Thursday, July 28, 2016

KEDUDUKAN TINGGI INI MERUPAKAN MUSIBAH

Tadi malam, ketika sedang menonton tivi dan  melihat pelantikan sejumlah menteri baru, entah kenapa benak saya tiba-tiba “terlempar” ke Baghdad. Ya, ke sebuah kota yang  didirikan oleh seorang penguasa terkemuka Dinasti Abbasiyah, Abu Ja‘far Al-Manshur, dan kini menjadi ibukota Irak. Entah kenapa pula, yang “melayang-melayang” dalam benak saya tadi malam adalah kisah kegundahan seorang penguasa terkemuka lain dinasti tersebut, seorang penguasa yang kerap ditampilkan dalam kisah Alf Lailah wa Lailah (1001 Malam): Harun Al-Rasyid.
Kala itu, sang penguasa tersebut sedang menunaikan ibadah haji di Makkah. Entah kenapa, pada suatu malam, ketika berada di Kota Suci itu ia merasa sangat gelisah dan resah. Karena tidak kuat menahan kegelisahannya yang kian mendera, meski saat itu di tengah malam, sang penguasa kemudian memanggil Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus, seorang menteri utama Dinasti ‘Abbasiyyah kala itu.
Ketika menteri utama itu telah berada di hadapannya, Harun Al-Rasyid lantas berucap pelan sambil menahan kegelisahannya, “Al-Rabi‘! Malam ini, bawalah aku kepada seseorang yang kuasa menunjukkan kepadaku, siapakah sejatinya aku ini.”
“Ada keperluan apa, Amir Al-Mukminin?” tanya sang menteri utama.
“Entah mengapa, saat ini aku merasa jemu sekali dengan segala kebesaran dan kebanggaan yang telah kurengkuh dan kunikmati selama ini!”
Mendengar ucapan sang penguasa, Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus lantas membawa Harun Al-Rasyid ke rumah Sufyan bin ‘Uyainah. Tokoh terakhir itu adalah seorang ahli hadis dan tafsir Al-Quran di Kota Suci kala itu. Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Sufyan bin ‘Uyainah bin Maimun Al-Hilali Al-Kufi.
Mendengar seseorang mengetuk pintu, Sufyan bin ‘Uyainah menyahut, “Siapakah di luar?”
“Amir Al-Mukminin!” jawab Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus.
“Mengapakah Amir Al-Mukminin sudi menyusahkan diri? Mengapa tidak dikabarkan saja kepada saya. Sehingga, saya datang sendiri untuk menghadap?”
Mendengar ucapan tersebut, Harun Al-Rasyid pun berucap kepada sang menteri utama, “Al-Rabi‘! Dia bukan orang yang kucari. Dia pun menjilat seperti yang lain-lainnya.”
Ucapan itu, ternyata, didengar sang ulama Makkah itu. Karena itu, dia pun berucap kepada sang penguasa, “Bila demikian, wahai Amir Al-Mukminin, Al-Fudhail bin ‘Iyadh adalah orang yang engkau cari. Pergilah kepadanya.”
Usai berucap demikian, Sufyan bin ‘Uyainah kemudian membaca ayat Al-Quran, “Apakah orang-orang yang berbuat aniaya menyangka bahwa kami akan mempersamakan mereka dengan orang-orang yang beriman serta melakukan perbuatan-perbuatan salih?”
Harun Al-Rasyid pun menimpali, “Andai aku menginginkan nasihat yang baik, tentu ayat itu mencukupi bagiku.”
Mereka lantas menuju ke rumah Al-Fudhail bin ‘Iyadh, seorang ulama Makkah yang terkenal hidup sangat sederhana. Ketika mereka tiba di rumah Al-Fudhail, mereka lantas mengetuk pintu. Mendengar ketukan di pintu rumahnya, Al-Fudhail bertanya dari dalam, “Siapakah di luar?”
“Amir Al-Mukminin!” jawab Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus.
“Apa urusan dia dengan aku dan urusanku dengan dia?” teriak Al-Fudhail.
“Al-Fudhail! Bukankah merupakan kewajiban rakyat untuk mematuhi para pemegang kekuasaan?” sergah Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus.
“Janganlah kalian mengganggu aku!”
“Haruskah aku mendobrak pintu dengan kekuasaanku sendiri atau dengan perintah Amir Al-Mukminin?” sahut Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus.
“Tiada sesuatu pun yang disebut kekuasaan!” ucap Al-Fudhail. “Jika engkau dengan paksa mendobrak masuk, engkau tentu tahu apa yang harus engkau lakukan!”
Harun Al-Rasyid kemudian masuk ke dalam rumah Al-Fudhail bin ‘Iyadh. Begitu melihat sang penguasa, Al-Fudhail lantas meniup lentera di depannya hingga padam agar dia tidak dapat melihat wajah sang penguasa. Harun Al-Rasyid kemudian mengulurkan tangannya dan disambut tangan Al-Fudhail yang kemudian berucap, “Betapa lembut dan halus tangan ini! Kiranya tangan ini terhindar dari api neraka!”
