Tuesday, September 19, 2017



MURIDKU, LAKSANAKAN HAJIMU SEKALI LAGI!

Entah kenapa, melihat beberapa sahabat dan kerabat saya pulang dari naik haji, tiba-tiba saya teringat perbincangan menawan seorang sufi terkemuka, Abu Bakar Dulaf bin Jahdar (Ja‘far bin Yunus) Al-Syibli dengan salah seorang muridnya yang belum lama usai naik haji. Tentu saja, perbincangan mereka berdua berkisar di seputar haji dan hikmah yang terkandung dalam ibadah tersebut.

“Indah sekali pesan yang terkandung dalam perbincangan itu!” 

Demikian gumam bibir saya selepas merenungkan perbincangan panjang tersebut. Kini, bila Anda berkenan, silakan simak perbincangan panjang menawan tersebut:

Suatu hari salah seorang murid sang sufi asal Khurasan tersebut menemuinya selepas naik haji. Usai berbagi sapa, sang sufi yang pernah menjadi Gubernur Demavend itu bertanya pelan kepada si murid, “Muridku, apakah engkau telah menyiapkan niat yang betul ketika engkau akan naik haji?”
“Sudah, Tuan Guru. Saya telah menyiapkan niat yang betul ketika naik haji.”
“Bersama dengan niat untuk naik haji, apakah engkau juga mempunyai niat untuk meninggalkan selamanya segala hal yang telah engkau lakukan sejak engkau dilahirkan yang bertentangan dengan semangat haji?”
“Tidak, Tuan Guru. Tidak saya lakukan.”
“Duh, muridku. Sejatinya dalam hal ini engkau tidak menyiapkan niat yang betul untuk naik haji.” Usai berucap demikian, kemudian sang sufi berucap, “Ketika mengenakan pakaian ihram, apakah engkau tanggalkan pakaianmu?”
“Ya, Tuan Guru.”
“Pada saat engkau tanggalkan pakaianmu, apakah engkau berjanji akan menanggalkan segala sesuatu darimu selain Allah Swt.?”
“Oh, saya tidak melakukannya, Tuan Guru.”
“Duh, muridku. Dalam hal demikian sejatinya engkau tidak menanggalkan pakaianmu. Apakah engkau membersihkan diri dengan mandi dan berwudhu?”
“Ya, saya membersihkan diri dengan cara demikian.”
“Pada saat itu, apakah engkau juga menjadi bersih dari segala dosa dan kesalahan?”
“Tidak. Mengenai hal itu, saya merasa tidak pasti.”
“Duh, muridku. Sejatinya dalam hal ini engkau tidak membersihkan dirimu. Apakah engkau mengucapkan, ‘labbaika...’?”
“Ya, saya mengucapkan, ‘labbaika...’”
“Apakah ketika mengucapkan ‘labbaika...’ engkau mendengar jawabannya dari Allah Swt.?”
“Tidak, Tuan Guru. Saya tidak mendengar jawaban apa pun.”
“Jika demikian, talbiyah macam apa yang engkau ucapkan? Dan, (ketika melaksanakan haji), apakah engkau memasuki Tanah Haram?”
“Ya, Tuan Guru. Saya memasuki Tanah Haram.”
“Ketika engkau memasuki Tanah Haram, apakah engkau berjanji akan meninggalkan setiap yang haram. Untuk selamanya?”
“Tidak, Tuan Guru. Saya tidak melakukannya.”
“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak memasuki sama sekali Tanah Haram. Apakah engkau berziarah ke Makkah?”
“Ya, saya berziarah ke Kota Suci itu.”
“Ketika engkau berziarah ke sana, apakah engkau melihat akhirat?”
“Tidak, Tuan Guru. Saya tidak melihat apa pun.”
“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak berziarah ke sana. Apakah engkau juga memasuki Masjid Al-Haram?”
“Ya, saya memasuki Masjid Al-Haram, Tuan Guru.”
“Ketika engkau memasuki Masjid Al-Haram, apakah engkau merasakan dirimu dekat dengan Allah Swt.?”
“Tidak, Tuan Guru. Saya tidak merasakan apa pun.”
“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak memasuki masjid itu. Apakah engkau melihat Ka‘bah?”
“Ya, Tuan Guru. Saya melihatnya.”
“Apakah engkau melihat Yang Wujud yang karena Dia Ka‘bah diziarahi.”
“Tidak, Tuan Guru. Saya tidak melihat apa pun.”
“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak melihat Ka‘bah. Apakah engkau melakukan raml (lari kecil) ketika melaksanakan tawaf?”
“Ya, Tuan Guru.”
“Ketika engkau berlari kecil demikian, apakah engkau merasa dirimu ingin keluar dari urusan duniawi?”
“Tidak, Tuan Guru.”
“Duh, muridku. Sejatinya, dalam hal ini engkau tidak melakukan raml. Apakah engkau letakkan tanganmu pada Hajar Aswad dan mengecupnya?”
“Ya, Tuan Guru.”

