Sunday, August 10, 2014

IBN HAZM:
Ulama Besar yang Filosuf Cinta

Mencari rumah Ibn Hazm di Cordoba, itulah salah satu rancangan saya dalam perjalanan ke Spanyol di bulan Agustus ini dan ketika berada di Kota Cordoba. Ada apa dengan rumah Ibn Hazm dan kenapa Ibn Hazm?

Selain karya besar Al-Ghazali, Ihya ‘Ulûm Al-Dîn (yang terdiri dari 16 jilid), satu karya puncak (masterpiece) lain  ulama terkemuka lain yang telah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah karya puncak Ibn Hazm, Thauq Al-Hamâmah. Berbeda dengan karya besar Al-Ghazali, yang membahas secara rinci pelbagai persoalan keagamaan, lain halnya dengan karya Ibn Hazm. Karya ulama besar, yang asli Cordoba dan nenek moyangnya menganut Agama Kristen dan berambut pirang,  ini menyajikan suatu bahasan yang lengkap dan memikat tentang cinta. Berbeda dengan karya-karya para sufi, ketika membahas tentang cinta, yang lebih suka mengkaji cinta Ilahi, Thauq Al-Hamâmah (diterbitkan Penerbit Mizan dengan judul Risalah Cinta: Kitab Klasik Legendaris tentang Seni Mencinta), menyajikan suatu bahasan yang dapat dikatakan lengkap tentang cinta manusiawi. Karena itu, jika Anda sedang jatuh cinta, misalnya, silakan baca dan renungkan karya menawan itu.

Sejatinya, Thauq Al-Hamâmah tidak hanya membahas tentang cinta semata. Tetapi, karya itu juga menyajikan kisah cinta sang penulis. Dalam karya klasik yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia itu, misalnya, juga dikemukakan, Ibn Hazm pernah jatuh cinta:

Ketika saya masih remaja, saya jatuh cinta kepada seorang hamba sahaya perempuan nan amat jelita milik keluarga saya yang tinggal serumah dengan kami,” kenang Ibn Hazm Al-Andalusi dalam karyanya tersebut. “Hamba sahaya itu masih gadis. Berusia enam belas tahun. Wajahnya elok nan sangat memesona. Kecerdasan dan kesucian dirinya menawan hati. Ia begitu pintar memelihara kehormatan dan harga dirinya. Ia tinggalkan segala perbuatan yang kurang ajar dan tak senonoh. Ia pun berpakaian rapi dan tertutup rapat senantiasa. Juga, ia sedikit bicara, tak suka mencela, pandangannya senantiasa terjaga, memelihara jarak dengan lawan jenis, dan senantiasa bersikap hati-hati. Sungguh, ia benar-benar amat memesona.
Selain itu,  ia begitu pandai berkelit dan piawai dalam menyatakan penolakan. Ia begitu tenang dan santun kala duduk. Ia lebih banyak mendengarkan ketimbang bicara. Ia senantiasa menghindar bila ada orang yang ingin berbuat macam-macam dengannya. Karena itu, orang pun segan kepadanya. Ia bukan tipe perempuan gampangan, di mana setiap laki-laki dapat menyinggahinya. Kepribadiannya memikat hati setiap orang yang mengenalnya. Kesantunan tabiatnya mengusir orang yang hendak menjahilinya. Ia dermawan dan ringan tangan. Ia sungguh cekatan dalam pekerjaan. Ia tak senang canda yang tiada manfaatnya. Dan, ia sangat pandai membalas budi dan memendam rasa. Duhai, ia benar-benar gadis sangat memikat nan memesona.”
Demikian kenang tokoh yang sarat pengalaman itu perihal gadis yang dicintainya. Selepas bertutur demikian, ahli hukum  Islam  yang  menganut Aliran  Zhahiriyyah ini  kemudian menuturkan kembali kisah cintanya yang bertepuk sebelah tangan itu,

“Saya sangat mencintainya. Sungguh, sangat mencintainya. Selama dua tahun saya terus berusaha keras untuk dapat mendengar satu kata khusus saja yang terucap dari mulutnya untuk saya. Ya, kata khusus di luar pembicaraan yang sifatnya umum. Namun, sekeras apa pun usaha saya, tetap tak menghasilkan harapan yang saya damba. Ia tak pernah mau berucap kepada saya. Walau itu sepatah saja… Saya tak akan pernah dapat melupakan peristiwa itu. Tak akan pernah! Malah, hingga pun kematian menjemput saya. “
Nah, ketika berada di Cordoba nanti, selain akan mengambil foto patung Ibn Hazm yang menghiasi depan Pintu Gerbang Sevilla kota tersebut (patung itu didirikan atas prakarsa masyarakat dan pemerintah Kota Cordoba pada 1963, sebagai penghargaan atas jasa-jasa tokoh yang dipatungkan itu), saya akan mencoba mencari di mana lokasi rumah ulama besar tersebut. Juga, ingin membayangkan bagaimana ia sedang jatuh cinta dan akhirnya patah hati, sehingga membuatnya berbulan-bulan tidak mau ganti baju. Duh.

