Tuesday, August 18, 2015

BERSAMA SEORANG MATEMATIKAWAN  DARI ESSEX, INGGRIS

Teteh, bisa disambungkan dengan kamar yang diinapi Mas Hadi Susanto?”

Demikian ucap saya kepada resepsionis Hotel Sawunggaling, Bandung, kemarin sore, 16 Agustus 2015. Segera, petugas hotel itu menghubungi kamar yang saya minta. Tapi, tidak ada jawaban dari kamar tersebut.  “Maaf, Pak. Tidak ada jawaban. Mungkin, Pak Hadi Susanto masih di luar,” ucap petugas hotel yang berada di antara Kantor Rektorat Institut Teknologi Bandung (ITB) dan kampus Universitas Islam Bandung.

Sore itu, menjelang waktu asar, sesuai dengan janji saya kepada Mas Hadi Susanto, seorang matematikawan kondang asal Indonesia di Inggris, saya memang  akan menjemputnya di hotel tersebut, dan kemudian bersama menuju Pesantren Mini kami di Baleendah, Kabupaten Bandung.  Gagal menghubungi penerima Ganesha Prize tahun 2000 dari ITB tersebut, saya pun menunggu di pelataran hotel. Kemudian, setelah menanti sekitar sekitar 10 menit, seorang pria mengenakan baju berwarna merah muda dan berlengan pendek , bertubuh cukup gemuk,  dan berusia sekitar 35 tahun muncul dan mendekati saya. Meski belum pernah bertemu sama sekali, namun karena kerap melihat foto-fotonya di facebook, saya pun mengenalinya dan berucap, “Assalamu’alaikum, Mas Hadi Susanto ya.”
“Wa’alaikumussalam, ya Pak Rofi’”

Segera, selepas berjabat tangan, kami pun terlibat dalam perbincangan akrab seperti saudara yang lama tak berjumpa, meski kami baru pertama kali bertemu. “Kados pundi kabaripun, Pak Rofi’,” ucap suami seorang dokter lulusan Universitas Brawijaya, Malang itu  dengan bahasa Jawa halus. Sejenak saya tertegun, karena saya sebelumnya berpikiran, setelah meninggalkan Indonesia sejak 2003, ilmuwan yang lahir di Lumajang, Jawa Timur pada 27 Januari 1979  itu sudah tidak bisa berbahasa Jawa lagi. Ternyata, pikiran saya salah. Kemampuannya berbahasa Jawa ternyata  lebih halus dan lancar ketimbang kemampuan saya dalam berbahasa Jawa. “Alhamdulillah, sehat,” jawab saya singkat, karena saya masih tidak mengerti, mengapa ilmuwan berpenampilan sederhana yang sangat sibuk dengan berbagai kegiatan ilmiah ini ingin datang ke Pesantren Mini kami di Baleendah, Kabupaten Bandung.

Usai melaksanakan shalat Asar,  saya pun menyilakan tamu yang meraih gelar Ph.Dnya dari Universitas Twente, Belanda pada usia 27 tahun itu naik mobil. Segera, kami pun melintasi pelbagai jalan di seputar Kota Bandung. Sepanjang perjalanan, menuju Baleendah, kami berdua berbincang tentang banyak hal. Utamanya tentang perjalanan hidupnya kala muda yang mirip cerita dalam film 3 Idiots. Juga, tentang pengalamannya mengikuti Muktamar NU di Jombang, Jawa Timur.