Mendengar jawaban muridnya yang demikian, tiba-tiba wajah sahabat seorang sufi terkemuka asal Baghdad, Al-Junaid, itu memucat dan tubuhnya bergetar karena takut sekali. Sehingga, jeritan kecil terlepas dari mulutnya. Beberapa lama kemudian tokoh yang  berpulang pada 334 H/846 M itu berucap, “Celakalah engkau. Rasulullah Saw. berpesan, ‘Barang siapa meletakkan tangannya di atas Hajar Aswad, dia bagaikan sedang berjabat tangan dengan Allah Swt. Dia akan selamat dari segala-galanya.’ Apakah engkau merasakan sesuatu dari keselamatan itu?”
“Tidak, Tuan Guru. Saya tidak merasakan apa pun.”
“Duh. Sejatinya engkau tidak menyentuh Hajar  Aswad, muridku. Apakah engkau melaksanakan shalat dua rakaat di dekat Maqam Ibrahim?”
“Ya, Tuan Guru. Saya melaksanakan shalat dua rakaat di tempat itu.”
“Suatu ketika engkau akan ditempatkan di suatu tempat yang tinggi oleh Allah Swt. Apakah engkau ketika itu merasa sedang melaksanakan urusan tersebut dengan kedudukan yang tinggi yang mendorong engkau berdiri di situ?”
“Tidak, Tuan Guru. Saya tidak melakukan apa pun.”
“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak melaksanakan shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim. Apakah engkau melaksanakan sa‘i di antara Shafa dan Marwah serta mendaki Shafa?”
“Ya, Tuan Guru.”
“Apakah yang engkau lakukan di sana?”
“Saya melantunkan takbir tiga kali dan berdoa kepada Allah Swt. agar menerima haji saya.”
“Apakah para malaikat juga melantunkan takbir bersamamu? Dan, apakah engkau memahami pengertian takbir?”
“Tidak, Tuan Guru.”
“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak melantunkan takbir. Apakah engkau turun dari Shafa?”
“Ya, Tuan Guru.”
“Ketika engkau turun dari bukit tersebut, apakah engkau merasa bahwa segala kemaksiatan dan kelemahan lepas dari dirimu serta kebeningan jiwa merasuki dirimu?”
“Tidak, Tuan Guru.”
“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak turun dari Shafa. Apakah engkau berlari  kecil antara Shafa dan Marwah?”
“Ya, Tuan Guru.”
“Ketika berlari kecil, apakah engkau merasa dirimu melarikan diri jauh dari segala sesuatu selain Allah Swt. dan sampai kepada-Nya?”
“Tidak, Tuan Guru.”
“Jika demikian, engkau tidak berlari kecil. Apakah engkau mendaki Marwah?”
“Ya, Tuan Guru.”
“Ketika berada di Marwah, apakah engkau merasakan ketenangan jiwa dan kedamaian yang dikaruniakan kepadamu?”
“Tidak, Tuan Guru.”
“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak mendaki Marwah. Tuturkan kepadaku, apakah engkau meneruskan perjalanan menuju Mina?”
“Ya, saya melakukannya.”
“Ketika berada  di Mina, apakah engkau mendambakan harapan kepada Allah Swt. bahwa engkau tidak akan melakukan kemaksiatan?”
“Tidak, Tuan Guru.”
“Hal itu berarti engkau tidak pergi ke Mina. Apakah engkau berziarah ke Masjid Khaif?”
“Ya, Tuan Guru.”
