Tuesday, December 28, 2010

Kisah Petualangan Ibn Baththuthah


“Ibn Baththuthah, betapa jauh nian jarak yang engkau tempuh dalam petualanganmu,” gumam penulis ketika sedang membaca sebuah karya tentang pengelana yang satu itu. Entah kenapa, saat ini penulis sedang “menggemari” pelbagai karya yang berkaitan dengan tokoh asal Maroko itu. Satu demi satu, pelbagai karya tentang tokoh berdarah Berber itu mulai berada di tangan.

Kini, bagaimanakah sejatinya kisah petualangan tokoh yang satu ini: kisah perjalanan yang menyita sekitar seperempat abad dari usianya, suatu perjalanan luar biasa, hingga untuk ukuran dewasa ini sekalipun?

“Pada 750 H/1349 M,” demikian tutur Douglas Bullis dan Norman MacDonald dalam tulisannya “From Pilgrim to World Traveler” (Saudi Aramco World, Juli/Agustus, 2000), “seorang penunggang kuda berpakaian lusuh dan berusia tengah baya berjalan pelan menuju Kota Tangier, yang terletak di sebuah pantai Afrika Utara. Ketika ia meninggalkan kota kelahirannya, Tangier, 24 tahun sebelumnya (pada masa pemerintahan Dinasti Mariniyyah), ia tak pernah merancang akan melakukan perjalanan yang ternyata kemudian “memakan” masa mudanya hingga ia memasuki usia tengah baya baru kembali ke kota kelahirannya itu. Ya, seperempat abad hidupnya berlangsung dalam petualangan. Dan, selama itu, sekalipun ia tak pernah menengok bumi kelahirannya!

Ketika kedua mata pria tengah baya itu menatap kota kelahirannya, tokoh yang lahir pada Senin, 17 Rajab 703 H/ 24 Februari l304 M dengan nama lengkap Syamsuddin Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin Yusuf Al-Lawati Al-Thanji dan lebih terkenal dengan Ibn Baththuthah itu pun segera mencermati, satu demi satu, rumah-rumah yang menempati suatu lokasi melengkung sepanjang tepi Lautan Atlantik. Kala itu, ia mencoba “menampilkan kembali” seluruh rekaman kota yang telah ia tinggalkan semenjak sekitar seperempat abad sebelumnya. Segera, kenangannya ketika ia memulai kelana panjangnya pun muncul dalam benaknya.”

Pada 725 H/1325 M, kala baru berusia sekitar 21 tahun, anak muda berdarah Berber itu dengan perasaan enggan meninggalkan kedua orang tuanya, dengan bekal seekor kuda, uang, dan kain ihram, dengan tujuan untuk naik haji ke Makkah lewat jalan darat. Kota Suci itu berjarak sekitar 5.000 kilometer dari kota kelahirannya. Wajar, bila ia merasa gamang, karena merasa ia belum tentu bisa kembali lagi ke bumi kelahirannya. Berdasarkan penuturan jiran-jirannya yang pernah naik haji sebelumnya, perjalanan antara Tangier dan Makkah kala itu bukanlah perjalanan yang ringan dan aman. Apalagi, perjalanannya ke Makkah itu merupakan awal perjalanannya menempuh jarak ribuan kilometer. Dimulai dari Tangier, Maroko, lantas menuju Damaskus, dan kemudian Madinah hingga ke Makkah. Medan yang ia lintasi kala itu pun cukup berbahaya dan rawan gangguan keamanan, seperti melintasi gurun sahara, pegunungan, dan Sungai Nil.
Ternyata, rasa takut Ibn Baththuthah terbukti. Ketika sedang di tengah-tengah perjalanan di gurun pasir, ia pernah bersua dengan sekelompok perampok. Malah, ia sempat berkelahi dengan kawanan perampok itu. Akibatnya, anak Maroko itu nyaris dibunuh kawanan perampok itu. Untung, ia mendapatkan pertolongan dari salah seorang pimpinan perampok tersebut. Selamatlah ia!

Perjalanan Ibn Baththuthah bersama para jamaah Tangier lainnya itu, menempuh keringnya hawa Laut Mediterranea dan di tengah teriknya daratan berpasir Afrika Utara, hanya dengan berjalan kaki. Selepas menempuh jarak sekitar 3.500 kilometer, Kota Alexandria menjadi kota pertama yang ia singgahi. Selepas itu, ia mampir di Kairo beberapa lama. Dari Kairo, ia kemudian melanjutkan perjalanannnya dengan melintasi rute yang melalui Kota Bait Al-Maqdis, Aleppo, dan Damaskus, bersama kafilah para jamaah haji yang menuju Makkah. Tetap dengan berjalan kaki. Rombongan itu berhasil mencapai Makkah dalam waktu 18 bulan, pada Dzulqa‘dah 726 H/Oktober 1326 M. Sebulan menjelang dimulainya ibadah haji tahun itu.

Ternyata, selepas itu, jarak yang kemudian Ibn Baththutah lintasi tak hanya sekitar 5.000 kilometer saja. Tapi, lebih dari 100.000 kilometer! Hal itu berbeda sekali dengan langkah sebagian besar kaum Muslim kala itu yang selepas naik haji lantas kembali ke negeri mereka, karena kondisi kala itu tak memungkinkan mereka berlama-lama berada di tengah-tengah perjalanan. Tentu saja, karena keamanan dan sarana transportasi belum terjamin dan selancar dewasa ini. Ketika Ibn Baththuthah memulai kelananya, hal itu terjadi lebih dari 125 tahun sebelum Christopher Columbus, Vasco da Gama, dan Ferdinand Magellan melakukan kelananya. Tak aneh jika Ibn Baththuthah kerap disebut sebagai “pengelana masa pertengahan” dan “pengelana seluruh kawasan dunia Islam” di masanya.

Memang, Ibn Baththuthah adalah seorang pengelana dan petualang sejati. Mengapa?
Karena lewat petualangan dan kelana tersebut, ia berkesempatan mengunjungi pelbagai kawasan dunia kala itu: Spanyol, Rusia, Turki, Persia, India, China, dan seluruh Semenanjung Arab. Tidak hanya itu. Catatannya tentang pelbagai kawasan yang ia kunjungi, baik apakah tentang aspek keagamaan, sosial, dan politik, mampu memberikan gambaran dan pencerahan tentang kebudayaan yang berkembang di kawasan yang ia kunjungi itu. Menurut para pakar, jarak yang dilintasi Ibn Baththuthah dalam perjalanannya itu tak tertandingi oleh siapa pun hingga ditemukannya kapal uap. Termasuk Marco Polo, Magellan, dan Columbus! Tokoh suku Limatah, Berber, dan putra seorang qâdhî ini memang suka berkelana dan berpetualang. Dua puluh delapan tahun dari usianya, antara 725-754 H/1325-1353 M, ia habiskan di tengah-tengah perjalanan.

Selepas mengunjungi Makkah untuk menunaikan ibadah haji, Ibn Baththuthah lantas menuju Madinah, Damaskus (selama di kota ini ia menikah dan memiliki seorang putra yang tak pernah bertemu dengannya), Irak, Iran, lalu kembali ke Makkah. Di Kota Suci itu, untuk kedua kalinya, ia bermukim selama tiga tahun. Selama itu, pengelana yang haus ilmu ini kemudian menimba ilmu kepada sejumlah ulama dan ilmuwan. Puas menimba ilmu, dari Tanah Suci ia lantas mengayunkan langkah-langkahnya ke Yaman, lantas menyeberangi Laut Merah menuju Afrika dan mengunjungi Ethiopia, Mogadishu, Mombassa, Zanzibar, dan Kilwa.

Dari Somalia Ibn Baththuthah kemudian menapakkan kaki menuju Suriah. Selepas melintasi Suriah, ia kemudian memasuki wilayah Anatolia (kala itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Saljuq), Turki, naik sebuah kapal Genoa. Dari Alanya, ia kemudian menuju Konya lewat jalan darat. Selepas itu, ia menuju Sinope yang terletak di tepi Laut Hitam. Perjalanannya selanjutnya mengantarkannya ke Caffa (kini Theodisia), Ozbeg, dan Astrakhan. Dari Astrakhan, ia kemudian balik ke Constantinople (kini Istanbul dan kala itu masih di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi Timur). Betapa ia sangat mengagumi kota terakhir itu. Di kota itu, menurut catatannya, ia melihat banyak pendeta dan biarawati. Di kota itu pula, ia bertemu dengan Kaisar Andronicus III Palaelogus dan mengunjungi St. Hagia Sophia. Tapi, ia menolak masuk ke dalam gereja itu (kala itu belum lagi diubah menjadi masjid, karena masih di bawah kekuasaan Kekairan Romawi Timur). Alasannya, ia tak mau melintas di bawah palang salib.

Selepas sekitar satu bulan berada di Constantinople, Ibn Baththuthah kemudian balik lagi ke Astrakhan. Dari Astrakhan, dengan melintasi Laut Kaspia dan Aral, ia kemudian menuju Bukhara dan Samarkand. Dari Bukhara dan Samarkand, ia kemudian mengarahkan perjalanan ke selatan, menuju Afghanistan. Selepas itu, India menjadi kawasan berikutnya yang ia kunjungi. Kala itu, India berada di bawah kekuasaan Dinasti Tughluq dan di bawah pimpinan Ghiyatsuddin Muhammad Syah II (726-752 H/1325-1351 M). Selama di Benua India itu, ia menikah kembali dan memiliki seorang putri.

Selepas selama sekitar delapan tahun bermukim di India, antara lain menjabat sebagai seorang qâdhî, Ibn Baththuthah lantas menuju China, sebagai duta Kesultanan Delhi kepada penguasa China kala itu. Rombongan diplomatik ini berangkat pada akhir musim panas pada tahun 741 H/1341 M menuju pelabuhan Cambay. Namun, di tengah perjalanan, mereka diserang pemberontak Hindu yang menguasai daerah pedesaan India. Ibn Baththuthah tertangkap. Tapi, kemudian ia berhasil melarikan diri dan bergabung dengan rombongan yang tersisa. Mereka pun meneruskan perjalanan menuju China yang kala itu di bawah kekuasaan Dinasti Yuan. “Oh, ternyata tiada warga dunia mana pun yang lebih kaya ketimbang warga China,” tulisnya tentang negeri satu itu. Di China, ia antara lain berkunjung ke Hangchow dan Beijing. “Hangchow adalah kota terbesar di dunia yang pernah kulihat,” tulis lebih lanjut sang pengelana yang satu ini.
Usai dari China, Ibn Baththuthah lantas mampir di Indonesia selama 15 hari dan tak kembali ke India. Dari Indonesia ia lantas menuju ke kawasan Teluk Persia dan berhenti beberapa lama di Kepulauan Maldive. Nah, di kepulauan itu, ia menikah kembali dan memiliki seorang putra. Tuturnya tentang perkawinan di kepulauan itu kala itu, “Di kepulauan ini, mudah sekali bagi seorang untuk melangsungkan pernikahan. Ini karena ia tak perlu membayar mahal mahar…Tak aneh, ketika sebuah kapal berlabuh di pula itu, para awak kapal pun segera menikahi perempuan-perempuan kepulauan itu. Kemudian, ketika akan berangkat lagi, mereka pun menceraikan istri-istri mereka. Ini semacam nikah temporer. Kaum perempuan kepulauan itu tidak pernah meninggalkan negeri mereka.”

Selepas beberapa lama di Kepulauan Maldive, Ibn Baththuthah lantas meneruskan perjalanannya menuju Damaskus, Suriah. Di kota terakhir ini, ia bermaksud bertemu dengan seorang putranya yang ia tinggalkan 20 tahun sebelumnya. Ternyata, sang putra telah berpulang 15 tahun sebelum kedatangannya kembali ke kota itu. Selepas beberapa lama di Damaskus, ia kemudian meneruskan perjalanannya menuju Mesir. Tapi, segera ia meninggalkan Mesir, karena negeri itu kala itu sedang dihajar wabah kolera. Andalusia (kini Spanyol) menjadi tempat kunjungannya yang berikut, sesudah itu ia menuju kawasan Afrika Tengah. Terminal terakhir perjalanannya adalah Fez, Maroko. Ia tiba di kota tersebut pada 756 H/1357 M. Di kota itu pulalah, ia selepas sempat mengunjungi Andalusia, pada 770 H/1368-69 atau 779 H/1377 M, ia berpulang.

Kisah petualangan Ibn Baththuthah yang panjang dan sangat menarik itu kemudian, atas permintaan penguasa Maroko kala itu, Abu ‘Inan Faris, ia tuangkan dalam karya besarnya Tuhfah Al-Nazhâr fî Gharâ’ib Al-Amshâr wa ‘Ajâib Al-Asfâr yang juga dikenal dengan judul Rihlah Ibn Baththûthah, sebuah karya yang baru ditemukan 300 tahun kemudian di Aljazair. Karya yang satu ini berisi catatan mengenai negara-negara yang ia kunjungi. Kini, naskah asli karya ini tersimpan di Perpustakaan Nasional Perancis di Paris dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, antara lain ke dalam bahasa Inggris (1245 H/1829 M), bahasa Jerman (1331 H/1912 M), dan berbagai bahasa Eropa lainnya.

Demikianlah kisah perjalanan panjang Ibn Baththuthah. Kisah perjalanan yang membuat dirinya tertoreh sebagai “pengelana sejati” dan memberikan banyak inspirasi bagi para pengelana dan petualang selepas ia.

Sunday, December 19, 2010

Nasruddin Hoca dan 2 Perempuan Elok nan Jelita


Mulla Nasruddin Hoca, tentu Anda mengenal dia. Seperti telah dikemukakan dalam salah satu tulisan dalam blog ini, menurut kisah-kisah yang beredar, tokoh yang satu ini adalah seorang sufi jenaka yang kadang bertindak “kurang waras”.

Padahal, menurut Dr. Muhammad Rajab Al-Najjar, dalam karyanya Juha Al-‘Arabi, mulla yang satu ini sejatinya bukan sosok yang “kurang waras” alias sangat bego. Sebaliknya, ia adalah sosok yang berusaha mendekati segala persoalan yang ia hadapi dari aspek-aspek yang paling dekat dengan kebenaran dan kenyataan. Karena itu, bagi orang-orang lain yang tidak menyukai kebenaran, sosok Nasruddin Hoja merupakan sosok yang kontradiktif. Tak aneh, bila Sultan ‘Abdul Hamid II, seorang penguasa Turki, pernah melarang beredarnya “kisah-kisah tentang Nasruddin Hoca”. Sang penguasa khawatir, kisah-kisah itu dapat membangkitkan perlawanan rakyat Turki terhadap penguasa. Utamanya, penguasa yang otoriter dan salah dalam mengurus negara dan rakyat.