Ketika saya tanya, mengapa lebih suka memilih mengajar di Inggris, bukan Belanda dan hanya mengajar selama dua tahun di Amerika Serikat, matematikawan yang  karyanya berjudul Tuhan Pasti Seorang Ahli Matematika akan segera terbit itu menjawab, “Selepas meraih gelar Ph.D, sebenarnya saya juga ditawari mengajar di Universiteit Twente, Enschede, Belanda. Tapi, saya merasa, jika saya meniti karier di almamater saya tersebut, saya merasa gerak saya kurang leluasa. Karena itu, saya kemudian meniti karier di University of Massachussets, Boston, Amerika Serikat. Di negara adikuasa itu saya hanya bertahan selama dua tahun. Selepas itu saya meniti karier di University of Nottingham, Inggris. Dan, kini, saya pindah ke Department of Mathematical Sciences di University of Essex. Menurut saya, suasana kehidupan sosial di kampus Inggris lebih menyenangkan ketimbang ketimbang kehidupan sosial di Amerika Serikat. Selain itu, karena saya meraih gelar Ph.D di bidang matematika di Belanda. Pak Rofi’ perlu ketahui, kurikulum matematika di perguruan tinggi Belanda lebih dekat dengan kurikulum matematika di perguruan tinggi Inggris daripada kurikulum matematika di perguruan tinggi Amerika Serikat.”

Kemudian, ketika melintasi JalanTerusan Buahbatu, saya pun mengajak Mas Hadi Susanto menengok kampus Telkom University. Termasuk mengitari Bandung Techno Park yang berada di lingkungan kampus itu. Ketika melihat penunjuk-penunjuk di lingkungan kampus itu nyaris semuanya dalam bahasa Inggris, Mas Hadi Susanto hanya berkomentar singkat, “Aneh!” Mendengar komentarnya yang demikian, saya pun hanya tersenyum saja.

Selepas menengok kampus Telkom University, segera saya membawa Mas Hadi Susanto menuju Pesantren Mini Nun Learning Center di Baleendah, Kabupaten Bandung. Begitu sampai di tempat, ternyata dua orang tua Mas Rudy Kusdiantara, seorang mahasiswa Indonesia di Inggris, sudah berada di situ. Saya, istri saya, Mas Hadi Susanto, dan dua tamu dari Kampung Mekarsari, Baleendah segera larut dalam perbincangan tentang Mas Rudy dan dunia pendidikan di Inggris. 

Tak terasa, waktu shalat Maghrib pun tiba. Kedua orang tua Mas Rudy pun berpamitan. Kami pun segera melaksanakan shalat Maghrib. Usai melaksanakan shalat Maghrib, tamu dari Essex itu pun saya “todong” untuk memberikan pencerahan alias ceramah kepada guru-guru di Pesantren Mini kami. Alhamdulillah, sesepuh NU di Inggris itu dengan senang hati mau berbagi ilmu dan pengalaman.

“Saya ini pengurus NU di Inggris,” ucapnya mengawali ceramahnya dengan nada suara pelan. “Saya sebenarnya malu duduk di depan untuk memberikan ceramah, karena saya mengenakan baju  berlengan pendek. Ayah saya mengajarkan, ketika menghadap kiai sebaiknya saya mengenakan baju berlengan panjang.” Dan, selepas memaparkan kisah perjalanan hidupnya sejak dari Lumajang, Bandung, Belanda, Amerika Serikat, dan Inggris, Mas Hadi Susanto kemudian memberikan kesempatan kepada para guru untuk bertanya.
“Alhamdulillah, Mas Hadi mau memberikan ceramah. Kapan beliau akan sempat datang lagi ke sini,” gumam pelan bibir saya melihat Mas Hadi menjawab sejumlah pertanyaan.
“Tujuan utama pengajaran matematika pada dasarnya adalah untuk membiasakan kita berpikir secara sistematis dan logis,” jawabnya ketika seorang guru bertanya tentang tujuan pengajaran matematika. “Weleh, ini sih menyindir saya yang tidak pernah belajar matematika,” gumam kembali bibir saya sembari tersenyum. Malu.

Selepas menikmati makan malam, dan sebelum kembali ke hotel di Kota Bandung, saya dan Mas Hadi Susanto melaksanakan shalat ‘Isya. Melihat matematikawan yang satu ini tidak berwudhu, bibir saya pun bergumam sangat pelan, “Hebat ahli matematika yang satu ini: sejak sore tidak berwudhu. Berarti dia dâim al-wudhu’ (orang yang senantiasa membiasakan dirinya senantiasa dalam keadaan berwudhu).”


