awwal 1343 H/10 Oktober 1924 M.  Selepas merampungkan pendidikannya di Hollandsch Inlandsche School  (HIS) dan   Meer   Uitgebreid  Lager  Onderweijs   (MULO)   di   tempat kelahirannya, di samping menimba ilmu di madrasah, putra Haji Mas Djamhari  ini  lantas meneruskan sekolahnya di  Sekolah  Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah Ketanggungan, Yogyakarta.

Ketika   Indonesia  memasuki  “zaman  revolusi”,  Noe‘man   muda bergabung  dengan  Divisi  Siliwangi dan  ditugaskan  di  Jakarta sambil  sekolah  di Sekolah Menengah Atas Republik.  Lantas  pada 1368  H/1948  M  ia memasuki jurusan  bangunan  Fakultas  Teknik, Universitas Indonesia (kini menjadi Institut Teknologi  Bandung). Tetapi,  ia merasa kurang “nyaman” di bagian itu. Kebetulan  kala itu terjadi penyerbuan pasukan Belanda atas Yogyakarta. Maka,  ia tidak melanjutkan kuliahnya dan memasuki Corps Polisi Militer  di Bandung  dengan pangkat letnan dua. Karier militer ini ia  tekuni sampai 1373 H/1953 M.

Ketika  di  almamaternya  dibuka  jurusan  arsitektur,  perancang Masjid  Salman  di  lingkungan Institut  Teknologi  Bandung  ini lantas  mengundurkan diri dari tugas militer dan memasuki  bidang yang   ia gandrungi  itu.  Ia  memilih  bidang   itu   karena, menurutnya,  “ada nilai-nilai yang cocok untuk beramal saleh  dan dengan pensil dan kertas ia bisa berdakwah”. Pendidikan di bidang ini, yang mengantarkannya menjadi arsitek yang menurutnya  “harus memiliki  kepribadian yang jujur, independen, dan  kompeten”,  ia rampungkan pada 1378 H/1958 M.

Seusai  menempuh  pendidikan  tingginya  tersebut,  arsitek  yang berdarah  Jawa ini sebetulnya hendak dikirim  ke  Kentucky, Amerika  Serikat,  untuk  mengambil program  master.  Tetapi,  ia memilih tidak berangkat dan membuka sebuah biro arsitektur dengan nama “Birano” yang merupakan singkatan dari “Biro Arsitek  Achmad Noe‘man”.  Lewat  biro  itu ia  melahirkan  sederet  karyanya  di bidangnya, antara lain Masjid Salman ITB, Masjid Al-Furqan,   dan Masjid  Al-Markaz Al-Islami di Makassar.  Tentang  pengalamannya dalam  merancang  Masjid  Salman  yang  tanpa  kubah,  ia  pernah menuturkan, “Tahun  1959,  saya merancang Masjid Salman, waktu  sudah  lulus. Yang  namanya  arsitek bisa dihitung dengan jari.  Ada  peristiwa yang  menarik. Sekarang ini, mahasiswa yang tidak  shalat  justru aneh.  Kalau dulu, justru yang shalat dianggap aneh.  Teman-teman ada yang bilang, wah... salam ya pada Tuhan. My greeting to  God. Ya  kita  acuh saja. Yang namanya di kampus, di ITB  lagi,  harus membuat   masjid.   Akhirnya   saya   bongkAl-bongkar   literatur arsitektur.  Malah, saya sempat naik haji. Mampir ke Regent  Park di  London, waktu itu belum jadi. Lalu ke Bonn, Muenchen, ke  Aya Sofia.  Saya mencari acuan. Ketemu Surah Al-Taubah.  Jangan  kita membuat  masjid yang mengakibatkan riya’, gitu kan.  Saya  justru mencari nilai-nilai yang universal, yang transendental. Jadi saya hilangkan   itu   bentuk   kubah.  Memang,   berat   juga   waktu menghilangkan kubah dari rancangan kita. Itu kan ciri kita.”

Di  samping  itu, Achmad Noe‘man juga aktif di  berbagai  kegiatan lain, antara lain menjadi anggota Majelis Arsitek Ikatan  Arsitek Indonesia   (IAI),  anggota  Dewan  Kehormatan  Ikatan   Nasional Konsultan   Indonesia  (INKINDO),  anggota   Persatuan   Insinyur Indonesia (PII), dan Ketua Yayasan Universitas Islam Bandung.


Selamat jalan, Pak Noe’man.