“Apakah mengalami ketakutan kepada Allah Swt. yang belum pernah engkau alami sebelumnya?”
“Tidak, Tuan Guru.”
“Hal itu berarti engkau tidak berziarah ke Masjid Khaif. Apakah engkau sampai ke ‘Arafah?”
“Ya, Tuan Guru.”
“Ketika berada di ‘Arafah, apakah engkau tahu, apakah sebab kehadiranmu di dunia ini, apa yang engkau lakukan di sini, ke mana engkau akan pergi selepas ini, dan apakah tahu hal-hal yang menunjukkan ke arah semua itu?”
“Tidak, Tuan Guru.”
“Duh, muridku. Dengan demikian, sejatinya engkau tidak mendatangi ‘Arafah. Apakah engkau mendatangi Muzdalifah?”
“Ya, Tuan Guru.”
“Ketika berada di Muzdalifah, apakah engkau mengingat Allah, sehingga segala sesuatu engkau lupakan ketika nama Allah Swt. disebut? (Hal ini merujuk pada firman Allah Swt.,
 Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. Karena itu, apabila kalian telah bertolak dari ´Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy´ar Al-Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepada kalian; dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” (QS Al-Baqarah [2]: 198))
“Tidak, Tuan Guru.”
“Dengan demikian, sejatinya engkau tidak sampai ke Muzdalifah. Apakah engkau melaksanakan korban di Mina?”
“Ya, Tuan Guru.”
“Apakah engkau mengorbankan dirimu?”
“Tidak, Tuan Guru.”
“Jadi, engkau tidak berkorban apa pun. Apakah engkau melontar jamarat?”
“Ya, Tuan Guru.”
“Ketika engkau melontar jamarat, apakah engkau merasakan dirimu melontar segala kebodohanmu dan merasa ilmu pengetahuanmu bertambah?”
“Tidak, Tuan Guru.”
“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak melontar jamarat. Apakah engkau melakukan ziarah?”
“Ya, Tuan Guru.”
“Apakah engkau merasakan terjadinya peningkatan ruhaniahmu dan turunnya penghormatan serta kemuliaan dari Allah Swt. kepadamu? Karena Rasulullah Saw. berpesan, ‘Barang siapa melaksanakan haji atau barang siapa melaksanakan umrah, dia menjadi tamu Allah’, dan manakala dia berziarah kepada seseorang, merupakan haknya untuk dihormati.”
“Tidak, Tuan Guru. Saya tidak merasakan apa pun.”
“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak melakukan ziarah apa pun. Apakah engkau kemudian menanggalkan kain ihram yang engkau kenakan dengan tahallul?
“Ya, Tuan Guru.”
“Ketika engkau menanggalkan kain ihram, apakah engkau berjanji akan mencari nafkah yang halal sepanjang masa?”
“Tidak, Tuan Guru.”
“Duh, muridku. Sejatinya, dengan demikian, engkau tidak menjadi halal (menanggalkan kain ihram). Apakah engkau melakukan Tawaf Wada‘?”
“Ya, Tuan Guru.”
“Apakah engkau juga menyatakan selamat tinggal sepenuhnya kepada hawa nafsumu?”
“Tidak, Tuan Guru.”
“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak melakukan Tawaf Wada‘. Kembalilah ke Tanah Suci. Laksanakan hajimu sekali lagi. Laksanakanlah sebagaimana telah kupaparkan kepadamu.”