Perlu dikemukakan, aspek sosiallah yang paling acap mendapat sindiran dan sentilan dari Mulla Nasruddin Hoja. Salah satunya adalah kisah berikut yang mengungkapkan bahwa kala itu suap ternyata tak hanya berbentuk materi saja. Tapi, suap kadang juga berbentuk “hidangan” perempuan:

Suatu saat, ketika Mulla Nasruddin Hoca masih menjabat sebagai hakim, dua perempuan elok dan jelita menghadap kepadanya. Kemudian, salah seorang di antara dua perempuan itu berucap kepada Nasruddin, “Tuan Hakim Nasruddin! Sesuai persepakatan kerja di antara kami berdua, saya meminta perempuan itu membuatkan saya benang-benang besar seperti rambut saya ini. Tapi, ternyata, ia ingkar janji. Ia membuatkan saya benang-benang halus.

Usai berucap demikian, perempuan itu lantas melepas penutup mukanya yang bagaikan bulan purnama dan menunjukkan rambutnya yang keemasan bagaikan jalinan emas kepada Mulla Nasruddin Hoca seraya berbisik, “Nasruddin, menangkan saya.”

Perempuan kedua, yang tak kalah elok dan jelita dari perempuan pertama, pun menjawab, “Tuan Hakim Nasruddin! Berdasarkan persepakatan di antara kami berdua, benang-benang yang ia pesan sebesar kelingking saya ini. Bukan sebesar betis saya ini!"

Usai berucap demikian, perempuan kedua tersebut lantas menyingkapkan kainnya yang membalut betisnya nan putih, mulus, dan membangkitkan birahi.

Melihat perilaku dua perempuan itu, Mulla Nasruddin Hoca nyaris tak kuasa menahan diri. Tapi, selepas detak jantungnya tenang kembali, ia pun berucap kepada perempuan kedua yang elok dan jelita itu, “Sudah! Sudah! Janganlah engkau membuat benang-benang besar atau kecil yang dapat membuat jantung seperti jantungku ini tak kuat berdetak lagi!"

Monday, December 6, 2010

Kado Cinta untuk Muslimah


Sore hari itu, Jumat, 3 Desember 2010 M, usai mendampingi para ustadz dan ustadzah yang mengajarkan tata cara membaca Al-Quran kepada sekitar 70 anak yang sedang mengaji di rumah, seorang kurir datang menyerahkan sebuah bungkusan. Ternyata, bungkusan yang berasal dari Penerbit Mizania, Bandung itu berisi lima buku berjudul Kado Cinta untuk Muslimah. Menerima buku-buku tersebut, sebersit kebahagiaan “menyelinap” dalam kalbu. Tentu, penulis manapun akan merasa setiap kali menyaksikan karyanya terbit. Sejatinya, karena terlalu asyik dengan kegiatan penulisan sebuah karya lain, beberapa lama saya lupa pernah menyusun Kado Cinta untuk Muslimah itu.

Karya yang baru terbit itu sendiri saya susun untuk menyempurnakan karya-karya saya sebelumnya yang merupakan untaian kisah-kisah pilihan tentang: Teladan Indah dalam Ibadah, Rumah Cinta Rasulullah, Mutiara Akhlak Rasulullah, Wangi Akhlak Rasulullah, dan Pesan Indah dari Makkah dan Madinah. Semua karya itu diterbitkan Penerbit Mizania, Bandung. Selaras dengan judulnya, Kado Cinta untuk Muslimah menyajikan 60 fragmen memikat dan menawan yang berkaitan dengan kehidupan para Muslimah yang berkenaan cinta, pernikahan, kebahagiaan, keibuan, nilai-nilai luhur, perjuangan untuk meniti jalan lurus, dan lain-lainnya. Nah, salah satu kisah yang disajikan dalam Kado Cinta untuk Muslimah adalah kisah berikut:

Entah mengapa hari itu Sari Al-Saqathi ingin menapakkan kakinya ke sebuah rumah sakit. Sari Al-Saqathi, atau lebih lengkapnya Abu Al-Hasan Sari Al-Mughallis Al-Saqathi, adalah seorang sufi di Badghdad Dar Al-Salam. Kebanyakan para tokoh sufi semasanya di Irak adalah murid sufi yang semula berprofesi pedagang loakan ini.

Mungkin, dengan mengunjungi rumah sakit, sufi yang berpulang pada 253 H/867 M di usia sembilan puluh delapan tahun itu dapat berkaca dari orang-orang yang sedang tertimpa musibah. Ketika tiba di rumah sakit, entah mengapa kegelisahan dan kegalauan yang menyergap kalbunya tiba-tiba sirna. Tak berapa lama berada di rumah sakit, tiba-tiba pandangannya terpaku kepada seorang gadis cantik, tinggi, dan semampai tapi lunglai tanpa daya. Busana yang dikenakannya menunjukkan ia berasal dari kalangan berkecukupan. Harum wewangian dari tubuhnya pun segera menyergap penciuman sang sufi, begitu sang sufi dekat dengan gadis itu. Anehnya, kedua kaki dan tangannya terikat, sehingga membuatnya tak berdaya.

Ketika si gadis melihat sang sufi, tiba-tiba lelehan air mata membasahi kedua pipinya. Kemudian ucapnya pelan, “Janganlah melecehkan aku. Kedua tangan dan kakiku terikat bukan karena salahku. Tak pernah aku berkhianat. Apalagi menipu!”
Mendengar ucapan yang demikian, Sari Al-Saqathi pun bertanya kepada seorang perawat di rumah sakit itu, “Siapakah gadis itu?”
“Ia adalah seorang budak yang sedang sakit jiwa. Majikannya lantas mengikatnya, barang kali dapat membuatnya sehat sebagaimana sedia kala,” jawab perawat itu.

Kemudian tampak, oleh Sari Al-Saqathi, lelehan air mata gadis itu kian tak terbendung begitu mendengar ucapan perawat itu. Kemudian, ucap gadis itu pelan, “Duh, manusia! Aku tidak gila. Sejatinya, aku sedang terbuai cinta. Tapi, kalbuku tetap sebagaimana sedia kala. Kalian mengikat kedua tanganku. Padahal, tiada salah apa pun yang kuperbuat, kecuali upayaku untuk mencintai-Nya. Aku sedang terbuai oleh cinta kepada Kekasihku. Kesembuhanku terletak pada sesuatu yang menurut kalian merusakkan diriku. Dan, kerusakanku terletak pada sesuatu yang menurut kalian membuat kesembuhanku.”
Mendengar ucapan gadis itu, tak terasa lelehan air mata menghiasi kedua pipi Sari Al-Saqathi. Melihat lelehan air mata di kedua pipi sang sufi, tiba-tiba gadis itu berucap kepadanya, “Wahai Sari Al-Saqathi! Apakah hanya karena keluhanku tadi engkau menangis? Bagaimanakah andai engkau benar-benar mengenal Kekasihku?”

Seusai berucap demikian, gadis itu langsung tak sadarkan diri. Dan, beberapa saat selepas tak sadarkan diri, gadis itu kemudian siuman kembali. Lalu ucapnya lirih, “Kalbuku merintih menyesali perilakuku di masa yang lalu. Sedangkan jiwa dalam tubuhku merupakan penyebab sakitku. Kini, hanya kerinduan, cinta, dan asmaraku kepada-Nyalah yang mewarnai kalbuku. Kepada-Nyalah, kini, aku mengetuk pintu maaf-Nya dan Dia tahu apa yang tertoreh di relung kalbuku.”
Mendengar ucapan gadis tersebut, Sari Al-Saqathi tak kuasa menahan dirinya untuk bertanya kepadanya, “Saudariku.”
“Ada apa, Sari Al-Saqathi?”
“Dari mana engkau mengenalku?”
“Sejak engkau tiba di sini, aku telah mengenalmu. Orang yang setara dalam keimanan akan segera saling mengenal.”
“Kudengar engkau tadi menyebut kata-kata cinta. Kepada siapakah engkau sedang jatuh cinta?”
“Kepada Yang menyadarkan kita akan karunia-Nya. Juga, Yang begitu dekat dengan kalbu kita.”
“Siapakah yang membuatmu dalam keadaan terikat begini?”
“Orang-orang yang iri dan dengki kepadaku.”

Tiba-tiba gadis itu kembali tak sadarkan diri. Tapi, tak berapa lama kemudian, ia siuman kembali. Lalu, ucapnya pelan, “Tuhanku! Seorang hamba-Mu telah berbuat dosa. Kini, kalbunya senantiasa menangis karena takut kepada-Mu. Jadikanlah lelehan air matanya pembuka jalan menuju ampunan-Mu.”
Sari Al-Saqathi kemudian meminta kepada perawat rumah sakit untuk melepaskan tali yang mengikat kedua tangan dan kaki gadis itu. Lalu, ucapnya kepada gadis itu, “Kini, pergilah ke mana engkau kehendaki.”
“Sari! Ke mana aku harus menapakkan kedua kaki? Aku ini tak punya tempat bernaung diri. Kekasih kalbuku membuatku dimiliki salah seorang hamba-Nya. Bila ia rela melepaskanku, aku akan pergi. Bila tidak, aku akan menahan diri untuk tak melangkahkan kaki.”
Tak berapa lama kemudian majikan gadis itu muncul. Ia pun bertanya kepada si perawat, “Di manakah Tuhfah?”
“Ia ada di dalam, bersama Tuan Sari Al-Saqathi,” jawab si perawat.

Tahu Sari Al-Saqathi bersama gadis itu, orang itu lalu masuk ke dalam dan menyambutnya dengan perasaan gembira. Sari Al-Saqathi pun berucap kepadanya, “Gadis ini lebih layak engkau hormati ketimbang aku. Apa yang membuat engkau membencinya?”
“Banyak hal,” jawab orang itu. “Ia tak mau makan dan minum serta acap menangis dan tak sadarkan diri. Ia juga tak mau tidur dan membuat kami tak bias tidur. Kami membelinya dengan harga mahal: dua puluh ribu dirham. Kami berharap mendapat keuntungan besar dengan membeli budak yang satu ini. Ia cantik dan cerdas. Lagi pula, sebelum dalam keadaan begini, ia punya pekerjaan yang membuat dirinya diminati para pembeli.”
“Apa pekerjaannya sebelum ini?”
“Biduan!”
“Sejak kapan ia menderita keadaan seperti ini?”
“Sekitar setahun yang lepas.”
“Bagaimana asal mulanya ia menderita keadaan seperti ini?”
“Suatu hari, ketika sedang menyanyi, tiba-tiba ia berdiri, menangis, dan membanting kecapinya. Lalu, ia menggumamkan kata-kata tak jelas. Tapi, dari kata-katanya, tampak ia sedang jatuh cinta. Kami menanyainya. Tapi, ia tak mengaku.”
“Bila begitu, akan kubayar harganya. Malah, dengan harga yang jauh lebih mahal.”
“Tuan Al-Saqathi! Dari mana engkau akan mendapatkan uang sebanyak itu? Bukankah engkau adalah seorang sufi miskin?”
“Itu persoalan mudah. Untuk sementara ini, biarkanlah gadis ini tetap berada di rumah sakit ini. Hingga aku kuasa membayar harganya.”
Sari Al-Saqathi kemudian meninggalkan rumah sakit itu dengan hati yang perih dan bingung bagaimana kuasa mendapatkan uang dalam jumlah yang tak sedikit itu. Malam harinya, tanpa mengenal henti, ia berdoa kepada Allah Swt., “Ya Allah! Engkau mengetahui segala hal-ihwal diriku. Baik yang nyata maupun yang tak kasat mata. Tuhanku! Hanya kepada-Mu aku memohon karunia!”

Ketika Sari Al-Saqathi sedang merenung di tempat sembahyang, tiba-tiba pintu rumahnya ada yang mengetuknya. Ia pun bertanya, “Siapa di luar?”
“Seseorang yang mendapat perintah dari Pemiliknya untuk datang ke sini.”
Ketika Sari Al-Saqathi pun membuka pintu, di hadapannya muncul seorang pria dan empat anak muda yang membawa kantung berisi sesuatu. Pria itu pun berkata, “Bolehkah saya masuk ke dalam?”
“Siapakah engkau?”
“Saya adalah Ahmad bin Al-Mutsanna. Zat yang tak pernah berlaku pelit telah memberi saya karunia harta yang tak terkira. Tadi, ketika sedang tidur, saya bermimpi mendapatkan perintah dari Yang memiliki harta ini untuk membawa lima kantung uang kepadamu. Saya juga mendapat pesan, bayarkanlah uang ini kepada majikan Tuhfah.”
Sari Al-Saqathi langsung bersujud syukur atas karunia tak terkira tersebut. Selepas melaksanakan shalat subuh, ia pun keluar dengan mengajak serta Ahmad bin Al-Mutsanna pergi ke rumah sakit. Ketika tiba di sana, mereka langsung dipersilakan masuk. Melihat kedatangan mereka, kedua mata pun Tuhfah berkaca-kaca.

Belum lama mereka duduk, muncullah majikan Tuhfah dengan wajah sedih. Sari Al-Saqathi pun berucap kepadanya, “Bergembiralah! Kami datang dengan memberi keuntungan lima ribu dirham bagimu!”
“Demi Allah, tidak!”
“Sepuluh ribu dirham!”
“Demi Allah, tidak!”
“Sepuluh ribu dirham lagi!”
“Demi Allah, andai seluruh isi dunia ini engkau serahkan kepada saya, semua itu tak akan saya terima. Tuhfah kini merdeka. Demi Allah semata!”
“Bagaimana ceritanya hingga engkau mengambil keputusan demikian ini?”
“Semalam saya mengambil keputusan untuk menyedekahkan seluruh harta kekayaan saya di jalan Allah. Ya Allah! Engkaulah yang mencukupi segala keperluanku dan mengaruniakan rezeki kepadaku.”

Sari Al-Saqathi kemudian berpaling kepada Ahmad bin Al-Mutsanna. Segera tampak oleh Sari Al-Saqathi, lelehan air mata membasahi kedua pipi Ahmad bin Al-Mutsanna. Sari Al-Saqathi pun berucap kepadanya, “Saudaraku! Mengapa engkau bersedih?”
“Saya merasa, seakan Yang Benar tak menerima apa yang telah saya lakukan. Sungguh, demi Allah, seluruh harta kekayaan saya telah saya sedekahkan demi Allah semata.”
“Betapa besar berkah Tuhfah bagi semua orang,” ucap Sari Al-Saqathi penuh kekaguman.
Mendengar ucapan Sari Al-Saqathi yang demikian, tiba-tiba Tuhfah berdiri dan melangkah pergi seraya menangis. Sari Al-Saqathi pun bertanya kepadanya, “Allah telah membebaskanmu. Mengapa engkau menangis?”
“Aku lari darinya menuju kepada-Nya. Aku menangis karena tindakannya hanya untuk-Nya. Kini, hak-Nya terhadap diriku masih tetap di tangan-Nya, hingga aku meraih apa yang kuharapkan kepada-Nya,” jawab Tuhfah seraya melangkah pergi.

