Tuesday, August 16, 2016

KITA HARUS PUNYA MIMPI

Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn, lahu Al-Fâtihah.”


Demikian, gumam pelan bibir saya ketika tahu kewafatan seorang ilmuwan  Muslim  yang  pertama  kali menerima  Hadiah  Nobel di bidang kimia, Prof. Dr. Ahmed H. Zewail, lewat berita di Al-Jazeera Online yang saya baca tadi pagi.

Memang, saya terlambat tahu, tentang kepulangan ilmuwan Muslim asal Mesir tersebut sekitar dua minggu yang lalu. Tepatnya, pada 2 Agustus 2016. Meski saya tidak banyak tahu banyak tentang dunia ilmiah yang digeluti ilmuwan yang satu ini, karena saya tidak pernah mendalami bidang sains dan teknologi, namun saya kerap teringat sambutan yang ia berikan di Pasadena, California, ketika memberikan sambutan di Caltech pada 10 Juni 2011, dengan judul “We Must Dream”. Dalam sambutan tersebut, ilmuwan tersebut antara lain mengemukakan,

“When I came to the United States in 1969, I was not dreaming of a Nobel Prize (or a Pulitzer prize), nor I was dreaming of acquiring a Bill Gates fortune. Armed with the excellent education I received in Egypt, I was simply on a quest for knowledge and a Ph.D. degree from a reputable institution in this land of opportunity. Incidentally, my English was so poor that at restaurants, I used to order “deserts” for desserts.

America was a magnet for many members of my generation because of its leadership in science and technology and its unique democratic values. The historic landing of Neil Armstrong on the moon in 1969 was enough to demonstrate America’s outlook on the new frontiers of knowledge. I was aware of Edison’s dictum, “Genius is one percent inspiration and ninety-nine percent perspiration”, and I took advantage of being in the right place at the right time -- of being in America and at Caltech.

In fact, it was Caltech’s ambiance and the country’s system of support that made it possible for a young assistant professor to carry out, with his team, research that in only ten years time would define a discipline that was recognized by the Nobel Prize in 1999.

People often ask me, how does one get a Nobel Prize, and what is the secret of success? (And incidentally, the same people had no interest in asking this question before I received the prize.) I believe it was passion for science that supplied the energy and it was optimism that made the almost-impossible, possible.

My dear graduates, success comes to the prepared mind. Success is not like rain that falls from the sky equally upon everyone. Success is what you reap when you sow with passion and optimism.

Siapakah Prof. Dr. Ahmed H. Zewail?

Tokoh yang satu  ini  lahir  di  Damanhur, Mesir, sebuah kota hanya sekitar 60 kilometer dari  Alexandria, pada  Selasa, 24 Rabi‘ Al-Awwal 1365 H/26 Februari   1946  M.  Selepas  merampungkan  pendikan  tinggi   di Universitas Alexandria, Mesir, putra seorang pegawai negeri  ini lantas meniti karier di lingkungan almamaternya. Namun,  dorongan untuk  mengembangkan diri kemudian memicunya  untuk  meninggalkan negerinya,  untuk  menimba  ilmu di Amerika  Serikat.  Di  negeri adikuasa   tersebut,  ia  berhasil  meraih  gelar   doktor   dari Universitas Pennsylvania pada 1393 H/1973 M tentang  spektroskopi pasangan-pasangan molekul.

Selepas  meraih  gelar  doktor,  Zewail  muda  tidak  kembali  ke negerinya  dan melamar ke lima posisi: tiga di  Amerika  Serikat, satu  di  Jerman,  dan  satu lagi  di  Belanda.  Tetapi,  selepas diterima  di kelima posisi tersebut, ia memilih meniti karier  di lingkungan  Universitas  California, Berkeley,  Amerika  Serikat. Segera  karier  ilmiahnya  berpendar  dan  akhirnya  ia  berhasil menjadi guru besar kimia Linus Pauling Chair di perguruan tinggi tersebut. 