Dari Baleendah, saya sengaja membawa Mas Hadi Susanto melintasi berbagai jalan di Kota Bandung. Ketika melintasi Jalan Asia-Afrika dan Alun-Alun Bandung, waktu itu saat sekitar pukul 9 malam, jalan dan alun-alun padat dengan manusia. Selain karena liburan panjang, juga karena esoknya Hari Ulang Tahun ke-70 Republik Indonesia. Setiba di hotel, kami berpisah. Dan sambil menyetir mobil, bibir saya pun berdoa pelan kepada Allah Swt., “Ya Allah, mudahkan langkah-langkah Mas Hadi dalam membangun peradaban yang luhur serta jadikanlah ilmu dan pengalaman yang didapatnya bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakat. Baik di dunia maupun di akhirat kelak, amin.” Selamat jalan, Mas Hadi. Matur nuwun atas kehadirannya di Pesantren Mini kami.

Tuesday, August 11, 2015

PERTEMUAN (IMAJINER) DI KUBAH AL-SHAKHRAH, JERUSALEM

Lo, bukankah itu Gerbang Raja Herodes!”

Begitu ucap bibir saya ketika saya mendapatkan diri saya tiba-tiba berdiri di perempatan yang memisahkan antara Salah e-Din St. dan Sultan Suleiman St., Al-Quds alias Jerusalem. Hal itu terjadi dalam mimpi saya pada malam Senin, 9 Agustus 2015, dua hari yang lalu. Mimpi terlempar jauh, ke Jerusalem, Palestina dalam tidur yang sangat pulas selepas menjadi sopir antara Jakarta – Bandung. Waktu saat itu menunjuk sekitar pukul tiga dini hari. Suasana di sekitar perempatan itu sepi sekali. Tidak ada orang yang lalu lalang. Satu orang pun tidak ada. Tidak jauh dari gerbang itu sebuah panser warna putih milik polisi Israel dan dihiasi bendera negara itu sedang bersiaga. Entah apa yang mau dihadapinya.

Menyadari berada tidak jauh dari Gerbang Raja Herodes, segera dalam benak saya menggelegak keinginan untuk menapakkan kaki menuju Kubah Al-Shakhrah (Dome of the Rock) dan Masjid Al-Aqsha. Dengan langkah pelan, saya pun segera memasuki gerbang itu dan kemudian menelusuri labirin lorong-lorong kecil menuju Masjid Al-Aqsha. Sepanjang perjalanan, saya tidak bertemu siapa pun. Ketika melintasi Via Dolorosa, lorong yang dikatakan sebagai lorong yang dilintasi Nabi Isa a.s. ketika memanggul salib, saya lama mencermati lingkungan itu dan merenung. Dan, kemudian, selepas berjalan sekitar 20 menit, langkah-langkah saya pun kian mendekati gerbang ke arah Kubah Al-Shakhrah dan Masjid Al-Aqsha.

Dari jauh saya melihat, dua polisi Israel dengan menyandang senjata berdiri di depan pintu. Mungkin karena melihat saya melangkah menuju ke arah mereka, mereka tampak siaga penuh. Apalagi saat itu dini hari yang sepi sekali.
Good morning! Selamat pagi!” ucap saya kepada mereka berdua, begitu langkah kaki saya kian dekat dengan pintu itu.
Hi man, where do you come from? Dari mana kau?” jawab salah seorang polisi itu, dengan nada suara galak.
From Indonesia,” jawab saya. Santai dan percaya diri, karena beberapa kali saya pernah melintasi pintu itu dan menghadapi pertanyaan serupa. Sepengetahuan saya, password “Indonesia” cukup mujarab untuk “membuka pintu itu”.
Okey, come in. Masuk!”

Begitu melintasi pintu itu, dua petugas keamanan Palestina segera menyegat saya dan bertanya dengan ramah. Tentu saja dalam bahasa Arab, “Kamu dari mana?”
“Dari Indonesia.”
Ahlan wa sahlan,” ucap dua petugas keamanan itu dan kemudian memeluk saya. “Silakan masuk. Itu banyak orang Indonesia sedang berkumpul di Kubah Al-Shakhrah. Ada seorang syeikh yang sedang memberikan khotbah?”
“Banyak orang Indonesia di Kubah Al-Sakhrah? Khotbah?” gumam saya dalam hati. “Lo, kok mereka dibolehkan berkumpul di dalam kubah itu?”