Selamat menikmat Kado Cinta untuk Muslimah serta mohon kritik dan masukan para pembaca budiman!

Sunday, November 21, 2010

Nasihat Seorang Ulama Berhati Bening


Kemarin sore, Sabtu, 20 November 2010, tak lama setiba di rumah, dari Kota Bandung yang macet, saya pun membuka facebook. Begitu melihat sebuah foto (lihat facebook “Simbah Kakung”) yang menampilkan adegan Gus Mus sedang berjabat tangan dengan seorang pejabat utama negeri ini, entah kenapa saya lama tercenung dan termenung. Lama saya mencoba mencermati dan “membaca” foto itu. Dari pelbagai sisi. Saya pun mencoba membayangkan, dialog di antara dua tokoh itu. Tapi, gagal. Tentu saja, karena yang tahu dialog yang berlangsung di antara dua tokoh itu adalah Gus Mus sendiri dan beberapa orang di sekitar kejadian itu. Dan, tak lama selepas itu, saya pun bergumam pelan, “Andai saja Gus Mus mau bercerita tentang apa yang terjadi ketika foto itu diambil. Andai saja, Gus.”
Kemudian, ketika kian lama mencermati dan “membaca” foto itu, entah kenapa tiba-tiba dalam benak saya “menggeliat” kenangan tentang dialog yang terjadi antara Sulaiman bin ‘Abdul Malik dan Abu Hazim: dialog antara seorang penguasa dan seorang ulama berhati bening. Dialog itu adalah sebagai berikut:
“Wahai Abu Hazim, mengapa begitu dingin sambutanmu kepadaku?” tanya Sulaiman bin ‘Abdul Malik, penguasa ke-7 Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah, ketika berada di tempat kediaman seorang ulama terkemuka Madinah Al-Munawwarah kala itu, Abu Hazim Salamah bin Abu Dinar. Kala itu sendiri, putra kedua ‘Abdul Malik bin Marwan itu sedang beristirahat di Kota Nabi, alias Madinah Al-Munawwarah, di tengah perjalanan menuju Makkah dengan tujuan untuk menunaikan ibadah haji.
“Mengapa demikian, wahai Amir Al-Mukminin?” jawab ulama berambut pirang yang terkenal enggan menemui penguasa.
“Masyarakat Kota Nabi ini begitu bersemangat menyambutku. Sedangkan engkau tak mau datang menemuiku. Engkau hanya mau menemuiku selepas aku mendatangimu!”
“Saya berlindung kepada Allah Swt. Kiranya engkau tak menyatakan sesuatu yang tak engkau alami. Apa yang terjadi antara diriku dan dirimu tentu sepenuhnya telah engkau ketahui!”
“Engkau benar, wahai Abu Hazim,” sahut sang penguasa seraya menganggukkan kepalanya. Dan, selepas berdiam diri beberapa lama, kemudian ia berucap, “Wahai Guru, mengapakah orang-orang tampak begitu betah di dunia, sedangkan pesona duniawi sejatinya hanya semu belaka?”
“Wahai Amir Al-Mukminin,” sahut ulama berdarah Persia dan mantan budak Al-Aswad bin Sufyan Al-Makhzumi itu. “Itu karena mereka sibuk membangun dunia. Tapi, mereka lupa membangun akhirat. Itulah sebabnya, kami enggan mengikuti jejak langkahmu!”
Mendengar jawaban demikian, penguasa yang lebih banyak mencurahkan waktunya untuk menghadapi gempuran pasukan Bizantium dan memburu orang-orang yang pernah berusaha menggeser kedudukannya sebagai putra mahkota itu sejenak menarik napas panjang. Dan, beberapa saat kemudian, ia bertanya lagi, “Wahai Abu Hazim! Bagaimanakah gambaran orang yang ingin menghadap kepada Allah Swt.?”
“Wahai Amir Al-Mukminin! Adapun orang yang senantiasa berbuat kebaikan, ia laksana orang yang usai menempuh perjalanan lama dan kembali kepada keluarganya (sangat bersemangat dan gembira). Sedangkan orang yang berbuat kejahatan, ia laksana budak yang melarikan diri dan kemudian kembali kepada majikannya (sangat ketakutan).”
“Duh, bila demikian halnya, bagaimanakah kedudukan diri saya ini di hadapan Allah Swt., wahai Abu Hazim?” keluh sang penguasa seraya merundukkan kepalanya.
“Wahai Amir Al-Mukminin! Arahkanlah dirimu pada Kitab Allah Swt. Lantas, renungkanlah firman-Nya, ‘Sungguh, orang-orang yang senantiasa berbakti benar-benar berada dalam surga yang sarat kenikmatan. Dan, sungguh, orang-orang yang durhaka benar-benar dalam neraka.” (QS Al-Infithâr [82]: 13-14).”
“Wahai Abu Hazim, di manakah rahmat Allah?”
“Berada di dekat orang-orang yang berbuat kebaikan!”
“Siapakah orang yang paling berakal?”
“Orang yang mencermati hikmah dan mengajarkannya kepada khalayak ramai!”
“Siapakah hamba Allah Swt. yang paling mulia?”
“Orang yang berbuat kebaikan dan bertakwa!”
“Perbuatan apakah yang paling utama?”
“Menunaikan hal yang fardhu dan menjauhkan diri dari hal yang haram!”
“Perkataan apakah yang paling didengar orang?”
“Perkataan benar kepada orang yang engkau takuti dan harapkan!”
“Siapakah orang beriman yang paling pintar?”
“Orang yang berusaha mematuhi Allah dan mengajak manusia mendekatkan diri kepada-Nya!”
“Siapakah orang beriman yang merugi?”
“Orang yang melangkah demi memenuhi hawa nafsu saudaranya dan melakukan tindakan aniaya. Orang yang demikian itu adalah orang yang menjual akhiratnya dengan mengambil dunia orang lain!”
“Wahai Abu Hazim, bagaimanakah pendapatmu tentang diri kami?”
“Wahai Amir Al-Mukminin! Apakah engkau akan memaafkan saya manakala saya berucap apa adanya?”
“Tentu, karena itu adalah nasihat yang engkau kemukakan kepadaku!”
“Wahai Amir Al-Mukminin! Kakek-kakekmu gemar memaksa orang-orang lain dengan pedang dan merebut kekuasaan dengan kekerasan dan tanpa bermusyawarah dengan kaum Muslim serta tanpa kerelaan mereka. Akibatnya, sebagian mereka binasa dalam suatu peperangan yang dahsyat. Kini, mereka semua telah berpulang. Andai engkau merasakan apa yang mereka rasakan dan apa yang dikatakan orang tentang diri mereka!”
“Betapa buruk apa yang engkau ucapkan itu, wahai Abu Hazim!” sergah seseorang yang hadir di majelis itu.
“Wahai Amir Al-Mukminin,” ucap selanjutnya ulama yang berdarah Persia dan mantan budak Al-Aswad bin Sufyan Al-Makhzumi itu tanpa perasaan gentar sama sekali menerima sergahan demikian. “Sungguh, Allah telah mengambil ikatan janji terhadap para ulama dan ilmuwan untuk mengemukakannya kepada khalayak ramai dan tak menyembunyikannya!”
“Bagaimanakah sebaiknya cara kita memperbaiki kerusakan ini?” tanya penguasa yang konon “petah berbicara, sombong, dan rakus” serta mendirikan Kota Ramallah, Palestina itu.
“Ambillah hal-hal yang halal dan kemudian letakkanlah pada hal-hal yang benar!”
“Siapakah yang kuasa melakukan hal yang demikian itu, wahai Abu Hazim?”
“Orang yang memburu surga dan menghindarkan diri dari neraka!”
Mendengar jawaban demikian, sejenak penguasa yang berpulang selepas tiga tahun menjadi penguasa, tepatnya pada Shafar 99 H/Oktober 717 M, diam merenung lama. Dan, kemudian, ia berucap, “Berdoalah untukku, wahai Abu Hazim.”
Maka, Abu Hazim pun berdoa, “Ya Allah, Tuhanku! Jikalau Sulaiman memang seorang penguasa sejati, mudahkanlah ia dalam meraih kebaikan dunia dan akhirat. Sedangkan jikalau ia adalah seorang penguasa yang menjadi musuh-Mu, hancurkanlah kepalanya sesuai dengan yang Engkau kehendaki dan ridhai.”
Seusai Abu Hazim berdoa demikian, Sulaiman bin ‘Abdul Malik kemudian berucap, “Wahai Abu Hazim! Berilah aku nasihat dan masukan.”
“Baiklah, saya akan memberikan nasihat yang ringkas kepadamu, wahai Amir Al-Mukminin: agungkanlah Tuhanmu dan sucikanlah Dia bahwa Dia melihatmu dalam kaitannya dengan sesuatu yang Dia larang untuk dilakukan dan tak melihatmu dalam kaitannya dengan sesuatu yang Dia perintahkan untuk dilaksanakan!”
Seusai menerima nasihat demikian, Sulaiman bin ‘Abdul Malik kemudian meninggalkan tempat kediaman Abu Hazim.

Thursday, April 15, 2010

Nasihat untuk Seorang Penguasa


Entah kenapa, ketika menyimak pelbagai kejadian dan peristiwa yang terjadi di pentas politik Indonesia akhir-akhir ini, hati terasa kian gundah dan gelisah. Dan, selepas melaksanakan shalat subuh tadi pagi, saya menemukan sebuah kisah yang menarik. Sebuah kisah yang berisikan nasihat seorang ulama kepada seorang penguasa terkemuka: Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak. Sang penguasa terkenal sebagai pembangun awal dinasti tersebut. Berikut kisah itu:

“Kirim segera utusan kepada Abu ‘Amr! Sampaikan kepadanya, aku mengundangnya ke Baghdad Dar Al-Salam!” demikian perintah Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa kedua Dinasti ‘Abbasiyyah, suatu hari kepada seorang pejabat, seusai membangun Kota Baghdad Dar Al-Salam.

Segera seorang utusan pun dikirim untuk menjemput Abu ‘Amr yang sedang berada di tempat tinggalnya, sebuah desa di tepi pantai Beirut, Lebanon (saat itu masih termasuk wilayah Syam). Abu ‘Amr yang dimaksud sang penguasa itu tak lain adalah Abu ‘Amr ‘Abdurrahman bin ‘Amr bin Yuhmid Al-Auza‘i yang lebih terkenal dengan panggilan Al-Auza‘i. Ulama yang nenek moyangnya berasal dari Auza‘ah, sebuah pedusunan di Yaman (menurut sebuah sumber lain sebuah desa di Damaskus, Suriah) ini lahir dalam keadaan yatim di Baalbek, Lebanon pada 88 H/707 M. Selepas dewasa, ia pindah ke Beirut untuk menimba dan memperdalam ilmu. Di kota itu pulalah tokoh yang menjadi saksi tumbangnya Dinasti Umawiyyah dan tegaknya Dinasti ‘Abbasiyyah ini berpulang pada 157 H/774 M, dan dikebumikan di sebuah tempat yang kini dikenal dengan sebutan Mahallah Al-Auza‘i.

Al-Auza‘i tiba Baghdad Dar Al-Salam agak terlambat. Tentu, karena perjalanan yang ia tempuh, antara Beirut dan Baghdad, cukup jauh. Kemudian, ketika ia tiba di istana, Abu Ja‘far Al-Manshur pun segera mempersilakan sang ulama duduk. Dan, selepas berbagi sapa sejenak dengan sang tamu, Al-Manshur bertanya kepadanya, “Wahai Abu ‘Amr! Mengapa engkau datang terlambat?
“Tentu engkau tahu, berapa lama perjalanan antara bumi kelahiranku dan kota Baghdad ini. Apa sejatinya yang engkau inginkan dariku, wahai Amir Al-Mukminin?”
“Aku ingin menimba ilmu dan hikmah kepadamu!”
“Bila demikian halnya, acaplah merenung, wahai Amir Al-Mukminin! Agar sesuatu yang kukemukakan tak mudah engkau lupakan.”
“Wahai Abu ‘Amr! Bagaimana sesuatu yang kutanyakan kepadamu akan kulalaikan? Bukankah karena hal itu pulalah kuhadapkan diriku kepadamu dan engkau kudatangkan ke sini.”
“Wahai Amir Al-Mukminin! Aku khawatir, manakala engkau mendengar nasihat itu, engkau tak hendak melaksanakannya.”

Mendengar ucapan Al-Auza‘i yang demikian, seorang menteri utama (wazîr) yang hadir saat itu, Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus, tiba-tiba menghunus pedangnya dan mendekati ulama fikih dan hadis yang tak mengenal rasa gentar itu. Melihat ulah sang menteri utama, Abu Ja‘far Al-Manshur pun membentak sang menteri, “Hai Al-Rabi‘! Ini adalah tempat mencari pahala. Bukan tempat menjatuhkan siksa!”

Selepas mengutip beberapa hadis, Al-Auza‘i kemudian berucap, “Wahai Amir Al-Mukminin! Barang siapa membenci kebenaran, sejatinya ia juga membenci Allah Swt. Allah adalah Mahabenar lagi cukup dalam memberikan penjelasan. Orang-orang sejatinya berusaha meredam gejolak umat terhadap dirimu, ketika engkau menangani urusan mereka, karena kekerabatan dirimu dengan Rasulullah Saw. Padahal, beliau amat santun dan kasih terhadap umat beliau. Beliau menolong mereka dengan diri beliau sendiri dan tangan beliau sendiri. Beliau terpuji dalam pandangan Allah Swt. dan manusia. Karena itu, semestinyalah engkau juga menegakkan kebenaran terhadap umat. Juga, semestinya engkau bersikap adil terhadap mereka, menutup aurat mereka, tak mengunci pintumu terhadap mereka, tak mendirikan tembok terhadap mereka, dan bergembira dengan kenikmatan yang mereka terima serta berduka cita dengan nasib buruk yang menimpa mereka.

Wahai Amir Al-Mukminin! Sejatinya engkau terlalu sibuk dengan hal-hal yang berkaitan dengan dirimu sendiri dan melalaikan kepentingan rakyat. Padahal, kini, engkau sendirilah yang bertanggung jawab atas diri mereka. Baik yang berkulit putih maupun merah, Muslim maupun non-Muslim. Mereka semua memiliki bagian dari keadilan atas dirimu. Karena itu, bagaimanakah menurutmu, andai mereka saling mendukung untuk mengadukan kepada Allah Swt. perihal petaka yang engkau timpakan atas diri mereka atau kezaliman engkau yang lakukan atas diri mereka?”

Usai berucap demikian, Al-Auza‘i kemudian mengutip beberapa hadis. Selepas itu, ia berucap, “Wahai Amir Al-Mukminin! Aku pernah menerima kabar bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab suatu ketika berucap, ‘Tiada yang kuasa menegakkan urusan rakyat selain orang yang kuat akalnya dan kukuh jalinan pikirannya. Ia tak melihat kepada mereka sesuatu yang menjadi ikatan pikiran dan tak pula melihat pada mereka sesuatu yang menjadi auratnya. Ia tak takut terhadap kebebasan yang mereka miliki dan tak memedulikan cacian orang yang mencercanya dalam menegakkan agama Allah Swt.’