“Tuan Guru! Berilah aku nasihat,” ucap Harun Al-Rasyid.
“Leluhurmu, pamanda Rasulullah Saw. (maksudnya Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib), pernah meminta kepada beliau agar dia dijadikan pemimpin bagi sebagian umat manusia. Apa jawaban beliau? Jawab beliau, ‘Paman, bukankah aku pernah mengangkat engkau untuk sesaat sebagai pemimpin dirimu sendiri?’ Dengan jawaban itu Rasulullah Saw. memaksudkan bahwa sesaat mematuhi Allah adalah lebih baik daripada seribu tahun dipatuhi umat manusia. Kemudian Rasulullah Saw. menambahkan, ‘Kepemimpinan akan menjadi sumber penyesalan di Hari Kebangkitan kelak.’”
“Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu,” pinta Harun Al-Rasyid.
“Ketika diangkat sebagai penguasa, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz lantas memanggil Abu ‘Umar Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab, Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah bin Jarwal Al-Kindi, dan Abu Hamzah Muhammad bin Ka‘b bin Salim bin Asad Al-Qurazhi. Ucap ‘Umar kepada mereka, ‘Hatiku sangat gundah dengan musibah ini. Apakah yang harus kulakukan? Aku tahu, kedudukan tinggi ini merupakan musibah, walau orang-orang lain memandang kedudukan sebagai karunia.’ Sahut Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah, “Amir Al-Mukminin! Jika engkau ingin terlepas dari hukuman Allah di akhirat kelak, pandanglah setiap Muslim yang lanjut usia laksana ayahandamu sendiri, setiap Muslim yang muda usia laksana saudaramu sendiri, setiap Muslim yang masih kanak-kanak laksana putramu sendiri. Dan, perlakukanlah mereka sebagaimana seharusnya seseorang memperlakukan ayahanda, saudara, dan putranya.’”
“Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu,” pinta lagi Harun Al-Rasyid.
“Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah lebih lanjut berucap, ‘Wahai Amir Al-Mukminin! Anggaplah negeri yang engkau pimpin laksana rumahmu sendiri dan penduduknya laksana keluargamu sendiri. Jenguklah ayahandamu, hormatilah saudaramu, dan bersikap baiklah kepada putramu. Kusayangkan jika wajahmu yang tampan ini akan terbakar hangus di neraka. Takutlah kepada Allah dan taatilah perintah-perintah-Nya. Berhati-hatilah dan bersikaplah bijak, karena di hari kebangkitan kelak Allah akan meminta pertanggungjawabanmu seputar setiap Muslim yang engkau pimpin dan Dia akan memeriksa apakah engkau telah berlaku adil kepada setiap orang. Ingatlah, manakala ada seorang perempuan uzur yang tertidur dalam keadaan lapar, di hari kebangkitan kelak dia akan menarik pakaianmu dan memberikan kesaksian yang akan memberatkan dirimu!’”
“Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu!”
“Abu Hamzah Muhammad bin Ka‘b kemudian tampil memberikan nasihat,  “Amir Al-Mukminin! Engkau memiliki keberanian yang diwajibkan atas diri kita. Andai pada dirimu terdapat kekurangan dan kekhilafan, kita akan mengobatinya. Pegang teguhlah agama dan pikiran yang rasional, semua itu akan menopang dirimu dan menjadi kendali dirimu. Waspadalah terhadap orang yang mencintaimu karena ada pamrih terhadap dirimu. Karena manakala pamrih itu telah terpenuhi, cintanya akan sirna. Manakala engkau melakukan suatu kebaikan, peliharalah betul kebaikan itu. Dan, jadikanlah dunia sebagai tempatmu berpuasa dan akhirat sebagai tempatmu berbuka.’”
“Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu!”
“Abu ‘Umar Salim bin ‘Abdullah kemudian tampil memberikan nasihat, ‘Amir Al-Mukminin! Buatlah rakyat rela dengan sesuatu yang dirimu rela terhadap sesuatu itu. Juga, buatlah mereka tidak menyukai sesuatu yang dirimu tidak menyukai sesuatu itu. Dengan demikian, engkau selamatkan mereka dan mereka menyelamatkan engkau.’”
Mendengar nasihat dan petuah demikian, Harun Al-Rasyid pun tidak kuasa menahan lelehan air matanya dan termenung lama. Dan, selepas itu, dia berpamitan kepada sang Tuan Guru itu.

