Monday, December 26, 2016

KIAI DAN FOTO

Siapakah kiai yang paling kerap tampil lewat foto?”

Andai pertanyaan demikian diajukan kepada saya, dengan spontan saya akan menjawab, “Gus Mus!”

Anda tidak percaya? Silakan minta masukan kepada saudara Google atau tanya kepada Facebook. Minggu ini, misalnya, foto-foto Gus Mus yang sedang menerima tamu dari Jakarta, yang juga sahabat beliau ketika sedang menimba ilmu di Kairo, Mesir: K.H. Prof. Dr. Habib Quraish Shihab (dan keluarga), merupakan salah satu “trending photos”.

Entah kenapa, hati saya merasa bahagia begitu melihat foto-foto kunjungan mantan menteri agama dan keluarga tersebut kepada Gus Mus di tempat kediamannya di Leteh, Rembang, Jawa Tengah. Melihat foto-foto tersebut, saya segera dapat “menangkap” keakraban di antara dua tokoh tersebut. Selain itu, segera pula saya dapat menangkap masih kuatnya kultur pesantren yang mewarnai kunjungan tersebut: Gus Mus meminta kepada K.H. Prof. Dr. Habib Quraish Shihab untuk berdoa. Permintaan doa oleh shahib al-bait kepada seorang tamu yang sedang berkunjung merupakan kultur yang biasa dilakukan oleh para kiai. Mereka sangat sadar, doa tamu yang termasuk kategori musafir meripakan doa yang mustajab.

Kini, kita kembali kepada Gus Mus. Mengapa saya memilih beliau sebagai kiai yang sangat sadar “peran” foto? Saya mulai “memantau” kegemaran beliau berfoto (nyuwun agunging pangapunten, Gus) ketika saya masih menjadi santri di Pondok Pesantren Al-Munawwir,  Krapyak Yogyakarta (1972-1975). Kala itu, saya tinggal satu gotakan (kamar) bersama adik kandung Gus Mus: Gus Adib Bisri (almarhum). Nah, suatu ketika, selepas Gus Adib kembali dari mudik ke Rembang, Gus Adib membawa tiga  album penuh foto-foto. Ternyata, album-album itu milik Gus Mus.

Lewat album-album itulah saya tahu “kisah” Gus Mus ketika sedang menimba ilmu di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Saya ingat, misalnya, bagaimana gaya beliau ketika sedang mengikuti kegiatan di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo. Dapat dikatakan, Gus Mus kala itu adalah seorang mahasiswa fotogenik: senantiasa tampil menawan ketika berfoto. Dari foto-foto itu saya juga ingat beberapa kawan seangkatan beliau menimba ilmu di ibu kota Mesir itu. Antara lain Gus Dur, K.H. Prof. Dr. Habib Quraish Shihab, dan. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi Gontor.

Selintas, foto-foto Gus Mus itu tidak banyak manfaatnya. Mungkin, bagi sebagian orang demikian. Tapi, bagi saya pribadi, foto-foto itu  telah berjasa dalam memberikan motivasi kepada saya untuk menimba ilmu sampai  jauh ke negeri orang. Karena terpikat dengan foto-foto Gus Mus ketika sedang menimba ilmu di Mesir, saya pun sejak masih sebagai santri punya keinginan kuat untuk mengikuti jejak Gus Mus: menimba ilmu di Mesir.


Matur nuwun, Gus Mus.  Semoga tetap tidak jemu berfoto nggih. Salam.

Friday, December 23, 2016

KIAI-KIAI YANG MENDAMAIKAN HATI

Entah kenapa, tiba-tiba dini hari tadi, saya sangat kangen dengan dua kiai yang sangat tawadhuk.

Terkenang dengan dua kiai yang sangat rendah hati itu, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” ke sekitar 1974. Kala itu, saya masih sebagai santri di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Juga, sebagai salah seorang pengurus pondok pesantren yang mendapat amanah mendampingi ribuan santri.  

Sebagai pesantren besar, pesantren yang berada di ujung paling selatan jalan dari arah Beteng Selatan  itu kerap menerima banyak tamu. Khususnya untuk bersilaturahim dengan KH. Ali Maksum, kiai terkemuka di pesantren tersebut kala itu. Tamu-tamu yang datang tidak hanya para orang tua santri. Tapi, juga para kiai dan pejabat. Di antara para pejabat, yang kerap bersilaturahim adalah seorang menteri agama yang pernah menjadi murid K.H. Ali Maksum ketika di Pondok Pesantren Tremas, Pacitan: Prof. Dr. A. Mukti Ali. Tokoh terakhir tersebut, seingat saya, setiap Hari Raya Fitri, selalu sowan kepada K.H. Ali Maksum, sampaipun ketika menjabat sebagai Menteri Agama. Dan, saya lihat, setiap kali sowan beliau selalu mencium lama tangan gurunya itu.

Sebagai pengurus pesantren, kami senantiasa diberitahu para tamu yang datang. Bagi saya pribadi, ada dua “tamu” yang senantiasa saya nantikan kehadiran mereka: K.H. Abdul Hamid Pasuruan dan K.H. Arwani Kudus. Yang pertama adalah seorang kiai yang terkenal sangat tawadhuk dan berwajah teduh dan meneduhkan hati. Kiai yang senantiasa mengenakan busana putih, dari serban, baju, hingga sarung ini pernah bersama K.H. Ali Maksum menimba ilmu di Pondok Pesantren Tremas, dan malah kemudian menjadi besan beliau.

Setiap kali K.H. Abdul Hamid bersilaturahim ke Pondok Pesantren Krapyak, dan seusai melaksanakan shalat Shubuh, K.H. Ali Maksum kemudian mempersilakan sang tamu mendampingi beliau untuk berdiri di depan mihrab masjid. Segera, para santri berbaris dan kemudian menjabat tangan serta mencium tangan dua kiai terkemuka tersebut. Dalam suasana demikian, saya sengaja menanti sebagai santri terakhir yang antri. Mengapa? Sebagai orangg terakhir yang menjabat tangan dan mencium tangan dua kiai yang guru ayah saya ketika di Pondok Pesantren Tremas, saya berkesempatan mencium lama dua tangan lembut dua kiai tersebut. Ada suatu kebahagiaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata, ketika mencium lama tangan lembut dua kiai tersebut.

Kiai kedua yang senantiasa dambakan kehadirannya adalah K.H. Arwani. Kiai yang satu ini, seperti halnya K.H. Abdul Hamid Pasuruan, setiap kali datang ke Pondok Pesantren Krapyak, juga senantiasa mengenakan serban, baju, dan sarung putih. Kiai yang satu ini terkenal sebagai salah seorang tokoh tahfidz Al-Quran di Indonesia. Seperti halnya K.H. Abdul Hamid, K.H. Arwani senantiasa lembut ketika berbincang, sangat santun dalam bertindak, dan memiliki wajah yang memancarkan kebeningan dan kejernihan hati. Yang jauh lebih utama: lewat asuhan beliau, lahir ribuan hafizh Al-Quran dengan standard tinggi. Dengan kata lain, tidak sekadar hapal Al-Quran.