‘Umar juga pernah berucap, ‘Ada empat penguasa. Pertama, penguasa kuat yang kuasa mengendalikan dirinya dan pegawai-pegawainya. Penguasa jenis ini adalah orang yang berjuang di jalan Allah Swt. Tangan (kekuasaan) Allah Swt. terlimpahkan atas dirinya dengan rahmat-Nya. Kedua, penguasa lemah yang kuasa mengendalikan dirinya, tapi membiarkan pegawai-pegawainya bertindak seenaknya karena kelemahannya. Penguasa jenis ini berada di tubir jurang kebinasaan, kecuali bila Allah Swt. melimpahkan rahmat-Nya kepadanya. Ketiga, penguasa yang kuasa mengendalikan pegawai-pegawainya dan membiarkan dirinya bertindak seenaknya. Penguasa jenis ini adalah bahaya yang menghancurkan. Ini seperti dikemukakan Nabi Saw., “Penggembala jahat adalah bahaya yang menghancurkan. Ia hina seorang diri.” Keempat, penguasa yang membiarkan dirinya dan pegawai-pegawainya bertindak seenaknya. Akibatnya, binasalah semuanya.’

Wahai Amir Al-Mukminin! Aku pernah menerima kabar pula bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab pernah berucap, ‘Andai ada seekor domba di tepi Sungai Tigris (Irak) mati karena tersesat, aku takut kelak akan ditanya perihalnya.’ Karena itu, bagaimana pula dengan orang yang tak berhasil meraih keadilan darimu, sedangkan ia menghadap di atas hamparan permadanimu?

Wahai Amir Al-Mukminin! Aku juga pernah menerima kabar bahwa suatu ketika ‘Umar bin Al-Khaththab berdoa, ‘Ya Allah Tuhanku! Manakala Engkau tahu ketika ada dua orang yang berselisih di hadapanku dan aku memihak kepada orang yang menyimpang dari kebenaran, dekat maupun jauh, ingatkanlah aku. Saat itu juga!’

Wahai Amir Al-Mukminin! Sejatinya, hal yang paling berat adalah usaha menegakkan kebenaran karena Allah Swt. semata. Dan, sesuatu yang paling mulia di sisi Allah adalah takwa. Karena itu, barang siapa menginginkan kemuliaan dengan mematuhi Allah Swt., tentu derajatnya akan ditinggikan dan dimuliakan oleh-Nya. Sedangkan barang siapa menginginkan kemuliaan dengan melakukan perbuatan maksiat kepada-Nya, tentu ia akan dihinakan dan direndahkan oleh-Nya. Inilah nasihatku kepadamu.”

Begitu usai berucap demikian, Imam warga Syam itu kemudian berdiri. Melihat hal itu, Abu Ja‘far Al-Manshur bertanya, “Engkau hendak ke mana, wahai Abu ‘Amr?”
“Menemui putraku dan mendatangi bumi kelahiranku, dengan izin Amir Al-Mukminin, insya Allah.”
“Kuizinkan engkau pergi, wahai Abu ‘Amr. Kuucapkan terima kasih atas nasihatmu dan kuterima nasihatmu itu. Kiranya Allah menganugerahkan pertolongan-Nya dalam usaha menuju kebaikan dan memberikan pertolongan di atas kebaikan. Kepada-Nya aku memohon pertolongan dan kepada-Nya pula aku berserah diri. Cukuplah Dia sebagai penolongku. Dan, wahai Abu ‘Amr, jangan engkau biarkan aku tanpa perhatianmu kepadaku seperti saat ini. Sungguh, nasihatmu kuterima dan aku tak akan merasa ragu terhadap dirimu ketika engkau memberikan nasihat.”
“Akan kulakukan, insya Allah.”

Abu Ja‘far Al-Manshur lantas memerintahkan kepada seorang pejabat yang mendampinginya agar Al-Auza‘i diberi hadiah untuk biaya balik ke bumi kelahirannya. Tapi, penulis sejumlah karya tulis itu, antara lain Kitâb Al-Masâ’il dan Al-Sunan, menolak menerima hadiah itu dan berucap, “Aku tak memerlukan hadiah. Aku tak menjual nasihatku dengan harta duniawi.”

Usai berucap demikian, Abu ‘Amr ‘Abdurrahman bin ‘Amr bin Yuhmid Al-Auza‘i pun berlalu.

Tuesday, April 6, 2010

Perjalanan dan Perubahan Pikiran


Marseille, Perancis, Dzulhijjah 1241 H/Juli 1826 M. Pada suatu hari di bulan itu, sebuah kapal perang Perancis mendarat di Pelabuhan Marseille. Di antara para penumpang kapal perang itu terdapat 41 mahasiswa tugas belajar dari suatu negeri di Timur Tengah. Mereka adalah para mahasiswa angkatan pertama yang dikirim untuk belajar di negeri itu. Ketika mereka mendarat dan beristirahat di tempat penampungan, mereka segera bertaburan dan bertebaran ke pelbagai penjuru terbesar kedua di Perancis itu. Dengan penuh kekaguman, mereka melongok pelbagai sudut kota itu. Segera, mata mereka pun berubah menjadi kamera yang memotret negeri asing dan bangsa lain yang baru mereka lihat. Tapi, dari ke-41 mahasiswa itu, hanya ada seorang saja yang menyimpan gambar-gambar itu dan merekamnya dalam bentuk tulisan.

Selepas puas menikmati pemandangan Kota Marseille, mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke Paris. Ketika mereka sampai di kota yang terkenal cantik itu, ternyata tetap hanya seorang yang mencatat kisah dan kesan dalam perjalanan itu. Ia mencatat kisah dan kesannya dengan cepat, spontan, dan penuh tanggung jawab. Sebuah catatan anak muda tentang segala sesuatu yang asing baginya dan tidak ia dapatkan di negerinya. Kesan pertamanya memang mirip kesan seorang turis yang baru pertama kali mengunjungi suatu negeri. Namun, segera, catatan-catatannya berubah ketika ia merekam hal-hal yang penting. Misalnya, tentang sistem politik dan kesehatan di “Kota Cahaya” itu, dan berbagai pengalaman menarik yang ia rasakan sangat berbeda dengan yang terjadi di negerinya. Dalam bulan-bulan pertama, catatannya masih merupakan renungan, perasaan tanda tanya yang sarat gejolak, perasaan kagum, dan kisah perlawatannya ke berbagai tempat yang menarik di kota itu.

Sejatinya, keberangkatan anak muda itu, ke negeri yang lumayan jauh dari negerinya, untuk menjadi imam bagi ke-40 mahasiswa yang juga teman-temannya. Meski sebagai imam, usianya masih muda: sekitar 25 tahun. Tidak aneh bila pikirannya kala itu masih mudah menerima ide-ide baru. Apalagi ia begitu haus ilmu pengetahuan. Dan, kini, ia berhadapan dengan suatu kebudayaan yang lain dengan kebudaaan negerinya. Kebudayaan suatu bangsa yang 28 tahun sebelumnya datang sebagai penjajah negerinya. Kejutan budaya yang dihadapi imam muda di negeri asing itu merupakan salah satu faktor yang membentuk kepribadiannya, sepanjang usianya. Kepribadian yang senantiasa memberontak terhadap kenyataan di negerinya.

Sejak saat pertama ia naik ke kapal perang yang membawanya ke Perancis itu, ia telah berniat tidak hanya akan menjadi imam saja. Memang, di antara rombongan itu ada dua imam yang lain. Tapi, hanya dirinya yang bercita-cita untuk tak sekadar menjadi imam. Untuk itu, begitu tiba di Paris, ia menggaji seorang guru Perancis yang mengajarinya bahasa negeri itu. Karena itu, selama tiga tahun ia harus menyisihkan sebagian dari gajinya sebagai imam untuk menggaji sang guru.

Kesempatan emas selama di Paris ia gunakan dengan sebaik-baiknya untuk membaca dan menelaah buku-buku yang sangat menarik perhatiannya. Antara lain buku-buku sejarah, teknik, geografi, dan politik. Ia juga meluangkan waktunya untuk membaca karya-karya Montesquieu, Voltaire, dan Rousseau. Tampaknya, ia dengan sengaja membaca bidang-bidang yang begitu beragam dan tidak mencurahkan perhatiannya pada bidang tertentu.


Selepas sekitar lima tahun berada di Perancis, pada akhir Jumada Al-Tsaniyyah 1247 H/1831 M ia kembali ke negerinya. Kesan dan catatannya tentang Perancis kemudian ia bukukan dan terbitkan dengan judul Takhlîsh Al-Abrîs fî Talkhîsh Bâris. Karyanya tentang Paris itu bukan hanya merupakan kisah perjalanannya semata. Tapi, dalam karyanya itu ia juga memaparkan seluk beluk kehidupan dan kemajuan negeri yang ia kunjungi itu. Selain itu, ia juga mengulas sistem pemerintahan Perancis, Revolusi 1789, kesehatan, dan pelbagai ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah di Paris, konstitusi Perancis, dan adat kebiasaan bangsa Perancis. Karya anak muda itu begitu penting. Sehingga, penguasa negerinya pun memerintahkan agar karyanya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Turki.

Siapakah anak muda itu?

Tak salah, memang, anak muda itu adalah Rifa‘ah Rafi‘ Al-Thahthawi, seorang cendekiawan Muslim asal Mesir yang terkenal sebagai salah seorang tokoh pembaharuan di negerinya itu. Lahir di Thahtha, Mesir selatan, pada Kamis, 7 Jumada Al-Tsaniyyah 1216 H/15 Oktober 1801 M, dengan nama lengkap Rifa‘ah bin Badawi bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali bin Rafi‘ Al-Thahthawi, pendidikannya di masa kecil dapat ia lintasi dengan baik atas topangan keluarga ibundanya. Ini karena harta milik orang tuanya diambil alih penguasa Mesir saat itu, Muhammad ‘Ali Pasya. Kemudian, ketika berusia 16 tahun, tokoh yang anak keturunan Al-Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib ini menapakkan kakinya ke Kairo untuk menimba ilmu di Al-Azhar. Pendidikannya di universitas Islam tertua di dunia ini, antara lain, di bawah bimbingan Syaikh Al-Hasan Al-‘Aththar, Syaikh Al-Fudhali, Syaikh Al-Hasan Al-Kuwaisini, Syaikh Al-Damanhuri, dan Syaikh Al-Bajuri, ia rampungkan pada 1238 H/1822 M.

Selama dua tahun berikutnya, Rifa‘ah Rafi‘ Al-Thahthawi mengajar di almamaternya. Lantas, pada 1240 H/1824 M, ia diangkat sebagai imam tentara. Dua tahun kemudian, atas rekomendasi gurunya yang Syaikh Al-Azhar kala itu, Al-Hasan Al-‘Aththar, tepatnya pada Dzulhijjah 1241 H/Juli 1826 M, ia diangkat menjadi imam para mahasiswa Mesir yang dikirim ke Paris seperti telah dituturkan di muka.

Sekembalinya ke Mesir, Rifa‘ah Rafi‘ Al-Thahthawi diangkat sebagai guru bahasa Perancis dan penerjemah berbagai karya ilmiah ke dalam bahasa Arab. Perjalanan hidupnya selanjutnya mengantarkannya menjadi Kepala Sekolah Bahasa-bahasa Asing di Kairo, Kepala Sekolah Dasar di Sudan, dan Kepala Sekolah Militer. Selain itu, ia juga diberi kepercayaan menjadi pemimpin redaksi surat kabar Al-Waqâ’i‘ Al-Mishriyyah. Tokoh yang berpulang pada 1299 H/1873 M ini meninggalkan sejumlah karya tulis. Antara lain adalah Manâhij Al-Albâb Al-Mishriyyah fî Mabâhij Al-Adâb Al-Mishriyyah, Al-Mursyîd Al-Amîn fî Tarbiyyah Al-Banât wa Al-Banîn, Nihâyah Al-Îjâz, Al-Tuhfah Al-Maktabiyyah li Taqrîb Al-Lughah Al-‘Arabiyyah, dan Anwâr Taufîq Al-Jalîl.

Memang, sejarah mengajarkan, perubahan pikiran kerap timbul dari kisah perjalanan yang ditempuh seseorang. Demikian halnya, kisah pertukaran budaya pun kerap terjadi dari perjalanan yang dilakukan seseorang. Hal yang demikian itu dialami pula oleh banyak pemikir Muslim lainnya, tidak hanya dialami Rifa‘ah Rafi‘ Al-Thahthawi saja. Al-Syafi‘i, pendiri Mazhab Syafi‘i, misalnya, pemikirannya berubah selepas ia mengunjungi Mesir. Malah, perjalanannya ke Negeri Piramid itu membuat ia merevisi sebagian pandangan lamanya.

Friday, March 19, 2010

Syaikh Al-Azhar dari Indonesia, Kenapa Tidak?


Sekitar sepuluh hari yang lalu, tepatnya pada Rabu, 24 Rabi‘ Al-Awwal 1431 H/10 Maret 2010 M, sebuah email saya terima: Syaikh Al-Azhar, Prof. Dr. Syaikh Muhammad Sayyid Thanthawi, berpulang ke hadirat Allah di Riyadh, Arab Saudi karena serangan jantung. “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’un…,” gumam saya pelan dan kemudian disambung dengan doa.

Segera saja, benak saya pun melayang-layang menuju Kairo, Mesir. Pertama-tama, benak saya melayang-layang menuju sebuah bangunan antik dengan bill-board di atasnya dengan tulisan “Idârah Al-Azhâr” dan terletak di antara dua masjid: Masjid Al-Azhar dan Masjid Al-Husain bin ‘Ali. Selepas itu, benak saya melayang-melayang menuju sebuah bangunan baru di Darasah, Kairo, di samping Gedung Mufti Mesir. Di dua bangunan itulah para Syaikh Al-Azhar berkantor. Namun, bangunan pertama kini tidak lagi dipakai sebagai Gedung Syaikh Al-Azhar.

Al-Azhar sendiri, sebagai sebuah lembaga pendidikan tertua di dunia Islam, mulai dipancangkan pertama kali pada Senin, 24 Jumada Awwal 359 H/4 April 970 M, oleh seorang panglima Dinasti Fathimiyyah yang memimpin penaklukan Mesir, Jauhar Al-Shiqilli. Namun, lembaga ini baru dibuka secara resmi pada Jumat, 7 Ramadhan 361 H/22 Juni 972 M. Pada hari itulah lembaga ini mulai dibuka sebagai masjid. Sedangkan kedudukannya sebagai lembaga pendidikan baru bermula empat tahun kemudian. Tepatnya,pada Ramadhan 365 H/Oktober 975 M.

