Saturday, April 19, 2014

Sakit Gigi dan Syaikh 'Abdul Qadir Al-Jailani

Duh, ini mesti ada gigi yang lubang,” gumam pelan bibir saya pada dini hari Rabu, 16 April 2014, yang lalu, sambil memegang pipi kiri yang agak bengkak dan kepala terasa sangat nyeri. Meski menahan sakit, karena dini hari itu telah berjanji akan mengantarkan istri ke Bandara Husain Sastranegara, Bandung, saya pun segera bangkit dari tempat tidur. Dan, sepanjang perjalanan dari rumah menuju bandara, saya tidak banyak menceritakan sakit gigi itu kepada istri yang akan mengikuti simposium medis di Denpasar, Bali. Selepas istri berangkat, dan saya kembali ke rumah di Baleendah, nyeri karena sakit gigi itu kian “membara”. Segera, saya memberitahu istri yang kemudian memberikan resep obat harus segera saya beli dan obat itu kemudian saya minum.

Entah kenapa, ketika sedang menahan rasa sakit tersebut, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” jauh, Ya, melayang-layang jauh ke Baghdad, Irak, karena teringat pesan indah seorang sufi terkemuka bernama Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani. Sejak kecil, saya sejatinya sudah akrab dengan nama sufi terkemuka tersebut, karena ayah saya adalah seorang kiai yang pengikut Tarikat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Apa pesan sang sufi berkenaan dengan sakit yang hari itu sedang saya “nikmati”? “Orang yang sakit,” demikian pesan sang sufi, “adalah tamu Allah selama dia sakit. Setiap hari saat sakit, Allah Swt. mengaruniakan kepadanya pahala yang tidak terhitung, selama dia mengucapkan alhamdulillah (segala puja dan puji bagi Allah Swt. semata) dan tidak melawan serta mengeluh. Dan, ketika Allah memulihkan kesehatannya, Dia menghapus dosa-dosanya dan memberinya status seperti bayi yang baru lahir. Sakit adalah pengampunan dan berkah.”

Teringat pesan indah yang demikian, sakit gigi tersebut pun saya “nikmati” dengan ikhlas.  Dan, kini, siapakah jati diri Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani tersebut?

Bernama lengkap Abu Muhammad Muhyiddin  ‘Abdul Qadir bin Musa bin ‘Abdullah  Al-Jailani,  pendiri Tarikat  Qadiriyyah  ini  lahir di Desa Nif  atau  Naif,  Jailan, selatan  Laut Kaspia (kini masuk wilayah Iran), pada Ahad, 1 Ramadhan 470 H/18 Maret 1078 M. Selepas menimba ilmu  di kota kelahirannya, pada 488 H/1095 M ia dikirim ibundanya,  Fathimah bin ‘Abdullah Al-Shauma‘i, ke Baghdad. Di kota terakhir ini ia menimba ilmu dari sejumlah tokoh ilmuwan dan ulama dan menempuh jalan  sufi. Ia belajar ilmu fikih kepada Syaikh  Abu  Al-Wafa’ dan  Syaikh  Abu Al-Khaththab Al-Kalwazani. Sedangkan  di  bidang tasawuf ia menimba ilmu kepada Syaikh Abu Al-Khair Muhammad  bin Muslim  Al-Dabbas dan Abu Sa‘d Mubarak Al-Mukharrimi  dan  di bidang bahasa Arab kepada Abu Al-Husain Abu Ya‘la.

Di   samping  menimba  ilmu,  Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani  juga   acap   melakukan pengembaraan.  Antara lain, ke Persia, Mesir,  dan  Semenanjung Arab.   Tetapi,  akhirnya  ia  memilih  Baghdad  sebagai   tempat menetapnya.  Di  kota itu, ia mendirikan  padepokan  bagi  murid-muridnya  dan para sufi. Tasawuf, menurut ia, adalah  kebeningan dan  kebersihan dari kotoran jiwa dan hawa nafsu,  hubungan  yang benar dengan Allah dan akhlak yang mulia dalam hubungan  dengan sesama makhluk. Semua itu agar tasawuf benar-benar selaras dengan syariah, hingga menjadi dasar dalam hubungan antara sesama  mereka dan  dalam  hubungan  ibadah kepada  Allah.  Dengan  kata  lain, tasawuf harus selaras dengan Al-Quran dan Sunnah.

Dengan  pandangannya yang demikian ini, tak aneh bila  Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani dikenal  sebagai  sufi yang memiliki toleransi  yang  tinggi  dan sangat  menghormati tetangga, menjauhi kemewahan, dan  kenikmatan duniawi. Ini tercermin, misalnya, pada ucapannya, “Bukalah  mata jasmani  dan mata hatimu lebar-lebar terhadap dunia  yang  senantiasa mengecoh.   Hadapilah  dengan  meniadakan  hawa  nafsu,   tidak membiarkan  ajakannya dan bawalah ke arah pengabdian diri  kepada Allah  semata.”  Karena itu, tak aneh bila  ia  berpendapat  bahwa orang  harus  ditempa  dalam kesengsaraan  agar  mampu  merengkuh kedamaian batin. Allah Yang Maha Kuasa, menurutnya,  menghadapkan orang-orang  pilihan-Nya pada berbagai cobaan dan  godaan,  untuk menguji  kekuatan  iman  mereka  dan  mengangkat  mereka secara ruhaniah dan moral.  

Selain   sebagai  sufi,  Syaikh 'Abdul Qadir Al-Jailani  juga  seorang  faqîh   yang mengikuti  Mazhab Hanbali dan menguasai ushul fikih dan  fikih. Tak aneh bila ia mengaitkan tasawuf dengan Al-Quran dan  Sunnah. Karenanya  ia  mendapat  pujian  dari  seorang  pengkritik  keras tasawuf,  Ibn Taimiyyah. Di samping itu, ia juga terkenal  sebagai seorang  sufi  yang  selalu  memberikan  pengarahan  kepada  para muridnya  untuk  senantiasa takut dan patuh kepada  Allah.  Misalnya, suatu kala ia dimintai nasihat oleh seorang muridnya tentang  hal yang menyebabkan iman dan agama rusak. Jawab Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani, “Agamamu bisa sirna  oleh empat hal: engkau tidak mau beramal terhadap  sesuatu yang  tidak engkau ketahui, engkau tidak  mau  belajar  terhadap sesuatu yang tidak engkau ketahui, engkau lakukan pekerjaan  atas dasar  sesuatu yang  tidak engkau ketahui, dan engkau  menghalangi  orang untuk  belajar sesuatu yang tidak mereka ketahui.”

Sufi yang satu  ini menghadap  Sang  Pencipta di Baghdad pada Senin, 11 Rabi‘ Al-Akhir 561  H/14 Februari 1166  M,  dengan meninggalkan sejumlah karya. Antara lain Futûh Al-Ghaib dan Al-Fuyudhât Al-Rabbâniyyah.