Dua kiai tersebut, setahu saya, tidak pernah terlibat dalam hingar bingar perpolitikan di Indonesia. Meski demikian, dalam sunyi mereka senantiasa berdakwah dengan cara yang mereka pilih: tanpa banyak cakap dan cuap-cuap. Mereka berdakwah dengan sangat ikhlas dan tanpa ingin disanjung siapa pun. Ternyata, hasil dakwah mereka luar biasa dan sangat efektif.

Teringat dua kiai yang rendah hati dan menyejukkan hati tersebut, seusai shalat Shubuh tadi pagi pun saya berdoa, “Ya Allah, dua kiai yang rendah hati itu kini telah berpulang kepada-Mu. ‘Peluk’lah keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan, munculkanlah para pengganti mereka yang memiliki akhlak dan kualitas seperti mereka berdua. Di negeri tercinta kami ini, Indonesia.”

Amin yang Mujibas Sa’ilin.

Tuesday, November 15, 2016

WAHAI IMAM AL-SYAFI‘I, AKU MERINDUKANMU

Entah kenapa, dini hari tadi, saya merasa resah dan gelisah. Dan, kemudian tiba-tiba saya merindukan kehadiran Imam Al-Syafi'i, seorang pendiri Mazhab Syafi'i: sebuah mazhab fikih yang hingga kini tersebar di berbagai kawasan Dunia Islam. Karena itu, sejak dini hari tadi, saya  membuka banyak tulisan tentang perjalanan hidup dan pemikiran beliau

Mungkin, kerinduan saya yang demikian itu membara karena perasaan jenuh karena membaca berbagai perbedaan pendapat yang kini sedang "membara" di media sosial. Perbedaan pendapat yang kerap membangkitkan emosi. Dan, selepas membuka sederet tulisan tentang tokoh kelahiran Gaza, Palestina itu, akhirnya saya mendapatkan sebuah catatan tentang sikap beliau dalam menyikapi berbagai persoalan yang terjadi pada masanya, "Imam Al-Shafii never got furious while debating with anyone, because he was not interested in scoring points or winning people's admiration, but rather in reaching the truth. And if his opponent were right, he would not find difficulty accepting his view."

Membaca catatan demikian itu, entah kenapa, hati saya menjadi tenteram dan tidak resah lagi.

Siapakah Imam Al-Syafii?

Pendiri Madzhab Syafi‘i dan pengasas ilmu usul fikih ini lahir pada 150 H/767 M lahir di Gaza, Palestina dengan nama lengkap Abu ‘Abdullah Muhammad bin Idris bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin Al-Sa’ib bin ‘Ubaid bin ‘Abd Yazid bin Hisyam bin Al-Muththalib bin ‘Abd Manaf Al-Qurasyi Al-Muththalibi Al-Makki. Ibunya bernama Fathimah binti ‘Abdullah bin Al-Hasan bin Al-Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib. Ketika anak itu berumur dua tahun, ayahnya meninggal dunia. Maka, ibunya membawanya ke ‘Asqalan, dan kemudian ke Makkah. Selepas agak besar, ia diantarkan sang ibu ke Masjid Al-Haram untuk menimba ilmu. Di sini, ia belajar kepada sejumlah ulama di Kota Suci itu kala itu, antara lain Isma‘il bin Qustanthin, Sa‘d bin Salim Al-Qaddah, Daud bin ‘Abdurrahman Al-‘Aththar, Muslim bin Khalid Al-Zanji dan Sufyan bin ‘Uyainah. Dengan segera ia berhasil menguasai berbagai ilmu yang diajarkan.

Lantas, ketika Imam Al-Syafi‘i berusia 20 tahun, ia meminta izin kepada sang ibu untuk belajar kepada Imam Malik bin Anas, pengasas Mazhab Maliki, di Madinah Al-Munawwarah. Ibunya mengizinkan. Berangkatlah ia ke Kota Nabi. Begitu bertemu dengan anak muda itu, sang Imam benar-benar terkesan dengan kepribadian, kecerdasan, dan perilakunya. Selain kepada sang guru, ia juga menimba ilmu kepada sejumlah ulama terkemuka di Kota Nabi kala itu. Antara lain ‘Abdullah bin Nafi‘, Muhammad bin Sa‘id, Ibrahim bin Abu Yahya Al-‘Ashami, dan ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Al-Darudi.

Selepas tiga tahun menjadi murid Malik bin Anas, si anak muda meminta izin kepada gurunya untuk melanjutkan kelananya guna menguak lebih jauh dunia ilmu pengetahuan. Ia pun pergi ke Kufah, Persia, Syam, dan kembali ke Makkah. Lantas, selepas Malik bin Anas berpulang, ia melanjutkan kelananya ke Yaman. Dari negeri terakhir itu ia kemudian kembali ke Makkah lagi.

Perjalanan panjang berikutnya mengantarkannya menjadi imam besar yang dalam menetapkan hukum memadukan antara metode Hijaz dan metode Irak, yakni memadukan antara lahiriah teks-teks landasan hukum Islam dengan ratio. Selanjutnya, ia melakukan perjalanan ke Mesir, lewat Harran dan Syam. Ia tiba di Mesir pada Senin, 26 Syawwal 198 H/19 Juni 814 M. Dan, akhir perjalanan kelananya di dunia yang fana ini berakhir pada Jumat, 30 Rajab 204 H/20 Januari 820 M di Al-Qarafah Al-Shughra, Fusthath, Mesir.

Selain sebagai pengasas Madzhab Syafi‘i, tokoh yang menyatakan bahwa “perhiasan yang paling indah yang dipakai para ulama adalah kedamaian hati (qanâ‘ah), kepapaan, dan ridha” ini juga dipandang sebagai peletak batu pertama usul fikih. Sebab, para ahli fikih sebelumnya berijtihad tanpa mempunyai batas-batas yang jelas. Dengan karyanya berjudul Al-Risâlah, ia membuat batas dan tata aturan yang jelas dalam berijtihad. Di samping itu, ia meninggalkan sejumlah karya tulis selain Al-Risâlah. Antara lain adalah Al-Umm, sebuah karya di bidang fikih yang dihimpun Al-Bulqini (berpulang pada 805 H/1403 M), dan Al-Fiqh Al-Akbar fî Al-Tauhîd.

"Wahai Imam, andai engkau hadir di antara kami saat ini, mungkin kami dapat berpikir dan bersikap lebih bening dan jernih," gumam bibir saya ketika mendengar lantunan azan Shubuh tadi pagi dan mengakhiri "kluyuran" saya di dunia maya.


