Friday, December 11, 2015

IBUKU

Masya Allah, tak terasa 37 tahun lewat ketika pertama kali aku menjejakkan kaki di Negeri Piramid.”

Demikian gumam bibir saya, tadi pagi, ketika teringat perjalanan hidup diri. Ya, tepat pada tanggal sama dengan tanggal hari ini, 11 Desember, itulah hari pertama kali kedua kaki saya menjejakkan kaki di ibukota Mesir: Kairo 37 tahun yang silam.  Seperti pernah saya tulis dalam sebuah karya berjudul Dari Istanbul hingga Eksotisme Masjid Al-Azhar, pada tanggal itu, tepatnya pada Senin, 10 Muharram 1399 H/11 Desember 1978 M, itulah hari pertama kali saya menjejakkan kaki di Kota Kairo selepas naik pesawat terbang Royal  Air Maroc selama sekitar dua jam dari Kota Jeddah. Tanpa mengenal siapa pun. Juga, belum mengenal sama sekali tentang ibukota Mesir itu. Yang saya ketahui, Mesir adalah sebuah “ladang perburuan” ilmu. Itu saja dan tak lebih. Saya pun tak tahu, setiba di Kairo mau menemui siapa, tinggal di mana, dan meneruskan studi di mana.  

Malah, menjelang tiba di Kota Kairo, ternyata pesawat terbang yang saya naiki  saat itu mengalami kejadian yang tak pernah saya lupakan hingga kini pesawat itu terjerembab dalam ruang hampa udara dan terhempas keras sekali. Cuaca mendekati Kota Kairo kala itu benar-benar tak bersahabat. Musim dingin di bulan Desember dengan badai sedang menghantui. Hampir setengah jam lamanya pesawat terbang tersebut bermain akrobat.  Demikianlah “sambutan meriah” yang diberikan kepada saya menjelang kedatangan saya pertama kali ke Kota Seribu Menara itu.

Kejadian demi kejadian yang saya alami itu kian menanamkan keyakinan dalam diri saya, manusia hanya kuasa berikhtiar dan Allah Swt. kuasa atas segala sesuatu. Di samping itu, dalam hidup kadang diperlukan kenekadan dan keberanian mengambil keputusan yang berisiko tinggi. Yang tak kalah penting, menurut saya, adalah doa orang tua. Khususnya doa seorang ibu.

Mungkin, karena doa dan keinginan Ibuku  yang sangat kuat agar saya menimba ilmu kembali, tak lebih dari sebulan setiba di Kairo, saya telah diterima sebagai mahasiswa di dua universitas sekaligus: Universitas Al-Azhar dan Universitas Kairo. Ya, dua universitas sekaligus. Ini karena saya mengajukan dua ijazah: untuk Universitas Al-Azhar saya mengajukan ijazah sarjana muda dan untuk Universitas Kairo saya mengajukan ijazah sarjana penuh. Ternyata, pengajuan saya diterima oleh kedua universitas itu. Padahal, banyak teman-teman yang telah lama mendaftarkan diri di Universitas Al-Azhar tak kunjung beres urusannya.

Ibuku, bagi saya, memang luar biasa.

Ketika masih berusia tidak lebih empat tahun, Ibuku telah ditinggalkan ibunya, seorang Ibu Nyai, alias istri seorang kiai. Ibuku memang memiliki “darah” kiai: ibunya seorang Ibu Nyai, ayahnya seorang kiai terkemuka di tempat kelahirannya, Cepu, kakeknya seorang kiai terkemuka di Karesidenan Bojonegoro, Jawa Timur, dan suaminya juga seorang kiai di Blora. Ibuku, seperti halnya kebanyakan ibu-ibu seusia dengannya, tidak pernah menempuh pendidikan umum. Ia hanya menerima pendidikan dalam lingkungan keluarga dan  mengaji di lingkungan pesantren di bawah pimpinan ayahnya: seorang kiai yang hafal Al-Quran dan menimba ilmu di sederet pesantren. Termasuk di Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, beberapa tahun menimba ilmu di Makkah, dan Pesantren Krapyak Yogyakarta: untuk mendalami qira’ah sab’ah kepada K.H. Munawwir.

Meski tidak pernah mengikuti pendidikan formal, Ibuku seorang “pemburu” ilmu yang luar biasa. Setelah bisa membaca dan menulis tulisan Arab dan Latin, dapat dikatakan tiada hari baginya tanpa membaca Al-Quran dan buku. Tak aneh jika ketika telah berusia sekitar 40 tahun, selain mengajar Al-Quran, Ibuku juga mengajar di Sekolah Penjenang Kesehatan. Padahal, Ibuku tidak pernah menempuh pendidikan formal apa pun. Di sisi lain, Ibuku seorang penyabar, tidak pernah mengeluh, dan sangat menaruh perhatian terhadap pendidikan putra dan putrinya. Yang menarik, meski hidup sehari-hari di lingkungan pesantren, putra dan putrinya diarahkan untuk menimba di luar pesantren hingga mereka berhasil memasuki perguruan-perguruan tinggi umum: ITB, UI, dan UNPAD. Lain halnya dengan saya. Entah kenapa, saya sejak kecil diarahkan ke pesantren. Mungkin, saya anak yang malas sekolah: umur 7 tahun baru mau masuk sekolah dasar. Sedangkan saudara-saudara saya umur  5 tahun rata-rata sudah masuk sekolah dasar.

Sejatinya, saya sejak awal menolak keinginan Ibuku untuk menimba ilmu di Timur Tengah. Tetapi, dengan sabar, dan setelah berhasil mengantarkan dua adik lelakinya mengambil program s-3 di Universitas Ummu Al-Qura, Makkah, dan Universitas Harvard, Amerika Serikat, Ibuku akhirnya berhasil memotivasi saya untuk berangkat ke sana. Ucap Ibuku, “Rofi’, jangan engkau tolak dambaan Ibu. Carilah ilmu dan pengalaman yang bermanfaat  di mana pun, sampai pun ke negeri orang. Itulah yang terpenting. Masalah gelar, itu tidak Ibu haruskan untuk diraih. Engkau tentu tahu, Ibu bukan orang yang pernah meniti pendidikan formal, namun Ibu tak pernah berhenti menimba ilmu dan pengalaman yang bermanfaat. Berangkatlah dan ikuti jejak langkah dua pamanmu itu.”

“Memburu ilmu dan pengalaman”, sesuai pesan Ibuku, akhirnya yang saya buru, bukan gelar. Hal itulah yang saya lakukan hingga kini: dengan kluyuran ke mana-mana. Dan, pada hari ini, secara khusus saya berdoa panjang untuk Ibuku. Kiranya beliau berbahagia di sisi Tuhannya, amin.


Wednesday, November 18, 2015

GAYA HIDUP SEBAGAI RAKYAT

Usia Pak Rofi’ berapa?”
“62 tahun dan menjelang 63 tahun. Mengapa?”
“Saya lihat, Pak Rofi’ masih kuat jalan ke mana-mana. Wajah Pak Rofi’ pun  kelihatan belum sepuh seperti  ayah saya yang usianya lebih muda.”
“Alhamdulillah. Kiranya Allah Swt. tetap mengaruniakan kesehatan dan kebugaran kepada saya. Juga, kepada Anda.”
“Apa rahasianya, Pak Rofi’”

Pertanyaan terakhir dari seorang manager sebuah perusahaan itu, minggu lalu, tiba-tiba membuat saya termenung. Lama. Menjawab pertanyaan “rahasia” ternyata tidak mudah. Kemudian, sambil menikmati perjalanan dengan naik mobil, antara Bandung-Jakarta, benak saya pun “melayang-layang”. Ke belakang.

Segera terungkap, selama hampir tiga tahun terakhir dapat dikatakan saya menjadi “manusia mandiiri”. Ketika sebelum adzan dilantunkan, kedua mata saya dapat dikatakan nyaris tidak dapat dipejamkan.  Usai shalat malam dan shalat Shubuh, sambil mentadarus Al-Quran satu juz setiap hari, mesin cuci pun saya operasikan. Usai tadarus dan mencuci pakaian, rumah yang tidak lebih dari 7 x 10 meter pun saya bersihkan. Di samping itu, bergantian sama istri, saya menanak nasi dan kadang memasak. Dan, selepas semua urusan domestik itu rampung, benak dan jemari saya pun mulai “menari-nari”. Dan, biar tidak membuat benak jenuh: sambil menulis, radio atau speaker aktif yang berada di samping kanan dan kiri saya ikut “mengiringi” kelana otak saya ke mana saja dengan lagu-lagu. Baik klasik, populer (barat maupun indonesia), arab, maupun islami.

Di sela-sela kegiatan otak dan jemari yang kerap kali berlangsung seharian penuh, saya keluar dari “sarang”: menengok kegiatan di Pesantren Mini kami untuk memeriksa dan memantau berbagai kegiatan yang sedang berlangsung. Dan, ketika otak lagi di puncak kejenuhan, “kluyuran” itulah yang kerap saya lakukan: naik angkutan umum kota. Angkutan umum kota, alias angkot, memang “kendaraan pribadi” saya ketika sedang “kluyuran” di seputar Kota Bandung. Mengapa? Kerap kali, ketika sedang naik angkot, ide-ide bermunculan. Di samping itu, tentu saja, saya bisa tidur ketika kedua mata ingin dipejamkan. Ketika sedang kluyuran  di Kota Bandung,  saya biasanya pergi ke pusat buku loak di Jalan Dewi Sartika, kemudian naik angkot  lagi menuju ke Banceuy. Ke Banceuy, ada apa? Di situ, saya suka bertandang ke Pusat Elektronik Cikapundung: mencari atau memperbaiki radio lama. Lantas, biasanya saya pergi ke Toko Gramedia dan Bandung Electronic Center. Tentu, Anda tahu tujuan saya.

Demikianlah sebagian “gaya hidup” yang sederhana dan tidak “neko-neko” dalam kehidupan saya: tanpa pernah menjadi pejabat, pegawai negeri,  apalagi penggede negeri. Hanya sebagai rakyat biasa selama hayat saya. Lewat kehidupan yang demikian, alhamdulillah saya dapat menikmati hidup dengan penuh makna dan sehat. Juga, kiranya bermanfaat bagi sesama. Kiranya demikian, amin.



Wednesday, October 14, 2015

RENUNGAN AWAL TAHUN HIJRIAH 1437:
Kenapa Kami Suka “Kluyuran”

Mau jalan-jalan lagi ya? Sekeluarga ya?”

