Thursday, August 29, 2013

Dendeng Gg. Ijan dan Hewan Korban di Makkah

Mas, kalau ke kota, jangan lupa beli Dendeng Gg. Ijan, ya.”

Demikian pesan istri saya, dua hari yang lalu, ketika ia tahu, saya akan pergi ke Kota Bandung untuk membeli sesuatu sebelum saya dan istri “ngluyur” ke Benua Eropa mulai siang hari ini. Meski ia belum pernah merasakan dendeng nan lezat itu, entah kenapa ia tertarik untuk membawa oleh-oleh dendeng terkenal dari Parijs van Java itu untuk seorang sahabat dan keluarga di benua nun jauh di utara itu. Karena itu, setelah menikmati angkot dari Baleendah dan tiba di Terminal Kebon Kalapa, Bandung, saya kemudian berjalan kaki ke arah barat, ke arah Jalan Otista, menyusuri Jalan Pungkur. Sekitar empat rumah sebelum perempatan Jalan Otista, di sebelah kiri ada sebuah gang. Di situ, ada sebuah petunjuk jalan dengan tulisan “Gg. Ijan”.

Saya sendiri, sebelum itu, belum pernah membeli Dendeng Gg. Ijan. Juga, saya tidak tahu di mana alamat penjual dendeng yang digemari Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei itu. Karena itu, ketika telah berada di gang tersebut, saya pun kebingungan mencari alamat penjual dendeng itu. Apalagi, sepanjang gang itu saya tidak menemukan petunjuk apa pun tentang “Dendeng Gg. Ijan” itu. Selepas berjalan beberapa lama, dan tidak menemukan alamat penjual dendeng itu, akhirnya saya melihat seorang ibu berusia lanjut berdiri di depan rumahnya. Saya pun bertanya kepada ibu itu, dan ibu sepuh itu memberitahu saya, Dendeng Gg. Ijan beralamat di no. 18 gang itu. Saya pun balik langkah. Ketika berada di depan rumah bernomor 18 tersebut, saya melihat dua ibu muda sedang menjemur pakaian. Di rumah itu tiada tanda-tanda sama sekali bahwa rumah itu merupakan produsen Dendeng Gg. Ijan. “Ibu,” tanya saya kepada saya seorang di antara dua ibu itu, “apa memang di sini tempat penjualan Dendeng Gg. Ijan?”
“Benar, Pak,” jawab ibu itu. “Silakan masuk.”

Setelah mempersilakan saya masuk ke dalam rumah dan duduk, ibu itu kemudian bertanya kepada saya, “Bapak sudah pesan dendeng kami sebelum ini?”
“Lo, harus pesan dulu, ya?”
“Iya, Pak. Kami hanya melayani pemesanan saja. Jadi, kami hanya melayani pembuatan dendeng ini berdasarkan pesanan saja. Jika Bapak pesan hari, pesanan Bapak baru siap besok sore.”
“Duh,” gumam saya dalam hati. “Untung saja saya baru berangkat dua hari lagi.”

Mendengar penjelasan demikian, saya kemudian bertanya kepada ibu itu tentang harga dendeng itu. Ternyata, harganya cukup aduhai. Meski demikian, saya tetap memesan dendeng tersebut yang akan saya ambil sore hari berikut. Dan, saya mendapat sampel dendeng lezat siap saji nan lezat itu.

Setelah berpamitan, dan ketika sedang menikmati perjalanan menuju Dago, naik kendaraan kegemaran saya: angkot, entah kenapa tiba-tiba benak saya “melayang-layang” jauh. Ya, melayang jauh ke Makkah, sebuah kota yang entah berapa kali pernah saya kunjungi. Benak saya, entah kenapa pula, tiba-tiba membayangkan ratusan ribu hewan korban yang kerap kali tidak didayagunakan menjadi “sesuatu yang jauh lebih bermanfaat” dan tidak dibiarkan “mubadzir” saja. Membayangkan hewan korban tersebut, tiba-tiba bibir saya bergumam pelan, “Andai saja saudara-saudaraku di Kota Makkah mau belajar membuat dendeng nan lezat berbentuk krispi kepada ibu di Gg. Ijan itu, tentu hewan-hewan korban di Makkah itu akan termanfaatkan dengan baik. Tidak hanya dibuat kornet saja. Tetapi, dibuat dendeng siap saji nan lezat, dengan aneka ragam rasa, seperti Dendeng Gg. Ijan itu. Andai saja…”

Setiba saya di rumah kembali, sore harinya, dan ketika istri melihat sampel Dendeng Gg. Ijan yang saya bawa, istri saya pun segera mencicipi dendeng itu. “Wow, lezat sekali dendeng ini. Siap saja lagi…” serunya sambil menikmati dendeng kesukaan Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei itu.
  