Saturday, November 12, 2016

KIRANYA ALLAH MELIMPAHKAN RAHMAT-NYA KEPADAMU

Beberapa lama selepas Rasulullah Saw. berpulang ke hadirat Allah Swt., entah kenapa hari itu ‘Umar bin Al-Khaththab sangat resah dan gelisah, karena diterpa kerinduan yang luar biasa kepada sang Rasul. Bukan hanya sekadar rindu biasa. Tetapi, kerinduan yang diwarnai perasaan kehilangan yang sangat dalam atas “kepergian” sang Kekasih. Karena tidak kuasa lagi menahan lelehan tangisnya, ia akhirnya merintih lama,

“Demi ibu-bapakku, wahai Rasul! Sungguh, ada suatu pangkal pohon  kurma yang kerap engkau jadikan sebagai tempat  berpidato di  hadapan  manusia. Ketika manusia  kian  bertambah  banyak, engkau  pun  mengambil mimbar untuk  menyampaikan  pesanmu. Karenanya,   betapa  sedih  pangkal  pohon  kurma  itu   berpisah denganmu.  Kemudian,  kala engkau letakkan tanganmu  di  atasnya, barulah  pangkal pohon kurma  tenang.  Umatmu lebih  merindukanmu, wahai Rasul, karena engkau berpisah dengan mereka.

Demi ibu-bapakku, wahai Rasul! Sungguh, keutamaanmu  telah sampai  di  sisi  Allah.  Sehingga,  Dia  menjadikan   ketaatan kepadamu  sama dengan ketaatan kepada-Nya. Allah  Swt.  berfirman, “Barang siapa  mematuhi  Rasul, sungguh  ia  telah  mematuhi Allah.” (QS Al-Nisâ’ [4]: 80).

Demi ibu-bapakku, wahai Rasul! Sungguh, keutamaanmu  telah sampai di sisi-Nya. Sehingga, Dia memberitahukan kepadamu bahwa engkau   telah  dimaafkan  oleh-Nya  sebelum  Dia   memberitahukan kepadamu   tentang   dosamu  lewat   firman-Nya,   “Kiranya   Allah memaafkanmu. Mengapa engkau  memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang)?” (QS Al-Taubah [9]: 43).

Demi ibu-bapakku, wahai Rasul! Sungguh, keutamaanmu  telah sampai   di   sisi-Nya.   Sehingga,  Dia   mengutusmu   sebagai penghabisan  para  nabi dan menyebutmu pada permulaan  para  nabi lewat firman-Nya, “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari engkau (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan  ‘Isa  putra  Maryam, dan Kami telah  mengambil  dari  mereka perjanjian yang teguh” (QS Al-Ahzâb [33]: 7).

Demi ibu-bapakku, wahai Rasul! Sungguh, keutamaanmu  telah sampai di sisi-Nya.  Sehingga, para warga neraka ingin  mematuhimu, sementara mereka sedang disiksa di antara lapisan-lapisan neraka. Mereka mengatakan, “Alangkah baik andaikan kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul!” (QS Al-Ahzâb [33]: 66).

Demi  ibu-bapakku, wahai Rasul! Sungguh,  andaikan  memang Musa putra ‘Imran telah dikaruniai batu oleh Allah, sehingga  air pun  memancar darinya laksana sungai, namun apakah hal itu lebih menakjubkan dari jemarimu yang kuasa memancarkan air? Kiranya Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu!

Demi  ibu-bapakku, wahai Rasul! Sungguh,  andaikan  memang Sulaiman  putra  Dawud telah dikaruniai angin  oleh  Allah  dengan kecepatan,  baik  kala pagi maupun sore,  sejauh  perjalanan  sebulan, namun  apakah  hal  itu lebih menakjubkan  ketimbang  Buraq  yang menjadi tungganganmu di dalam perjalananmu pada malam hari menuju langit  ketujuh,  kemudian engkau melakukan  shalat  subuh  pada malam  itu  pula di Abthah? Kiranya Allah  melimpahkan  rahmat-Nya kepadamu!

Demi  ibu-bapakku, wahai Rasul! Sungguh,  andaikan  memang ‘Isa  putra  Maryam telah dikaruniai Allah  kemampuan  untuk dapat menghidupkan kembali orang mati, namun apakah hal itu lebih menakjubkan  ketimbang kambing yang diracuni ketika kambing itu  berbicara denganmu,  padahal  kambing itu sudah  digoreng,  lewat  pahanya, “Janganlah engkau memakanku. Aku beracun!”

Demi   ibu-bapakku,  wahai  Rasul!  Sungguh,   Nuh   telah mendoakan  terhadap  kaumnya  dengan  mengatakan,  “Ya   Tuhanku! Janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang  kafir itu  tinggal  di  bumi!”  (QS  Nûh [71]:  26).  Andaikan  engkau mendoakan  terhadap  kami seperti itu, niscaya  kami  semua  akan binasa!  Namun,  meski punggungmu telah  bungkuk,  wajahmu  telah berdarah-darah,   sendi-sendimu  telah  hancur,  engkau  tetap   enggan mengatakan  selain  kebajikan dengan doamu,  “Ya  Allah,  Tuhanku! Ampunilah kaumku. Sungguh, mereka tidak mengetahui!”

Demi ibu-bapakku, wahai Rasul! Dengan usiamu yang  sedikit dan  pendek engkau telah diikuti oleh manusia (dalam jumlah  yang melebihi  jumlah manusia) yang mengikuti Nuh dengan usianya  yang banyak dan panjang. Sungguh, telah beriman kepadamu anak  manusia dalam  jumlah  yang banyak, sementara tidak  beriman  kepada  Nuh selain hanya sejumlah kecil anak manusia!

Demi  ibu-bapakku,  wahai  Rasul!  Andaikan  engkau  tidak mengambil  teman duduk selain orang-orang yang sepadan  denganmu, tentulah  engkau tidak akan duduk bersama kami.  Andaikan  engkau tidak  menikah  selain  perempuan-perempuan yang  sepadan  denganmu, tentulah engkau tidak menikah dengan sebagian dari kelompok kami.  Dan, andaikan  engkau tidak mewakilkan selain kepada orang-orang  yang sepadan  denganmu, tentulah engkau tidak mewakilkan  kepada  kami. Namun, sungguh demi Allah, engkau telah duduk bersama kami, menikah dengan sebagian dari kelompok kami, dan mewakilkan sesuatu kepada kami. Juga, Engkau kenakan pakaian dari bulu. Engkau kendarai keledai. Engkau  ikutkan orang  di belakangmu. Engkau letakkan makananmu di  atas  lantai dan   engkau  ambil  makanan  dengan  jemarimu. Ini semua   karena   engkau merendah.

Kiranya Allah melimpahkan rahmat dan kesejahteraan kepadamu, wahai Rasul.”


Wednesday, September 28, 2016

SEBUAH KARYA BARU LAGI TERBIT

Alhamdulillah, seri ke-2 dari ISLAMIC GOLDEN STORIES, dengan judul Tanggung Jawab Pemimpin, besok, Kamis, 29 September 2016, mulai dicetak Sekali lagi, terima kasih kepada Mbak Nurjannah Intan dan Tim dari Bentang Pustaka, Yogyakarta yang telah dengan susah paya menyiapkan segala sesuatu hingga karya ini terbit. Semoga,karya ini bermanfaat untuk masyarakat dan penulis, amin ya Rabb Al-'Alamin. 