Demikian ucap kakak sulung saya kepada saya, sebelum saya sekeluarga bertolak ke Jepang antara 6-12 Oktober yang lalu. “He, he, he. Iya, Mbak.  Kan saya sama Mona (putri sulung kami) belum pernah ke sana. Kalau istri dan Naila (putri bungsu kami) kan sudah pernah ke sana.”
“Ke mana saja?”
“Mona dan Naila yang merancang dan memimpin kami. Mereka yang tahu, ke mana kami akan melangkah. Seperti dua tahun yang lalu ketika kami ke Korea.”
“Selamat jalan, ya. Semoga mendapatkan ilmu dan pengalaman yang bermanfaat.”
“Terima kasih, Mbak.”

“Kluyuran” alias jalan-jalan, memang, sudah menjadi kegiatan kami sejak bertahun-tahun yang lalu. Saya sudah mulai “kluyuran” sejak tahun 1978. Istri sejak sekitar tahun 1989. Sedangkan putri sulung kami sejak tahun 2001, juga putri bungsu kami. Meski saya yang paling lama, tapi “prestasi” saya kalah sama “prestasi” istri. Saya baru mengunjungi empat benua. Istri sudah melalangbuana ke lima benua. Putri sulung dan bungsu kami bersaing: yang sulung sudah menjejakkan kaki di 25 provinsi Indonesia, yang bungsu 16 provinsi. Yang sulung sudah menengok seluruh negara Asean, yang bungsu juga sama minus Filipina, di samping Eropa, Hong Kong, China, Macau, dan Korea. Tentu saja di luar kegiatan beribadah ke Tanah Suci.

Mengapa kami suka “kluyuran”?

Bagi kami, “kluyuran” memang mengasyikkan: selain menimba ilmu, mendapatkan pengalaman baru, mengenal lebih dekat dengan berbagai bangsa dengan kultur dan kebiasaan serta pencapaian mereka, kami bisa saling berbagi ilmu dan pengalaman sambil jalan-jalan.  Dalam berbagi ilmu, kami memiliki “keunggulan” yang tidak sama. Saya memiliki latar belakang pendidikan keagamaan, istri memiliki latar belakang medis, putri sulung kami memiliki latar belakang teknik industri dan teknik perminyakan, dan putri bungsu kami memiliki latar belakang teknik informatika dan manajemen telekomunikasi. Sehingga, dapat dikatakan, saya ini masuk dalam “kelompok minoritas”: mereka bertiga memiliki latar belakang pendidikan eksakta, sedangkan saya beda sendiri, berlatar belakang pendidikan pesantren. Dengan latar belakang pendidikan yang beragam tersebut, kami bisa melihat setiap persoalan dengan sudut pandang yang kaya.

Di sisi lain, mulai dua tahun yang lalu, ketika kami “kluyuran” ke Korea, dalam hal pendanaan, perancangan skedul perjalanan, pengurusan visa, pengurusan bagasi dan “komandan” perjalanan kami serahkan sepenuhnya kepada dua putri kami. Saya dan istri menempati posisi pengikut yang patuh pada arahan mereka. Hal itu karena dua putri kami, dengan latar belakang pendidikan yang membekali mereka dengan penguasan teknologi, lebih cepat mengantisipasi dan menghadapi segala hal yang terjadi di perjalanan. Contoh, sistem transportasi di Seoul dan Tokyo dengan mudah dapat mereka pecahkan dan hadapi. Karena itu, dalam perjalanan bersama mereka, saya kini mendapat tugas sebagai “chef”, ya tukang masak. Sayalah yang menyiapkan bekal makanan dan memasaknya setiap subuh sebelum kami “kluyuran”. Tugas yang menyenangkan, tapi membuat tubuh saya kian tambun.

Selain mendapatkan berbagai manfaat tersebut, entah kenapa, kerap kali ide awal buku-buku yang saya tulis lahir di tengah perjalanan. Misal, Ensiklopedia Tokoh Muslim, yang saya tulis, lahir ketika saya sedang “kluyuran” di Istanbul. Malah, ide awal pendirian Pesantren Mini kami muncul ketika kami sedang bersilaturahmi di rumah seorang sahabat di Kajang, Kuala Lumpur. Malah, ide pendirian Diabetic Center di rumah sakit tempat istri kerja (dua bulan yang lalu meraih predikat sebagai Diabetic Center terbaik tingkat nasional), di bawah komandan istri,  muncul ketika istri “kluyuran” di Bangkok. Ide-ide itu kemudian kami kembangkan dan laksanakan dengan sebaik-baiknya.

Tentu, masih banyak manfaat lain yang kami dapatkan lewat perjalanan. Apa pun halnya, perjalanan sekeluarga kini menjadi bagian dari acara kami sekeluarga. Dan, perjalanan, dengan cara kami, tidak selalu berbiaya tinggi dan lewat perjalanan, seperti diperintahkan Rasulullah Saw., kami berusaha “memungut hikmah yang terserak di mana-mana.”  Dan, akhirnya, “Selamat Tahun Baru 1437 H, Semoga Allah Swt. Senantiasa Memberkahi dan Meridhai Kita Semua.” Salam.


Thursday, October 1, 2015

KECANTIKAN ISTRI DAN KEINDAHAN REMBULAN PURNAMA

Istriku! Engkau akan kucerai bila malam ini tidak tampil lebih cantik dari bulan purnama!”

Demikian ucap ‘Isa bin Musa bin Muhammad kepada istrinya suatu malam. ‘Isa bin Musa, kala itu, adalah putra mahkota yang disiapkan sebagai pengganti Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyah di Irak kala itu. Tentu saja istri  ‘Isa bin Musa, ketika mendengar ucapan suaminya yang demikian, sangat terkejut dan terpukul. Maka, dengan menahan perasaan sedih, dia pun menjawab, “Suamiku, tidak sadarkah engkau, sejatinya dengan kata-katamu yang demikian, berarti telah engkau  jatuhkan talak atas diriku. Tentu engkau tahu dan sadar, meski berhias secantik apa pun, kecantikanku tidak akan kuasa mengungguli keindahan dan kecantikan bulan purnama.”

Mendengar ucapan istrinya yang demikian, malam itu ‘Isa bin Musa benar-benar merasa bersalah dan menyesali tindakannya. Ya, benar-benar merasa bersalah atas keteledoran dirinya. Juga, merasa bersalah karena telah mengucapkan kata-kata yang ternyata membangkitkan masalah dengan istrinya. Sebagai seorang putra mahkota (namun kemudian digantikan Al-Mahdi dengan imbalan harta kekayaan yang sangat melimpah), tentu tidak semestinya dia bertindak gegabah demikian. Akibatnya, malam itu dia tidur sendirian dengan perasaan gelisah, resah, dan tidak karuan.

Selepas merenung, merenung, dan merenung, ‘Isa bin Musa akhirnya memutuskan akan menemui Abu Ja‘far Al-Manshur, pamannya yang penguasa  Dinasti ‘Abbasiyah kala itu. Harapannya, sang penguasa kuasa mencarikan jalan pemecahan atas masalah yang sedang menimpa dirinya.

Benar saja, keesokan harinya, ‘Isa bin Musa tanpa membuang waktu segera menghadap Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa Dinasti ‘Abbasiyah kala itu. Tentu saja, dengan maksud untuk menuturkan kejadian yang menimpa  dirinya itu. Selepas mengucapkan salam dan berbagi sapa sejenak dengan orang nomor satu Dinasti ‘Abbasiyah itu, ‘Isa bin Musa pun menuturkan kejadian itu. Ketika mengakhiri penuturannya, dia berucap, “Wahai Amir Al-Mukminin! Jika perceraian itu benar-benar terjadi, betapa pedih dan hancur hati saya. Saya sejatinya masih sangat mencintai istri saya.”

Mendengar keluhan demikian, hati Abu Ja‘far Al-Manshur pun tersentuh dan termenung lama. Perceraian antara sang putra mahkota dan istrinya benar-benar tidak dia harapkan. Karena itu, dia pun segera memerintahkan seorang pejabat agar mengundang beberapa ahli hukum Islam untuk dimintai pandangan mereka perihal kasus ucapan ‘Isa bin Musa itu.

Selepas para ahli hukum Islam itu datang, mereka pun membahas secara cermat kasus itu. Akhirnya, mereka seiring pendapat, ucapan ‘Isa bin Musa itu sama dengan menjatuhkan talak atas istrinya. Namun, kala itu, ada seorang ulama yang tidak memberikan komentar apa pun atas kasus itu. Dia hanya diam saja. Melihat sikapnya yang demikian, Abu Ja‘far Al-Manshur pun penasaran. Kemudian, dengan penuh takzim, dia bertanya kepada ulama itu, “Tuan Guru, mengapa engkau tidak memberikan pendapat? Bagaimanakah pendapatmu perihal kasus ini?”

Ulama dan Tuan Guru yang dimaksud penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyah dan pembangun Kota Baghdad Dar Al-Salam, ternyata, tidak lain adalah Abu Hanifah Al-Nu‘man.

Abu Hanifah Al-Nu‘man, siapakah ulama dan Tuan Guru itu?

Salah seorang ahli hukum Islam yang  tokoh pendiri salah satu mazhab fikih ini bernama lengkap Abu  Hanifah Al-Nu‘man  bin  Tsabit bin Zutha Al-Ta’imi. Dia lahir  di  Kufah, Irak pada 80 H/699 M, pada masa pemerintahan Al-Walid bin  ‘Abdul Malik  dari Dinasti  Umawiyah,  dalam  lingkungan keluarga  berdarah  mawlâ (mantan budak). Ayahandanya, Tsabit bin  Zutha,  adalah seorang pedagang  sutra yang kelak juga memengaruhi  pikirannya.  Sedangkan nenek   moyangnya  adalah orang  Persia  yang  berasal   dari   Kabul, Afghanistan,  dan  dibawa ke Kufah sebagai  tawanan  perang.  Selepas merdeka, dia memeluk Islam di bawah perlindungan Bani Taimullah.
Ketika kecil, Abu Hanifah belajar di bawah bimbingan Al-Sya‘bi, seorang ahli hukum Islam terkemuka di Irak kala itu. Kala itu, sang guru telah  melihat tanda-tanda keistimewaan muridnya yang  satu  ini. Sehingga,  dia  menasihati muridnya agar belajar  lebih  tekun  dan pergi  belajar  kepada ulama-ulama besar. Nasihat itu dia  patuhi.  Dia lantas belajar kepada ke ‘Atha‘ bin Rabi‘ah dan belajar hadis kepada Nafi‘, mantan budak ‘Abdullah  bin ‘Umar. Sedangkan kepada Hammad  bin Sulaiman, dia belajar ilmu fikih selama 18 tahun.