Tuesday, August 20, 2013

AL-IBRIZ: 
Kitab Tafsir yang Unik, Menarik, dan Ciamik

Usai berlebaran di Kota Cepu, Jawa Tengah, pada Sabtu, 17 Agustus 2013 yang lalu, rencana semula dalam perjalanan kembali ke Bandung, sejatinya saya, istri, dan seorang adik dan suaminya bermaksud melintasi rute Cepu-Blora-Purwodadi-Semarang. Mengapa? Hal ini karena sebelumnya saya telah memberitahu seorang kiai di Pondok Pesantren Futuhiyyah, Mranggen, bahwa saya akan mampir ke sana. Kiai tersebut adalah seorang sahabat saya sejak berada di Mesir. Beliau pernah menimba ilmu di Universitas Alexandria.

Namun, rencana itu kemudian kami ubah. Ini karena malam sebelumnya, saya bertemu dengan Gus Mus dan beliau berucap kepada saya, “Monggo pinarak wonten Rembang. Silakan berkunjung di Rembang.” Menerima undangan dari seorang kiai mulia seperti halnya Gus Mus, tentu saja saya tidak dapat mampu berucap kecuali menjawab dengan penuh semangat, “Insya Allah.” Oleh karena itu, keesokan harinya, kami pun mengubah rute perjalanan kami menjadi: Cepu-Blora-Rembang-Juwana-Pati-Kudus-Demak-Mranggen-Semarang.  Tetapi, kami sengaja tidak memberitahu Gus Mus bahwa kami akan berkunjung ke rumah beliau yang terletak di Desa Leteh, Kota Rembang.

Ketika mobil yang membawa kami tiba di lingkungan Pondok Pesantren Raudlotut Tholibin, Rembang, kami pertama-tama berkunjung ke rumah Nyai Hj. Cholil Bisyri. Di situ, kami bertemu dengan ibunda Gus Yahya Staquf, salah seorang kiai di pondok tersebut yang pernah menjadi salah seorang kepercayaan Gus Dur, dan tentu Gus Yahya sendiri. Seusai berkunjung di situ, kami berenam (bersama seorang istri paman) kemudian menuju ke rumah Gus Mus. Melihat mobil Kijang Innova dengan no. polisi K 1926… berwarna putih, saya merasa yakin Gus Mus ada di rumah, meski pintu depan rumah beliau tertutup. “Bagaimana ini? Apa kita tetap akan berkunjung ke rumah Gus Mus,” tanya istri saya yang merasa tidak enak jika kehadiran kami mengganggu Gus Mus yang kemungkinan sedang beristirahat.
“Saya lihatnya dahulu, Mbak. Barang kali beliau ada di rumah,” jawab istri paman yang biasa masuk dan keluar dalam lingkungan keluarga besar Gus Mus.

Tidak lama kemudian, kami mendapat lampu hijau untuk bertemu dengan Gus Mus. Kami pun masuk ke dalam rumah beliau melalui pintu samping, di dekat dapur rumah beliau. Ketika melintasi tempat tersebut menuju ruang tamu, saya lihat Gus Mus sedang asyik memasak di dapur  dengan pakaian kebesarannya:  tetap mengenakan sarung dan baju berwarna putih. “Mâsyâ Allâh, kiai seperti Gus Mus masih sempat dan tidak malu memasak,” gumam saya dalam hati.