Saturday, September 24, 2016

KEKHAWATIRAN KETIKA SEDANG MENULIS SEBUAH BUKU

Alhamdulillah. Ya Allah, jadikanlah karya ini bermanfaat bagi masyarakat.”

Demikian gumam bibir saya, kemarin pagi, ketika membuka deretan email yang masuk. Salah satu email berasal dari seorang editor Penerbit Bentang Pustaka, Yogyakarta. Dalam email tersebut, editor, yang telah lama akrab dengan saya, memberitahukan, “Pak Rofi’. (Buku) Jejak-jejak Islam, Kamus Sejarah dan Peradaban Islam minggu depan akan diterbitkan dalam bentuk edisi cetak.”

Betapa gembira dan bahagia hati saya menerima pesan demikian. Karya yang merupakan ensiklopedia ringkas sejarah dan peradaban Islam, dari sejak awal perkembangannya hingga dewasa ini, sebelumnya telah terbit dalam bentuk e-book. Karya itu sendiri saya tulis bersama sebuah ensiklopedia yang diterbitkan Mizan, Ensiklopedia Tokoh Muslim, selama sekitar 6 tahun. Ketika sedang menulis dua karya tersebut, sejatinya ada suatu perasaan khawatir, dua karya tersebut tidak terselesaikan. Tentu saja, sebab penulisan dua karya itu, sebagai sebuah karya ilmiah meski populer, memerlukan kecermatan dan ketelitian sangat tinggi serta tidak dapat dilakukan terburu-buru. 

Merasa sangat khawatir Allah Swt. telah “memanggil saya untuk pulang” sebelum penulisan dua karya itu rampung, setiap kali saya umrah, dan setiap kali berada di Multazam di lingkungan Masjid Al-Haram, saya senantiasa berdoa, kiranya Sang Pencipta memberikan karunia usia untuk dapat merampungkan dua karya itu, sebagai salah satu kontribusi ilmiah bagi umat Islam dan bangsa Indonesia.

Perasaan khawatir yang sama sejatinya juga pernah “mewarnai” benak saya ketika saya sedang menerjemahkan sebuah karya besar Imam Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, yang kemudian diterbitkan Penerbit Pustaka Bandung dan terdiri dari 16 jilid. Setiap kali satu jilid dari karya sangat tebal itu terbit, sebelum karya terjemahan itu terbit lengkap 16 jilid, ada perasaan takut dan khawatir menggelayut dalam benak bahwa Allah Swt. tidak memberikan kesempatan saya untuk merampungkan penerjemahan karya puncak Imam Al-Ghazali tersebut dalam bahasa Indonesia yang murah dicerna dan difahami oleh masyarakat awam sekalipun. Alhamdulillah, selepas “berjuang” selama sekitar 6 tahun pula, penerjemahan solo itu dapat saya rampungkan. Betapa bahagia dan gembira saya ketika itu.


Kehadiran Jejak-jejak Islam, yang terdiri sekitar 600 halaman, tentu, saya harapkan, dapat memberikan pemahaman dan gambaran yang lebih baik tentang sejarah Islam, dari masa ke masa, dan berbagai puncak sumbangsih kaum Muslim terhadap dunia. Semoga, karya ini bermanfaat bagi masyarakat, juga bagi penulis, âmîn yâ Mujîb Al-Sâ’ilîn

Wednesday, September 14, 2016

SEBUAH KARYA BARU

Alhamdulillah, akhirnya sebuah karya baru minggu ini terbit. Semoga menjadi sebuah buku yang bermanfaat bagi masyarakat, amin


Sunday, September 11, 2016

YA TUHAN, SAKSIKANLAH!

Om Rofi’. Andaikan saat ini om ikut rombongan Rasulullah Saw. naik haji seraya bertalbiyah, hilang gak rasa nyeri di kaki om?”
“Oh, om Rofi’ akan menangis, karena sangat bahagia, andaidapat naik haji bersama beliau. Om tidak akan memedulikan rasa nyeri di kaki ini.”

Demikian sebagian penggalan perbincangan di dini hari tadi, perbincangan di antara saya dan seorang keponakan. Kemudian, usai melaksanakan shalat Shubuh, sambil berbaring di tempat tidur, entah kenapa benak saya tiba-tiba “melayang-layang” dan kembali ke tahun 10 Hijriah: kala itu Rasulullah Saw. sedang berada di Makkah, untuk melaksanakan ibadah haji yang pertama dan terakhir kalinya bagi beliau selepas menjadi Utusan Allah Swt. Dan, tiba-tiba dalam benak muncul pertanyaan, “Apa yang dilaksanakan Rasulullah Saw. pada Hari ‘Arafah?”

Segera, saya pun bangkit kembali dari tempat tidur. Kemudian, saya pun membuka catatan tentang apa yang beliau laksanakan pada hari itu:

Ketika Hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah 10 H) tiba, Rasulullah Saw., yang kala itu berada di Makkah, kemudian menapakkan kaki menuju Mina. Di tempat yang berjarak sekitar 8 kilometer dari Makkah itu, beliau  melaksanakan shalat Zhuhur, Asar, Magrib, ‘Isya’, dan Shubuh di sana.

Kemudian, seusai menanti hingga matahari terbit, Rasulullah Saw. lantas melanjutkan perjalanan menuju ‘Arafah. Tenda-tenda waktu itu telah didirikan di sana. Beliau pun masuk tenda yang disiapkan bagi beliau. Setelah matahari tergelincir, beliau meminta agar Al-Al-Qashwa’, unta beliau, didatangkan. Beliau kemudian menungganginya hingga tiba di jantung ‘Arafah.

Melihat ribuan jamaah yang memenuhi panggilan Allah Swt. dan menaati perintah-Nya, Rasulullah Saw. merasa lega. Beliau merasa lega karena umatnya telah menegakkan kebenaran Islam dengan ikhlas. Saat itu, beliau berniat menanamkan inti ajaran Islam di dalam hati mereka, dengan memanfaatkan pertemuan mulia itu sebagai kesempatan itu untuk mengucapkan khutbah guna mengikis tuntas sisa-sisa kejahiliahan yang masih mengendap dalam jiwa kaum Muslim kala itu. Beliau juga hendak menekankan soal-soal akhlak, hukum, dan hubungan antar sesama kaum Muslim. Termasuk hubungan antara suami-istri.

Lantas, setiba di jantung ‘Arafah, Rasulullah Saw. kemudian berdiri di hadapan sekitar 124.000 atau 140.000 kaum Muslim untuk menyampaikan khutbah haji terakhir beliau, yang diulang dengan ucapan yang lebih keras oleh Rabi‘ah bin Umayyah bin Khalaf,

Wahai manusia.