Tokoh yang haus ilmu yang juga seorang pedagang yang berhasil itu juga  sempat  belajar  kepada beberapa  sahabat  Nabi Muhammad  Saw. Antara lain Anas bin Malik, ‘Abdullah bin Aufa, ‘Abdullah bin Mas‘ud, ‘Abdullah bin Al-‘Abbas, Suhail, dan Abu Thufail. Karena wawasannya yang luas, dia mendapat gelar Bahr Al-‘Ilm (Laut Ilmu). Tak  aneh  bila pada masa akhir pemerintahan  Dinasti  Umawiyah, karena pengetahuan dan wawasannya yang luas, dia diminta Yazid bin ‘Umar, Gubernur Kufah kala itu, untuk menjabat  Kepala  Kas Negara (Bait Al-Mâl). Tetapi, dia menolak  tawaran  itu, karena   khawatir   jabatan   itu   akan   mengubah   sikap   dan kecenderungannya.  Di  samping itu, dia juga khawatir  jabatan  itu akan  menggeser dan memalingkan kehidupannya dari ilmu agama  dan ibadah.  Karena  tawaran itu ditolak, sang  gubernur  memintanya menjadi hakim. Sekali lagi, dia tolak tawaran itu. Akibatnya,  dia pun dijebloskan ke dalam bui. Dan, dia berpulang  di Baghdad dalam usia 70  tahun  pada 150  H/767 M, diantar ribuan anak manusia yang mencintainya  dan menghormatinya. Dia meninggalkan beberapa karya tulis, antara  lain  Al-Musnad, Al-Makhârij, Kitâb Al-Fiqh Al-Akbar, Kitâb Al-Risâlah,  dan Kitâb Al-Washiyah.

Nah, begitu mendengar pertanyaan Abu Ja‘far Al-Manshur yang demikian, tanpa banyak memberikan komentar ulama itu kemudian membaca ayat Al-Quran berikut, “Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, juga demi Bukit Sinai serta demi kota (Makkah) yang aman ini, sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik.” (QS Al-Tîn [95]: 1-4).

Mendengar ayat Al-Quran itu, Abu Ja‘far Al-Manshur segera menyadari bahwa manusia adalah makhluk Allah yang terindah dan terbaik, jauh lebih indah ketimbang rembulan kala purnama. Karena itu, begitu menyadari dan memahami arah jawaban ulama itu, dia pun dengan penuh semangat berucap kepada ‘Isa bin Musa, “Isa bin Musa! Allah Swt. telah memberikan jalan keluar atas masalah yang sedang engkau hadapi. Ayat yang dibacakan Tuan Guru itu adalah jawaban masalah yang sedang engkau hadapi. Sekarang, pergilah kepada istrimu. Sampaikan kepadanya, kabar gembira ini.”

Sebelum ‘Isa bin Musa bermohon diri, Abu Ja‘far Al-Manshur memerintahkan seorang pejabat untuk menulis surat kepada istri ‘Isa bin Musa yang berisi penjelasan bahwa ucapan suaminya itu bukan talak. Dan, selepas itu, dia menyampaikan rasa terima kasihnya yang tidak terhingga kepada Tuan Guru yang berwawasan luas itu.@



Friday, September 25, 2015

MENGAPA TRAGEDI MINA TERULANG?

Bapak, mengapa sih kerap terjadi tragedi dalam ibadah haji?”

Demikian tanya putri bungsu saya tadi malam dalam perbincangan di Jakarta, seusai mendampingi seorang keponakan yang melahirkan seorang putri, di sebuah rumah sakit, yang didambakan kehadirannya sejak  bertahun-tahun. Menerima pertanyaan tentang tragedi tersebut, tentu saja disertai rasa duka dan sedih yang mendalam atas terulangnya tragedi di Tanah Suci itu, segera benak saya pun “melayang-layang”. Dan, tak lama kemudian, benak saya berusaha membongkar kembali ingatan dan pengalaman naik haji dan menjadi pembimbing haji dan umrah dalam rentang waktu antara 1979-2015. Alhamdulillah (mohon maaf, tidak bermaksud riya’), saya diberikan kesempatan Allah Swt. berulang naik haji dan umrah. Baik secara pribadi maupun sebagai pembimbing ibadah haji dan umrah.

Ya, mengapa tragedi dalam ibadah haji kerap  terulang?

Ketika seseorang mendapatkan “undangan agung” dari Sang Pencipta untuk naik haji, baik lewat Ongkos Naik Haji (ONH) reguler maupun plus, juga lewat jalur lain, orang itu diharapkan segera mempersiapkan diri, baik secara fisik maupun psikis. Biasanya, pihak KBIH maupun travel ONH plus sudah membekali mereka dengan kedua “kopor” fisik dan psikis tersebut. Cukupkah dua “kopor” itu? Tidak cukup, karena pelaksanaan ibadah haji lebih berat ketimbang ibadah umrah. Ibadah haji melibatkan jutaan anak manusia pada saat yang berbarengan. Karena itu, dalam setiap pembekalan dan pengarahan dalam manasik haji, saya kerap bertanya dengan berseloroh kepada para calon jamaah haji, “Ibu dan bapak  yang saya muliakan. Apa sudah menerima dua kopor, kopor bagasi dan kopor kabin?”
“Sudah, Ustadz,” jawab mereka serempak.
“Apakah dua kopor itu sudah cukup, ibu dan bapak yang saya cintai?”

Mendengar ucapan saya yang demikian, biasanya para calon jamaah haji diam. Tidak menjawab. Melihat suasana yang demikian, saya pun berucap, “Ibu dan bapak. Ketika kita berada di Tanah Suci nanti, bekal dua kopor itu tidak cukup. Ibu dan bapak sekalian perlu membawa lima “kopor” besar lain. Lima “kopor” itu sangat penting sekali untuk dibawa. Ke mana pun selama ibu dan bapak naik haji.”
“Lima kopor lagi, berat dan repot, Ustadz.”
“Ibu dan bapak sekalian, meski lima “kopor” itu berat, tapi lima “kopor” itu perlu sekali. Lima “kopor” itu adalah kopor-kopor: pengetahuan tentang manasik haji serta pemahaman tentang prosedur perjalanan dan pengenalan lapangan, kesabaran, keikhlasan,  kedisiplinan, dan ketawakkalan.”

“Kopor” pertama, pengetahuan tentang manasik haji serta pemahaman tentang prosedur perjalanan dan pengenalan lapangan, biasanya diberikan kepada para jamaah haji Indonesia. Namun, tentu saja, sejauh mana pembekalan itu cukup atau tidak,tentu banyak faktor yang berkait dengannya. Belum tentu pihak pemberi pembekalan menguasai sepenuhnya masalah tersebut. Saya, yang dapat dikatakan setiap tahun 4 atau 5 kali ke Tanah Suci, kadang masih tergagap-gagap dengan perkembangan baru di sana dan harus terus menerus mempelajarinya dan memahaminya. Dalam kasus terjadinya Tragedi Mina tahun ini, melihat asal para korban dalam tragedi tersebut, mereka sebagian besar bukan dari Indonesia. Saya tidak tahu, apakah para jamaah haji tersebut, mendapatkan pembekalan yang cukup tentang manasik haji serta pemahaman tentang prosedur perjalanan dan pengenalan lapangan. Perlu dikemukakan, pelaksanaan ibadah haji tahun ini hingga sekitar tahun 2025 dilaksanakan pada musim panas. Kondisi yang kurang “bersahabat” bagi para jamaah yang tidak biasa menghadapi suhu antara 40 sampai dengan 50 derajat celcius perlu dikemukakan kepada mereka, supaya mereka siap dalam menghadapinya.

Kesabaran tentu saja juga penting. Perjalanan naik haji memerlukan “perjuangan”. Sejak dari rumah, di Tanah Air, ketika di tengah perjalanan, setiba di Jeddah atau ketika berada Madinah, apalagi ketika sedang melaksanakan ritual ibadah haji di Makkah dan sekitarnya. Pelaksanaan ibadah yang dilaksanakan sekian juta anak manusia, dalam masa yang relatif berbarengan, tentu memerlukan “managemen” kesabaran. Berinteraksi dengan banyak jamaah, dari berbagai bangsa dan negara, dengan karakter, kultur, dan kebiasaan yang beragam tentu memerlukan kesabaran. Khususnya pada puncak pelaksanaan ibadah haji, antara 8 sampai dengan 13 Dzulhijjah. Pelaksanaan ibadah pada masa yang berlangsung selama beberapa hari itu memerlukan kesabaran yang luar biasa. Gerakan jutaan manusia pada waktu dan masa yang relatif yang sama, apalagi ketika tubuh para jamaah dalam keadaan sangat letih dan capek, dapat menimbulkan peristiwa yang tidak terduga. Termasuk Tragedi Mina kali ini. Kesabaran yang berlapis-lapis sangat diharapkan dimiliki para jamaah. Meski pemerintah Kerajaan Arab Saudi dengan Hajj Centernya telah mempersiapkan dengan baik pelaksanaan ibadah haji setiap tahun, namun hal itu bisa buyar jika tidak didukung oleh sikap dan perilaku para jamaah yang harus bersabar dalam mematuhi aturan yang ditetapkan. Melaksanakan ibadah haji tidak hanya menjadi “Tamu Allah” semata. Tetapi, juga berinteraksi dengan jutaaan anak manusia. Kesabaran, dalam hal ini, sangat diperlukan.

Keikhlasan, tentu saja, juga perlu. Ibadah yang tidak disertai keikhlasan tentu mengurangi makna ibadah tersebut. Tanpa kesabaran dan keikhlasan ketika naik haji dapat membuat seseorang jamaah mengomel dan menggerutu, misalnya. Akibatnya tentu dapat diduga: ibadahnya menjadi  “amburadul”. Yang kerap terjadi, ketika ada jamaah yang tidak sabar dan ikhlas dalam beribadah, ketidaksabaran dan ketidakikhlasan itu “menular” kepada jamaah-jamaah yang lain. Misal, dalam tata pelaksanaan pelemparan jumrah, pemerintah Kerajaan Arab Saudi kini memberlakukan skedul waktu bagi setiap maktab. Tentu, ketentuan itu untuk kemaslahatan semua jamaah. Meski demikian, ada saja jamaah yang mengomel, ketika maktabnya mendapat skedul waktu yang tidak pada waktu yang utama (afdhal).  “Mengapa sih kami tidak diberikan kesempatan melaksanakan pelemparan jumrah pada waktu yang utama?”  Jika hal yang demikian itu terjadi pada banyak orang, tentu hal-hal yang tidak diinginkan dapat terjadi.