Kini, siapakah Ibn Hazm?  

Ahli hukum Islam dan  ilmu  kalam  terkemuka Andalusia yang terkenal juga sebagai filosof cinta ini  bernama lengkap Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa‘id bin Hazm. Lahir  di Cordoba  pada Rabu, 30 Ramadhan 384 H/7 November 994  M,  dalam lingkungan  keluarga  yang berasal dari Desa  Manta  Lisyam  yang terletak  dalam  wilayah  Niebla,  ilmuwan  dan  ulama  berdarah Persia  ini  tumbuh  dewasa sebagai putra  seorang  menteri  Al-Manshur  bin  Abu ‘Amir di sebuah istana nan indah  dan  megah. Sang  ayahandalah, seperti kebiasaan kala itu,  yang  menjadi  guru pertamanya. Ketika sang ayahanda berpulang, pada akhir Dzulqa‘dah 402  H/Juni  1013  M, ia pun meninggalkan Cordoba  yang  kala  itu sedang  diguncang prahara perang saudara dan menetap  di  Almeria dan Jativa.

Lima  tahun  kemudian,  ketika Ibn Hazm kembali  ke  Cordoba,  ia diangkat  sebagai  menteri oleh ‘Abdurrahman  IV  Al-Murtadha.  Segera, dunia kekuasaan dan politik menjadi tak  asing baginya.  Beberapa  kali ia terlibat dalam konflik  politik  yang keras, terutama selepas pembunuhan ‘Abdurrahman V Al-Mustazhhir pada  424  H/1023  M.  Selepas  merasakan  pahit  getirnya  dunia politik,  ia  kemudian  memalingkan  diri  ke  arah  dunia   ilmu pengetahuan. Lahirlah karya-karyanya yang terkenal hingga  kini. Di  bidang  fikih, karyanya yang berjudul  Al-Muhallâ  merupakan salah satu sumber acuan. Di bidang ilmu kalam, karyanya  Al-Fashl fî  Al-Milal  wa  Al-Ahwâ’  wa  Al-Nihal  tidak  kalah   nilainya dibandingkan  dengan  karyanya  di bidang fikih  itu.  Di  bidang akhlak, ia menggelar karya besarnya dengan judul Al-Akhlâq wa Al-Sair fî Mudâwah Al-Nufûs. Tak mengherankan bila ia mendapat gelar Al-Imâm (Sang Imam).

Ibn  Hazm  juga dikenal sebagai ahli hukum  Islam  yang  menganut Aliran  Zhahiriyyah,  yang menolak ra’y  (rasio),  dan  mengambil lahiriah teks-teks Al-Quran. Tak aneh bila ia berpendapat bahwa barang siapa memberi fatwa dengan berdasarkan ra’y, maka  ia memberi  fatwa tanpa ilmu. Menurutnya, seseorang tidak  dipandang berilmu  tentang Islam, kecuali apabila ia  mendalami  Al-Quran dan Al-Sunnah. Ilmuwan  yang  berpulang ke hadirat Allah di Manta  Lisham  pada Sabtu, 28 Sya‘ban 456 H/14 Agustus 1064 M ini juga terkenal sebagai seorang ilmuwan yang produktif.  Konon, karya-karya  sekitar 400 buku. Antara lain Al-Fashl fî  Milal  wa Al-Nihal,  Al-Nâsikh wa Al-Mansûkh, Al-Ahkâm li  Ushûl  Al-Ahkâm, Nuqâth Al-‘Arûs fî Tawârîkh Al-Khulafâ’, dan Jawâmi‘ Al-Sîrah Al-Nabawiyyah.

Semoga, ketika berada di Kota Cordoba nanti, saya dapat menemukan lokasi rumah Ibn Hazm, sambil membayangkan kisah cintanya yang berakhir tragis!