Dengarkanlah nasihatku baik-baik. Barang kali, aku tidak dapat lagi bertemu muka dengan kalian semua di tempat ini. Tahukah kalian semua, hari apakah ini? (Beliau menjawab sendiri) Inilah Hari Nahr, hari kurban yang suci. Tahukah kalian bulan apakah ini? Inilah bulan suci. Tahukah kalian tempat apakah ini? Inilah kota yang suci. Karena itu, aku permaklumkan kepada kalian semua bahwa darah dan nyawa kalian, harta benda kalian dan kehormatan yang satu terhadap yang lainnya haram atas kalian sampai kalian bertemu dengan Tuhan kalian kelak. Semua harus kalian sucikan sebagaimana sucinya hari ini, sebagaimana sucinya bulan ini, dan sebagaimana sucinya kota ini. Hendaklah berita ini disampaikan kepada orang-orang yang tidak hadir di tempat ini oleh kamu sekalian! 

Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Tuhan, saksikanlah!

Hari ini hendaklah dihapuskan segala macam bentuk riba. Barang siapa memegang amanah di tangannya, hendaklah ia bayarkan kepada yang empunya. Sungguh, riba jahiliah adalah batil. Dan, awal riba yang pertama sekali kuberantas adalah riba yang dilakukan pamanku sendiri, Al-‘Abbas bin ‘Abdul-Muththalib. Hari ini, semua bentuk pembalasan dendam pembunuhan jahiliah dan penuntutan darah cara jahiliah harus dihapuskan. Yang pertama kali kuhapuskan adalah tuntutan darah ‘Amir bin Al-Harits.

Wahai manusia.

Hari ini setan telah putus asa untuk dapat disembah pada bumi kalian  yang suci ini. Tetapi, ia bangga bila kalian dapat menaatinya, walau dalam perkara yang kelihatannya kecil sekalipun. Karena itu, waspadalah kalian atas dirinya! Wahai manusia! Sungguh, zaman itu beredar semenjak Allah menjadikan langit dan bumi.

Wahai manusia.

Sungguh, bagi kaum perempuan (istri kalian) itu ada hak-hak yang harus kalian penuhi, dan bagi kalian juga ada hak-hak yang harus dipenuhi istri itu. Yaitu, mereka tidak boleh sekali-kali membawa orang lain ke tempat tidur selain kalian sendiri, dan mereka tidak boleh membawa orang lain yang tidak kalian sukai ke rumah kalian, kecuali setelah mendapat izin dari kalian terlebih dahulu. Karena itu, sekiranya kaum perempuan itu melanggar ketentuan-ketentuan demikian, sungguh Allah telah mengizinkan kalian untuk meninggalkan mereka, dan kalian boleh melecut ringan terhadap diri mereka yang berdosa itu. Tetapi, bila mereka berhenti dan tunduk kepada kalian, menjadi kewajiban kalianlah untuk memberi nafkah dan pakaian mereka dengan sebaik-baiknya. Ingatlah, kaum hawa adalah makhluk yang lemah di samping kalian. Mereka tidak berkuasa. Kalian telah mengambil mereka sebagai amanah dari Allah dan kalian telah halalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah. Karena itu, bertakwalah kepada Allah tentang urusan perempuan dan terimalah wasiat ini untuk memperlakukan mereka dengan baik.

Wahai umatku! Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Tuhan, saksikanlah!

Wahai manusia.

Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian sesuatu, yang bila kalian memeganginya erat-erat, niscaya kalian tidak akan sesat selamanya. Yaitu: Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Wahai manusia! Dengarkanlah baik-baik apa yang kuucapkan kepada kalian, niscaya kalian bahagia. Untuk selamanya dalam hidup kalian!

Wahai manusia.

Kalian hendaklah mengerti bahwa orang-orang beriman itu bersaudara. Karena itu, bagi masing-masing pribadi di antara kalian terlarang keras mengambil harta saudaranya, kecuali dengan izin hati yang ikhlas.

Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Tuhan, saksikanlah!

Janganlah kalian, setelah aku meninggal nanti, kembali pada kekafiran, yang sebagian kalian mempermainkan senjata untuk menebas batang leher kawannya yang lain. Sebab, bukankah telah kutinggalkan untuk kalian pedoman yang benar, yang bila kalian mengambilnya sebagai pegangan dan lentera kehidupan kalian, tentu kalian tidak akan sesat, yakni Kitab Allah (Al-Quran).

Wahai umatku! Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Tuhan, saksikanlah!

Wahai manusia.

Sesungguhnya Tuhan kalian itu satu, dan sesungguhnya kalian berasal dari satu bapak. Kalian semua dari Adam dan Adam terjadi dari tanah. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian semua di sisi Tuhan adalah orang yang paling takwa. Tidak sedikit pun ada kelebihan bangsa Arab dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa. 

Wahai umatku! Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Tuhan, saksikanlah! Oleh karena itu, siapa saja yang hadir di antara kalian di tempat ini berkewajiban untuk menyampaikan wasiat ini kepada mereka yang tak hadir!’”

Begitu usai melaksanakan wukuf di ‘Arafah, ketika matahari telah terbenam dan mega kuning mulai sirna, Rasulullah Saw. lantas meneruskan perjalanan hajinya dengan menaiki unta menuju Muzdalifah. Beliau kali ini didampingi Usamah bin Zaid, putra Zaid bin Al-Haritsah.

“Wahai Rasul, wasiatmu akan kusampaikan kepada mereka yang tidak hadir bersamamu,” ucap pelan bibir saya, usai membaca catatan tersebut, seakan menjawab titah Rasulullah Saw. tersebut. “Betapa indah kandungan titahmu, wahai Kekasih Allah.”



Tuesday, August 16, 2016

KITA HARUS PUNYA MIMPI

Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn, lahu Al-Fâtihah.”


Demikian, gumam pelan bibir saya ketika tahu kewafatan seorang ilmuwan  Muslim  yang  pertama  kali menerima  Hadiah  Nobel di bidang kimia, Prof. Dr. Ahmed H. Zewail, lewat berita di Al-Jazeera Online yang saya baca tadi pagi.

Memang, saya terlambat tahu, tentang kepulangan ilmuwan Muslim asal Mesir tersebut sekitar dua minggu yang lalu. Tepatnya, pada 2 Agustus 2016. Meski saya tidak banyak tahu banyak tentang dunia ilmiah yang digeluti ilmuwan yang satu ini, karena saya tidak pernah mendalami bidang sains dan teknologi, namun saya kerap teringat sambutan yang ia berikan di Pasadena, California, ketika memberikan sambutan di Caltech pada 10 Juni 2011, dengan judul “We Must Dream”. Dalam sambutan tersebut, ilmuwan tersebut antara lain mengemukakan,

“When I came to the United States in 1969, I was not dreaming of a Nobel Prize (or a Pulitzer prize), nor I was dreaming of acquiring a Bill Gates fortune. Armed with the excellent education I received in Egypt, I was simply on a quest for knowledge and a Ph.D. degree from a reputable institution in this land of opportunity. Incidentally, my English was so poor that at restaurants, I used to order “deserts” for desserts.

America was a magnet for many members of my generation because of its leadership in science and technology and its unique democratic values. The historic landing of Neil Armstrong on the moon in 1969 was enough to demonstrate America’s outlook on the new frontiers of knowledge. I was aware of Edison’s dictum, “Genius is one percent inspiration and ninety-nine percent perspiration”, and I took advantage of being in the right place at the right time -- of being in America and at Caltech.