“Kopor” kedisiplinan juga perlu. Problem dalam proses pelaksanaan ibadah haji juga kerap terjadi karena ketidakdiplinan sebagian para jamaah. Dalam proses pemeriksaaan di bagian imigrasi, misalnya, kerap terjadi kediplinan diabaikan oleh para jamaah dari beberapa negara tertentu. Mereka “main slonong” saja. Akibatnya tentu dapat diduga. Juga dalam pelaksaan tawaf, misalnya, apalagi tawaf ifadhah, kita dapat menyaksikan berbagai perilaku jamaah yang maunya menang sendiri. Dalam hal ini tabrakan dan gesekan antar jamaah dapat terjadi.

Dan, akhirnya, “kopor” ketawakkalan. Kita semua tentu tahu, pentingnya ketawakkalan kepada Allah Swt. Apa pun dapat terjadi selama dalam proses pelaksanaan yang hanya diwajibkan sekali seumur hidup itu. Berserah diri, selepas melengkapi diri dengan dua kopor kabin dan bagasi serta empat “kopor” lainnya, hendaknya dibawa para jamaah haji ke mana mereka melangkah ketika melaksanakan ibadah yang berat itu.

Tragedi Mina terulang. Untuk para jamaah yang berpulang karena peristiwa tragis tersebut, marilah kita doakan, “Allahumma ighfir lahum warhamhum wa’afihi wa’fu ‘anhum waj’al al-jannata matswahum. Allahumma ij’al hajjahum hajjan mabrurâ wasa’yahum sa'yan masykûrâ wa dzanbahum dzanban maghfûrâ. ” Semoga Allah menerima ibadah mereka dan menjadikan ibadah haji mereka mabrur. ÂmÎn ya Rabb Al-‘Âlamîn.



Sunday, September 6, 2015

KISAH SEORANG ADIK

Mbak, aku jatuh. Kakiku kayaknya mengalami fraktur. Bentuknya tidak karuan lagi.”

Demikian, ucap adik bungsu saya Jumat, 5 September yang lalu, sekitar pukul lima sore kepada istri lewat telpon genggam. Saya, yang berada di rumah dan belum lama kembali dari mengantar adik istri dan istrinya, yang juga habis dirawat, ke Bandara Husain Sastranegara, pun termenung dan kaget. Segera, saya dan istri pun “meluncur” dari rumah di Baleendah, Kabupaten Bandung, menuju Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung.

Setiba di rumah sakit terbesar di Provinsi Jawa Barat itu, segera kami menuju ruang Instalasi Gawat Darurat. Ketika berada di ruang tersebut, kami lihat adik kami, seorang dokter spesialis saraf dan ahli akupunktur, terbaring di tempat tidur dikitari para dokter. “Kenapa kamu?” tanya istri kepada adik saya, L. “Saya tadi mau ke tempat praktek, Mbak.  Mungkin karena tergesa-gesa, ketika berada di depan rumah sakit, tiba-tiba saya terjatuh dan kayaknya tulang kaki saya patah,” jawab L dengan menahan sakit.

Melihat dia terbaring, entah kenapa benak saya tiba-tiba “melayang” dan teringat perjalanan hidupnya. Ketika dia baru berusia sekitar 2 tahun, dia terkena polio.  Dapat dikatakan, dia kala itu tidak mampu menggerakkan kedua kakinya. Namun, dengan penuh kesabaran, ibunda merawatnya dengan penuh ketelatenan dan perhatian selama bertahun-tahun. Ketika masuk Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar, tiap hari dia diantar dan dijemput dengan naik becak. Pelan, kondisi kedua kakinya membaik, meski kadang dia tiba-tiba dia terjatuh. Mungkin, karena kakinya saat itu sedang tidak kuat menyangga tubuhnya. Meski demikian, dia tidak pernah mengeluh.

Kemudian, selepas lulus dari sekolah menengah atas, di kampung kami, Blora, Jawa Tengah, dia diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. “Alhamdulillah,” ucap syukur kami sekeluarga. Kami, tentu, merasa sangat bersyukur karena meski dia “dikaruniai” kondisi kedua kaki yang “kurang sehat”, dia diterima di perguruan tinggi yang bagus. Selama itu, dia pun kadang masih tiba-tiba terjatuh dengan sendirinya, karena kondisi kedua kakinya yang pernah terkena polio. Kemudian, apa yang dia putuskan setelah dia berhasil meraih brevet dokter umum?

“Mas dan Mbak,” ucapnya tidak lama setelah dia menjadi dokter kepada kami, kakak-kakaknya, “izinkan saya berangkat menuju Gumawang, Baturaja, Sumatera Selatan.”  Ketika kami tahu, ternyata dia ditempatkan di sebuah puskesmas di tempat terpencil dan jauh dari perkampungan, di tengah hutan, semula kami tidak tega melepasnya. Tapi, dia tetap teguh dengan keputusannya, meski kondisi kedua kakinya tetap tidak seratus persen pulih seperti sedia kala. Kami pun akhirnya melepas dia berangkat.  Selama beberapa tahun, dia pun melaksanakan tugasnya di tempat terpencil tersebut. Meski dikaruniai kaki yang kurang sehat, namun dia tetap bekerja dengan sepenuh hati untuk masyarakat. Karena itu, dia akhirnya mendapat penghargaan sebagai dokter teladan.

Usai melaksanakan tugas di medan yang berat, dia kemudian menempuh pendidikan dokter spesialis saraf di almamaternya. Kemudian, usai meraih brevet dokter spesialis saraf, dia lagi-lagi membuat keputusan yang membuat kami terkaget-kaget. Dia memilih ditempatkan di Aceh yang kala itu masih dilanda konflik. “Insya Allah tidak apa-apa kok. Saya kan bertugas untuk melayani masyarakat. Lagi pula, saya kan Muslimah,” ucapnya meyakinkan kami. Berangkatlah dia ke Aceh dan bertugas di sana selama sekitar dua tahun, meski kondisi kedua kakinya tetap tidak pulih seperti sedia kala. Usai bertugas di Aceh, dia pun ditempatkan sebagai staf pengajar di almamaternya.

Mengikuti jejak langkah seorang abangnya (almarhum) yang mengambil program s-2 di Enschede, Belanda, dia kemudian memperdalam ilmunya di Universitas Utrecht, Belanda. Selain itu, dia juga mengambil program s-2 di bidang akupunktur.  Usai mendalami ilmu di negeri orang, dia kemudian kembali ke almamaternya untuk mengabdikan dirinya bagi masyarakat.

Sebagai seorang dokter spesialis dan staf pengajar, dia selalu berusaha memberikan ilmu dan pengalaman terbaik yang dia miliki. Tanpa banyak kata. Namun, kondisi kedua kakinya tetap tak kunjung pulih dan akhirnya berakhir dengan terjadinya kejadian yang membuat kakinya mengalami fraktur.  “Mbak, semua pekerjaan alhamdulillah dapat saya laksanakan dengan baik dan tidak membuat saya risau. Yang membuat risau adalah kaki saya, kalau saya tiba-tiba mengalami seperti yang saya alami saat ini,” ucapnya pelan kepada istri ketika kami menjenguknya di Instalasi Gawat Darurat RSHS Jumat malam yang lalu.


Alhamdulillah, setelah dioperasi kemarin siang, kini dia sedang memasuki masa pemulihan. “Semoga Allah Swt. memulihkan kembali dari sakit  yang kau derita, Lel, dan kembali berkarya untuk masyarakat tanpa banyak kata seperti sebelumnya, amin,” gumam pelan bibir saya ketika berpamitan kepadanya tadi malam. 

Tuesday, August 18, 2015

BERSAMA SEORANG MATEMATIKAWAN  DARI ESSEX, INGGRIS

Teteh, bisa disambungkan dengan kamar yang diinapi Mas Hadi Susanto?”

Demikian ucap saya kepada resepsionis Hotel Sawunggaling, Bandung, kemarin sore, 16 Agustus 2015. Segera, petugas hotel itu menghubungi kamar yang saya minta. Tapi, tidak ada jawaban dari kamar tersebut.  “Maaf, Pak. Tidak ada jawaban. Mungkin, Pak Hadi Susanto masih di luar,” ucap petugas hotel yang berada di antara Kantor Rektorat Institut Teknologi Bandung (ITB) dan kampus Universitas Islam Bandung.

Sore itu, menjelang waktu asar, sesuai dengan janji saya kepada Mas Hadi Susanto, seorang matematikawan kondang asal Indonesia di Inggris, saya memang  akan menjemputnya di hotel tersebut, dan kemudian bersama menuju Pesantren Mini kami di Baleendah, Kabupaten Bandung.  Gagal menghubungi penerima Ganesha Prize tahun 2000 dari ITB tersebut, saya pun menunggu di pelataran hotel. Kemudian, setelah menanti sekitar sekitar 10 menit, seorang pria mengenakan baju berwarna merah muda dan berlengan pendek , bertubuh cukup gemuk,  dan berusia sekitar 35 tahun muncul dan mendekati saya. Meski belum pernah bertemu sama sekali, namun karena kerap melihat foto-fotonya di facebook, saya pun mengenalinya dan berucap, “Assalamu’alaikum, Mas Hadi Susanto ya.”
“Wa’alaikumussalam, ya Pak Rofi’”

Segera, selepas berjabat tangan, kami pun terlibat dalam perbincangan akrab seperti saudara yang lama tak berjumpa, meski kami baru pertama kali bertemu. “Kados pundi kabaripun, Pak Rofi’,” ucap suami seorang dokter lulusan Universitas Brawijaya, Malang itu  dengan bahasa Jawa halus. Sejenak saya tertegun, karena saya sebelumnya berpikiran, setelah meninggalkan Indonesia sejak 2003, ilmuwan yang lahir di Lumajang, Jawa Timur pada 27 Januari 1979  itu sudah tidak bisa berbahasa Jawa lagi. Ternyata, pikiran saya salah. Kemampuannya berbahasa Jawa ternyata  lebih halus dan lancar ketimbang kemampuan saya dalam berbahasa Jawa. “Alhamdulillah, sehat,” jawab saya singkat, karena saya masih tidak mengerti, mengapa ilmuwan berpenampilan sederhana yang sangat sibuk dengan berbagai kegiatan ilmiah ini ingin datang ke Pesantren Mini kami di Baleendah, Kabupaten Bandung.