Mendengar penjelasan dua petugas keamanan demikian, saya pun segera melangkah cepat menuju kubah itu. Segera, dari kejauhan, mencuat sebuah bangunan persegi delapan dan di puncak bangunan itu bertengger sebuah kubah besar berwarna keemasan. Itulah Kubah Al-Sakhrah.

Kubah Al-Sakhrah, apa itu?

Kubah yang satu itu adalah sebuah kubah dalam lingkungan Masjid Al-Aqsha, Bait Al-Maqdis. Catatan sejarah menorehkan, kubah  itu dibangun di bawah pengarahan dua arsitek asal Jerusalem,  yaitu Raja’ bin Hayawah Al-Kindi dan Yazid  ibn  Salam.  Kubah ini dapat dikatakan merupakan cikal bakal  seni  Islami, yang   tujuan   dasarnya  untuk  mengekspresikan   akidah   yang terkandung dalam Al-Quran. Hal ini seperti tertampilkan pada lokasi   kubah  tersebut,  struktur  bangunannya,   dimensi   dan proporsinya,  bentuk-bentuk  yang terdapat  padanya,  warna-warna yang  menghiasinya,  garis  besar  luarnya,  dan simfoni ruang dalamnya.

Ide pendirian bangunan tersebut sebenarnya cukup menarik: ide untuk menampilkan lokasi batu yang menjadi tempat awal perjalanan Mi‘raj yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. menuju Sidrah Al-Muntaha, serta untuk melindunginya dari terpaan sinar matahari, hujan, dan hajaran perjalanan hari. Konon, ‘Umar ibn Al-Khaththablah yang pertama kali mengemukakan ide untuk memelihara batu tersebut. Karena itu, dia kemudian memerintahkan pendirian loteng dari kayu di atas batu tersebut. Loteng tersebut tetap bertahan hingga ketika ‘Abdul Malik ibn Marwan mengunjunginya. Penguasa Dinasti Umawiyyah, dengan pusat pemerintahannya di Damaskus, Suriah itu kemudian memerintahkan untuk menggantinya dengan sebuah bangunan artistik yang selaras dengan kedudukan batu tersebut dalam kalangan kaum Muslim.

‘Abdul Malik ibn Marwan mengawali pembangunan bangunan Kubah Al-Shakhrah pada 69 H/688-689 M. Pembangunan kubah ini baru rampung pada 72 H/691-692 M. Bangunan kubah ini merupakan sebuah ruangan lapang yang terdiri dari delapan sisi. Di atasnya terdapat sebuah kubah bundar yang indah yang tegak di atas struktur dari kayu. Bangunan ini, baik dari dalam maupun luar, diplester. Bagian dalam kubah dihiasi dengan ornamen-ornamen Byzantium yang sangat menawan, sedangkan bagian luarnya diberi warna keemasan. Al-Shakhrah tegak di dalam bangunan yang dikelilingi lingkaran bukaan dan tegak di atas lengkung-lengkung  lancip serta berada di atas tiang-tiang dan penyangga-penyangga dari pualam.

Begitu sampai di bangunan yang berbentuk segi delapan bak kristal yang  menggambarkan bumi, berlapis emas, dan memiliki tinggi dan garis tengah sekitar 25  meter  itu, saya pun segera menuju pintu di sebelah kanan dari arah saya datang. Sebelum memasuki bangunan itu, karena udara terasa dingin, sekitar 19 derajat celcius, saya pun menutupi muka saya dengan kafiyeh.  Dan, begitu langkah saya menapaki bagian dalam bangunan, mâ syâa Allâh, saya melihat banyak orang Indonesia sedang mendengarkan pengajian yang diberikan seseorang yang duduk di atas kursi.