Kisah yang indah dan sarat dengan pesan. Kiranya kita semua dapat menjadikan kisah indah tersebut sebagai renungan dan pelajaran.
Semoga!

Thursday, September 14, 2017



MENGAPA TIGA ACARA PERNIKAHAN ITU MAS BORONG SEMUA...

Alhamdulillah, acara pernikahan Naila dan Nana lancar ya, Mas,” demikian ucap seorang kerabat kepada saya selepas acara akad nikah dan resepsi pernikahan putri ke-2 saya dengan Nana Taryana, Sabtu, 9 September 2017 yang lalu.
“Alhamdulillah,” jawab saya.
“Sebagai orang yang menghadiri acara pernikahan tersebut, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan kepada Mas. Mengapa dalam rangkaian acara tersebut, kayaknya Mas tidak rela menyerahkan beberapa bagian acara kepada orang lain. Termasuk kepada kiai-kiai dan penghulu yang hadir.”
“Contohnya?”
“Acara khutbah nikah, akad nikah, dan doa selepas akad nikah. Biasanya, khutbah nikah dan doa selepas nikah dilakukan bukan oleh ayah mempelai perempuan. Kalau akad nikah sih saya faham. Jadinya, sepertinya tiga acara tersebut Mas borong semua.”

Menerima pertanyaan demikian, saya sejenak diam seraya tersenyum. Diam untuk mengingat kembali rangkaian acara pernikahan putri ke-2 saya tersebut. 

“Baiklah,” ucap saya beberapa saat kemudian. “Yang pertama-tama perlu diketahui, saya bukan seorang penceramah piawai. Saya juga bukan seorang kiai dan saya baru pertama kali menikahkan. Itu catatan saya.”

Usai berucap demikian, saya kemudian berhenti berucap sejenak. Kemudian,  ucap saya selanjutnya, “Kini, mengapa tiga “tugas” tersebut saya borong? Khutbah nikah, yang dilaksanakan sebelum akad nikah, adalah pengantar acara akad nikah. Bagi saya, sebaiknya khutbah nikah dilakukan ayah si (calon) mempelai perempuan, bila si ayah mampu melaksanakannya. Selain meneladani apa yang dilakukan Rasulullah Saw. ketika menikahkan putri tercinta beliau, Fathimah Al-Zahra’, dengan Sayyidina ‘Ali bin Abu Thalib, juga karena inilah momen paling tepat bagi si ayah untuk menyampaikan arahan kepada kedua mempelai. Dalam hal ini, tentu si ayah yang paling tahu tentang apa yang perlu dikemukakan dan dipesankan kepada mereka berdua. Bukan kiai-kiai atau penghulu yang hadir. 

Momen ini sangat penting, karena dalam momen tersebut si ayahlah yang paling mengetahui “kisah” dan “mimpi” mereka berdua. Dalam acara khutbah nikah tersebut, saya tentu “membaca” masa: masa lalu, masa kini, dan masa depan mereka berdua. Dalam kesempatan khutbah nikah tersebut, sejatinya saya ini menekankan beberapa hal yang perlu mereka pegang teguh dalam mengarungi kehidupan baru mereka: hendaknya mereka senantiasa berusaha meneladani kehidupan rumah tangga Rasulullah Saw., senantiasa berakhlak mulia, senantiasa memelihara silaturahim dengan siapa pun tanpa memandang jabatan, gelar, dan posisinya, senantiasa mencari rezeki yang halal dan thayyib, dan tentunya senantiasa mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.”

“Bagus, Mas. Seperti saya katakan tadi, kalau akad nikah dilaksanakan oleh si ayah sih saya mengerti. Tapi, kini, bagaimana halnya dengan doa pernikahan. Kenapa tidak oleh kiai-kiai lain atau penghulu yang hadir?”
“Ada-ada saja pertanyaan Anda ini. Doa seorang ayah untuk anak-anaknya, apalagi doa seorang ibu, manakala dipanjatkan dengan sepenuh dan setulus hati, merupakan doa yang diaminkan para malaikat. Tentu, dalam acara tersebut, saya ingin mendoakan kedua mempelai dengan doa terbaik kepada Allah Swt. Wajar kan, jika kesempatan untuk berdoa tersebut tidak saya serahkan kepada orang lain.”
Matur nuwun, Mas, atas pencerahannya. Mudah-mudahan apa yang Mas lakukan juga akan saya lakukan kelak. Semoga.”