Usai melaksanakan shalat Asar,  saya pun menyilakan tamu yang meraih gelar Ph.Dnya dari Universitas Twente, Belanda pada usia 27 tahun itu naik mobil. Segera, kami pun melintasi pelbagai jalan di seputar Kota Bandung. Sepanjang perjalanan, menuju Baleendah, kami berdua berbincang tentang banyak hal. Utamanya tentang perjalanan hidupnya kala muda yang mirip cerita dalam film 3 Idiots. Juga, tentang pengalamannya mengikuti Muktamar NU di Jombang, Jawa Timur.

Ketika saya tanya, mengapa lebih suka memilih mengajar di Inggris, bukan Belanda dan hanya mengajar selama dua tahun di Amerika Serikat, matematikawan yang  karyanya berjudul Tuhan Pasti Seorang Ahli Matematika akan segera terbit itu menjawab, “Selepas meraih gelar Ph.D, sebenarnya saya juga ditawari mengajar di Universiteit Twente, Enschede, Belanda. Tapi, saya merasa, jika saya meniti karier di almamater saya tersebut, saya merasa gerak saya kurang leluasa. Karena itu, saya kemudian meniti karier di University of Massachussets, Boston, Amerika Serikat. Di negara adikuasa itu saya hanya bertahan selama dua tahun. Selepas itu saya meniti karier di University of Nottingham, Inggris. Dan, kini, saya pindah ke Department of Mathematical Sciences di University of Essex. Menurut saya, suasana kehidupan sosial di kampus Inggris lebih menyenangkan ketimbang ketimbang kehidupan sosial di Amerika Serikat. Selain itu, karena saya meraih gelar Ph.D di bidang matematika di Belanda. Pak Rofi’ perlu ketahui, kurikulum matematika di perguruan tinggi Belanda lebih dekat dengan kurikulum matematika di perguruan tinggi Inggris daripada kurikulum matematika di perguruan tinggi Amerika Serikat.”

Kemudian, ketika melintasi JalanTerusan Buahbatu, saya pun mengajak Mas Hadi Susanto menengok kampus Telkom University. Termasuk mengitari Bandung Techno Park yang berada di lingkungan kampus itu. Ketika melihat penunjuk-penunjuk di lingkungan kampus itu nyaris semuanya dalam bahasa Inggris, Mas Hadi Susanto hanya berkomentar singkat, “Aneh!” Mendengar komentarnya yang demikian, saya pun hanya tersenyum saja.

Selepas menengok kampus Telkom University, segera saya membawa Mas Hadi Susanto menuju Pesantren Mini Nun Learning Center di Baleendah, Kabupaten Bandung. Begitu sampai di tempat, ternyata dua orang tua Mas Rudy Kusdiantara, seorang mahasiswa Indonesia di Inggris, sudah berada di situ. Saya, istri saya, Mas Hadi Susanto, dan dua tamu dari Kampung Mekarsari, Baleendah segera larut dalam perbincangan tentang Mas Rudy dan dunia pendidikan di Inggris. 

Tak terasa, waktu shalat Maghrib pun tiba. Kedua orang tua Mas Rudy pun berpamitan. Kami pun segera melaksanakan shalat Maghrib. Usai melaksanakan shalat Maghrib, tamu dari Essex itu pun saya “todong” untuk memberikan pencerahan alias ceramah kepada guru-guru di Pesantren Mini kami. Alhamdulillah, sesepuh NU di Inggris itu dengan senang hati mau berbagi ilmu dan pengalaman.

“Saya ini pengurus NU di Inggris,” ucapnya mengawali ceramahnya dengan nada suara pelan. “Saya sebenarnya malu duduk di depan untuk memberikan ceramah, karena saya mengenakan baju  berlengan pendek. Ayah saya mengajarkan, ketika menghadap kiai sebaiknya saya mengenakan baju berlengan panjang.” Dan, selepas memaparkan kisah perjalanan hidupnya sejak dari Lumajang, Bandung, Belanda, Amerika Serikat, dan Inggris, Mas Hadi Susanto kemudian memberikan kesempatan kepada para guru untuk bertanya.
“Alhamdulillah, Mas Hadi mau memberikan ceramah. Kapan beliau akan sempat datang lagi ke sini,” gumam pelan bibir saya melihat Mas Hadi menjawab sejumlah pertanyaan.
“Tujuan utama pengajaran matematika pada dasarnya adalah untuk membiasakan kita berpikir secara sistematis dan logis,” jawabnya ketika seorang guru bertanya tentang tujuan pengajaran matematika. “Weleh, ini sih menyindir saya yang tidak pernah belajar matematika,” gumam kembali bibir saya sembari tersenyum. Malu.

Selepas menikmati makan malam, dan sebelum kembali ke hotel di Kota Bandung, saya dan Mas Hadi Susanto melaksanakan shalat ‘Isya. Melihat matematikawan yang satu ini tidak berwudhu, bibir saya pun bergumam sangat pelan, “Hebat ahli matematika yang satu ini: sejak sore tidak berwudhu. Berarti dia dâim al-wudhu’ (orang yang senantiasa membiasakan dirinya senantiasa dalam keadaan berwudhu).”


Dari Baleendah, saya sengaja membawa Mas Hadi Susanto melintasi berbagai jalan di Kota Bandung. Ketika melintasi Jalan Asia-Afrika dan Alun-Alun Bandung, waktu itu saat sekitar pukul 9 malam, jalan dan alun-alun padat dengan manusia. Selain karena liburan panjang, juga karena esoknya Hari Ulang Tahun ke-70 Republik Indonesia. Setiba di hotel, kami berpisah. Dan sambil menyetir mobil, bibir saya pun berdoa pelan kepada Allah Swt., “Ya Allah, mudahkan langkah-langkah Mas Hadi dalam membangun peradaban yang luhur serta jadikanlah ilmu dan pengalaman yang didapatnya bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakat. Baik di dunia maupun di akhirat kelak, amin.” Selamat jalan, Mas Hadi. Matur nuwun atas kehadirannya di Pesantren Mini kami.

Tuesday, August 11, 2015

PERTEMUAN (IMAJINER) DI KUBAH AL-SHAKHRAH, JERUSALEM

Lo, bukankah itu Gerbang Raja Herodes!”

Begitu ucap bibir saya ketika saya mendapatkan diri saya tiba-tiba berdiri di perempatan yang memisahkan antara Salah e-Din St. dan Sultan Suleiman St., Al-Quds alias Jerusalem. Hal itu terjadi dalam mimpi saya pada malam Senin, 9 Agustus 2015, dua hari yang lalu. Mimpi terlempar jauh, ke Jerusalem, Palestina dalam tidur yang sangat pulas selepas menjadi sopir antara Jakarta – Bandung. Waktu saat itu menunjuk sekitar pukul tiga dini hari. Suasana di sekitar perempatan itu sepi sekali. Tidak ada orang yang lalu lalang. Satu orang pun tidak ada. Tidak jauh dari gerbang itu sebuah panser warna putih milik polisi Israel dan dihiasi bendera negara itu sedang bersiaga. Entah apa yang mau dihadapinya.

Menyadari berada tidak jauh dari Gerbang Raja Herodes, segera dalam benak saya menggelegak keinginan untuk menapakkan kaki menuju Kubah Al-Shakhrah (Dome of the Rock) dan Masjid Al-Aqsha. Dengan langkah pelan, saya pun segera memasuki gerbang itu dan kemudian menelusuri labirin lorong-lorong kecil menuju Masjid Al-Aqsha. Sepanjang perjalanan, saya tidak bertemu siapa pun. Ketika melintasi Via Dolorosa, lorong yang dikatakan sebagai lorong yang dilintasi Nabi Isa a.s. ketika memanggul salib, saya lama mencermati lingkungan itu dan merenung. Dan, kemudian, selepas berjalan sekitar 20 menit, langkah-langkah saya pun kian mendekati gerbang ke arah Kubah Al-Shakhrah dan Masjid Al-Aqsha.

Dari jauh saya melihat, dua polisi Israel dengan menyandang senjata berdiri di depan pintu. Mungkin karena melihat saya melangkah menuju ke arah mereka, mereka tampak siaga penuh. Apalagi saat itu dini hari yang sepi sekali.
Good morning! Selamat pagi!” ucap saya kepada mereka berdua, begitu langkah kaki saya kian dekat dengan pintu itu.
Hi man, where do you come from? Dari mana kau?” jawab salah seorang polisi itu, dengan nada suara galak.
From Indonesia,” jawab saya. Santai dan percaya diri, karena beberapa kali saya pernah melintasi pintu itu dan menghadapi pertanyaan serupa. Sepengetahuan saya, password “Indonesia” cukup mujarab untuk “membuka pintu itu”.
Okey, come in. Masuk!”

Begitu melintasi pintu itu, dua petugas keamanan Palestina segera menyegat saya dan bertanya dengan ramah. Tentu saja dalam bahasa Arab, “Kamu dari mana?”
“Dari Indonesia.”
Ahlan wa sahlan,” ucap dua petugas keamanan itu dan kemudian memeluk saya. “Silakan masuk. Itu banyak orang Indonesia sedang berkumpul di Kubah Al-Shakhrah. Ada seorang syeikh yang sedang memberikan khotbah?”
“Banyak orang Indonesia di Kubah Al-Sakhrah? Khotbah?” gumam saya dalam hati. “Lo, kok mereka dibolehkan berkumpul di dalam kubah itu?”

Mendengar penjelasan dua petugas keamanan demikian, saya pun segera melangkah cepat menuju kubah itu. Segera, dari kejauhan, mencuat sebuah bangunan persegi delapan dan di puncak bangunan itu bertengger sebuah kubah besar berwarna keemasan. Itulah Kubah Al-Sakhrah.

Kubah Al-Sakhrah, apa itu?

Kubah yang satu itu adalah sebuah kubah dalam lingkungan Masjid Al-Aqsha, Bait Al-Maqdis. Catatan sejarah menorehkan, kubah  itu dibangun di bawah pengarahan dua arsitek asal Jerusalem,  yaitu Raja’ bin Hayawah Al-Kindi dan Yazid  ibn  Salam.  Kubah ini dapat dikatakan merupakan cikal bakal  seni  Islami, yang   tujuan   dasarnya  untuk  mengekspresikan   akidah   yang terkandung dalam Al-Quran. Hal ini seperti tertampilkan pada lokasi   kubah  tersebut,  struktur  bangunannya,   dimensi   dan proporsinya,  bentuk-bentuk  yang terdapat  padanya,  warna-warna yang  menghiasinya,  garis  besar  luarnya,  dan simfoni ruang dalamnya.

