Wednesday, March 12, 2008

Menapak Tilas Hijrah Rasul Saw.

Dua hari selepas mengunjungi Gua Hira’, tepatnya pada Jumat, 28 Dzulqa‘dah 1428 H/7 Desember 2007 M, penulis melanjutkan perjalanan menuju Madinah Al-Munawwarah. Ketika bus yang penulis naiki bergerak pelan meninggalkan sebuah hotel yang terletak di depan Pintu Raja Fahd bin ‘Abdul ‘Aziz, dan kemudian menelusuri pelbagai sudut Kota Makkah serta kemudian melesat menuju Madinah yang berjarak sekitar 450 kilometer dari kota kelahiran Rasul Saw., tiba-tiba pikiran penulis melayang-layang ke masa silam, lima belas abad silam: ketika Rasulullah Saw. berhijrah ke Bumi Thaibah bersama Abu Bakar Al-Shiddiq.

Seperti diketahui Rasulullah Saw., ketika menjelang berhijrah, tak tahan melihat penderitaan para pengikutnya di Makkah. Beliau lantas menyuruh mereka mengungsi ke Habasyah, lalu ke Yatsrib. Sedangkan beliau tetap bertahan di Makkah. Ternyata, kaum Muslim Makkah diterima dengan baik di Yatsrib (Madinah) dan Islam berkembang pesat di sana. Selepas itu, beliau menerima perintah Allah Swt. untuk menyusul para pengikutnya di sana. Maka, berakhirlah fase pertama sejarah penyampaian risalah beliau, setelah tidak kurang dari tiga belas tahun lamanya meretas perjuangan berat untuk menegakkan agama Allah di Makkah.

Sejarah Islam mencatat, beberapa hari menjelang Peristiwa Hijrah, tepatnya pada Kamis, 26 Shafar tahun ke-13 kenabian/12 September 622 M beberapa tokoh dan pemuka kaum musyrik Makkah mengadakan pertemuan di Dâr Al-Nadwah. Mereka akhirnya sepakat akan menghabisi nyawa Rasulullah Saw. secara bersama. Begitu mengetahui rencana mereka-melalui wahyu Allah Swt.-beliau kemudian meninggalkan Kota Suci itu bersama Abu Bakar Al-Shiddiq dan bersembunyi di Gua Tsaur. Sejatinya, beliau berat meninggalkan kota kelahirannya. Sebab, meski beliau memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan kesucian yang tak tertandingi, tapi beliau tetap mencintai kota kelahirannya. Hijrah tersebut terpaksa beliau lakukan, karena mayoritas masyarakat Makkah kala itu tidak mau menerima ajaran Allah yang disampaikan beliau. Mereka menolak karena tidak mengerti atau karena membenci beliau.

Di hari keempat, selepas meninggalkan Makkah, mereka berdua keluar dari Gua Tsaur dan membayar seseorang yang dapat dipercaya, ‘Abdullah bin Uraiqath, sebagai penunjuk jalan menuju Madinah. Mereka hanya berjalan pada malam hari dan istirahat pada siang hari serta menghindari jalan umum ke Madinah. Meski sudah sangat berhati-hati, jejak mereka akhirnya tetap berhasil tertangkap oleh Suraqah bin Malik, seorang anak muda bertubuh kekar dan kuat yang sangat tergiur untuk mendapatkan hadiah besar seratus unta. Ketika ia mendekati Rasulullah Saw., tiba-tiba kudanya tersandung, sehingga ia terjatuh. Namun, ia meloncat lagi ke punggung kudanya, meneruskan pengejaran. Tetapi, kuda yang dinaikinya kembali terantuk batu. Meski begitu, ia tidak putus asa. Malah, ia memasang busur dan anak panah, hendak membidik Rasulullah Saw. Tiba-tiba, kudanya kembali tersandung untuk ketiga kalinya. Bahkan, kaki kudanya tenggelam ke dalam pasir, sehingga ia terlempar jauh. Kata hatinya memaksa dirinya menghentikan niat buruknya.

Suraqah bin Malik lantas membuang panahnya dan mendekati Rasulullah Saw. untuk memohon maaf. Nabi yang penuh kasih itu pun segera memaafkannya seraya tersenyum dan mendoakan selamat atas sang pemburu hadiah besar tersebut. Suraqah kemudian menuturkan kepada beliau apa saja yang dilakukan kaum musyrik Quraisy. Selain itu, ia juga menawarkan perbekalan dan harta kepada beliau. Namun, beliau tidak mempedulikan tawaran itu. Beliau tidak minta apa-apa kepadanya selain hanya memintanya untuk merahasiakan perjalanan beliau. Selepas itu, beliau melanjutkan perjalanannya menuju Yatsrib.