Di  sisi lain, berkat sederet karya  dan  penemuannya, penemu  femto  kedua  ini  berhasil  meraih  sederet  hadiah  dan penghargaan,  antara lain Robert A. Welch Prize  Award,  Benjamin Franklin  Medal, Leonardo Da Vinci Award of Excellences,  Rontgen Prize,  Paul Karrer Gold Medal, Bonner Chemiepreis, Medal of  the Royal Netherlands Academy of Arts and Sceinces, Carl Zeiss Award, Hoechst  Award,  Alexander von Humbolt Award, Herbert  P.  Broida Prize, Linus Puling Medal, dan E.O. Lawrence Award.

Penghargaan  demi  penghargaan  atas  karya-karya  suami  seorang dokter, Dema Zewail (putri seorang penerima Hadiah  Internasional Raja  Faisal  yang  dikenal Ahmad Hassan Zewail selepas  ia  menerima  hadiah tersebut pada 1989 M ) dan ayah empat orang anak yang pakar laser dan  menetap  di San Marino, California  ini  akhirnya  berpuncak dengan   keberhasilannya  menerima   Hadiah  Internasional   Raja Faisal  di bidang sains tahun 1409 H/1989 M dan Hadiah Nobel di bidang kimia tahun 1420 H/1999 M.

Ilmuwan yang satu ini juga aktif dalam merumuskan kebijakan Amerika Serikat di bidang sains, teknologi, dan inovasi. Selain itu, ia juga menyusun sejumlah karya tulis, antara lain Advances in Laser Spectroscopy I, Advances in Laser Chemistry, Photochemistry and Photobiology, Ultrafast Phenomena VII, The Chemical Bond: Structure and Dynamics, Ultrafast Phenomena VIII, Ultrafast Phenomena IX,  Age of Science, Physical Biology: From Atoms to Medicine, 4D Electron Microscopy, Encyclopedia of Analytical Chemistry, dan Voyage Through Time.


“Selamat jalan, Profesor. Insya Allah, kami juga punya mimpi.”

Tuesday, August 9, 2016

BERGURU KEPADA YANG MUDA

Alhamdulillah, dua hari berturut-turut masih dikaruniai kesempatan Allah Swt. menimba ilmu dan pengalaman kepada anak-anak muda yang luar biasa.”

Demikian gumam pelan bibir saya selepas mengantarkan Mas Hadi Susanto, seorang pakar matematika muda Indonesia yang kini sedang berkarya di Universitas Essex, Inggris “kluyuran” di seputar Kota Bandung tadi malam. Tetapi, selama dua hari yang lalu, Ahad dan Senin, saya tidak hanya “berguru” kepada profesor muda asal Lumajang, Jawa Timur, dan jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu saja.

Ahad yang lalu, selepas shalat Shubuh, saya sudah siap-siap meninggalkan Baleendah. Kemudian, sekitar satu jam kemudian saya sudah duduk di depan sebuah super store di Jalan Junjunan Bandung. Sambil duduk, saya sempatkan mentadarrus Al-Quran satu juz. Kemudian, sekitar pukul tujuh pagi, sebuah shuttle bus Jakarta-Bandung berhenti tidak jauh dari tempat di mana saya sedang duduk. Tidak lama kemudian, turun seseorang dengan mengenakan kaos berlengan panjang dengan “memanggul” tas punggung dan jaket. Itulah tokoh yang sedang saya tunggu kedatangannya: Mas Lendo Novo, seorang penggagas dan perintis sekolah alam di Indonesia.

Selepas menikmati bubur ayam di jalan yang sama, saya kemudian membawa insinyur jebolan Teknik Perminyakan ITB itu menuju Baleendah. Sambil menyetir, saya pun berusaha menjadi “murid yang baik”: mendengarkan sebagian kisah hidup dan ide-ide sosok yang senantiasa memendekkan rambutnya seperti Yul Brynner, seorang aktor Amerika Serikat itu. 

