Saturday, April 27, 2013


Dendeng Gg. Idjan: Dendeng Kesukaaan Sultan Hassanal Bolkiah

Entah berapa kali saya diberi amanah menjadi “komandan” perjalanan antarnegara. Ketika dalam posisi demikian, yang paling membuat repot saya adalah ketika banyak di antara para “anak buah” terdiri dari ibu-ibu. Kenapa? Mereka suka membawa makanan dan masakan Indonesia. Ke mana pun mereka pergi. Tidak terkecuali minggu lalu, ketika kami “kluyuran” ke Jordania dan Palestina, sebuah perjalanan yang difasilitasi Khalifah Tour, Bandung. Dalam perjalanan itu, seorang ibu dari Pulau Bangka membawa krupuk bangka, seorang ibu dari Riau membawa makanan riau, seorang ibu yang suaminya dari Makassar membawa masakan dari ikan cakalang, dan dua orang ibu dari Semarang membawa makanan dari Jawa Tengah.  Membawa makanan dan masakan sejatinya bukan masalah. Tapi, di sisi lain, hal itu menjadi masalah bagi saya: kerap saya mendapat bagian. Akibatnya, setiap kali pulang dari perjalanan berat tubuh saya naik 1-2 kilogram.

Nah, malam itu, minggu lalu, ketika kami sedang menikmati malam di Amman, Jordania,  seorang ibu dari Bandung, sebut saja Ibu Nuke, tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak. Ketika kotak itu dibuka, wow, ternyata isinya dendeng dengan aroma nan sedap. Segera, Ibu Nuke menawarkan dendeng itu kepada saya, “Ustadz, coba dendeng ini. Ini Dendeng Gg. Idjan lo…”

Saya pun segera mengambil satu lembar dendeng tipis yang bentuknya miripnya krispi. Ketika dendeng itu saya cicipi, terasa oleh saya betapa lezat rasa dendeng itu. Benar-benar maknyuuus alias lezaaat sekali.  Merasakan dendeng yang lezat itu, saya pun bertanya kepada Ibu Nuke, “Ibu Nuke, di mana ibu beli dendeng ini?”
“Ustadz, bukankah sudah katakan, ini adalah Dendeng Gg. Idjan…”
“Dendeng Gg. Ijan? Di mana itu Gg. Idjan?”
“Ustadz tidak tahu Dendeng Gg.Idjan?”
“Benar, saya tidak tahu…”
“Sudah berapa tahun Ustadz tinggal di Bandung?”
“29 tahun…”
“Di mana Ustadz tinggal di Bandung?”
“Di Baleendah…”
“Sering naik angkot dari Terminal Kebon Kalapa ke Baleendah?”
“Sering sekali. Kenapa Ibu?”
“Ustadz Rofi’ keterlaluan. 29 tahun tinggal di Bandung dan kerap melewati Gg. Idjan, tapi tidak kenal Dendeng Gg. Idjan. Dendeng ini kan terkenal sekali di Bandung dan buatan seorang ibu di Gg. Idjan, tidak jauh dari Terminal Kebon Kalapa, ke arah Jalan Otista. Hanya sekitar sepuluh rumah dari terminal, lalu belok kiri. Ustadz Rofi’ KETERLALUAN….”

Mendengar kata-kata keterlaluan, entah kenapa membuat saya tiba-tiba teringat bahwa saya ternyata sebelumnya pernah menikmati Dendeng Gg. Idjan. Setelah merenung beberapa saat, saya pun teringat bahwa saya pernah menikmati Dendeng Gg. Idjan sekitar 1988, ketika saya diajak seorang paman (waktu itu menjadi salah seorang dekan di Universiti Brunei Darussalam, Brunei) ke Pondok Pesantren Al-Musaddadiyah, Garut, Jawa Barat. Kami waktu itu bertemu dengan pendiri pondok pesantren itu, KH. Anwar Musaddad (alm.), seorang kiai terkemuka yang pernah menjabat Rais Am Syuriyah Pengurus Nahdlatul Ulama.

Nah, ketika menikmati makan siang bersama kiai yang pernah menjadi seorang dekan di lingkungan Institut Agama Islam Negeri Jogjakarta, kala itu hidangan yang disajikan adalah Dendeng Gg. Idjan. Kala itu, sambil mengambilkan dendeng, kiai yang pernah menjadi guru agama dan penasihat ruhaniah Sultan Hassanal Bolkiah, Brunei itu berucap kepada paman saya, “Ustadz, coba dendeng ini. Ini adalah dendeng kesukaan Sultan Hassanal Bolkiah. Setiap kali saya ke Brunei, dendeng inilah yang menjadi oleh-oleh dari Bandung untuk beliau.”

Nah, jika Anda ke Bandung, jangan lupa cari itu Dendeng van Gg. Idjan ya: dendeng kesukaan Sultan Hassanal Bolkiah, Brunei!