In fact, it was Caltech’s ambiance and the country’s system of support that made it possible for a young assistant professor to carry out, with his team, research that in only ten years time would define a discipline that was recognized by the Nobel Prize in 1999.

People often ask me, how does one get a Nobel Prize, and what is the secret of success? (And incidentally, the same people had no interest in asking this question before I received the prize.) I believe it was passion for science that supplied the energy and it was optimism that made the almost-impossible, possible.

My dear graduates, success comes to the prepared mind. Success is not like rain that falls from the sky equally upon everyone. Success is what you reap when you sow with passion and optimism.

Siapakah Prof. Dr. Ahmed H. Zewail?

Tokoh yang satu  ini  lahir  di  Damanhur, Mesir, sebuah kota hanya sekitar 60 kilometer dari  Alexandria, pada  Selasa, 24 Rabi‘ Al-Awwal 1365 H/26 Februari   1946  M.  Selepas  merampungkan  pendikan  tinggi   di Universitas Alexandria, Mesir, putra seorang pegawai negeri  ini lantas meniti karier di lingkungan almamaternya. Namun,  dorongan untuk  mengembangkan diri kemudian memicunya  untuk  meninggalkan negerinya,  untuk  menimba  ilmu di Amerika  Serikat.  Di  negeri adikuasa   tersebut,  ia  berhasil  meraih  gelar   doktor   dari Universitas Pennsylvania pada 1393 H/1973 M tentang  spektroskopi pasangan-pasangan molekul.

Selepas  meraih  gelar  doktor,  Zewail  muda  tidak  kembali  ke negerinya  dan melamar ke lima posisi: tiga di  Amerika  Serikat, satu  di  Jerman,  dan  satu lagi  di  Belanda.  Tetapi,  selepas diterima  di kelima posisi tersebut, ia memilih meniti karier  di lingkungan  Universitas  California, Berkeley,  Amerika  Serikat. Segera  karier  ilmiahnya  berpendar  dan  akhirnya  ia  berhasil menjadi guru besar kimia Linus Pauling Chair di perguruan tinggi tersebut. 

Di  sisi lain, berkat sederet karya  dan  penemuannya, penemu  femto  kedua  ini  berhasil  meraih  sederet  hadiah  dan penghargaan,  antara lain Robert A. Welch Prize  Award,  Benjamin Franklin  Medal, Leonardo Da Vinci Award of Excellences,  Rontgen Prize,  Paul Karrer Gold Medal, Bonner Chemiepreis, Medal of  the Royal Netherlands Academy of Arts and Sceinces, Carl Zeiss Award, Hoechst  Award,  Alexander von Humbolt Award, Herbert  P.  Broida Prize, Linus Puling Medal, dan E.O. Lawrence Award.

Penghargaan  demi  penghargaan  atas  karya-karya  suami  seorang dokter, Dema Zewail (putri seorang penerima Hadiah  Internasional Raja  Faisal  yang  dikenal Ahmad Hassan Zewail selepas  ia  menerima  hadiah tersebut pada 1989 M ) dan ayah empat orang anak yang pakar laser dan  menetap  di San Marino, California  ini  akhirnya  berpuncak dengan   keberhasilannya  menerima   Hadiah  Internasional   Raja Faisal  di bidang sains tahun 1409 H/1989 M dan Hadiah Nobel di bidang kimia tahun 1420 H/1999 M.

Ilmuwan yang satu ini juga aktif dalam merumuskan kebijakan Amerika Serikat di bidang sains, teknologi, dan inovasi. Selain itu, ia juga menyusun sejumlah karya tulis, antara lain Advances in Laser Spectroscopy I, Advances in Laser Chemistry, Photochemistry and Photobiology, Ultrafast Phenomena VII, The Chemical Bond: Structure and Dynamics, Ultrafast Phenomena VIII, Ultrafast Phenomena IX,  Age of Science, Physical Biology: From Atoms to Medicine, 4D Electron Microscopy, Encyclopedia of Analytical Chemistry, dan Voyage Through Time.


“Selamat jalan, Profesor. Insya Allah, kami juga punya mimpi.”

Tuesday, August 9, 2016

BERGURU KEPADA YANG MUDA

Alhamdulillah, dua hari berturut-turut masih dikaruniai kesempatan Allah Swt. menimba ilmu dan pengalaman kepada anak-anak muda yang luar biasa.”

Demikian gumam pelan bibir saya selepas mengantarkan Mas Hadi Susanto, seorang pakar matematika muda Indonesia yang kini sedang berkarya di Universitas Essex, Inggris “kluyuran” di seputar Kota Bandung tadi malam. Tetapi, selama dua hari yang lalu, Ahad dan Senin, saya tidak hanya “berguru” kepada profesor muda asal Lumajang, Jawa Timur, dan jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu saja.

Ahad yang lalu, selepas shalat Shubuh, saya sudah siap-siap meninggalkan Baleendah. Kemudian, sekitar satu jam kemudian saya sudah duduk di depan sebuah super store di Jalan Junjunan Bandung. Sambil duduk, saya sempatkan mentadarrus Al-Quran satu juz. Kemudian, sekitar pukul tujuh pagi, sebuah shuttle bus Jakarta-Bandung berhenti tidak jauh dari tempat di mana saya sedang duduk. Tidak lama kemudian, turun seseorang dengan mengenakan kaos berlengan panjang dengan “memanggul” tas punggung dan jaket. Itulah tokoh yang sedang saya tunggu kedatangannya: Mas Lendo Novo, seorang penggagas dan perintis sekolah alam di Indonesia.

Selepas menikmati bubur ayam di jalan yang sama, saya kemudian membawa insinyur jebolan Teknik Perminyakan ITB itu menuju Baleendah. Sambil menyetir, saya pun berusaha menjadi “murid yang baik”: mendengarkan sebagian kisah hidup dan ide-ide sosok yang senantiasa memendekkan rambutnya seperti Yul Brynner, seorang aktor Amerika Serikat itu. 

“Pak Rofi’, kita harus belajar banyak pada Finlandia,” tutur Mas Lendo tentang sistem pendidikan dan keberhasilan negara yang terletak di bagian utara Eropa itu. “Negara itu kini menjadi negara terbaik dari sisi pendidikan di tingkat dunia. Amerika Serikat pun keok.” Usai berucap demikian, putra Sumatera Barat yang sekampung dengan Menteri ESDM ini menuturkan “perjuangannya” dalam mendirikan sekolah alam.

Setiba di rumah, dan selepas beristirahat beberapa lama, saya, istri, Mas Lendo, dan seorang insinyur geologi muda jebolan ITB kemudian meluncur ke sebuah bukit di Baleendah. Tidak lama kemudian datang seorang arsitek  beken yang juga dosen di ITB, Mas Bambang Setya Budi. Segera, mereka naik ke bukit, untuk mengkaji kelayakan bukit tersebut untuk dijadikan sebagai lokasi sekolah alam. Di atas bukit, telah menanti seorang profesor elektro yang juga jebolan ITB.

