Wednesday, November 18, 2015

GAYA HIDUP SEBAGAI RAKYAT

Usia Pak Rofi’ berapa?”
“62 tahun dan menjelang 63 tahun. Mengapa?”
“Saya lihat, Pak Rofi’ masih kuat jalan ke mana-mana. Wajah Pak Rofi’ pun  kelihatan belum sepuh seperti  ayah saya yang usianya lebih muda.”
“Alhamdulillah. Kiranya Allah Swt. tetap mengaruniakan kesehatan dan kebugaran kepada saya. Juga, kepada Anda.”
“Apa rahasianya, Pak Rofi’”

Pertanyaan terakhir dari seorang manager sebuah perusahaan itu, minggu lalu, tiba-tiba membuat saya termenung. Lama. Menjawab pertanyaan “rahasia” ternyata tidak mudah. Kemudian, sambil menikmati perjalanan dengan naik mobil, antara Bandung-Jakarta, benak saya pun “melayang-layang”. Ke belakang.

Segera terungkap, selama hampir tiga tahun terakhir dapat dikatakan saya menjadi “manusia mandiiri”. Ketika sebelum adzan dilantunkan, kedua mata saya dapat dikatakan nyaris tidak dapat dipejamkan.  Usai shalat malam dan shalat Shubuh, sambil mentadarus Al-Quran satu juz setiap hari, mesin cuci pun saya operasikan. Usai tadarus dan mencuci pakaian, rumah yang tidak lebih dari 7 x 10 meter pun saya bersihkan. Di samping itu, bergantian sama istri, saya menanak nasi dan kadang memasak. Dan, selepas semua urusan domestik itu rampung, benak dan jemari saya pun mulai “menari-nari”. Dan, biar tidak membuat benak jenuh: sambil menulis, radio atau speaker aktif yang berada di samping kanan dan kiri saya ikut “mengiringi” kelana otak saya ke mana saja dengan lagu-lagu. Baik klasik, populer (barat maupun indonesia), arab, maupun islami.

Di sela-sela kegiatan otak dan jemari yang kerap kali berlangsung seharian penuh, saya keluar dari “sarang”: menengok kegiatan di Pesantren Mini kami untuk memeriksa dan memantau berbagai kegiatan yang sedang berlangsung. Dan, ketika otak lagi di puncak kejenuhan, “kluyuran” itulah yang kerap saya lakukan: naik angkutan umum kota. Angkutan umum kota, alias angkot, memang “kendaraan pribadi” saya ketika sedang “kluyuran” di seputar Kota Bandung. Mengapa? Kerap kali, ketika sedang naik angkot, ide-ide bermunculan. Di samping itu, tentu saja, saya bisa tidur ketika kedua mata ingin dipejamkan. Ketika sedang kluyuran  di Kota Bandung,  saya biasanya pergi ke pusat buku loak di Jalan Dewi Sartika, kemudian naik angkot  lagi menuju ke Banceuy. Ke Banceuy, ada apa? Di situ, saya suka bertandang ke Pusat Elektronik Cikapundung: mencari atau memperbaiki radio lama. Lantas, biasanya saya pergi ke Toko Gramedia dan Bandung Electronic Center. Tentu, Anda tahu tujuan saya.

Demikianlah sebagian “gaya hidup” yang sederhana dan tidak “neko-neko” dalam kehidupan saya: tanpa pernah menjadi pejabat, pegawai negeri,  apalagi penggede negeri. Hanya sebagai rakyat biasa selama hayat saya. Lewat kehidupan yang demikian, alhamdulillah saya dapat menikmati hidup dengan penuh makna dan sehat. Juga, kiranya bermanfaat bagi sesama. Kiranya demikian, amin.