“Pak Rofi’, kita harus belajar banyak pada Finlandia,” tutur Mas Lendo tentang sistem pendidikan dan keberhasilan negara yang terletak di bagian utara Eropa itu. “Negara itu kini menjadi negara terbaik dari sisi pendidikan di tingkat dunia. Amerika Serikat pun keok.” Usai berucap demikian, putra Sumatera Barat yang sekampung dengan Menteri ESDM ini menuturkan “perjuangannya” dalam mendirikan sekolah alam.

Setiba di rumah, dan selepas beristirahat beberapa lama, saya, istri, Mas Lendo, dan seorang insinyur geologi muda jebolan ITB kemudian meluncur ke sebuah bukit di Baleendah. Tidak lama kemudian datang seorang arsitek  beken yang juga dosen di ITB, Mas Bambang Setya Budi. Segera, mereka naik ke bukit, untuk mengkaji kelayakan bukit tersebut untuk dijadikan sebagai lokasi sekolah alam. Di atas bukit, telah menanti seorang profesor elektro yang juga jebolan ITB.

Usai “menikmati” bukit, ucap Mas Lendo kepada saya, “Saya setuju. Lokasi ini pas sekali untuk menjadi lokasi sekolah alam.” Dan, kemudian, kami semua menuju Pesantren Mini kami, untuk mendiskusikan rencana pendirian sekolah alam di bukit tersebut. Lewat masukan dari Mas Lendo dan Mas Bambang Setya Budi, saya dan istri kian siap dalam merencanakan sekolah alam tersebut yang juga akan kami jadikan pula sebagai Pesantren Mini kedua.

Kemudian, Senin kemarin, selepas melaksanakan shalat ‘Asar, saya kembali “meluncur” ke pusat kota Bandung. Kali ini, mobil yang saya kendarai menuju sebuah hotel milik ITB yang tegak tidak jauh dari kantor rektorat ITB. Selepas menanti sekitar setengah jam di hotel, muncullah seorang pakar matematika yang telah lama saya kenal. Seperti halnya Mas Lendo, penerima Ganesha Prize 2000 itu juga “memanggul” tas punggung dan jaket. “Kayaknya, jaket hitam itu pula yang “menyertai” Mas Hadi ketika bertemu dengan saya tahun lalu,” gumam pelan bibir saya sambil tersenyum.

Kehadiran profesor muda di bidang matematika itu dalam rangka memberikan penataran dan pengayaan di bidang matematika kepada para guru sekolah menengah. Kegiatan itu diselenggarakan oleh ITB. Yang musykil bagi saya, sebelum datang ke Bandung, peraih gelar doktor dari Universitas Twente, Belanda itu, entah kenapa memberitahu saya perihal kedatangannya kepada saya. Kenapa musykil? Tentu saja, seumur-umur saya ini tidak pernah belajar matematika dan sangat tidak memahami ilmu-ilmu ITB, kok ilmuwan muda Indonesia yang berprestasi luar biasa di luar negeri itu berkenan mengontak saya. “Melihat wajah muda ilmuwan-ilmuwan muda saja saya sangat senang. Apalagi, diberi kesempatan bertemu,” gumam bibir saya ketika menerima berita itu.

Usai melaksanakan shalat Maghrib, Mas Hadi Susanto saya ajak “kluyuran” di seputar Kota Bandung. Dengan cara saya, saya pun dapat “menggali” dan menimba ilmu dan pengalaman ilmuwan yang menulis buku berjudul Tuhan Pasti Ahli Matematika. Kemudian, seusai menikmati sate di sebuah warung terkenal yang tegak di sekitar Simpang Lima, suami seorang dokter jebolan Universitas Brawijaya itu saya antarkan kembali ke hotel, karena pagi hari ini Mas Hadi Susanto meneruskan “kluyuran”nya ke Surabaya.

“Alhamdulillah, negeri ini dikaruniai sederet anak muda yang berbakat dan berkeinginan memajukan negeri ini. Kapan pun dan di manapun mereka berada,” gumam bibir saya sambil menyetir mobil menuju Baleendah, Bandung. Tadi malam.