Sebagai pengasuh pertama lembaga ini dipilih Abu Al-Hasan ‘Ali bin Al-Nu'man Al-Qairuwani yang kala itu menjabat Ketua Mahkamah Agung. Dari namanya nampak, tokoh itu berasal dari Qairuwan, Tunisia. Memang, penguasa Mesir kala itu, dari Dinasti Fathimiyyah yang beralirankan Syi‘ah, baru saja pindahan dari Tunis. Mereka juga membawa serta para ilmuwan yang sealiran dengan mereka. Kajian-kajian yang diberikan di lembaga pendidikan ini kala itu berkisar di seputar materi-materi agama, bahasa, logika, dan astronomi. Para pengajarnya yang terdiri sekitar 30 orang. Antara lain Menteri Abu Al-Faraj Ya‘qub bin Yusuf bin Killis. Menteri ini mengajar usul fikih versi Aliran Syi‘ah, dengan berpedomankan Kitab Al-Risalah Al-‘Aziziyyah.

Corak syi‘i yang mewarnai lembaga pendidikan ini baru berakhir kala Mesir jatuh ke tangan Dinasti Ayyubiyyah yang didirikan oleh Shalahuddn Al-Ayyubi. Di bawah dinasti ini, Al-Azhar pun berganti baju. Kini, lembaga ini menjadi bercorak sunni. Segera, lembaga ini mekar dengan cepat. Perkembangan ini mencapai puncaknya ketika Andalusia lepas dari pelukan kaum Muslim dan Baghdad luluh lantak akibat gempuran serdadu-serdadu Mongol. Al-Azhar menjadi tempat pelarian para ilmuwan dari kedua kawasan itu. Bukan luar biasa bila lembaga ini, selepas itu, segera menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia Islam. Perkembangan ini ditopang oleh dukungan para penguasa yang mencintai ilmu pengetahuan.

Selama itu, Al-Azhar belum lagi dipimpin seorang Syaikh Al-Azhar. Jabatan itu baru pertama kali diadakan pada 1101 H/1690 M. Pemegang pertama jabatan ini adalah Syaikh Muhammad ‘Abdullah Al-Kharrasyi. Hingga tahun 1355 H/1936 M, jabatan ini dapat diwariskan. Kemudian sejak, 1366 H/1946 M keluar aturan yang membolehkan pemegang jabatan itu berasal dari lingkungan Al-Azhar. Pengangkatan pemegang jabatan ini ditetapkan oleh Kepala Negara Mesir. Dalam perjalanan sejarah jabatan ini, sebagian besar pemegangnya berasal dari Mazhab Syafi‘i.

Pemegang jabatan Syaikh Al-Azhar sendiri memimpin lima lembaga: Majelis Tinggi Al-Azhar, Lembaga Riset Islam, Biro Kebudayaan dan Missi Islam, Universitas Al-Azhar, dan Lembaga Pendidikan Dasar dan Menengah. Majelis Tinggi al-Azhar merupakan lembaga tertinggi yang menggariskan kebijaksanaan umum al-Azhar. Majelis ini terdiri dari Syaikh Al-Azhar (sebagai Ketua), Wakil Syaikh Al-Azhar, Rektor Universitas Al-Azhar, para dekan berbagai fakultas di lingkungan Universitas Al-Azhar, empat orang dari Lembaga Riset Islam, seorang wakil dari berbagai Kementerian Mesir, Kepala Biro Kebudayaan dan Missi Islam, Direktur Pendidikan Dasar dan Menengah Al-Azhar, dan tiga pakar pendidikan tinggi.

Syaikh Al-Azhar merupakan jabatan umat, semacam kepausan di kalangan para pengikut Agama Kristen Katolik. Kurang lebih begitu, tapi tak sama persis, karena di Dunia Islam yang beraliran sunni tidak mengenal sistem seperti itu. Di sisi lain, jabatan itu merupakan jabatan independen dan otonom yang memiliki otoritas penuh tanpa campur tangan pemerintah. Tapi, sejak Presiden Anwar Sadat berkuasa, pemerintah Mesir mulai menggoyang kedudukan Syaikh Al-Azhar untuk masuknya campur tangan pemerintah Mesir di dalamnya. Ini karena sebenarnya jabatan Syaikh Al-Azhar setara kedudukannya dengan jabatan Perdana Menteri. Malah, konon, kekayaan wakaf Al-Azhar lebih banyak dari kekayaan pemerintah Mesir itu sendiri.

Namun, usaha yang dilakukan oleh Presiden Anwar Sadat senantiasa kandas di tangan kewibawaan seorang Syaikh Al-Azhar yang kala itu dijabat oleh Prof. Dr. Syaikh ‘Abdul Halim Mahmud. Siapakah tokoh dan ulama kharismatik yang satu ini? Syaikh Al-Azhar Mesir ke-40 yang juga terkenal sebagai seorang pemikir Muslim terkemuka dan penulis yang produktif ini lahir di Desa Abu Ahmad (sekarang disebut Desa Salam), Bilbis, provinsi Syarqiyah pada Selasa, 29 Rabi‘ Al-Akhir 1328 H/10 Mei 1910 M dalam lingkungan keluarga yang terkenal dermawan dan penghapal Al-Quran, dengan nama lengkap ‘Abdul Halim bin Mahmud bin ‘Ali bin Ahmad. Selepas menimba ilmu-ilmu keislaman di tempat kelahirannya, pada 1342 H/1923 M ia memasuki dunia pendidikan di lingkungan Al-Azhar, yakni di Perguruan Awwaliyyah. Sembilan tahun selepas itu ia berhasil meraih gelar al-‘âlimiyyah (setingkat magister) termuda sepanjang sejarah Al-Azhar, dalam usia 22 tahun. Lantas, ia bertolak ke Paris, Perancis, untuk menimba ilmu di Universitas Sorbonne dengan biaya sendiri.

Ketika anak keturunan ‘Ali bin Abu Thalib dari garis ayahandanya ini sedang meniti pendidikan di Perancis, Perang Dunia II berkecamuk dan menyelubungi negeri itu. Meski demikian, ia tetap melanjutkan pendidikannya. Sehingga gelar doktor dari universitas terkemuka di Kota Cahaya ini, di bidang tasawuf, ia raih pada 1359 H/1940 M di bawah bimbingan seorang orientalis terkemuka Perancis kala itu, Louis Massignon. Disertasinya tentang seorang tokoh sufi terkemuka pada masa pertengahan: Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi. Dan, karena suasana perang kala itu sedang mencekam, ia terpaksa pulang ke negerinya dalam waktu yang cukup lama, dengan melewati Tanjung Harapan, Afrika.

Setiba di Mesir, ulama dan ilmuwan yang acap menghadiri berbagai pertemuan Islam internasional ini diangkat menjadi staf pengajar di bidang ilmu jiwa di Fakultas Bahasa Arab di almamaternya. Pada 1371 H/1951 M tugasnya dipindahkan ke Fakultas Ushuluddin di universitas yang sama. Lantas, pada 1384 H/1964 M, ulama yang pernah menjadi penasihat keagamaan Presiden Anwar Sadat ini diangkat menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin. Pada tahun yang sama ia juga menjadi anggota Lembaga Riset Islam (Majma‘ Al-Buhuts Al-Islâmiyyah). Jabatan Menteri Wakaf Mesir dipegang ulama yang berpendapat bahwa “tasawuf adalah jalan yang selamat, akomodatif, dan konstruktif bagi kehidupan dan kemajuan” ini pada 1390 H/1970 M. Sedangkan jabatan tertinggi Al-Azhar, Syaikh Al-Azhar, menggantikan Muhammad Al-Fahham, diduduki ulama yang juga menjabat dosen terbang di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Zaitunah di Tunisia dan Universitas Islam di Libya ini sejak 1393 H/1973 M.

Nah, baru selepas Prof.Dr. ‘Abdul Halim Mahmud berpulang berpulang di Kairo pada Selasa, 14 Dzulqa‘dah 1398 H/17 Oktober 1978 M, campur tangan pemerintah Mesir mulai masuk ke dalam otoritas Syaikh Al-Azhar. Di sisi lain, sejatinya jabatan Syaikh Al-Azhar bukan hanya milik ulama Mesir. Tapi jabatan tersebut merupakan milik Dunia Islam. Siapa pun ulama dan tokoh Dunia Islam berhak menjadi Syaikh Al-Azhar dan bila terpilih tentunya. Memang, selama ini baru sekali jabatan itu dipegang seorang ulama non-Mesir. Karena itu, saya sepakat kiranya ada ulama Indonesia menjadi Syaikh Al-Azhar. Bukankah banyak putra-putra Indonesia yang lulusan Al-Azhar dan kini menjadi ulama terkemuka? Kenapa tidak!

Sunday, March 7, 2010

Andai Tragedi 1258 M Tak Terjadi


Tadi pagi, ketika membaca tulisan Mustafa Abdurrahman tentang pemilu di Irak, “Pemilu Mengandalkan Isu Non-Agama”, (Kompas, 7 Maret 2010 M), entah kenapa tiba-tiba saya menarik napas panjang. Ya, menarik napas panjang. Bukan karena persoalan pemilu di Irak itu. Tapi, karena tiba-tiba teringat kembali tragedi yang pernah menimpa Baghdad pada 656 H/1258 M. Suatu tragedi yang menelan jutaan manusia dan menghancurkan khazanah budaya yang sangat kaya. Bagaimanakah kisah tragedi itu?

Suatu hari, Baghdad Darussalam bermuram durja. Seorang khalifah yang memerintah kala itu meninggal dunia. Ia kemudian digantikan putranya, Abu Ahmad ‘Abdullah. Selepas menjabat khalifah, Abu Ahmad 'Abdullah bergelar Al-Mu‘tashim Billah. Mungkin, ketika mulai menjabat khalifah, Abu Ahmad 'Abdullah tak mempunyai firasat bahwa ia adalah khalifah terakhir Dinasti ‘Abbasiyyah dan menjadi saksi keruntuhan Baghdad Darussalam, salah satu pusat kebuadayaan kala itu. Sebuah kota yang dibangun Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa ke-2 dinasti itu, pada 145 H/762 M.

Ketika Al-Mu‘tashim Billah mulai bertugas sebagai khalifah, nun jauh di Asia Tengah sedang marak kembali suatu kekuatan yang membuat gentar seluruh penghuni bumi kala itu. Suatu kekuatan berkuda jempolan yang mampu bergulir cepat laksana air bah dan tak mengenal perikemanusiaan. Nasib malang dan memilukan senantiasa menimpa kawasan yang mereka duduki.

Pada 615 H/1218 M, pasukan itu melabrak kawasan-kawasan Transoxiana, Khurasan, dan Persia. Lebih dari sejuta serdadu yang ganas itu memorakporandakan negeri-negeri yang kala itu memiliki kebudayaan yang tinggi. Dua tahun kemudian, giliran Urganj yang diserbu. Bumi hangus dan genosida mewarnai kota itu. Kota itu mereka lumatkan dengan membobol dam-dam Oxus. Di Nessa, mereka memanggang 70.000 anak manusia. Nishapur, ibukota Dinasti Thahiriyyah kala itu, menerima gilirannya pada Shafar 618 H/April 1221 M. Kota itu digilas dan diratakan dengan tanah. Kemudian, seluruh penjuru kota itu dihampari onggokan jerami. Api pun dinyalakan dan bara api pun membakar kota itu selama berhari-hari. Menurut catatan Mirkhond, seorang sejarawan yang mengikuti gerak pasukan itu, pesta api yang membakar kota itu menelan korban “hanya” sekitar 1.747.000 orang. Duh…

Selanjutnya, gerak pasukan itu menuju Herat. Di sini, pembantaian terhadap anak-anak manusia terulang kembali. Sekitar 1.600.000 anak manusia dibunuh. Namun, kala pasukan itu bergerak ke Baghdad, Al-Mustanshir, khalifah yang digantikan Abu Ahmad, yang bergelar Al-Mu‘tashim Billah, berhasil memukul mundur pasukan ganas itu. Kesempatan untuk membalas dendam baru muncul pada masa pemerintahan Al-Mu‘tashim Billah yang kurang mampu memegang kendali pemerintahan. Berbagai pergolakan dan kegoncangan mewarnai masa pemerintahannya. Mungkin karena tak tahan melihat keadaan yang demikian, seorang menteri sang khalifah mengundang pasukan Tartar itu agar datang ke Baghdad. “Pengkhianat,” demikian komentar Ibn Khaldun, Abu Al-Fida’, Al-Maqrizi, dan Al-Sayuthi tentang tindakan sang menteri.

Undangan tak terduga itu diterima Hulagu Khan, wakil panglima pasukan Tartar dan saudara lelaki Kaisar Mangu Khan. Kala itu, ia sedang berada di Persia. Ia pun segera menggerakkan pasukannya menuju Tabriz. Dari kota itu, ia mengirim sepucuk surat kepada Al-Mu‘tashim Billah. Tulis Hulagu Khan, “Ketika kami bertempur melawan Rudwar, kami meminta bantuan kepada Anda. Anda kala itu berjanji akan mengirimkan bala bantuan. Kenyataannya, bala bantuan itu tak kunjung tiba. Kini, kami meminta Anda agar memperbaiki perilaku Anda. Anda jangan bertingkah, karena taruhannya adalah kerajaan dan harta karun Anda!”

Al-Mu‘tashim Billah melawan. Amarah Hulagu Khan pun membara. Selepas Baghdad dikepung selama sekitar 40 hari, kota itu akhirnya bertekuk lutut. Sulit diuraikan tindakan brutal dan ganas apa yang dilakukan Hulagu Khan dan pasukannya kala kota itu jatuh ke tangan mereka pada Ahad, 4 Shafar 656 H/10 Februari 1258 M. “Penghancuran Baghdad oleh Hulagu memerlukan pena seorang pakar seperti halnya Edward Gibbon,” begitu tulis Ameer Ali dalam A Short History of the Saraccens tentang tragedi Bagdad itu.

Banyak analisis telah disajikan tentang kejatuhan Baghdad lama itu. Kerap dikemukakan, kejatuhan kota itu di tangan pasukan Tartar merupakan awal kemunduran kaum Muslim. Saya sendiri kerap merenung, andai tragedi itu tak terjadi, apa yang akan terjadi? Akankah Dunia Islam dan kaum Muslim tidak akan mengalami kemunduran? Akankah “harta karun” ilmu pengetahuan yang dibakar dan dibuang ke Sungai Eufrat dan Tigris akan tetap ditelaah dan dikaji orang? Akankah…, akankah…, dan akankah…? Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Monday, March 1, 2010

Doa untuk Seorang Maestro


Kamis minggu lalu (25 Februari 2010 M), ketika saya sedang asyik menulis sebuah buku yang sedang saya siapkan untuk Penerbit Mizania, tiba-tiba hp saya berdering. Saya pun segera mengangkat hp itu. Begitu hp itu saya angkat, tiba-tiba suara ramah dan santun dari seberang pun berbunyi, “Assalamu’alaikum, Rofi’. Apa kabar? Sehat saja kan? Saat ini Rofi’ sedang ada di mana?”