Begitu mencermati mereka, betapa kaget saya. Orang yang memberikan pengajian itu, ternyata, adalah seorang kiai kondang yang sangat saya kenal, KH Ali Maksum, seorang mantan Rais Am PBNU. Dan, ternyata pula, orang-orang yang duduk di sebelah kanan kiai yang ahli tafsir Al-Quran itu adalah sejumlah kiai, ilmuwan, dan tokoh. Antara lain KH Abdul Hamid dari Pasuruan, seorang kiai yang terkenal tawadhu’ dan Prof. Dr. A. Mukti Ali. Tampaknya, mereka adalah para kiai dan pakaryang pernah menjadi sahabat dan murid menantu KH Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta itu ketika mereka menimba ilmu di Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur.

Sementara orang-orang yang duduk di depan kiai yang putra seorang kiai asal Lasem, Jawa Tengah, saya lihat sejumlah kiai terkemuka dari seluruh penjuru Indonesia. Dan, orang-orang yang duduk di sebelah kiri beliau adalah para petinggi dan tokoh Nahdlatul Ulama yang pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Termasuk Gus Dur, Gus Mus, Muzammil Basyuni, Said Aqil Siraj, Yusuf Muhammad, Masdar F. Mas’udi, Syihabuddin Qalyubi, Habib Syarif Muhammad, Yahya Cholil Staquf, dan lain-lainnya.

Saya pun diam-diam bergabung dengan kelompok terakhir itu. Tidak ingin mengganggu pengajian yang sedang berlangsung, selepas mengucapkan salam dengan suara pelan, saya pun duduk di belakang Masdar F. Mas’udi. Mâ syâa Allâh, ternyata, KH Ali Maksum saat itu sedang memberikan pengajian tentang “Larangan Mengangkat Pejabat yang Ambisius” dari Kitâb Riyâdh Al-Shâlihîn, karya seorang ulama terkemuka abad ke-7 H/13 M, Imam Al-Nawawi: pengajian yang memikat yang senantiasa saya ikuti selama lima kali bulan Ramadhan, ketika saya masih menjadi santri di Pondok Pesantren Krapyak. Semua yang hadir begitu khidmat mendengar pengajian yang disajikan dengan menawan dan sangat membuka wawasan. Pengajian yang senantiasa saya rindukan hingga kini.

Usai memberikan pengajian, tiba-tiba KH Ali Maksum mengarahkan pandangannya kepada Gus Mus. Lantas, tanya beliau kepada putra KH Bisri Mustofa, Rembang itu dengan nada penuh wibawa, “Mustofa! Kenapa kamu menolak tawaran untuk menjadi Rais Am PBNU?”
Nyuwun sewu, Kiai. Mohon maaf, Kiai,” jawab Gus Mus dengan suara pelan dan gemetar seraya menundukkan kepala. “Saya tidak pantas menduduki jabatan itu. Masih banyak para kiai sepuh yang lebih layak dan pantas dari pada saya untuk menduduki jabatan yang berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. kelak. Bukankah tadi Kiai dengan indah menjelaskan, Rasulullah Saw. melarang kita mengangkat pejabat yang ambisius. Saya khawatir, dalam hati saya ada sebutir ambisi dan riya’ ketika menerima jabatan itu. Nyuwun sewu Kiai, saya tidak kuasa menerima jabatan itu.”
“Benar sikapmu itu. Meski kadang jiwa senimu mencuat, tapi kamu cukup bijak. Kiranya Allah Swt. memberkahi sikap dan langkahmu, Mustofa.”
Amîn yâ Mujîb Al-Sâilîn, Kiai. Matur nuwun sanget, Kiai. Kersoho Kiai senantiasa mendoakan saya.”
In syâa Allâh, saya akan selalu mendoakan kamu. Tapi, jangan lupa tetap mendaras Kitâb Riyâdh Al-Shâlihîn.”
Inggih, Kiai.”