Tidak lama kemudian, Gus Mus keluar dari dalam rumah untuk menemui kami. Beliau keluar dengan tampilan kebesaran beliau: mengenakan baju putih, sarung putih, dan kopiah putih, serta berambut putih. Tidak lama kemudian, istri beliau juga keluar menemui kami. Segera pula, setelah berbagi sapa dengan kami, tiba-tiba Gus Mus berdiri dan kemudian masuk ke dalam rumah. Tidak lama kemudian, beliau muncul kembali dengan membawa sebuah buku berukuran besar. Setelah duduk kembali di hadapan kami, kemudian beliau menyerahkan buku itu, yang ternyata sebuah kitab terjemah dan tafsir Al-Quran yang merupakan karya besar ayahanda beliau, KH. Bisyri Musthofa, kepada saya. “Alhamdulillah,” gumam saya dalam hati seraya menarik napas panjang. “Ini merupakan hadiah yang luar biasa: mendapat hadiah sebuah kitab terjemah dan tafsir Al-Quran dari putra penulis karya besar itu dan sang putra juga seorang kiai terkemuka.” Karya itu berjudul Al-Ibriz Versi Latin.

Belum lagi rasa kaget sirna selepas menerima hadiah luar biasa tersebut, kami kemudian dipersilakan menikmati makan siang dengan hidangan yang juga tidak lepas dari sentuhan tangan Gus Mus. “Kulo niki pancene seneng ngrusuhi wonten pawon. Saya ini memang suka membuat repot (orang di) dapur (dan terlibat dalam kegiatan dapur),” ucap Gus Mus, merendah. Duh, betapa hal itu merupakan suatu kehormatan bagi kami. Ingat pesan Imam Al-Syafi’i, yang suka menikmati hidangan halal yang disajikan orang yang mulia, saya pun menikmati hidangan itu dengan lahap. Eh, yang lain-lain ternyata ikut-ikutan menikmati hidangan itu dengan lahap.

Tidak lama kemudian, menyadari Gus Mus belum banyak beristirahat, kami pun segera berpamitan.  Sepanjang perjalanan, dari Rembang menuju Semarang, kitab hadiah istimewa, dalam bahasa Jawa indah, dari Gus Mus itu saya cermati. “Duh,” gumam saya dalam hati selepas mencermati kitab tersebut. “Ini kitab terjemah dan tafsir yang luar biasa dan merupakan karya seorang kiai yang luar biasa. Sebuah karya yang unik, menarik, dan ciamik (luar biasa).”

Siapakah KH. Bisyri Musthofa, penyusun karya dalam bahasa Jawa itu?

KH. Bisyri Musthofa lahir di Desa Pesawahan, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1915.  Nama asli beliau adalah Masyhadi. Namun, sepulang dari menunaikan ibadah haji, beliau mengubah namanya menjadi Bisyri. Ketika berusia sekitar dua puluh tahun,  putra pertama dari empat bersaudara pasangan H. Zaenal Musthofa dengan istri keduanya yang bernama Hj. Khatijah, dinikahkan seorang gurunya, KH.  Cholil dari Kasingan (tetangga Desa Pesawahan), dengan seorang gadis bernama Ma’rufah yang tidak lain adalah putri KH. Cholil sendiri. Dari perkawinannya ini, KH. Bisyri Musthofa dianugrahi delapan anak, yaitu Cholil, Musthofa, Adib, Faridah, Najihah, Labib, Nihayah, dan Atikah.

Setelah menikah dan menimba ilmu, termasuk ke Makkah, KH. Bisyri Musthofa kemudian mengajar di pesantren. Di samping kegiatan mengajar di pesantren, beliau juga aktif pula mengisi ceramah keagamaan. Penampilannya di atas mimbar amat mempesona para hadirin yang ikut mendengarkan ceramahnya. Tidak aneh jika beliau kerap diundang untuk mengisi ceramah dalam berbagai kesempatan di berbagai daerah di Jawa Tengah.

Meski sibuk mengajar dan terkenal sebagai singa podium, namun KH. Bisyri Musthofa ternyata punya keistimewaan yang kerap tidak dimiliki para kiai yang lain: beliau juga seorang penulis piawai. Salah satu karya beliau adalah karya monumental beliau, Al-Ibriz, sebuah kitab terjemah dan tafsir Al-Quran dalam bahasa Jawa.  Dalam karya yang semula terdiri dari tiga jilid dan diterbitkan Penerbit Menara Kudus ini KH. Bisyri Musthofa senantiasa memberikan tafsiran terhadap ayat-ayat mutasyâbihât dengan mengambil beberapa pendapat para mufassir disertai dengan argumen-argumen yang beliau berikan sendiri. Dalam kitab tafsirnya itu, tidak sedikit ditemukan uraian-uraian yang menyangkut ilmu sosial, logika, ilmu pengetahuan alam dan sebagainya.