Sejenak saya termenung dan mengingat-ingat suara itu. Dan, segera saja saya mengenali suara yang telah saya kenal sejak lama, tapi lama tak saya dengar, suara Ir. Achmad Noe’man, seorang arsitek senior Indonesia yang terkenal sebagai perancang Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB). Entah kenapa, saya senantiasa merasa bahagia setiap kali mendengar suara tokoh berwajah teduh itu. Tokoh yang santun, ramah, dan kuat dalam memegang nilai-nilai yang mulia ini memang sering berkomunikasi dengan saya. Biasanya, kalau beliau menelpon saya, beliau ingin menanyakan sesuatu. Segera, saya pun menjawab, “Wa’alaikumussalam, Pak Nou’man…Alhamdulillah, saya sehat dan afiat saja, Pak. Saya ada di Baleendah. Bapak sehat saja, kan. Rasanya sudah hampir setahun saya gak bertemu Bapak.”

Entah kenapa pula, tiba-tiba dalam benak saya terbayang Masjid Salman ITB yang lama tidak saya kunjungi. Sebuah masjid sederhana, tapi indah, dengan kubah terbalik di lingkungan kampus ITB.

Menurut catatan sejarah, masjid itu dirancang Pak Nou’man. Berdirinya masjid ini sendiri ini bermula dari bangkitnya kesadaran kehidupan beragama pada sebagian civitas akademika, dosen, mahasiswa, dan karyawan ITB. Kondisi yang demikian itu kemudian mendorong mereka untuk mengupayakan berdirinya sebuah masjid. Cikal bakal semangat ini bersemi sekitar 1374 H/1953 M, dengan dilakukannya beberapa kegiatan. Lantas, pada 1379 H/1959 M, mulai dibentuk suatu kepanitiaan, yakni Panitia Pembangunan Masjid Kampus ITB. Pada tahun berikutnya, tepatnya pada Jumat, 1 Dzulhijjah 1379 H/27 Mei 1960 M, diselenggarakan shalat Jumat pertama di Aula Barat ITB. Kemudian, pada Dzulqa‘dah 1382 H/Maret 1963 M, kepanitiaan tersebut dikukuhkan menjadi suatu badan hukum, yaitu “Yayasan Pembina Masjid Salman”, dengan ketua umum pertamanya Prof. TM. Soelaeman. Nama masjid ini sendiri, “Salman”, diambil dari nama seorang sahabat Nabi Muhammad Saw. berdarah Persia, Salman Al-Farisi: seorang arsitek pembuatan parit pertahanan dalam Perang Khandaq. Idenya yang cemerlang itu menjadi inspirasi bagi Presiden Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia, sewaktu memberi nama masjid ini. Bung Karno sendiri, begitu melihat rancangan masjid yang kubahnya terbalik itu, langsung berkomentar, “Waah, ini rancangan masjid yang berciri khas Indonesia!” Saat itu juga Bung Karno pun membubuhkan tanda tangan persetujuannya atas rancangan itu. Menara adalah bangunan pertama yang didirikan. Lantas, pada Jumat, 21 Rabi‘ Al-Awwal 1392 H/5 Mei 1972 M, bangunan ini resmi dibuka oleh Rektor ITB kala itu, Prof. Dr. Doddy Tisna Amijaya (alm.). Dalam perjalanan masjid ini selanjutnya, berbagai kegiatan marak dilakukan dalam rangka memakmurkan masjid ini.

“Ya, alhamdulillah, saya juga sehat. Benar, lama kita tidak bertemu. Rofi’, bolehkah saya mengganggu?”
“Silakan, Pak.”
“Begini, Rofi’, saat ini sedang merancang desain kaligrafi Masjid Baiturrahim, Jakarta. Rancangan itu sudah selesai. Saya ingin Rofi’ datang ke Birano, untuk mengecek desain itu. Saya tidak ingin ada kesalahan pada desain itu. Karena itu, saya harap Rofi’ mau mengeceknya, dengan melihatnya langsung.”
“Pak Nou’man, insya Allah akan saya cek dan lihat desain itu. Kebetulan hari Sabtu saya ada acara di Khalifah Tour. Bagaimana kalau selepas itu saya ke Jalan Ganesha no. 3?”
“Alhamdulillah, terima kasih, Rofi’. Hari Sabtu saya tunggu ya. Assalamu’alaikum…”

Dua hari kemudian, Sabtu 27 Februari 2010 M, selepas menghadiri suatu pertemuan yang diadakan Khalifah Tour, saya kemudian menuju ke Masjid Salman ITB bersama Ustadz Hervy Firdaus. Sekitar pukul satu siang, saya kemudian menuju sebuah pavilion yang terletak di Jalan Ganesha no. 3. Di situlah kantor Pak Nou’man, PT Birano, berada. Selepas mengetuk pintu pavilion itu beberapa lama, keluarlah tokoh yang telah saya kenal sejak 1985 M itu. Beliau sendiri yang membukakan pintu. Karena hari itu hari Sabtu dan libur, tiada seorang pun karyawan yang hadir. Dengan kata lain, yang ada di kantor itu hanya Pak Nou’man. Sendirian.

Selepas melintasi sebuah lorong, kami kemudian memasuki sebuah ruang kecil berukuran tak lebih dari 3 x 3 meter di sebelah kanan ujung lorong. Begitu memasuki ruang yang menurut saya sangat sederhana bagi seorang maestro seperti halnya Pak Nou’man, mata saya pun segera “menari-nari” ke pelbagai “penjuru” ruang itu. Di dalam ruang itu terdapat sebuah meja satu biro. Di meja itu saya lihat ada sebuah Al-Quran dan Al-Mu‘jam Al-Mufahraz. Di belakang meja itu terdapat rak-rak yang sarat dengan buku-buku arsitektur, sementara di sebelah kiri meja terdapat rak yang berhiaskan sebuah pesawat radio lama yang sedang menyiarkan lagu-lagu jazz. Tanpa bertanya, saya segera menyadari bahwa Radio KLCBSlah yang sedang “naik pentas”. “Ya Allah, betapa sederhana ruang kerja Pak Nou’man ini,” tak terasa bibir saya tiba-tiba bergumam sangat pelan. “Tapi, di tempat yang sederhana ini lahir pula karya-karya besar. Sungguh, Engkau Maha Pemurah dan Maha Adil, ya Allah. Lewat kesederhanaan hidup dan keteguhan bersikap yang mewarnai kehidupan Pak Nou’man, Engkau karuniakan karya-karya besar lewat tangan Pak Nouman.”

Tak lama kemudian, kami pun terlibat dalam perbincangan panjang. Dalam perbincangan itu, Pak Nou’man, antara lain, mengemukakan bahwa saat itu beliau sedang terlibat dalam kegiatan pemugaran Masjid Baiturrahim di lingkungan Istana Merdeka, Jakarta. Di sela-sela perbincangan itu, tokoh yang pernah menjadi anggota Corps Polisi Militer di Bandung dengan pangkat letnan dua itu menunjukkan beberapa desain kaligrafi yang akan menghiasi pintu utama masjid itu dan meminta saya untuk mengecek keligrafi-kaligrafi itu. Saya sendiri sejatinya tak tahu, kenapa sayalah yang diminta Pak Nou’man untuk mengeceknya. Dan, di sela-sela perbincangan itu, saya bertanya, “Usia Pak Nou’man sekarang berapa?”
“Menjelang 86 tahun, Rofi’,” jawab tokoh yang pernah menimba ilmu di Sekolah Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah Ketanggungan, Yogyakarta dan Institut Teknologi Bandung, Bandung itu seraya tersenyum
“Ya Allah, 85 tahun masih gagah dan tetap melahirkan karya-karya yang bermanfaat untuk umat,” gumam pelan saya seraya menatap wajah yang merancang sekian banyak masjid itu. Termasuk Masjid Al-Markaz Al-Islami di Makassar, Masjid At-Tin di Jakarta, dan Masjid Istiqlal Indonesia (sebuah masjid megah berukuran 30 x 30 meter, sumbangan pemerintah dan bangsa Indonesia kepada pemerintah dan bangsa Bosnia Herzegovina yang dibangun di Novi Grad, Otoka Maendar, kawasan Sarajevo Barat).

Entah kenapa, selepas berpamitan, saya segera “lari” dan pulang ke rumah, dengan tujuan mengecek usia sebenarnya tokoh yang ketika Indonesia memasuki “zaman revolusi” pernah bergabung dengan Divisi Siliwangi itu. Ketika melihat sebuah catatan tentang biografi mantan Ketua Yayasan Universitas Islam Bandung itu, ternyata beliau lahir di Garut pada Jumat, 11 Rabi‘ Al-Awwal 1343 H/10 Oktober 1924 M. Melihat catatan itu, saya pun berucap pelan, “Masya Allah, bukankah kalau menurut perhitungan tahun hijriah Pak Nou’man tahun ini telah berusia 88 tahun…”

Kemudian. ketika shalat asar tiba dan seusai melaksanakan shalat itu, saya pun secara khusus mendoakan Pak Nou’man. Lantas, seusai berdoa, entah kenapa tiba-tiba saya bergumam pelan, “Pak Nou'man, kiranya Allah menerima, memberkahi, dan meridhai seluruh amal Bapak. Dan, kiranya Allah senantiasa menganugerahkan karunia yang terbaik kepada Bapak. Di dunia dan akhirat. Amiin.” (Tulisan ini dipersembahkan khusus kepada tokoh yang sangat saya hormati: Bapak Ir. Achmad Nou’man) (arofiusmani.blogspot.com)

Tuesday, February 23, 2010

Pesan Indah Al-Ghazali


Tadi pagi, ketika Aa Emuh dari Khalifah Tour meminta kepada penulis agar pada hari Sabtu nanti (27 Februari 2010) memberikan paparan tentang ibadah umrah, entah kenapa Al-Ghazalilah yang muncul dalam benak. Al-Ghazali, seorang ulama dan pemikir terkemuka yang terkenal dengan karya besarnya, Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, mungkin Anda telah mengenalnya. Tokoh dengan nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali ini, menurut catatan sejarah, lahir di Thus, Khurasan, pada 450 H/1058 M. Pada masa kecilnya ia belajar di bawah bimbingan Ahmad Ar-Radzkani. Selepas itu, ia lantas pergi ke Jurjan dan belajar kepada Imam Abu Nashr Al-Isamili. Dari Jurjan, ia kemudian kembali ke Thus, lalu merantau ke Nishapur. Di kota terakhir itu, ia belajar kepada Abu Al-Ma‘ali Al-Juwaini, yang mendapat gelar Imâm Al-Haramain. Ia tetap mendampingi gurunya itu hingga sang guru berpulang pada 478 H/1085 M. Ia lalu melanjutkan kelama ilmiahnya ke Al-‘Askar.

Enam tahun kemudian, Al-Ghazali memasuki Baghdad untuk mengajar di Perguruan Nizhamiyyah. Empat tahun lamanya ia mengajar di lembaga pendidikan kenamaan tersebut. Melalui jabatannya sebagai maha guru, namanya berkibar. Sehingga, ia dipandang sebagai seorang pemikir yang disegani dan ahli hukum yang dikagumi. Tidak saja di lingkungan lembaga itu. Tetapi, juga di kalangan pemerintahan di Baghdad.

Pada 488 H/1095 M Al-Ghazali meninggalkan Baghdad, dengan memberikan kesan akan pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tetapi, sejatinya kala itu ia sedang mengalami krisis dalam kehidupan ruhaniahnya. Untuk mengatasi krisis itu, ia kemudian meninggalkan segala hasil keilmuannya dan ketenaran namanya, yang telah ia bangun dengan kedudukannya sebagai mahaguru yang tenar dan tersohor, dan memasuki hidup berkontemplasi. Kemudian, dari bilik-bilik tertutup di masjid-masjid Damaskus dan Bait Al-Maqdis dan dari keheningan tafakur, ia tatap dengan kritis arus pemikiran agama dominan yang, dengan meninggalkan dunia ramai, kini secara lahiriah telah ia tinggalkan pula. Selepas itu, baru kemudian ia pergi menunaikan ibadah haji.

Dari Makkah Al-Mukarramah, pada 489 H/1096 M, Al-Ghazali merantau ke Suriah dan tinggal di Kota Damaskus. Selama menetap di kota terakhir itulah ia menyusun karya puncaknya, Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn. Nah, kepada orang yang melaksanakan umrah dan telah berada di Makkah Al-Mukarramah, Al-Ghazali dalam karya besarnya itu (iii: 120-123) antara lain berpesan, “Ketika memasuki Makkah Al-Mukarramah, hendaknya Anda ingat, kini Anda telah tiba dengan aman di Tanah Haram milik Allah Swt. Selain itu, hendaknya di kota itu Anda mengharap, dengan memasuki Kota Suci itu dengan aman, kiranya Anda akan aman pula dari siksa Allah Swt. Juga, hendaknya Anda merasa khawatir bahwa Anda sejatinya tidak berhak mendekati kota itu. Sehingga, dengan memasuki Tanah Haram, membuat diri Anda merugi dan layak menerima celaan. Namun, walau demikian, dalam seluruh waktu Anda, hendaknya harapan Andalah yang lebih kuat. Ini karena kedermawanan Allah Swt. ada di mana-mana dan Ia adalah Zat Yang Maha Penyayang. Lagi pula, kemuliaan Baitullah begitu agung: hak orang yang berziarah ke sana akan dipelihara dan permohonan perlindungan orang yang memohon perlindungan tidak akan disia-siakan.”

Kemudian, ketika orang yang bermaksud melaksanakan umrah itu telah berada di lingkungan Masjid Al-Haram, tokoh yang mendapat sebutan Hujjah Al-Islâm itu berpesan, “Selanjutnya, ketika pandangan Anda terarah ke Baitullah, seyogyanya dalam kalbu Anda timbul perasaan betapa agungnya Baitullah. Andaikanlah diri Anda saat itu seakan melihat Yang Memiliki Baitullah, karena Anda sangat mengagungkan Baitullah. Juga, hendaknya Anda berharap, kiranya Allah Swt. menganugerahkan kepada Anda kesempatan memandang wajah-Nya Yang Maha Mulia, laksana kesempatan yang telah dikaruniakan kepada Anda untuk memandang Rumah-Nya yang agung. Di samping itu, hendaknya Anda juga bersyukur kepada Allah Swt., karena Anda telah diantarkan hingga ke peringkat ini dan dimasukkan dalam jamaah yang datang dan menghadap kepada-Nya. Pada saat itu, hendaknya Anda ingat peristiwa dihimpunnya seluruh anak manusia pada Hari Kiamat kelak...”