Ketika berhijrah ini sendiri, Rasulullah Saw. tidak melintasi jalur Makkah-Madinah. Tetapi, beliau mengambil jalur melingkari tepi Pantai Laut Merah atau jalur Jeddah-Madinah (Kota Makkah-Gua Tsur-Hudaibiyyah-‘Usfan-Amaj-Qudaid-Rabigh Al-Raml-Al-Jadadid-Al-‘Arj-Bi’r Aris-Quba’-Madinah) dan lebih banyak berjalan di malam hari. Hal ini dilakukan untuk menghindar dari kejaran kaum musyrik Quraisy. Perjalanan antara Makkah-Madinah ketika itu beliau tempuh selama sepuluh malam. Terbayang oleh penulis betapa berat dan membosankan perjalanan itu: perjalanan selama sepuluh malam kelam tanpa bertemu siapa-siapa di gurun pasir gersang nan kerontang, sementara hati penuh kekhawatiran tertangkap lawan! Apalagi perjalanan itu dilakukan pada September, masih musim panas, yang tentu pada siang harinya terik matahari amat membakar mereka. Tak mengherankan jika tak lama setibanya di Yatsrib, Abu Bakar Al-Shiddiq, seorang sahabat yang menyertai beliau dalam perjalanan itu, jatuh sakit.

Selepas melakukan perjalanan selama sepuluh malam, tepatnya pada Senin, 12 Rabi‘ Al-Awwal 1 Hijriah. kala terik matahari di musim panas di penggal terakhir bulan September 622 M tengah menghajar dengan ganasnya serta ketika para tuan rumah dari kalangan Anshar itu hampir putus harapan dan menapakkan kaki menuju rumah mereka masing-masing, Rasulullah Saw. tiba di Desa Quba’, kala itu sebuah desa kecil di luar Yatsrib. Di desa itu beliau sempat mendirikan sebuah masjid. Masjid itu terletak di kaki bukit dengan telaga yang mengalirkan air bening yang menyuburkan pepohonan dan kebun-kebun di sekitarnya. Bentuk masjid itu, kala itu, masih sangat sederhana, terdiri dari satu ruangan bersegi empat, memiliki atap di bagian mihrab, di sekelilingnya berdinding, dan di tengah-tengahnya terdapat lapangan terbuka yang kelak disebut shahn.

Empat hari kemudian, tepatnya pada Jumat, 16 Rabi‘ Al-Awwal 1 Hijriah, Rasulullah Saw. dan sahabat tercinta beliau, Abu Bakar Al-Shiddiq, menapakkan kaki memasuki Yatsrib. Kedatangan beliau tersebut pun disambut dengan gema takbir penuh takzim dan senandung penuh pujian yang mengumandang di seluruh penjuru kota itu. Hari itu Yatsrib, yang kemudian disebut Madinah, benar-benar dalam suasana pesta gembira, walau kala itu sebagian besar warga kota itu sejatinya belum pernah melihat beliau secara langsung. Dan, di siang hari itu, beliau Rasul memerintahkan rombongan yang menyertainya berhenti di perkampungan Bani Salim bin ‘Auf, untuk melaksanakan shalat Jumat untuk pertama kalinya, dan akhirnya ketika tiba di dekat lahan milik Abu Ayyub Al-Anshari, unta beliau berlutut tepat di depan rumah Abu Ayyub di atas lahan kosong milik dua anak yatim, Sahl dan Suhail, tempat tegaknya Masjid Nabawi dewasa ini. Abu Ayyub tentu sangat gembira, suka cita, dan bahagia. Untuk menghormati beliau, ia mempersilakan beliau tinggal di lantai atas rumahnya yang bertingkat dua. Tetapi, beliau memilih tinggal di lantai bawah, untuk memudahkan para tamu menemui beliau. Abu Ayyub menyediakan segala keperluan beliau yang tinggal di rumahnya selama sekitar satu bulan. Selepas itu, beliau pindah ke rumah beliau sendiri.

Perjalanan hijrah Rasulullah Saw. ini, menurut Tarik Ramadan dalam karyanya In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad, memberikan pengajaran dan pelajaran yang menarik. Pertama, sikap berserah diri kepada Allah Swt. yang menuntut keterlepasan dari ketergantungan terhadap manusia tanpa kesombongan dan juga pengakuan yang tulus akan ketergantungan mutlak kepada-Nya. Kedua, hijrah pada dasarnya merupakan realitas yang harus dihadapi orang-orang beriman yang tidak memiliki kebebasan untuk mempraktikkan keyakinan mereka dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan secara baik demi keyakinan mereka. Ketiga, hijrah merupakan pengalaman tentang pembebasan, baik secara historis maupun spiritual. Keempat, hijrah merupakan pengasingan kesadaran dan hati manusia dari tuhan-tuhan palsu, dari keterasingan segala sesuatu, dari kejahatan dan dosa.