Sebagai orang Jawa yang telah lama, tidak kurang dari 30 tahun, tidak tinggal di daerah yang berbahasa Jawa, saya sangat menikmati tulisan kiai terkemuka yang berpulang pada Rabu, 27 Shafar 1397 H/17 Februari 1977 M itu. “Unik, menarik, dan ciamik sekali karya ini,” demikian gumam saya dalam hati sepanjang perjalanan dari Rembang menuju Semarang, dan kemudian menuju Bandung. “Matur nuwun sanget, Gus Mus. Ini merupakan hadiah yang luar biasa.”
  

Wednesday, August 14, 2013

Makanan yang Menjadi Obat

Nanti malam, ketika jutaan orang kembali dari kampung halaman, ganti saya yang mudik bersama istri. Ketika saya mudik, yang paling khawatir adalah istri. Mengapa? Dia tahu, setiap kali pulang kampung, saya punya kebiasaan berkunjung ke beberapa sahabat. Nah, di sini “problem”nya. Kala berkunjung ke rumah beberapa sahabat dan mendapat sajian makanan, saya biasanya menikmati sajian yang ada dengan lahap. Tapi, tentu, tidak di semua sahabat.

Pernah, beberapa tahun lalu, ketika saya berkunjung ke rumah Cak Amal Fathullah, salah seorang sahabat dekat yang kini menjadi seorang kiai terkemuka di sebuah pondok modern di Ponorogo, Jawa Timur, kala itu dihidangkan sate ponorogo nan lezat. Menerima sajian demikian, saya pun menikmati sate ponorogo itu dengan lahap. Melihat hal itu, tiba-tiba istri mencubit tangan saya sambil berucap, “Mas, apa kata Cak Amal nanti. Malu ah!”
“Biarkan saya menikmati sate ponorogo ini dengan lahap. Saya yakin, sajian ini halâlan thayyiban. Sajian ini, insya Allah, penuh berkah. Karena itu, biarkan saya menikmati sajian ini dan meneladani Imam Al-Syafi‘i.”
“Lo, apa kaitannya Imam Al-Syafi‘i dengan sajian ini?”
“Belum tahu ya ceritanya?”

Ya, bagaimana kaitan Imam Al-Syafi‘i, pendiri Mazhab Syafi‘i yang diikuti ratusan juta umat di Dunia Islam, dengan menikmati sajian dengan lahap? Berikut ceritanya:

Suatu saat, betapa gembira hati seorang putri Imam Ahmad bin Hanbal. Kita tahu, Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang ahli hadis, hukum Islam,  dan  ilmu kalam  yang  juga  salah seorang tokoh dari  empat  imam  mazhab fikih. Kegembiraan putri ulama yang satu itu dipicu oleh kabar gembira dari sang ayahanda yang akan menerima kunjungan seorang guru yang kerap ia bincangkan bersama sang putri. Sang putri tahu, ayahandanya kerap menyanjung gurunya yang lahir di Gaza, Palestina itu, karena keluasan ilmu dan wawasannya. Karena itu, ia ingin tahu bagaimanakah sejatinya akhlak dan perilaku tokoh  yang  pernah menyatakan bahwa  “perhiasan  yang  paling indah yang  dikenakan  ulama adalah  kedamaian hati (qanâ‘ah), kepapaan, dan ridha” itu.