“Kemudian ketika melaksanakan tawaf di Baitullah, perlu Anda ketahui, tawaf adalah shalat. Karena itu, hendaknya Anda menghadirkan dalam kalbu Anda keagungan Allah, rasa takut dan rasa harap kepada-Nya, dan seluruh perasaan cinta Anda kepada-Nya. Perlu diketahui, dengan melaksanakan tawaf, sejatinya Anda mirip para malaikat yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan mengelilingi seputar ‘Arasy! Janganlah Anda berpandangan bahwa maksud tawaf adalah melaksanakan tawaf mengelilingi Ka‘bah dengan tubuh Anda. Namun, maksud tawaf adalah melaksanakan tawaf dengan kalbu Anda, dengan senantiasa ingat kepada Sang Pemilik Baitullah. Sehingga, karena itu, Anda tidak memulai berpikir melainkan dari-Nya dan mengakhirinya dengan-Nya. Ini laksana tindakan Anda yang mengawali tawaf dari Baitullah dan mengakhirinya dengan Baitullah... Kemudian, ketika mencium Hajar Aswad, hendaknya Anda yakin bahwa Anda sedang menjalin sumpah kesetiaan dengan Allah Swt. dan Anda akan mematuhi-Nya. Karena itu, teguhkanlah cita-cita Anda dalam menyempurnakan sumpah kesetiaan Anda... ”

Manakala orang itu telah rampung melaksanakan tawaf dan kemudian menuju Bukit Shafa untuk melaksanakan sa‘i, Al-Ghazali berpesan, “Kemudian, ketika melaksanakan sa‘i di antara Bukit Shafa dan Marwah, laksanakanlah sa‘i laksana bolak-baliknya seorang hamba di halaman istana seorang raja. Hamba itu datang dan pergi berkali-kali untuk menyatakan ketulusan pengabdiannya dan mendambakan perhatian dengan pandangan kasih sayang, laksana orang yang masuk dan keluar dalam menghadap seorang raja, sedangkan ia tidak tahu apa yang akan ditetapkan sang raja terhadap dirinya: diterima atau ditolak. Karena itu, ia pun senantiasa bolak-balik di halaman istana itu berkali-kali, seraya mengharap kiranya ia berhasil meraih kasih sayang pada kali kedua, bila ia gagal meraihnya pada kali pertama.”

“Selanjutnya,” demikian tokoh yang melewatkan usia senjanya di tempat kelahirannya hingga ia menghadap Yang Maha Pencipta pada Senin, 14 Jumada Al-Tsaniyyah 505 H/19 Desember 1111 M, dengan meninggalkan banyak karya, antara lain Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, Al-Iqtishâd fi Al-I‘tiqâd, Ayyuhâ Al-Walad, Al-Munqidz min Al-Dhalâl, Maqâshid Al-Falâsifah, dan Tahâfut Al-Falâsifah, itu mengakhiri pesan indahnya, “ketika bolak-balik di antara Bukit Shafa dan Bukit Marwah, hendaknya Anda ingat pulang-pergi Anda di antara dua timbangan (al-mîzân) pada lapangan sangat luas pada Hari Kiamat kelak. Juga, hendaknya Bukit Shafa Anda umpamakan laksana timbangan kebaikan dan Bukit Marwah laksana timbangan keburukan. Selain itu, hendaklah Anda ingat bolak-balik Anda di antara dua timbangan itu dengan memandang pada beratnya dan ringannya, sedangkan pikiran Anda bolak-balik di antara siksaan dan ampunan.” (arofiusmani.blogspot.com/)

Thursday, February 4, 2010

Pertemuan Imajiner dengan Sinan Pasa


Pada malam hari kelima kunjungan kami (penulis dan istri) ke Istanbul pada tahun lalu, 2009 M, penulis dengan langkah-langkah pelan meninggalkan Hotel Yigitalp di Aksaray, tempat kami menginap, menuju Masjid Sehzade. Istri penulis saat itu tidak ikut serta. Saat itu, ia sedang menghadiri sebuah kongres medis di Musium Militer Turki di dekat Taksim Square. Maksud kedatangan penulis ke masjid itu adalah untuk melaksanakan shalat isya. Duh, ketika penulis tiba di masjid itu, ternyata semua pintu masjid telah tertutup. Rapat. Akhirnya, dengan menahan dingin malam hari Kota Istanbul di musim semi (sekitar 14 derajat Celcius), penulis pun melaksanakan shalat di pelataran luas masjid itu. Sendirian.

Seusai penulis melaksanakan shalat dan kemudian menikmati indahnya siluet Masjid Sehzade di malam hari, entah kenapa tiba-tiba dalam benak penulis muncul sosok Sinan Pasa di pelataran masjid itu. Kala itu, dalam benak penulis, maestro yang arsitek raksasa itu sedang berdiri tidak jauh dari penulis. Karena itu, penulis pun segera berdiri dan kemudian mendekati sosok berjenggot putih, bermata tajam, mengenakan serban tinggi serta berusia sekitar 85 tahun itu. Ketika penulis telah dekat dengan sosok itu, penulis pun menyapanya, “Assalamu‘alaikum…. Merhaba.”
“Wa‘alaikumussalam…,” jawab pelan sosok itu. “Merhaba, Memnun oldum!... Nasılsıniz?
“İyiyim, teşekkür ederim…”
“Türkçe konuşuyor musunuz?”
“Biraz…”
“Isminiz nedir…?”
“Ismim Ahmad Rofi’ Usmani…”
“Nerelisiniz?”
“Endonezya ‘dan geliyorum…”, jawab penulis terbata-bata, karena saat itu hanya sedikit sekali kosakata Turki yang penulis ketahui. Merasa tidak kuasa lagi meneruskan perbincangan dalam bahasa Turki, penulis pun berucap kepada Sinan dalam bahasa Indonesia, “Tuan, bukankah Anda adalah Sinan Pasa?”
“Benar, Ananda,” jawab sosok itu dengan nada suara yang sangat santun, seperti halnya nada suara kebanyakan orang-orang Turki, dan menjabat tangan penulis. “Memang, aku adalah Sinan. Selamat datang di Istanbul, Ananda.”

Betapa gembira hati penulis ketika tahu sosok itu adalah Sinan Pasa. Selepas berbagi sapa sejenak, kami kemudian duduk di sebuah tempat duduk yang terletak tidak jauh dari tempat wudhu indah berbentuk persegi delapan yang dibangun Sinan Pasa di pelataran Masjid Sehzade itu. Selepas itu, kami terlibat dalam perbincangan lama tentang sejarah Turki. Selain itu, Sinan Pasa juga menuturkan kisah hidupnya yang membentang panjang selama sekitar 98 tahun. Kemudian, seraya memandangi Masjid Sehzade, Sinan berucap pelan kepada penulis, “Ananda, tidak ingin tahukah engkau tentang kisah pendirian tiga masjid utama yang kurancang ini?”
“Tentu, Tuan Sinan Pasa. Setiap orang tentu ingin sekali mendengarkan kisah pendirian masjid ini. Apalagi langsung dari seorang maestro seperti halnya Tuan ini,” jawab penulis.
“Baiklah, Ananda,” jawab Sinan Pasa seraya menarik napas panjang, dan kedua matanya tampak menerawang jauh. “Aku merancang Masjid Sehzade ini atas perintah Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Aku yakin, engkau tentu mengetahui, siapa sultan yang satu itu. Masjid ini mulai dibangun pada 1547 M, ketika aku berusia 58 tahun. Seperti yang engkau saksikan saat ini di depanmu, masjid ini terdiri dari tiga bangunan utama : bangunan dalam, bangunan luar, dan pelataran di mana kita saat ini berada.”

“Kini, lihat puncak masjid,” tutur lebih lanjut Sinan Pasa. “Itu adalah kubah utama. Tinggi kubah itu mencapai sekitar 37 meter. Sedangkan garis tengahnya sepanjang 18.42 meter. Kemudian, lihatlah empat kubah yang lebih kecil ukurannya yang mengitari kubah utama. Setiap separuh dari empat kubah itu sengaja aku tempatkan di dinding kubah utama. Mengapa demikian? Hal itu aku lakukan agar masjid ini, bila dilihat dari dalam, akan tampak kian luas. Nah, untuk mengurangi kesan berat masjid ini, kubikin ruang-ruang di samping bangunan dalam itu. Masjid ini adalah masjid yang pertama kali kubangun. Alhamdulillah, dengan membangun masjid ini, kutemukan model rancangan masjid dengan kubah raksasa, atau ‘masjid dengan rancangan terpusat’. Perlu engkau ketahui, masjid ini merupakan ‘buah’ perjalananku ke pelbagai penjuru dunia. Ketika pembangunan masjid ini usai, betapa aku sangat bersyukur kepada Allah Swt. Inilah pengalaman pertamaku membangun sebuah masjid raksasa di masa itu.’”

Selepas berucap demikian, tokoh (yang wajahnya mengingatkan wajah beberapa sahabat penulis di Kairo, Mesir) yang hingga berusia 24 tahun memeluk agama Nasrani itu pun lama menekurkan kepalanya. Dan, tiba-tiba Sinan Pasa berpaling ke arah penulis dan bertanya pelan, “Apakah engkau sudah mengunjungi Masjid Sulaimaniyyah, Ananda?”
“Sudah, Tuan Sinan. Kenapa?”
“Ayo kita ke sana. Aku akan menceritakan kepadamu kisah pendirian Masjid Sulaimaniyyah.”

Kami pun, dengan langkah pelan, menembus malam Kota Istanbul yang kian dingin. Seraya melangkah pelan dan menikmati bangunan-bangunan lama dan indah di sepanjang jalan antara Masjid Sehzade dan Masjid Sulaimaniyyah, Sinan Pasa menuturkan tentang proses kreatifnya dalam merancang dan membangun tak kurang dari 441 bangunan arsitektur, termasuk Masjid Mehmet Pasa di Sophia, Bulgaria, Masjid Mustafa Pasa di Budapest, Masjid Tatar Khan di Rusia, Masjid Khusraw Pasa di Aleppo, dan Masjid Sultan Sulaiman di Damaskus, Suriah. Selain itu, ia juga menuturkan suatu rahasia yang tidak banyak diketahui banyak orang, mengapa Dinasti Usmaniyyah berhasil menjadi imperium yang sangat perkasa di masanya.

Selepas sekitar dua puluh menit berjalan menembus malam Kota Istanbul yang sangat indah, kami pun tiba di pelataran luas Masjid Sulaimaniyyah. Di sekitar pelataran itu ramai orang yang sedang menikmati suasana indah Masjid Sulaimaniyyah di kafe-kafe di sampingnya. Tampaknya, mereka tidak menyadari kehadiran kami yang kemudian duduk di kursi-kursi di kafe itu. Tak lama selepas menempatkan dirinya di kursi, penulis lihat Sinan Pasa lama menerawang lama Masjid Sulaimaniyyah yang berada di hadapannya. Tiba-tiba, penulis lihat air matanya menetes pelan dan kemudian membasahi kedua pipinya. Melihat hal itu, penulis pun bertanya pelan kepadanya, “Tuan Sinan, apakah Tuan dalam keadaan sakit?”

Mendengar pertanyaan penulis yang demikian, Sinan Pasa pun menarik napas panjang dan lama seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan, kemudian, ia berucap pelan, “Ananda, pesanku, hati-hatilah engkau ketika menerima dan memegang suatu amanah. Laksanakanlah amanah yang engkau terima dengan sebaik-baiknya. Walau demikian, tetaplah waspada dan hati-hati. Mengapa demikian? Karena walaubdengan senang hati menerima amanah untuk merancang dan membangun masjid ini, ternyata aku tetap terkena fitnah orang. Akibatnya, kepalaku nyaris dipancung Sultan Sulaiman Al-Qanuni.”
“Bagaimana kisah kejadian itu, Tuan Sinan?”
“Suatu hari, wahai Ananda, seseorang menyampaikan laporan palsu kepada Sultan Sulaiman Al-Qanuni bahwa aku lebih asyik dengan karya lain ketimbang merampungkan pembangunan Masjid Sulaimaniyyah,” jawab Sinan pelan. “Mendengar laporan demikian, amarah sang sultan pun membara. Ia pun segera menaiki kudanya dan mencari aku yang sedang berada di tempat kita saat ini. Begitu menemukan aku, ia pun mengancam aku agar segera merampungkan pembangunan masjid ini dan tidak menangani proyek lain. Jika tidak, ia mengancam akan memancung kepalaku. Aku pun kebingungan, mengapa sang sultan menuduh aku sedang melaksanakan proyek lain itu. Ini jelas fitnah yang sengaja ditaburkan oleh orang-orang yang tidak senang terhadap diriku yang terkenal sebagai pekerja keras yang sangat patuh kepada sang sultan. Dengan tubuh gemetar, karena ketakutan, aku pun menjelaskan kepada sang sultan bahwa aku tidak sedang menangani proyek lain. Alhamdulillah, sang sultan ternyata masih mempercayai aku. Selepas kejadian itu, aku pun memerintahkan para pekerja agar bekerja lebih keras. Akhirnya, masjid ini pun rampung tepat waktu.”

Mendengar penuturan Sinan Pasa yang demikian, penulis pun lama tercenung dan termenung: ternyata, orang sekaliber dan sebersih Sinan pun masih juga memiliki musuh. Kemudian, selepas Sinan maupun penulis “tenggelam” dalam perenungannya masing-masing, penulis pun memecah kesunyian yang terjadi di antara penulis dan Sinan dengan pertanya, “Tuan Sinan, bukankah Tuan tadi menyatakan akan menuturkan kisah pendirian Masjid Sulaimaniyyah?”
“Özür dilerim, Ananda,” sahut pelan Sinan. “Aku hampir lupa dengan tujuan kedatangan kita ke sini. Baiklah, kita kini beralih ke masalah tersebut. Masjid raksasa kedua yang kurancang ini mulai dibangun pada 1557 M. Dalam membangun masjid yang dipilih di atas sebuah bukit yang menjadi pusat Selat Bosphorus, sehingga masjid ini menjadi titik pusat yang sangat menarik perhatian dan pemandangan, aku memilih model kubah tengah dan dua kubah kecil. Kubah tengah, dari permukaan tanah, memiliki tinggi 53 meter. Dengan kata lain, masjid ini enam meter lebih tinggi dari Hagia Sophia. Selain itu, dalam membangun masjid, aku dayagunakan seluruh kemampuan arsitektural yang telah kukuasai saat itu. Demikian halnya, aku pun kala itu telah menaruh perhatian besar terhadap pelbagai faktor pengaruh suara, di samping sistem sirkulasi udara yang membuat udara di masjid ini bergerak cepat dan mudah. Coba Ananda masuk ke dalam masjid, tentu Ananda akan merasakan betapa nyaman udara di dalamnya.”