Ide pendirian bangunan tersebut sebenarnya cukup menarik: ide untuk menampilkan lokasi batu yang menjadi tempat awal perjalanan Mi‘raj yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. menuju Sidrah Al-Muntaha, serta untuk melindunginya dari terpaan sinar matahari, hujan, dan hajaran perjalanan hari. Konon, ‘Umar ibn Al-Khaththablah yang pertama kali mengemukakan ide untuk memelihara batu tersebut. Karena itu, dia kemudian memerintahkan pendirian loteng dari kayu di atas batu tersebut. Loteng tersebut tetap bertahan hingga ketika ‘Abdul Malik ibn Marwan mengunjunginya. Penguasa Dinasti Umawiyyah, dengan pusat pemerintahannya di Damaskus, Suriah itu kemudian memerintahkan untuk menggantinya dengan sebuah bangunan artistik yang selaras dengan kedudukan batu tersebut dalam kalangan kaum Muslim.

‘Abdul Malik ibn Marwan mengawali pembangunan bangunan Kubah Al-Shakhrah pada 69 H/688-689 M. Pembangunan kubah ini baru rampung pada 72 H/691-692 M. Bangunan kubah ini merupakan sebuah ruangan lapang yang terdiri dari delapan sisi. Di atasnya terdapat sebuah kubah bundar yang indah yang tegak di atas struktur dari kayu. Bangunan ini, baik dari dalam maupun luar, diplester. Bagian dalam kubah dihiasi dengan ornamen-ornamen Byzantium yang sangat menawan, sedangkan bagian luarnya diberi warna keemasan. Al-Shakhrah tegak di dalam bangunan yang dikelilingi lingkaran bukaan dan tegak di atas lengkung-lengkung  lancip serta berada di atas tiang-tiang dan penyangga-penyangga dari pualam.

Begitu sampai di bangunan yang berbentuk segi delapan bak kristal yang  menggambarkan bumi, berlapis emas, dan memiliki tinggi dan garis tengah sekitar 25  meter  itu, saya pun segera menuju pintu di sebelah kanan dari arah saya datang. Sebelum memasuki bangunan itu, karena udara terasa dingin, sekitar 19 derajat celcius, saya pun menutupi muka saya dengan kafiyeh.  Dan, begitu langkah saya menapaki bagian dalam bangunan, mâ syâa Allâh, saya melihat banyak orang Indonesia sedang mendengarkan pengajian yang diberikan seseorang yang duduk di atas kursi.

Begitu mencermati mereka, betapa kaget saya. Orang yang memberikan pengajian itu, ternyata, adalah seorang kiai kondang yang sangat saya kenal, KH Ali Maksum, seorang mantan Rais Am PBNU. Dan, ternyata pula, orang-orang yang duduk di sebelah kanan kiai yang ahli tafsir Al-Quran itu adalah sejumlah kiai, ilmuwan, dan tokoh. Antara lain KH Abdul Hamid dari Pasuruan, seorang kiai yang terkenal tawadhu’ dan Prof. Dr. A. Mukti Ali. Tampaknya, mereka adalah para kiai dan pakaryang pernah menjadi sahabat dan murid menantu KH Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta itu ketika mereka menimba ilmu di Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur.

Sementara orang-orang yang duduk di depan kiai yang putra seorang kiai asal Lasem, Jawa Tengah, saya lihat sejumlah kiai terkemuka dari seluruh penjuru Indonesia. Dan, orang-orang yang duduk di sebelah kiri beliau adalah para petinggi dan tokoh Nahdlatul Ulama yang pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Termasuk Gus Dur, Gus Mus, Muzammil Basyuni, Said Aqil Siraj, Yusuf Muhammad, Masdar F. Mas’udi, Syihabuddin Qalyubi, Habib Syarif Muhammad, Yahya Cholil Staquf, dan lain-lainnya.

Saya pun diam-diam bergabung dengan kelompok terakhir itu. Tidak ingin mengganggu pengajian yang sedang berlangsung, selepas mengucapkan salam dengan suara pelan, saya pun duduk di belakang Masdar F. Mas’udi. Mâ syâa Allâh, ternyata, KH Ali Maksum saat itu sedang memberikan pengajian tentang “Larangan Mengangkat Pejabat yang Ambisius” dari Kitâb Riyâdh Al-Shâlihîn, karya seorang ulama terkemuka abad ke-7 H/13 M, Imam Al-Nawawi: pengajian yang memikat yang senantiasa saya ikuti selama lima kali bulan Ramadhan, ketika saya masih menjadi santri di Pondok Pesantren Krapyak. Semua yang hadir begitu khidmat mendengar pengajian yang disajikan dengan menawan dan sangat membuka wawasan. Pengajian yang senantiasa saya rindukan hingga kini.

Usai memberikan pengajian, tiba-tiba KH Ali Maksum mengarahkan pandangannya kepada Gus Mus. Lantas, tanya beliau kepada putra KH Bisri Mustofa, Rembang itu dengan nada penuh wibawa, “Mustofa! Kenapa kamu menolak tawaran untuk menjadi Rais Am PBNU?”
Nyuwun sewu, Kiai. Mohon maaf, Kiai,” jawab Gus Mus dengan suara pelan dan gemetar seraya menundukkan kepala. “Saya tidak pantas menduduki jabatan itu. Masih banyak para kiai sepuh yang lebih layak dan pantas dari pada saya untuk menduduki jabatan yang berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. kelak. Bukankah tadi Kiai dengan indah menjelaskan, Rasulullah Saw. melarang kita mengangkat pejabat yang ambisius. Saya khawatir, dalam hati saya ada sebutir ambisi dan riya’ ketika menerima jabatan itu. Nyuwun sewu Kiai, saya tidak kuasa menerima jabatan itu.”
“Benar sikapmu itu. Meski kadang jiwa senimu mencuat, tapi kamu cukup bijak. Kiranya Allah Swt. memberkahi sikap dan langkahmu, Mustofa.”
Amîn yâ Mujîb Al-Sâilîn, Kiai. Matur nuwun sanget, Kiai. Kersoho Kiai senantiasa mendoakan saya.”
In syâa Allâh, saya akan selalu mendoakan kamu. Tapi, jangan lupa tetap mendaras Kitâb Riyâdh Al-Shâlihîn.”
Inggih, Kiai.”

Usai berbincang dengan Gus Mus, pandangan KH Ali Maksum kemudian terarah lama kepada Said Aqil Siraj. Pandangan hadirin pun terarah pula kepada doktor lulusan Universitas Umm Al-Qura, Makkah itu. Tak lama selepas itu, beliau berucap, “Said! Saya tahu banyak tentang dirimu. Ayahmu, Kiai Aqil dari Kempek, Palimanan dan KH Mahrus Lirboyo banyak bercerita tentang dirimu kepadaku. Saya pun tahu, kamu cerdas, kuat membaca, dan memiliki wawasan yang luas. Namun, saya lihat, kamu ini sedikit ambisius dan kurang hati-hati dalam berbicara kepada masyarakat luas. Jagalah ucapanmu dan hati-hati setiap kali kamu memberikan pernyataan. Kamu tampaknya lama tidak menyimak Kitâb Riyâdh Al-Shâlihîn. Saya harapkan kamu, juga-juga para santri Pondok Pesantren Krapyak yang lain, sering menyimak kembali karya besar Imam Al-Nawawi itu, supaya kamu lebih tawadhu’ dan melakukan murâqabah dan muhâsabah. Pintar tapi tidak tawadhu dan jarang melakukan murâqabah dan muhâsabah akan membuat kamu sombong dan takabur.”
Inggih, Kiai,” jawab Said Aqil Siraj dengan suara pelan dan gemetar. “Nyuwun pandonganipun Kiai, mugi kawulo mboten dados tiyang ingkang sombong lan takabur.”
“Ya, seperti halnya Mustofa dan murid-muridku yang lain, selalu saya doakan, kiranya kalian semua tidak menjadi orang yang sombong dan takabur.”

Rampung berbicara dengan Said Aqil Siraj, pandangan KH Ali Maksum kemudian terarah kepada Masdar F. Mas’udi. Pandangan hadirin pun terarah pula kiai asal Ajibarang, Banyumas itu. KH Ali Maksum itu kemudian berucap kepada Masdar F. Mas’udi, “Masdar! Seperti halnya Said, kamu juga cerdas, memiliki bacaan yang luas, dan berwawasan luas. Kamu pun berani memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda. Tapi, saya juga meminta kamu untuk lebih berhati-hati dalam berpendapat. Bacalah kembali, sesering yang dapat kamu lakukan, Kitâb Riyâdh Al-Shâlihîn. Biar kalbu dan benakmu kian lembut dan tawadhu’. Saya masih percaya denganmu.”
Inggih, Kiai. Kadang, saya sempat menyimak kitab itu. Matur nuwun, Kiai sampun kerso paring nasihat dateng kawulo.”

Usai berucap demikian, KH Ali Maksum kemudian mengarahkan pandangan beliau kepada hadirin. Tak lama kemudian, beliau berucap, “Hadirin yang saya muliakan. Dini hari ini saya sengaja mengajak hadirin semua ke tempat ini, tempat yang pernah menjadi saksi kehadiran Rasulullah Saw. sebelum menghadap kepada Allah Swt. di Sidrah Al-Muntaha, dalam Peristiwa Mi‘raj, dengan tujuan supaya kita kembali menyimak dan meneladani teladan yang digariskan Rasulullah Saw. Karena itu, saya tadi sengaja memberikan pengajian Kitâb Riyâdh Al-Shâlihîn. Tentu, hadirin semua mengetahui, karya besar Imam Muhyiddin  Abu Zakariyya  Yahya  bin Syaraf bin Murri bin Hasan  bin  Husain  bin Hizam  bin  Muhammad bin Jum‘ah Al-Nawawi Al-Syafi‘i, yang berisi hadis-hadis pilihan, itu sarat dengan ajaran indah dari Rasulullah Saw. Dan, sebentar lagi shalat Subuh akan tiba. Mari kita bersama kita menuju ke Masjid Qibli (Masjid Al-Aqsha) di depan itu, untuk melaksanakan shalat Shubuh berjamaah di situ.”

Benar, tidak lama kemudian azan yang indah pun dilantunkan. Ternyata, azan tersebut tidak dilantunkan dari masjid dengan empat menara di Bait Al-Maqdis itu. Tapi, dari sebuah masjid dari dekat rumah saya di Baleendah, Kabupaten Bandung. Mendengar azan tersebut, saya pun terbangun dari tidur pulas. Dan, semua yang saya alami itu ternyata hanya mimpi belaka! Duh.