Usai berbincang dengan Gus Mus, pandangan KH Ali Maksum kemudian terarah lama kepada Said Aqil Siraj. Pandangan hadirin pun terarah pula kepada doktor lulusan Universitas Umm Al-Qura, Makkah itu. Tak lama selepas itu, beliau berucap, “Said! Saya tahu banyak tentang dirimu. Ayahmu, Kiai Aqil dari Kempek, Palimanan dan KH Mahrus Lirboyo banyak bercerita tentang dirimu kepadaku. Saya pun tahu, kamu cerdas, kuat membaca, dan memiliki wawasan yang luas. Namun, saya lihat, kamu ini sedikit ambisius dan kurang hati-hati dalam berbicara kepada masyarakat luas. Jagalah ucapanmu dan hati-hati setiap kali kamu memberikan pernyataan. Kamu tampaknya lama tidak menyimak Kitâb Riyâdh Al-Shâlihîn. Saya harapkan kamu, juga-juga para santri Pondok Pesantren Krapyak yang lain, sering menyimak kembali karya besar Imam Al-Nawawi itu, supaya kamu lebih tawadhu’ dan melakukan murâqabah dan muhâsabah. Pintar tapi tidak tawadhu dan jarang melakukan murâqabah dan muhâsabah akan membuat kamu sombong dan takabur.”
Inggih, Kiai,” jawab Said Aqil Siraj dengan suara pelan dan gemetar. “Nyuwun pandonganipun Kiai, mugi kawulo mboten dados tiyang ingkang sombong lan takabur.”
“Ya, seperti halnya Mustofa dan murid-muridku yang lain, selalu saya doakan, kiranya kalian semua tidak menjadi orang yang sombong dan takabur.”

Rampung berbicara dengan Said Aqil Siraj, pandangan KH Ali Maksum kemudian terarah kepada Masdar F. Mas’udi. Pandangan hadirin pun terarah pula kiai asal Ajibarang, Banyumas itu. KH Ali Maksum itu kemudian berucap kepada Masdar F. Mas’udi, “Masdar! Seperti halnya Said, kamu juga cerdas, memiliki bacaan yang luas, dan berwawasan luas. Kamu pun berani memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda. Tapi, saya juga meminta kamu untuk lebih berhati-hati dalam berpendapat. Bacalah kembali, sesering yang dapat kamu lakukan, Kitâb Riyâdh Al-Shâlihîn. Biar kalbu dan benakmu kian lembut dan tawadhu’. Saya masih percaya denganmu.”
Inggih, Kiai. Kadang, saya sempat menyimak kitab itu. Matur nuwun, Kiai sampun kerso paring nasihat dateng kawulo.”

Usai berucap demikian, KH Ali Maksum kemudian mengarahkan pandangan beliau kepada hadirin. Tak lama kemudian, beliau berucap, “Hadirin yang saya muliakan. Dini hari ini saya sengaja mengajak hadirin semua ke tempat ini, tempat yang pernah menjadi saksi kehadiran Rasulullah Saw. sebelum menghadap kepada Allah Swt. di Sidrah Al-Muntaha, dalam Peristiwa Mi‘raj, dengan tujuan supaya kita kembali menyimak dan meneladani teladan yang digariskan Rasulullah Saw. Karena itu, saya tadi sengaja memberikan pengajian Kitâb Riyâdh Al-Shâlihîn. Tentu, hadirin semua mengetahui, karya besar Imam Muhyiddin  Abu Zakariyya  Yahya  bin Syaraf bin Murri bin Hasan  bin  Husain  bin Hizam  bin  Muhammad bin Jum‘ah Al-Nawawi Al-Syafi‘i, yang berisi hadis-hadis pilihan, itu sarat dengan ajaran indah dari Rasulullah Saw. Dan, sebentar lagi shalat Subuh akan tiba. Mari kita bersama kita menuju ke Masjid Qibli (Masjid Al-Aqsha) di depan itu, untuk melaksanakan shalat Shubuh berjamaah di situ.”

Benar, tidak lama kemudian azan yang indah pun dilantunkan. Ternyata, azan tersebut tidak dilantunkan dari masjid dengan empat menara di Bait Al-Maqdis itu. Tapi, dari sebuah masjid dari dekat rumah saya di Baleendah, Kabupaten Bandung. Mendengar azan tersebut, saya pun terbangun dari tidur pulas. Dan, semua yang saya alami itu ternyata hanya mimpi belaka! Duh.