Usai “menikmati” bukit, ucap Mas Lendo kepada saya, “Saya setuju. Lokasi ini pas sekali untuk menjadi lokasi sekolah alam.” Dan, kemudian, kami semua menuju Pesantren Mini kami, untuk mendiskusikan rencana pendirian sekolah alam di bukit tersebut. Lewat masukan dari Mas Lendo dan Mas Bambang Setya Budi, saya dan istri kian siap dalam merencanakan sekolah alam tersebut yang juga akan kami jadikan pula sebagai Pesantren Mini kedua.

Kemudian, Senin kemarin, selepas melaksanakan shalat ‘Asar, saya kembali “meluncur” ke pusat kota Bandung. Kali ini, mobil yang saya kendarai menuju sebuah hotel milik ITB yang tegak tidak jauh dari kantor rektorat ITB. Selepas menanti sekitar setengah jam di hotel, muncullah seorang pakar matematika yang telah lama saya kenal. Seperti halnya Mas Lendo, penerima Ganesha Prize 2000 itu juga “memanggul” tas punggung dan jaket. “Kayaknya, jaket hitam itu pula yang “menyertai” Mas Hadi ketika bertemu dengan saya tahun lalu,” gumam pelan bibir saya sambil tersenyum.

Kehadiran profesor muda di bidang matematika itu dalam rangka memberikan penataran dan pengayaan di bidang matematika kepada para guru sekolah menengah. Kegiatan itu diselenggarakan oleh ITB. Yang musykil bagi saya, sebelum datang ke Bandung, peraih gelar doktor dari Universitas Twente, Belanda itu, entah kenapa memberitahu saya perihal kedatangannya kepada saya. Kenapa musykil? Tentu saja, seumur-umur saya ini tidak pernah belajar matematika dan sangat tidak memahami ilmu-ilmu ITB, kok ilmuwan muda Indonesia yang berprestasi luar biasa di luar negeri itu berkenan mengontak saya. “Melihat wajah muda ilmuwan-ilmuwan muda saja saya sangat senang. Apalagi, diberi kesempatan bertemu,” gumam bibir saya ketika menerima berita itu.

Usai melaksanakan shalat Maghrib, Mas Hadi Susanto saya ajak “kluyuran” di seputar Kota Bandung. Dengan cara saya, saya pun dapat “menggali” dan menimba ilmu dan pengalaman ilmuwan yang menulis buku berjudul Tuhan Pasti Ahli Matematika. Kemudian, seusai menikmati sate di sebuah warung terkenal yang tegak di sekitar Simpang Lima, suami seorang dokter jebolan Universitas Brawijaya itu saya antarkan kembali ke hotel, karena pagi hari ini Mas Hadi Susanto meneruskan “kluyuran”nya ke Surabaya.

“Alhamdulillah, negeri ini dikaruniai sederet anak muda yang berbakat dan berkeinginan memajukan negeri ini. Kapan pun dan di manapun mereka berada,” gumam bibir saya sambil menyetir mobil menuju Baleendah, Bandung. Tadi malam.