“Entah apa yang saat ini sedang menggelegak dalam benak para menteri baru itu, ketika mereka bersumpah akan melaksanakan amanah yang dibacakan Presiden. Wallâhu a‘lam,” demikian gumam pelan bibir saya melihat prosesi sumpah yang dilakukan para menteri baru itu. 

Friday, July 22, 2016

IBU NYAI

Ya Allah, ampunilah, kasihilah, maafkkanlah, jadikanlah kuburnya berpendar, dan jadikanlah surga sebagai tempat yang abadi bagi Ibu Nyai Hajjah Siti Fatma. Juga, karuniakanlah kesabaran, kesehatan, dan kemampuan memelihara diri kepada Gus Mus, amin.”

Entah kenapa, doa yang demikian itu tiba-tiba menggerakkan dua bibir saya tadi pagi, ketika saya membaca di facebook Gus Mus bahwa beliau serta putri-putri dan putra beliau sedang menyiapkan sebuah buku kenangan berjudul “Ibuku Kekasihku”. Rencananya, buku tersebut akan diterbitkan pada hari ke-40 berpulangnya istri tercinta Gus Mus. Dan, usai berdoa, tiba-tiba benak saya pun “melayang-layang” dan kemudian kisah sederet ibu nyai (istri seorang kiai) bermunculan dalam benak saya.

Ternyata, menjadi seorang ibu nyai tidaklah mudah dan tidak pula ringan. Ketika seorang perempuan menyatakan siap untuk menikah dengan seorang “calon” dan seorang kiai, sejatinya ia telah “melontarkan dirinya” dalam sebuah medan perjalanan dan perjuangan hidup yang tidak ringan. Sebab, menjadi istri seorang kiai kerap kali harus siap hidup pas-pasan, siap setiap waktu ditinggal sang suami untuk melayani masyarakat, siap setiap waktu mendampingi dan berbagi dengan sang suami dalam menghadapi berbagai masalah keluarga, masyarakat, dan negara, dan juga siap sewaktu-waktu kehilangan sang suami tercinta dan lain-lain sebagainya.

Oleh karena itu, tidak setiap perempuan siap dan kuat menjadi seorang Ibu Nyai. Suatu saat, ada seorang calon dokter yang menikah dengan putra seorang kiai terkemuka yang memimpin pesantren besar di Jawa Timur. Perempuan yang putri seorang profesor terkemuka tersebut menikah dengan suaminya di luar negeri. Namun, apa yang terjadi kemudian ketika mereka berdua kembali ke Tanah Air? Perempuan yang kini menjadi seorang dokter tersebut kaget dengan kedudukannya sebagai seorang Ibu Nyai dan tidak tahan menjadi pendamping hidup yang tangguh suaminya sebagai seorang kiai muda. Akhirnya, perempuan itu memilih berpisah baik-baik dengan suaminya.

Di sisi lain, ketika seorang Ibu Nyai berpulang ke hadirat Allah Swt. lebih dahulu daripada suaminya, ternyata tidak setiap kiai tahan dalam menghadapi “goncangan” yang terjadi. Kiai juga seorang manusia: kadang merasakan sangat kesepian ketika istri tercintanya telah tiada. Malah, ada yang kelabakan: berbulan-bulan kebingungan seperti kisah Pak Habibie selepas Ibu Ainun berpulang. Akhirnya, atas persetujuan putra dan putrinya, kiai tersebut menikah kembali: mengikuti pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang mendorong para suami yang istrinya berpulang untuk segera menikah kembali, untuk menghindari hal-hal yang tidak terpuji.


“Mbak Ienas, Mbak Almas, dan putra-putri Gus Mus lainnya, dampingi dan kasihi Abah kalian ya. Abah tentu sangat kehilangan Ibu Hajjah Siti Fatma, meski Gus Mus tidak menampakkan kehilangan yang dalam tersebut,” demikian gumam bibir saya sambil merenungi lama “catatan-catatan pendek” yang disajikan Gus Mus dalam facebooknya, selepas beliau hidup tanpa bersama Ibu Hajjah Siti Fatma lagi di dunia yang fana ini. 

Monday, July 18, 2016

GUS, IKUTILAH JEJAK LANGKAH KAKEKMU...!

Ya Allah, karuniakanlah limpahan cinta dan kasih sayang-Mu kepada Mbah Maimun...”

Demikian gumam pelan bibir saya, ketika saya melihat foto Al-Mukarram K.H. Maimun Zubair (alias Mbah Maimun), seorang kiai sepuh asal Sarang, Rembang, Jawa Tengah, di facebook salah seorang sahabat tadi malam. Dan, entah kenapa, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” ke tahun 2007, ketika saya bertemu pertama kali dengan Mbah Maimun, dan hingga kini belum pernah bertemu kembali dengan beliau.