Benar saja, Imam Al-Syafi‘i tidak lama selepas itu datang berkunjung ke rumah Imam Ahmad bin Hanbal. Kemudian, ketika larut malam tiba, ulama yang berpulang Jumat, 30 Rajab 204 H/ 20 Januari 820 M di Al-Qarafah Al-Shughra, Fusthath, Mesir meminta izin kepada tuan rumah untuk beristirahat. Selama Imam Al-Syafi‘i beristirahat malam itu, ternyata putri Imam Ahmad bin Hanbal sengaja begadang dan mengintip apa saja yang dilakukan tamu mulia ayahandanya itu. Kemudian, pagi harinya, seusai melaksanakan shalat subuh, sang putri memberanikan diri bertanya kepada ayahandanya dengan suara lirih, “Wahai ayahanda! Benarkah ia adalah Imam Al-Syafi‘i yang kerap ayahanda bincangkan tentang kebaikan dan ketakwaannya itu?”
“Benar, wahai putriku,” jawab sang ayahanda penasaran. “Ia memang adalah Imam Al-Syafi‘i, guru ayah, yang kerap kubincangkan denganmu. Ada apa?”
“Wahai ayahanda,” jawab sang putri tetap dengan suara pelan. “Semalam, saya sengaja tidak memejamkan mata. Betapa saya ingin sekali tahu perihal perilaku tuan guru  yang satu itu. Sejak tuan guru dan tamu ayahanda itu datang, saya senantiasa mencermati seluruh gerak dan lakunya. Ternyata, selama itu, saya mengamati tiga hal yang saya sayangkan terhadap diri tuan guru dan tamu ayahanda itu. Ketika saya menghidangkan makanan, duh, ternyata ia lahap sekali menyantap hidangan yang disajikan. Ketika ia sedang beristirahat, ternyata ia sama sekali tidak melakukan shalat malam dan tahajud. Dan, ketika ia menjadi Imam shalat subuh tadi, ternyata ia tidak berwudhu!”

Tentu saja, Imam Ahmad bin Hanbal kaget sekali dan sangat penasaran mendapat penjelasan dari putrinya tentang Imam besar yang  dalam menetapkan hukum memadukan antara metoda  Hijaz  dan metoda Irak, yakni memadukan antara lahiriah teks-teks  landasan hukum  Islam dengan rasio, itu. Karena itu, selepas berbagi sapa beberapa lama, Imam yang salih dan hidup sederhana itu pun mengemukakan kepada Imam Al-Syafi‘i perihal pengamatan putrinya.

Mendengar pertanyaan demikian, wajah Imam Al-Syafi‘i tidak menunjukkan rasa tidak senang sama sekali. Malah, Imam Al-Syafi‘i menjawab dengan wajah berbinar, “Wahai Imam Ahmad! Memang saya lahap sekali menyantap hidangan yang disajikan tersebut. Ini karena saya tahu, makanan yang kalian sajikan adalah makanan yang halal dan baik. Engkau adalah seorang ulama mulia. Sedangkan makanan yang disajikan orang mulia dan halal adalah obat. Berbeda dengan makanan orang pelit yang malah dapat menjadi penyakit. Jadi, saya makan tidaklah untuk memuaskan selera makan saya. Tapi, saya makan untuk berobat dengan makanan yang disajikan semalam. Sedangkan berkenaan dengan malam yang saya lewatkan tanpa shalat malam atau tahajud, semalam seakan saya melihat Al-Quran dan Sunnah Rasul Saw. ada di depan mata saya. Sehingga, dengan merenungi keduanya, saya menemukan kesimpulan tujuh puluh dua masalah fikih yang bermanfaat bagi kaum Muslim. Akibatnya, saya tidak memiliki kesempatan untuk melaksanakan shalat malam. Dan, berkenaan dengan shalat subuh tanpa wudhu, sejatinya karena sepanjang malam saya tidak tidur sama sekali dan tiada sesuatu pun yang membatalkan wudhu saya. Sehingga, saya shalat subuh dengan wudhu shalat isya.”

Betapa lega Imam Ahmad bin Hanbal mendengar jawaban Imam Al-Syafii tersebut yang tidak selaras dengan pengamatan putrinya. Demikian pula putrinya yang mendengarkan penjelasan guru ayahandanya itu dari balik tirai. Malah, Imam Ahmad bin Hanbal kemudian menekankan kepada putrinya bahwa hasil perenungan Imam Al-Syafi’i yang bermanfaat bagi kemaslahatan kaum Muslim itu jauh lebih utama nilainya dibandingkan dengan shalat malam yang dilakukannya.


Nah, karena itu, jika Anda berkunjung ke rumah seseorang dan mendapat sajian makanan, sedangkan Anda merasa yakin sajian itu halâlan thayyiban, nikmati saja sajian itu dengan lahap. Sebab, sajian itu, menurut Imam Al-Syafi‘i, merupakan obat!