Monday, June 29, 2015

PENITI TANGGUH STRATA SOSIAL

Bapak, meniko IPK kulo semester meniko. Bapak, ini IPK saya semester ini.”

Demikian ucap seorang anak muda bertubuh kurus kepada saya menjelang  awal bulan Ramadhan yang lalu, seraya menyerahkan sebuah stopmap. Ketika stopmap yang berisi penjelasan tentang Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) anak muda itu dari sebuah universitas kondang di Bandung , ternyata IPK yang ia capai adalah 3,73. “Alhamdulillah,” gumam pelan bibir saya. “Ia benar-benar berjuang sepenuh hati.”
“Biar saya sampaikan kepada Ibu (maksud saya, istri saya) dulu, ya.”
Inggih. Ya.”

Ketika anak muda itu berlalu, segera benak saya pun melayang-layang ke belakang: sekitar 5 tahun yang lalu. Kala itu, kakak perempuan anak muda itu, yang ikut kami (saya dan istri) sebagai asisten rumah tangga, menyampaikan kepada kami bahwa ia memerlukan uang untuk dikirimkan kepada orang tuanya di sebuah desa di Jawa Tengah. Si kakak, yang menjadi salah satu tulang punggung ekonomi orang tuanya, beberapa tahun sebelumnya terpaksa meninggalkan desanya untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga kami sekeluarga. Padahal, ia  baru saja menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan nilai yang bagus.

Sayang, kemiskinan keluarganya membuat ia tidak kuasa melanjutkan pendidikannya. Namun, keinginannya untuk maju patut diacungi jempol. Sambil bekerja, ia kemudian mengambil kursus menjahit dan mengikuti pendidikan Paket C. Selain itu, ia juga mengikuti training untuk menjadi calon ustadzah pengajar Al-Quran. Selepas itu, tetap dengan bekerja bersama kami, ia kemudian juga kuliah. Karena memiliki otak yang cerdas dan kemauan yang membara, akhirnya semuanya dapat ia lalui, sehingga kemudian kini ia menjadi seorang guru Taman Kanak-Kanak dan ustadzah yang mengajar Al-Quran kepada anak-anak di Pesantren Mini kami serta hidup mandiri.

Sambil menyerahkan uang yang diminta, istri bertanya kepada si kakak, “Bagaimana kabar adikmu?”
Piyambake sampun lulus SMP. Namung, piyambake mboten saged nerusaken sekolahipun.  Sak meniko piyambake ngarit. Dia sudah lulus SMP. Tetapi, ia tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Sekarang  ia (kerjanya) mencari rumput (untuk makan terbak),” jawab si kakak pelan.
“Suruh ia ke sini, jika ia mau. Biar ia melanjutkan sekolah di sini sambil membantu di sini.”

Alhamdulillah, si adik dibolehkan kedua orang tuanya untuk melanjutkan sekolahnya di Baleendah. Karena nilai-nilai rapornya bagus, ia pun diterima di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Baleendah. Sambil belajar di sekolah tersebut, ia kemudian ikut training untuk menjadi ustadz yang mengajar Al-Quran untuk anak-anak. Dengan segera ia berhasil lulus training tersebut dan menjadi salah seorang ustadz di Pesantren Mini kami, seperti kakak perempuannya. Malah, karena pintar dan tekun, setelah lulus SMK tahun lalu, ia diterima di Universitas Telkom. Dan, lagi-lagi karena pintar dan tekun, ia selalu mendapatkan IPK yang tinggi.


Melihat pencapaian dan perjuangannya yang demikian, begitu ia berlalu, bibir saya pun bergumam pelan, “Allâhumma ij’alhu min ahl al-‘ilm wa ahl al-khair wa ahl al-tuqâ. Ya, jadikanlah ia termasuk orang-orang yang Engkau karuniai ilmu pengetahuan, kegemaran berbuat kebaikan, dan ketakwaan. Amin.” 

Friday, June 12, 2015

KETIKA SEORANG MUFTI MEMBERIKAN KULIAH

Saya akan datang! Sejak lama, selepas pulang dari Jerman, saya ingin mendengarkan kuliah mufti kita yang satu ini.”

Demikian ucap seorang jurnalis yang menggeluti dunia filsafat dan pemikiran kepada seorang sahabatnya. Perhatiannya, sejak muda usia, memang tercurah pada dua dunia itu, selain menggeluti profesinya sebagai seorang jurnalis. Karena itu, ketika ia mendengar mufti negerinya kala itu akan memberikan “studium generale” kepada para mahasiswa program pascasarjana di sebuah institut, ia pun dengan penuh semangat menyiapkan diri untuk menghadiri kuliah yang akan diberikan sang mufti yang mantan rektor sebuah universitas yang telah berusia sekitar 1.000 tahun itu.

Sebelum sang mufti tiba, sore itu ia sudah berada di auditorium institut tersebut. Sekitar 150 mahasiswa program pascasarjana  telah hadir di situ. Tak lama kemudian, sang mufti tiba. Sendirian tanpa pengawal atau pun pengiring. Melihat wajah sang mufti, sejenak ia terpana: betapa wajah itu memendarkan kewibawaan yang diwarnai kerendahan hati. Wajah sang mufti, dalam pandangannya, tampak memendarkan cahaya ilmu dan teladan yang menawan. Jenggot panjangnya yang memutih membuat kewibawaannya kian “bercahaya”, ditopang dengan serban putihnya dan jubah panjangnya yang berwarna hitam. Waktu saat itu menjelang saat shalat Maghrib.

Segera, sang mufti duduk di hadapan para mahasiswa: ada yang masih mengenakan seragam  militer, ada pula yang masih mengenakan baju dinas, dan ada pula mahasiswa yang mengenakan baju harian. Tak lama kemudian, sang mufti memberikan kuliah tentang Perjalanan Hidup Nabi Muhammad Saw. (Sîrah Nabawiyyah). Fase demi fase kehidupan sang Nabi pun dipaparkan sang mufti demikian menawan, dengan bahasa fushah (baku) yang indah dan nada suara yang santun tapi meyakinkan.

“Tak salah aku hadir pada sore hari ini. Betapa menawan kuliah yang diberikan mufti yang satu ini. Ilmu beliau memang luas sekali,” demikian gumam pelan bibir sang jurnalis mendengar kuliah yang diberikan sang mufti. “Semestinya, demikian inilah gambaran seorang ulama: merendah, berwibawa, berilmu, dan berwawasan luas.”

Tak lama kemudian saat shalat maghrib tiba. Tak lama selepas itu  salah seorang mahasiswa berucap kencang, “Ash-shalâh, ya syaikh! Saatnya shalat (maghrib), guru!” Ternyata, sang guru tetap melanjutkan kuliah yang ia berikan. Malah, paparannya tentang perjalanan hidup Rasulullah Saw. kian menawan. Paparan demi paparan menawan disampaikan sang mufti, sehingga waktu bergulir cepat mendekati saat isya’.  Menyadari hal itu, seorang mahasiswa berteriak kencang, “Ash-shalâh, ya syaikh!”

Meski ada teriakan kencang demikian, sang mufti tetap tidak menghentikan kuliah yang ia sampaikan. Karena itu, sejumlah mahasiswa pun keluar dari auditorium untuk melaksanakan shalat Maghrib. Dan, ketika saat isya’ tiba, sang mufti pun berucap, “Demikianlah kuliah tentang sirah nabawiyyah yang dapat  saya sampaikan hari ini. Betapa banyak pelajaran dan teladan indah yang dapat kita ambil. Kiranya kuliah yang saya paparkan bermanfaat bagi kalian.”

Usai berucap demikian, sang mufti diam sejenak. Dan, ucapnya selanjutnya, “Para mahasiswa sekalian. Tadi, ketika waktu maghrib tiba dan salah seorang di antara kalian berucap, “Ash-shalâh, ya syaikh,” tentu saya mendengarnya dan menyadarinya. Kemudian, ketika waktu isya’ menjelang masuk, saya juga mendengar teriakan salah seorang di antara kalian. Tetapi, saya tetap tidak menghentikan kuliah yang saya berikan. Mengapa? Saya ingin memberikan wawasan kepada kalian, hendaknya kita memahami hukum Islam dengan pandangan dan tinjauan yang luas. Saya ingin memberikan pandangan kepada kalian, suatu kegiatan ilmiah seperti ini dapat dijadikan landasan untuk menjama’ dua shalat. Memang, bisa saja ijtihad saya salah. Namun, ijtihad yang demikian ini kita perlukan dalam menghadapi perkembangan zaman yang bergerak demikian cepat. Banyak persoalan yang harus kita hadapi dan pecahkan dengan pandangan dan wawasan yang luas. Kalian sebagai para mahasiswa pascasarjana harus bisa memberikan contoh dalam hal ini. Tentu, hal itu harus bertolak dari niat dan maksud yang benar. Bukan karena didorong hawa nafsu. Wallâhu a’lam bi al-shawâb, wassalâmu’alaikum.”


Segera, sang mufti berdiri dan meninggalkan auditorium. Dan, melihat sang mufti berjalan di depannya, dengan langkah pelan, segera si jurnalis itu pun memburu sang mufti dan kemudian mencium tangan kanannya seraya berucap, “Terima kasih sekali atas kuliah yang guru sampaikan hari ini!”

Sunday, May 31, 2015

“SENJA HARI” SEORANG MAESTRO

Jalan Ganesha, Bandung, mungkin Anda tahu.

Ya, di jalan itulah Institut Teknologi Bandung berada. Demikian halnya, di jalan itu pula Masjid Salman ITB tegak dengan indahnya. Tapi, kali ini saya tidak akan bercerita tentang ITB maupun Masjid Salman ITB. Kali ini, saya akan bercerita tentang seorang maestro yang kantor biro arsitekturnya selama berpuluh tahun pernah menempati salah satu rumah di jalan yang beken itu.

Sekitar akhir penggal kedua bulan April yang lalu, ketika saya berada di Istanbul, Turki, saya menerima kabar tentang berpulangnya salah seorang putra sang maestro. Menerima kabar sedih demikian, saya hanya kuasa menahan kesedihan di negeri orang: tidak dapat bertakziah. Karena itu, ketika telah kembali dari negeri orang, kemudian saya menelpon beliau untuk dapat menemui beliau.  Menerima telpon dari saya, arsitek senior yang lahir Garut pada  Jumat, 11 Rabi‘ Al-Awwal 1343 H/10 Oktober 1924 M itu menjawab dengan suara pelan dan sangat santun, “Rofi’, silakan segera datang ke Jalan Ganesha no. 4.”