Kala itu, saya sedang mendampingi jamaah sebuah travel dari Bandung untuk melaksanakan ibadah haji. Ketika kami sedang mabît di Mina, saya lihat banyak jamaah dari berbagai maktab mendatangi sebuah tenda di belakang tenda tempat kami mabît. Ketika saya tahu bahwa mereka ternyata berusaha sowan kepada Mbah Maimun, saya pun ikut antri bersama mereka untuk sowan kepada beliau. Meski saya belum pernah bertemu sama sekali dengan beliau, tapi saya sedikit tahu tentang “jati diri” beliau. Dan, Mbah Maimun akrab dengan keluarga kami di Cepu, Jawa Tengah.

Kemudian, ketika antrian saya sampai di hadapan beliau, beliau pun saya peluk. Lama. Masih dalam pelukan saya, Mbah Maimun bertanya kepada saya dengan suara pelan, “Njenengan niku sinten. Kulo kok kadose kenal wajah njenengan. Anda itu siapa. Saya kok kayaknya kenal dengan wajah Anda.”
Mbah, kawulo Ahmad Rofi’ Usmani, saking Bandung. Mbah, saya Ahmad Rofi’ Usmani, dari Bandung.”
Saking Bandung kok saged boso Jawi. Dari Bandung kok bisa bahasa Jawa.”
Inggih, Mbah, asal kawulo saking Cepu, dados saged boso Jawi. Iya, Mbah, asal saya dari Cepu, karena itu saya bisa bahasa Jawa.”
O, saking Cepu. Pirso Mbah Yai Usman. O, dari Cepu. Tahu Mbah Kiai Usman?”
Inggih, Mbah, kawulo wayahipun. Iya, Mbah, saya cucunya.”

Begitu mendengar jawaban terakhir tersebut, Mbah Maimun ganti memeluk lama saya sambil mengelus-elus punggung saya. Kemudian, ucap beliau dengan suara pelan, “Masya Allah, njenengan niku wayahipun Mbah Yai Usman to. Pantesan, kok kawulo rasanipun sampun kenal dangu kaliyan njenengan. Njenengan pinarak wonten mriki mawon, nggih. Ngancani kawulo. Masya Allah, Anda itu cucunya Mbah Kiai Usman to. Pantesan, kok saya rasanya sudah kenal lama dengan Anda. Anda duduk di sini saja, ya. Menemani saya.”

Sebenarnya, saya ingin menolak permintaan Mbah Maimun. Tetapi, merasa tidak tepat menolak permintaan beliau, saya pun duduk di samping beliau. Akibatnya? Saya pun kecipratan kehormatan beliau sebagai kiai sepuh, alias saya dapat “kramat gantung”: orang-orang yang menghadap beliau pun mengambil tangan kanan saya dan menciumnya, selepas mereka mencium tangan beliau. Melihat hal yang demikian, bibir saya pun bergumam pelan, “Wah gawat. Aku ini bukan siapa-siapa, kok mendapat penghormatan demikian ini.”

Melihat orang-orang yang mau sowan kepada Mbah Maimun kian mengular panjang, akhirnya saya pun berpamitan dengan beliau. Semula, beliau tidak mengizinkan saya berlalu. Tetapi, dengan berbagai alasan, beliau akhirnya mengizinkan saya pamit. Sambil memeluk saya, beliau berucap, “Gus, kawulo ndongaaken, njenengan saged kados Mbah Yai Usman: saged ndamel pesantren ingkang manfaat kangge umat. Gus, saya doakan, Anda bisa seperti Mbah Kiai Usman: bisa mendirikan pesantren yang bermanfaat bagi umat.”

Deg, betapa hati dan pikiran saya bingung dan gelisah mendengar pesan Mbah Maimun yang demikian. Pertama, panggilan "gus" membuat saya merasa bahwa saya tidak layak mendapatkan panggilan demikian. Lagi pula, meski putra dan cucu seorang kiai, namun sejak muda saya lebih suka tidak dikenal sebagai keturunan kiai. Saya lebih suka disebut dengan panggilan “Rofi’” saja, tanpa imbuhan apapun. Kedua, kala itu, saya tidak tertarik untuk menekuni dunia pendidikan, apalagi mendirikan pesantren. Saya lebih suka jadi tukang kluyuran yang tidak dikenal orang.

Namun, apa yang terjadi kemudian? Mungkin, karena doa Mbah Maimun yang ikhlas dan “mandi”, entah kenapa setahun kemudian Allah Swt. membukakan hati saya dan istri saya untuk mulai merintis Pesantren Mini kami yang kini kian berkembang.

Matur nuwun, Mbah Maimun,” demikian gumam pelan bibir saya dini hari tadi, sambil memandangi Pesantren Mini kami yang kini kian banyak murid dan santrinya.