Friday, December 11, 2015

IBUKU

Masya Allah, tak terasa 37 tahun lewat ketika pertama kali aku menjejakkan kaki di Negeri Piramid.”

Demikian gumam bibir saya, tadi pagi, ketika teringat perjalanan hidup diri. Ya, tepat pada tanggal sama dengan tanggal hari ini, 11 Desember, itulah hari pertama kali kedua kaki saya menjejakkan kaki di ibukota Mesir: Kairo 37 tahun yang silam.  Seperti pernah saya tulis dalam sebuah karya berjudul Dari Istanbul hingga Eksotisme Masjid Al-Azhar, pada tanggal itu, tepatnya pada Senin, 10 Muharram 1399 H/11 Desember 1978 M, itulah hari pertama kali saya menjejakkan kaki di Kota Kairo selepas naik pesawat terbang Royal  Air Maroc selama sekitar dua jam dari Kota Jeddah. Tanpa mengenal siapa pun. Juga, belum mengenal sama sekali tentang ibukota Mesir itu. Yang saya ketahui, Mesir adalah sebuah “ladang perburuan” ilmu. Itu saja dan tak lebih. Saya pun tak tahu, setiba di Kairo mau menemui siapa, tinggal di mana, dan meneruskan studi di mana.  

Malah, menjelang tiba di Kota Kairo, ternyata pesawat terbang yang saya naiki  saat itu mengalami kejadian yang tak pernah saya lupakan hingga kini pesawat itu terjerembab dalam ruang hampa udara dan terhempas keras sekali. Cuaca mendekati Kota Kairo kala itu benar-benar tak bersahabat. Musim dingin di bulan Desember dengan badai sedang menghantui. Hampir setengah jam lamanya pesawat terbang tersebut bermain akrobat.  Demikianlah “sambutan meriah” yang diberikan kepada saya menjelang kedatangan saya pertama kali ke Kota Seribu Menara itu.

Kejadian demi kejadian yang saya alami itu kian menanamkan keyakinan dalam diri saya, manusia hanya kuasa berikhtiar dan Allah Swt. kuasa atas segala sesuatu. Di samping itu, dalam hidup kadang diperlukan kenekadan dan keberanian mengambil keputusan yang berisiko tinggi. Yang tak kalah penting, menurut saya, adalah doa orang tua. Khususnya doa seorang ibu.

Mungkin, karena doa dan keinginan Ibuku  yang sangat kuat agar saya menimba ilmu kembali, tak lebih dari sebulan setiba di Kairo, saya telah diterima sebagai mahasiswa di dua universitas sekaligus: Universitas Al-Azhar dan Universitas Kairo. Ya, dua universitas sekaligus. Ini karena saya mengajukan dua ijazah: untuk Universitas Al-Azhar saya mengajukan ijazah sarjana muda dan untuk Universitas Kairo saya mengajukan ijazah sarjana penuh. Ternyata, pengajuan saya diterima oleh kedua universitas itu. Padahal, banyak teman-teman yang telah lama mendaftarkan diri di Universitas Al-Azhar tak kunjung beres urusannya.

Ibuku, bagi saya, memang luar biasa.

Ketika masih berusia tidak lebih empat tahun, Ibuku telah ditinggalkan ibunya, seorang Ibu Nyai, alias istri seorang kiai. Ibuku memang memiliki “darah” kiai: ibunya seorang Ibu Nyai, ayahnya seorang kiai terkemuka di tempat kelahirannya, Cepu, kakeknya seorang kiai terkemuka di Karesidenan Bojonegoro, Jawa Timur, dan suaminya juga seorang kiai di Blora. Ibuku, seperti halnya kebanyakan ibu-ibu seusia dengannya, tidak pernah menempuh pendidikan umum. Ia hanya menerima pendidikan dalam lingkungan keluarga dan  mengaji di lingkungan pesantren di bawah pimpinan ayahnya: seorang kiai yang hafal Al-Quran dan menimba ilmu di sederet pesantren. Termasuk di Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, beberapa tahun menimba ilmu di Makkah, dan Pesantren Krapyak Yogyakarta: untuk mendalami qira’ah sab’ah kepada K.H. Munawwir.

Meski tidak pernah mengikuti pendidikan formal, Ibuku seorang “pemburu” ilmu yang luar biasa. Setelah bisa membaca dan menulis tulisan Arab dan Latin, dapat dikatakan tiada hari baginya tanpa membaca Al-Quran dan buku. Tak aneh jika ketika telah berusia sekitar 40 tahun, selain mengajar Al-Quran, Ibuku juga mengajar di Sekolah Penjenang Kesehatan. Padahal, Ibuku tidak pernah menempuh pendidikan formal apa pun. Di sisi lain, Ibuku seorang penyabar, tidak pernah mengeluh, dan sangat menaruh perhatian terhadap pendidikan putra dan putrinya. Yang menarik, meski hidup sehari-hari di lingkungan pesantren, putra dan putrinya diarahkan untuk menimba di luar pesantren hingga mereka berhasil memasuki perguruan-perguruan tinggi umum: ITB, UI, dan UNPAD. Lain halnya dengan saya. Entah kenapa, saya sejak kecil diarahkan ke pesantren. Mungkin, saya anak yang malas sekolah: umur 7 tahun baru mau masuk sekolah dasar. Sedangkan saudara-saudara saya umur  5 tahun rata-rata sudah masuk sekolah dasar.

Sejatinya, saya sejak awal menolak keinginan Ibuku untuk menimba ilmu di Timur Tengah. Tetapi, dengan sabar, dan setelah berhasil mengantarkan dua adik lelakinya mengambil program s-3 di Universitas Ummu Al-Qura, Makkah, dan Universitas Harvard, Amerika Serikat, Ibuku akhirnya berhasil memotivasi saya untuk berangkat ke sana. Ucap Ibuku, “Rofi’, jangan engkau tolak dambaan Ibu. Carilah ilmu dan pengalaman yang bermanfaat  di mana pun, sampai pun ke negeri orang. Itulah yang terpenting. Masalah gelar, itu tidak Ibu haruskan untuk diraih. Engkau tentu tahu, Ibu bukan orang yang pernah meniti pendidikan formal, namun Ibu tak pernah berhenti menimba ilmu dan pengalaman yang bermanfaat. Berangkatlah dan ikuti jejak langkah dua pamanmu itu.”

“Memburu ilmu dan pengalaman”, sesuai pesan Ibuku, akhirnya yang saya buru, bukan gelar. Hal itulah yang saya lakukan hingga kini: dengan kluyuran ke mana-mana. Dan, pada hari ini, secara khusus saya berdoa panjang untuk Ibuku. Kiranya beliau berbahagia di sisi Tuhannya, amin.