Usai bertutur demikian, Sinan Pasa kembali terdiam lama. Pandangannya terarah ke pelbagai penjuru masjid yang di malam itu dipendari lampu sorot dari pelbagai sudut. Dan, selepas itu, ia tiba-tiba bertanya kepada penulis, “Coba Ananda perhatikan, berapa jumlah menara masjid ini?”
“Empat menara, Tuan Sinan.”
“Nah, mengapa masjid ini kurancang dengan empat menara? Hal itu merupakan simbol bahwa Sultan Sulaiman Al-Qanuni adalah sultan ke-4 Dinasti Usmaniyyah. Coba Anda cermati menara-menara itu. Tinggi keempat menara itu tidak sama kan. Mengapa demikian? Dua menara yang dekat kubah kurancang lebih tinggi ketimbang dua menara lain yang jauh dari kubah. Ini kumaksudkan agar masjid ini tampak bagaikan bentuk piramid. Sehingga, membuat siluet-siluet indah masjid ini, yang juga berbentuk piramid, menimbulkan kesan yang sama di Selat Bosphorus. Malah, juga dari seluruh penjuru Istanbul. Ananda dapat membuktikannya besok: pergilah ke Eminonu dan naiklah ferry menuju Uskudar. Nah, ketika berada di atas ferry, arahkanlah pandangan Ananda ke masjid ini.”

Usai berucap demikian, entah kenapa Sinan Pasa lama memandangi penulis. Lantas, ucapnya, “Ananda sudah berkunjung ke Kota Edirne?”
“Efendim? Belum, Tuan Sinan. Kenapa?”
“Sayang,” ucap Sinan Pasa seraya menarik napas panjang. “Perlu Ananda ketahui, di Kota Edirne bisa engkau temukan sebuah masjid raksasa yang juga kurancang. Masjid yang diberi nama Masjid Salimiyyah itu sendiri mulai kubangun pada 1568 M atas permintaan Sultan Salim I, putra Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Lokasi masjid yang usai pembangunannya pada 1574 M ini sengaja kupilih di atas puncak sebuah bukit di kota itu. Dengan demikian, masjid itu terlihat dari seluruh penjuru kota.

Di samping atas permintaan Sultan Salim I, pembangunan masjid itu sejatinya sebagai jawabanku atas lecehan beberapa arsitek non-Muslim kala itu. Mereka menyatakan, di dunia Islam tidak mungkin ada satu pun bangunan raksasa sebesar Hagia Sophia. Lebih jauh mereka mengemukakan, di dunia Islam pembangunan masjid dengan kubah seperti kubah Hagia Sophia tidak akan terjadi. Ucapan mereka benar-benar sangat menyesakkan dadaku. Maka, dengan memohon pertolongan Allah Swt., kucurahkan seluruh pengetahuan dan kemampuanku untuk membangun masjid ini. Kemudian, dengan dorongan dari Sultan Salim I, alhamdulillah kemampuan itu berhasil kuhadirkan. Kubah masjid itu kurancang lebih tinggi enam kaki dan lebih dalam empat kaki ketimbang Hagia Sophia!”

Wajah Sinan Pasa tampak berpendar-pendar selepas berucap demikian. Dan, tak lama selepas itu ia berucap penuh semangat, “Ananda, berbeda dengan Masjid Sehzade dan Masjid Sulaimaniyyah, Masjid Salimiyyah kurancang hanya memiliki satu kubah raksasa dengan garis tengah 31.5 meter. Bukan hanya itu. Masjid ini kurancang dengan empat menara yang tinggi menjulang seakan menembus langit, setinggi 70.89 meter. Kala itu, pendirian menara-menara dengan ketingggian yang demikian itu merupakan terobosan luar biasa. Sebab, keempat menara itu, kala itu, dipandang sebagai menara-menara tertinggi di dunia saat itu. Lagi pula, berbeda dengan menara-menara lain yang telah ada saat itu, keempat menara itu kurancang dan kubangun berbentuk ramping tapi sangat tangguh dalam menghadapi hempasan angin. Masjid itu pun kurancang dengan disain interior yang sangat indah. Untuk penggarapan kaligrafinya kuserahkan kepada seorang kaligrafer tersohor kala itu, Hassan Kurrah Huseri!”

Usai bertutur demikian, Sinan Pasa kemudian berdiri dan meminta penulis kembali ke hotel, karena malam kian larut. Dan, ucapnya, “İyi geceler ve tatlı rüyalar, Ananda!“

Selepas mengucapkan terima kasih dan berpamitan kepada Sinan Pasa, penulis pun kembali ke hotel. Dan, sepanjang jalan, penuturannya yang penuh semangat itu membuat penulis teringat komentar seorang ahli sejarah arsitektur ternama, Ernst Diez, bahwa “keistimewaan lokasi, ukuran, tinggi, perpaduan, dan cahaya membuat Masjid Salimiyyah di Edirne dipandang sebagai salah satu khazanah arsitektur paling indah di dunia.”

Friday, January 22, 2010

Sinan Pasa, Sang Maestro


“Pak Rofi’, kita ke mana sekarang?” tanya Mas Budi Zaenal Muttaqin, seorang mahasiswa S-2 Jurusan Matematika, Universitas Marmara, Istanbul yang mengantarkan penulis dan istri pada hari ketiga perjalanan kami di Istanbul tahun lalu, 2009 M, selepas kami mengunjungi Masjid Sulaimaniyyah.
“Mas, kami ingin mengenal lebih jauh Istanbul. Tapi, kami ingin berjalan kaki. Bukan naik bus atau trem. Apalagi naik taksi.”
“Baik, Pak. Kalau begitu dari sini kita jalan kaki ke arah Eminonu, lewat labirin lorong-lorong di kota ini. Dari sana, kita menuju TCDD Sirkeci Gari…” jawab Mas Budi, sangat santun.
“Apa itu Sirkeci Gari?” sergah saya yang belum lagi mengenal banyak kata-kata Turki.
“Stasiun kereta api Sirkeci, Pak. Biasanya, di situ pada malam-malam tertentu digelar “Sufi Music Concert and Whirling Dervishes Ceremony” oleh kelompok sufi Istanbul. Kita bisa beli tiket dulu, jika Pak Rofi’ dan Ibu Ummie kepengin melihat konser itu.”
“Ya, saya pengin sekali melihat konser itu!” sahut istri penulis penuh semangat.

Maka, kami pun dengan langkah pelan meninggalkan Masjid Sulaimaniyyah. Tak jauh dari pintu masjid, Mas Budi kemudian memandu kami ke sebuah pintu bertuliskan “Sultan Suleyman Turbesi” yang ternyata berarti “Makam Sultan Sulaiman”. Oh, ternyata, di dalam komplek itulah Sultan Sulaiman Al-Qanuni, penguasa yang memerintahkan pendirian Masjid Sulaimaniyyah, dimakamkan. Di situ, saya melihat nisan-nisan yang menurut saya bentuknya aneh. Sebagian di antara nisan-nisan itu mengingatkan penulis pada nisan-nisan di Aceh. Beberapa lama kami menundukkan kepala, membacakan doa untuk sang sultan dan orang-orang yang dikebumikan di makam itu. Selepas itu, kami meninggalkan komplek itu, menuju ke arah Eminonu, dengan mengitari komplek Masjid Sulaimaniyyah. Seraya melangkah pelan, Mas Budi banyak menuturkan kisah Istanbul dan kisah dirinya sejak menimba ilmu di kota itu.
“Mas Budi, itu bangunan apa?” tanya penulis kepada Mas Budi Zaenal Muttaqin, ketika penulis melihat sebuah bangunan berbentuk persegi delapan dan di puncaknya terdapat kubah di sudut lorong ke arah Eminonu.
“Itu komplek makam Sinan, Pak,” jawab Mas Budi.
“Sinan…? Subhanallah, saya tidak pernah berpikir sama sekali kalau Sinan Pasa dimakamkan di sini. Mas, kita berhenti sebentar, ya. Saya ingin berdoa untuk seorang tokoh yang “pernah memberikan semangat” kepada saya agar suka “ngluyur” dan “klayaban” ke pelbagai penjuru dunia.”

Selepas berdoa di depan makam Sinan Pasa, entah kenapa, tiba-tiba kisah perjalanan hidup arsitek piawai itu menyeruak kuat dalam benak saya. Mengapa demikian? Ini karena perjalanan hidup dan karya arsitek yang satu ini sangat luar biasa. Tak aneh, tentang karya-karya arsitekturnya, bila seorang guru besar sejarah arsitektur Universitas Wina, Austria menyatakan bahwa “secara teknis karya-karya arsitektur Sinan jauh lebih cemerlang ketimbang karya-karya arsitektur Michelangelo”.

Bagaimanakah perjalanan hidup maestro yang satu ini?

Kayseri, Anatolia, itulah tempat kelahiran Sinan. Ketika lahir pada 1489 M, Sinan masih berada di lingkungan keluarga Nasrani. Kala itu, Dinasti Usmaniyyah Turki sedang berada di bawah pemerintahan Bayazid II, seorang sultan yang terkenal piawai di medan pertempuran. Ketika Salim II, putra Bayazid II, naik ke pentas kekuasaan dan hendak melancarkan serangan terhadap Persia, Sinan bergabung dengan pasukan Yeniceri, pasukan Turki yang direkrut dari kalangan warga non-Muslim. Selepas melintasi proses pencarian dan pemahaman yang cukup lama, baru ketika berusia 23 tahun Sinan menyatakan keislamannya. Tak lama selepas memeluk Islam, Sinan kemudian memasuki Akademi Militer Turki. Di akademi itu, ia mendapat bimbingan keras dari para pakar militer Turki yang juga terkenal sebagai para arsitek. Nah, di bawah bimbingan merekalah ia mulai berkenalan dengan dunia arsitektur.

Segera selepas merampungkan pendidikannya di Akademi Militer Turki, Sinan ikut dalam serentetan ekspedisi militer yang digelar Turki ke pelbagai kawasan dunia kala itu. Pada 1514 M, misalnya, ia ikut dalam penaklukan Tabriz, ibukota Dinasti Shafawiyyah yang menguasai Persia. Keikutsertaannya dalam ekspedisi itu membuatnya berkenalan dan akrab dengan karya-karya arsitektur Persia. Gerakan pasukan Turki selanjutnya ke Aleppo dan Damaskus memberikan kesempatan bagi Sinan muda yang haus ilmu dan pengalaman untuk mengenali karya-karya arsitektur Islam yang bercuatan di kedua kota itu. Kemudian, ketika pasukan Turki memasuki Kairo, Sinan berkesempatan mempelajari dan mencermati dengan mendalam karya-karya arsitektur Islam yang bertaburan di “Kota Seribu Menara” itu dan dibangun pada masa sebelum Mesir jatuh ke tangan Dinasti Usmaniyyah.

Ketika Sultan Salim I berpulang dan digantikan oleh Sultan Sulaiman Al-Qanuni, Sinan kembali ke negerinya. Namun, segera ia dikirim ke Eropa. Penaklukan Rhodes memberinya kesempatan luas untuk mengamati dan mempelajari karya-karya arsitektur Yunani yang banyak menghiasi kota itu. Budapest adalah kota Eropa selanjutnya yang banyak menarik perhatian calon arsitek besar itu. Di kota terakhir itu, ia acap mengunjungi gereja-gereja yang bertebaran di sana, untuk mempelajari gaya arsitektur gereja-geraja itu.

Baghdad menjadi kota berikutnya yang menarik perhatian Sinan. Kedatangannya ke kota yang kaya dengan khazanah arsitektur Islam itu terjadi pada 1534 M, ketika ia bergabung dalam pasukan Sultan Sulaiman Al-Qanuni yang menundukkan “mantan” pusat pemerintahan Dinasti Shafawiyyah. Dari Baghdad, ia kemudian mengikuti ekspedisi militer angkatan laut Turki di bawah pimpinan Khairuddin Barbarossa, seorang laksamana Turki ternama kala itu. Ekspedisi itu dimaksudkan untuk “memberikan pelajaran” atas kawasan sepanjang pantai Italia, tempat persembunyian Andre Doria, seorang laksamana Italia yang acap memimpin penyerangan terhadap Turki kala itu.

Rentetan perjalanan yang diikuti Sinan ke berbagai negara memberinya kesempatan menimba ilmu dan pengalaman yang luas. Namun, bakatnya sebagai arsitek belum tersalurkan. Baru pada 1534 M, ketika pasukan Turki hendak melancarkan kembali serangan terhadap Persia, bakat Sinan mulai memperoleh perhatian. Kala itu, panglima angkatan bersenjata Turki, Lutfi Pasa, memerintahkan Sinan untuk membikian kapal-kapal perang yang bisa bergerak cepat dan tangguh. Sebab, berbeda dengan ekpedisi-ekspedisi militer sebelumnya, Turki kali ini hendak melakukan “serangan kilat” lewat Danau Van. Tugas itu dilaksanakan dengan baik oleh Sinan.

Tidak lama selepas Sinan tiba kembali di Istanbul dari Iran, tokoh arsitek Turki kala itu, Ajm Ali, berpulang. Sinanlah yang diangkat sebagai penggantinya. Dengan demikian, ia menjadi orang pertama yang bertanggungjawab atas perancangan dan pembangunan Istanbul. Termasuk di antaranya jalan, saluran air, benteng, dan pemugaran gedung-gedung lama. Selain itu, ia juga diberi tanggung jawab mengawasi seluruh perancangan dan pembangunan kepentingan umum di seluruh kawasan yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Usmaniyyah kala itu. Bukan hanya itu. Sinan juga diangkat sebagai pemimpin kelompok arsitek istana. Kelompok itu, antara lain, adalah Daud Aga (perancang Masjid Agung Istanbul), Mehmet Aga (perancang Masjid Sultan Ahmet yang dikenal sebagai Masjid Biru, di Istanbul), dan Kurrah Shaban Aga (perancang benteng di seputar Turki kala itu).

Lewat tangan Sinan, lahirlah kemudian deretan panjang karya-karya arsitekturnya: 84 masjid, 57 universitas, 35 istana, 52 tempat ibadah, 7 sekolah, 22 mausoleum, 6 lengkung air, 8 jembatan, 3 rumah sakit, 17 dapur, 20 rest area, 41 kamar mandi, dan 8 gudang. Lahirnya deretan panjang karya-karya itu tidak lepas dari usianya yang panjang: 98 tahun. Karena perjalanan hidupnya yang panjang itu, tak mengherankan bila ia merasakan pemerintahan lima sultan: Bayazid II, Salim I, Sulaiman Al-Qanuni, Salim II, dan Murad III. Tak mengherankan pula, bila ketika ia berpulang pada 1559 M, doa dan kesedihan panjang pun mengiringi perjalanan arsitek raksasa ini menuju alam abadi. Dan ketika ia berpulang, seorang sahabatnya, Mustafa Celebi, mengiringinya dengan catatan sebagai berikut:

Usai sudah perjalanan hidup guru kita ini
Arsitek raksasa di masa ini
Oh sobat-sobatku, tua dan muda
Bacakanlah Surah Al-Fatihah baginya.


(Tulisan ini dipersembahan untuk Mas Budi Zainal Muttaqin yang pada Ahad, 24 Januari 2010 ini akan melangsungkan pernikahannya di Jakarta)