Apa yang terjadi ketika saya memasuki ruang kerja sang maestro: Achmad Nou’man?

Ketika saya memasuki ruang kerja beliau, ruang kerja itu tampak kosong. Tidak lama kemudian, beliau muncul dengan gurat kesedihan tampak “mewarnai” wajah beliau, meski beliau tetap tersenyum ketika menjabat tangan saya dan kemudian memeluk saya. Setelah dipersilakan duduk, saya kemudian bertanya kepada beliau, “Kok sepi sekali, Pak. Saya lihat hanya ada satu karyawan saja. Dan, ke mana peralatan kantor ini?”
“Rofi’,“ jawab Pak Achmad Nou’man sangat pelan seraya menarik napas panjang, “akhir pekan ini kami tidak lagi berkantor di Jalan Ganesha ini. Kami pindah di Dago Atas.”

Mendengar jawaban demikian, saya hanya kuasa menundukkan kepala. Dan, tak lama kemudian, Pak Achmad Nou’man kembali berucap, “Rofi’, bapak kan sudah berusia 89 tahun. Apa lagi yang bapak kejar. Apalagi setelah istri dan Irfan berpulang. Tapi, alhamdulillah bapak sehat saja. Doakan bapak ya, semoga bapak dapat meraih husn al-khatimah.”

Baru berbincang sekitar 10 menit, lantunan azan dari Masjid Salman ITB tiba-tiba memenuhi ruang kerja yang kosong itu. Setelah mengambil foto Pak Achmad Nou’man (lihat gambar) dan  menyerahkan Ensiklopedia Tokoh Muslim kepada beliau, saya pun pamit. Beliau mengantarkan saya sampai tangga di depan ruang kerja beliau. Dan, ketika langkah-langkah saya sampai di halaman depan masjid, saya lihat sejumlah mahasiswa sedangkan menggambar masjid yang dirancang Pak Achmad Nou’man itu. Karena penasaran, seraya menunjukkan foto beliau, saya iseng bertanya kepada salah seorang mahasiswa yang sedang menggambar masjid itu, “Dik, tahukah adik, foto siapakah ini?”
“Gak tahu, pak,” jawab mahasiswa itu seraya memandangi wajah saya penuh tanda tanya.
“Dik, inilah foto perancang masjid yang sedang adik gambar.”
“Oh! Maaf, saya gak mengenal beliau.”

Perasaan sedih bercampur heran pun segera menyergap benak saya, begitu mendengar jawaban yang demikian. Terbawa perasaan demikian, kemudian seusai melaksanakan shalat Zhuhur dan berzikir, saya pun mendoakan Pak Achmad Nou’man, “Ya Allah, jadikanlah karya-karya arsitektur Pak Achmad Nou’man sebagai amal jariah yang abadi bagi beliau, dan karuniakanlah husn al-khatimah kepada beliau, amin.”


Tuesday, May 26, 2015

CATATAN UNTUK SEORANG SAHABAT

Sore itu, dua hari yang lalu, tak lama setiba dari Ciwidey, Kabupaten Bandung, untuk menghadiri acara "family gathering" yang diadakan Sekolah Alam Gaharu, saya membuka facebook. Duh, begitu membuka media sosial tersebut, ternyata ada seorang sahabat menulis tentang diri saya. Seorang sahabat yang mantan editor sebuah penerbit di Yogyakarta itu kini bermukim di Pati, Jawa Tengah. Tulisannya berjudul "Teladan dari Penulis Buku-buku tentang Rasulullah" Dalam media sosial tersebut, ia menulis sebagai berikut,

Usianya sudah tidak muda lagi. Tapi stamina menulisnya masih terjaga dan belum tertandingi, setidaknya oleh saya yang masih muda. Kemarin ia menulis status di fb-nya: “Ya Allah, masihkah Engkau memberikan kesempatan lagi kepadaku menulis sebuah karya lain seperti karya ini? Semoga.” Di statusnya ia sertakan kover buku yang baru terbit berjudul Ensiklopedia Tokoh Muslim.

Beliau adalah teladan saya dalam dunia kepenulisan. Setiap kali malas melanda, tiba-tiba ingat wajah beliau, haha... Bagi beliau menulis sudah menjadi bagian dari hidupnya. Tidak ada hari yang tidak ia lewatkan untuk menulis, tentu saja saat sedang tidak kemana-mana, alias di rumahnya saja. Padahal hobinya adalah jalan-jalan, istilah beliau “keluyuran”. Bayangan kita keluyuran itu jalan-jalan tidak jelas, semacam cari angin. Bukan seperti itu kenyataannya. Keluyuran beliau itu menjadi guide jamaah umrah dari salah satu agen travel. Makkah dan Madinah adalah dua tempat keluyurannya beliau. Hasil keluyurannya ia bukukan yaitu Makkah dan Madinah dan Dari Istana TopKapi hingga Eksotisme Masjid Al-Azhar.

Saya baru sekali bertemu dengan beliau pada tahun 2013, yakni di kantor penerbit Mizan, Bandung. waktu itu saya diutus kantor untuk pergi ke Bandung menemui dua penulis, salah satunya adalah beliau. Kebetulan beliau ada perlu ke kantor Mizan, jadi kami janjian bertemu di sana saja. Pada saat lihat sosoknya, spontan saya berkata dalam hati, “Oh ini toh penulis buku produktif yang sering aku temui buku-bukunya di toko-toko buku.” Ada rasa bangga dan kagum. Bangga karena melihat secara langsung sosoknya. Kagum karena penampilannya biasa saja, hehe.. Ditambah karena usianya sudah kepala 6, tapi masih kencang menulisnya.

Di antara buku yang ditulisnya kebanyakan tentang Rasulullah Saw. yaitu, Muhammad Sang Kekasih, Pesan Indah dari Makkah dan Madinah, Wangi Akhlak Nabi, Rumah Cinta Rasulullah, Mutiara Akhlak Rasulullah, dan Teladan Indah Rasulullah dalam Ibadah. Oya beliau juga rajin menerjemah, salah satunya tema tentang Rasulullah juga, yaitu Muhammad Nabi Timur dan Barat. Apabila ingin melihat judul-judul yang beliau tulis dan terjemahannya juga secara lengkap, bisa dilihat di bukunya yang baru terbit, seperti Ensiklopedia Tokoh Muslim dan Kisah Para Pencari Nikmatnya Shalat.

Ada satu bukunya yang tak lama lagi akan terbit. Buku tersebut berjudul Jejak-Jejak Islam dengan subjudul Kamus Sejarah dan Peradaban Islam dari Masa Ke Masa. Proses penerbitannya saya tahu betul, mulai dari menunggu rampungnya beliau menulis buku ini, proses editing, proof reading, layouting, hingga pembuatan kovernya. Tentu saja saya tahu, karena waktu itu saya yang diberi amanah oleh bos menjadi penanggungjawab buku tersebut.

Proses Kreatif
Dalam note fb-nya beliau menceritakan proses kreatifnya. Ini mungkin bisa dijadikan bocoran rahasia produktifitas menulisnya. Setiap hari ia bangun dini hari sekitar pukul tiga pagi. Kemudian ia shalat malam. Sehabis itu, ia membuka jendela rumah dan menulis, menulis, dan menulis hingga adzan subuh. Dengan kebiasaan itu, ia merasa hidupnya bermanfaat, nyaman, dan sehat. Ternyata kebiasaannya itu terinspirasi dari tiga kiai: pertama ayahandanya, kedua, kiai asal Kudus (tenpat beliau dulu menimba ilmu), ketiga Kiai di Pondok Pesantren Krapyak. Sesuai kesaksiannya, ketiga kiai tersebut senantiasa bangun pukul tiga dini hari dan langsung beraktivitas.

Menurutnya, ketiga kiai itu tiada satu pun yang suka menggembar-gemborkan kebiasaan mereka yang baik dan indah itu. Tetapi, mereka tidak jemu-jemunya memberikan teladan dan contoh dengan tindakan dan perbuatan yang nyata. Nyaris setiap hari. Hasilnya luar biasa: kebiasaan itu pun “menular” tanpa dipaksakan kepada para santri, khususnya kepada diri beliau, yang nyata-nyata telah mewarisi kebiasaan tersebut.

Kini beliau sedang menyiapkan sebuah buku lagi yang proses penulisannya memerlukan waktu, kurang lebih 5 tahun. “... menyadari kedua mata yang "kian meredup" dan usia yang mendekati 63 tahun, saya ragu, apakah karya itu dapat saya selesaikan. Insya Allah, karya itu bermanfaat untuk semua. Karena itu, mohon doa semuanya, kiranya Allah Swt. masih memberikan kesempatan untuk merampungkan karya itu. Amin,” ujar beliau. Di kolom komentarnya lagi ia melanjutkan, “Nabi Saw. berpulang pada usia 63 tahun. Karena itu, saya ragu, tapi Insya Allah tetap akan saya lakukan, selesai atau tidak, Allah a'lam.”

Kira-kira beliau menulis buku apa ya? Kita lihat saja nanti. Menulis sepertinya sudah seperti bernapas bagi beliau. Tidak ada kata pensiun dalam berkarya. Mungkin ini yang dinamakan passion, ghirrah, himmah. Tiba-tiba saya teringat ucapan sastrawan Mesir yang bernama Naguib Mahfudz, “Andaikata keinginan menulis sempat meninggalkanku, aku ingin hari itu jadi hari terakhirku.”
Sehat selalu, Pak Ahmad Rofi' Usmani. Semoga ada kesempatan bisa main ke Baleendah, ndalem-nya beliau.[]

Ahad, 24 Mei 2015, Pkl. 21,08 WIB


Sejenak, usai membaca tulisan itu, saya terdiam. Tapi, saya tidak boleh tidak harus memberikan catatan atas tulisan itu. Karena itu, segera saya menulis suatu catatan sebagai berikut,  "Duh, mas Iqbal agak ngaco kali ini. Saya bukan penulis beken. Saya hanya orang biasa yang ingin melunasi utang kepada para ulama dan ilmuwan yang membuat wawasan saya terbuka, lewat karya-karya tulis mereka. Sebagai balas budi, saya pun berniat melanjutkan perjuangan mereka, dalam membuka wawasan sesama, dengan menulis. Apakah karya-karya saya bermanfaat atau tidak, itu bukan tugas dan wewenang saya. Apapun, terima kasih atas tulisan Mas Iqbal: bikin saya jadi ketakutan nih. Kapan ke Baleendah? Salam."