Thursday, July 28, 2016

KEDUDUKAN TINGGI INI MERUPAKAN MUSIBAH

Tadi malam, ketika sedang menonton tivi dan  melihat pelantikan sejumlah menteri baru, entah kenapa benak saya tiba-tiba “terlempar” ke Baghdad. Ya, ke sebuah kota yang  didirikan oleh seorang penguasa terkemuka Dinasti Abbasiyah, Abu Ja‘far Al-Manshur, dan kini menjadi ibukota Irak. Entah kenapa pula, yang “melayang-melayang” dalam benak saya tadi malam adalah kisah kegundahan seorang penguasa terkemuka lain dinasti tersebut, seorang penguasa yang kerap ditampilkan dalam kisah Alf Lailah wa Lailah (1001 Malam): Harun Al-Rasyid.
Kala itu, sang penguasa tersebut sedang menunaikan ibadah haji di Makkah. Entah kenapa, pada suatu malam, ketika berada di Kota Suci itu ia merasa sangat gelisah dan resah. Karena tidak kuat menahan kegelisahannya yang kian mendera, meski saat itu di tengah malam, sang penguasa kemudian memanggil Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus, seorang menteri utama Dinasti ‘Abbasiyyah kala itu.
Ketika menteri utama itu telah berada di hadapannya, Harun Al-Rasyid lantas berucap pelan sambil menahan kegelisahannya, “Al-Rabi‘! Malam ini, bawalah aku kepada seseorang yang kuasa menunjukkan kepadaku, siapakah sejatinya aku ini.”
“Ada keperluan apa, Amir Al-Mukminin?” tanya sang menteri utama.
“Entah mengapa, saat ini aku merasa jemu sekali dengan segala kebesaran dan kebanggaan yang telah kurengkuh dan kunikmati selama ini!”
Mendengar ucapan sang penguasa, Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus lantas membawa Harun Al-Rasyid ke rumah Sufyan bin ‘Uyainah. Tokoh terakhir itu adalah seorang ahli hadis dan tafsir Al-Quran di Kota Suci kala itu. Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Sufyan bin ‘Uyainah bin Maimun Al-Hilali Al-Kufi.
Mendengar seseorang mengetuk pintu, Sufyan bin ‘Uyainah menyahut, “Siapakah di luar?”
“Amir Al-Mukminin!” jawab Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus.
“Mengapakah Amir Al-Mukminin sudi menyusahkan diri? Mengapa tidak dikabarkan saja kepada saya. Sehingga, saya datang sendiri untuk menghadap?”
Mendengar ucapan tersebut, Harun Al-Rasyid pun berucap kepada sang menteri utama, “Al-Rabi‘! Dia bukan orang yang kucari. Dia pun menjilat seperti yang lain-lainnya.”
Ucapan itu, ternyata, didengar sang ulama Makkah itu. Karena itu, dia pun berucap kepada sang penguasa, “Bila demikian, wahai Amir Al-Mukminin, Al-Fudhail bin ‘Iyadh adalah orang yang engkau cari. Pergilah kepadanya.”
Usai berucap demikian, Sufyan bin ‘Uyainah kemudian membaca ayat Al-Quran, “Apakah orang-orang yang berbuat aniaya menyangka bahwa kami akan mempersamakan mereka dengan orang-orang yang beriman serta melakukan perbuatan-perbuatan salih?”
Harun Al-Rasyid pun menimpali, “Andai aku menginginkan nasihat yang baik, tentu ayat itu mencukupi bagiku.”
Mereka lantas menuju ke rumah Al-Fudhail bin ‘Iyadh, seorang ulama Makkah yang terkenal hidup sangat sederhana. Ketika mereka tiba di rumah Al-Fudhail, mereka lantas mengetuk pintu. Mendengar ketukan di pintu rumahnya, Al-Fudhail bertanya dari dalam, “Siapakah di luar?”
“Amir Al-Mukminin!” jawab Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus.
“Apa urusan dia dengan aku dan urusanku dengan dia?” teriak Al-Fudhail.
“Al-Fudhail! Bukankah merupakan kewajiban rakyat untuk mematuhi para pemegang kekuasaan?” sergah Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus.
“Janganlah kalian mengganggu aku!”
“Haruskah aku mendobrak pintu dengan kekuasaanku sendiri atau dengan perintah Amir Al-Mukminin?” sahut Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus.
“Tiada sesuatu pun yang disebut kekuasaan!” ucap Al-Fudhail. “Jika engkau dengan paksa mendobrak masuk, engkau tentu tahu apa yang harus engkau lakukan!”
Harun Al-Rasyid kemudian masuk ke dalam rumah Al-Fudhail bin ‘Iyadh. Begitu melihat sang penguasa, Al-Fudhail lantas meniup lentera di depannya hingga padam agar dia tidak dapat melihat wajah sang penguasa. Harun Al-Rasyid kemudian mengulurkan tangannya dan disambut tangan Al-Fudhail yang kemudian berucap, “Betapa lembut dan halus tangan ini! Kiranya tangan ini terhindar dari api neraka!”
“Tuan Guru! Berilah aku nasihat,” ucap Harun Al-Rasyid.
“Leluhurmu, pamanda Rasulullah Saw. (maksudnya Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib), pernah meminta kepada beliau agar dia dijadikan pemimpin bagi sebagian umat manusia. Apa jawaban beliau? Jawab beliau, ‘Paman, bukankah aku pernah mengangkat engkau untuk sesaat sebagai pemimpin dirimu sendiri?’ Dengan jawaban itu Rasulullah Saw. memaksudkan bahwa sesaat mematuhi Allah adalah lebih baik daripada seribu tahun dipatuhi umat manusia. Kemudian Rasulullah Saw. menambahkan, ‘Kepemimpinan akan menjadi sumber penyesalan di Hari Kebangkitan kelak.’”
“Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu,” pinta Harun Al-Rasyid.
“Ketika diangkat sebagai penguasa, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz lantas memanggil Abu ‘Umar Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab, Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah bin Jarwal Al-Kindi, dan Abu Hamzah Muhammad bin Ka‘b bin Salim bin Asad Al-Qurazhi. Ucap ‘Umar kepada mereka, ‘Hatiku sangat gundah dengan musibah ini. Apakah yang harus kulakukan? Aku tahu, kedudukan tinggi ini merupakan musibah, walau orang-orang lain memandang kedudukan sebagai karunia.’ Sahut Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah, “Amir Al-Mukminin! Jika engkau ingin terlepas dari hukuman Allah di akhirat kelak, pandanglah setiap Muslim yang lanjut usia laksana ayahandamu sendiri, setiap Muslim yang muda usia laksana saudaramu sendiri, setiap Muslim yang masih kanak-kanak laksana putramu sendiri. Dan, perlakukanlah mereka sebagaimana seharusnya seseorang memperlakukan ayahanda, saudara, dan putranya.’”
“Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu,” pinta lagi Harun Al-Rasyid.
“Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah lebih lanjut berucap, ‘Wahai Amir Al-Mukminin! Anggaplah negeri yang engkau pimpin laksana rumahmu sendiri dan penduduknya laksana keluargamu sendiri. Jenguklah ayahandamu, hormatilah saudaramu, dan bersikap baiklah kepada putramu. Kusayangkan jika wajahmu yang tampan ini akan terbakar hangus di neraka. Takutlah kepada Allah dan taatilah perintah-perintah-Nya. Berhati-hatilah dan bersikaplah bijak, karena di hari kebangkitan kelak Allah akan meminta pertanggungjawabanmu seputar setiap Muslim yang engkau pimpin dan Dia akan memeriksa apakah engkau telah berlaku adil kepada setiap orang. Ingatlah, manakala ada seorang perempuan uzur yang tertidur dalam keadaan lapar, di hari kebangkitan kelak dia akan menarik pakaianmu dan memberikan kesaksian yang akan memberatkan dirimu!’”
“Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu!”
“Abu Hamzah Muhammad bin Ka‘b kemudian tampil memberikan nasihat,  “Amir Al-Mukminin! Engkau memiliki keberanian yang diwajibkan atas diri kita. Andai pada dirimu terdapat kekurangan dan kekhilafan, kita akan mengobatinya. Pegang teguhlah agama dan pikiran yang rasional, semua itu akan menopang dirimu dan menjadi kendali dirimu. Waspadalah terhadap orang yang mencintaimu karena ada pamrih terhadap dirimu. Karena manakala pamrih itu telah terpenuhi, cintanya akan sirna. Manakala engkau melakukan suatu kebaikan, peliharalah betul kebaikan itu. Dan, jadikanlah dunia sebagai tempatmu berpuasa dan akhirat sebagai tempatmu berbuka.’”
“Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu!”
“Abu ‘Umar Salim bin ‘Abdullah kemudian tampil memberikan nasihat, ‘Amir Al-Mukminin! Buatlah rakyat rela dengan sesuatu yang dirimu rela terhadap sesuatu itu. Juga, buatlah mereka tidak menyukai sesuatu yang dirimu tidak menyukai sesuatu itu. Dengan demikian, engkau selamatkan mereka dan mereka menyelamatkan engkau.’”
Mendengar nasihat dan petuah demikian, Harun Al-Rasyid pun tidak kuasa menahan lelehan air matanya dan termenung lama. Dan, selepas itu, dia berpamitan kepada sang Tuan Guru itu.

“Entah apa yang saat ini sedang menggelegak dalam benak para menteri baru itu, ketika mereka bersumpah akan melaksanakan amanah yang dibacakan Presiden. Wallâhu a‘lam,” demikian gumam pelan bibir saya melihat prosesi sumpah yang dilakukan para menteri baru itu. 

Friday, July 22, 2016

IBU NYAI

Ya Allah, ampunilah, kasihilah, maafkkanlah, jadikanlah kuburnya berpendar, dan jadikanlah surga sebagai tempat yang abadi bagi Ibu Nyai Hajjah Siti Fatma. Juga, karuniakanlah kesabaran, kesehatan, dan kemampuan memelihara diri kepada Gus Mus, amin.”

Entah kenapa, doa yang demikian itu tiba-tiba menggerakkan dua bibir saya tadi pagi, ketika saya membaca di facebook Gus Mus bahwa beliau serta putri-putri dan putra beliau sedang menyiapkan sebuah buku kenangan berjudul “Ibuku Kekasihku”. Rencananya, buku tersebut akan diterbitkan pada hari ke-40 berpulangnya istri tercinta Gus Mus. Dan, usai berdoa, tiba-tiba benak saya pun “melayang-layang” dan kemudian kisah sederet ibu nyai (istri seorang kiai) bermunculan dalam benak saya.

Ternyata, menjadi seorang ibu nyai tidaklah mudah dan tidak pula ringan. Ketika seorang perempuan menyatakan siap untuk menikah dengan seorang “calon” dan seorang kiai, sejatinya ia telah “melontarkan dirinya” dalam sebuah medan perjalanan dan perjuangan hidup yang tidak ringan. Sebab, menjadi istri seorang kiai kerap kali harus siap hidup pas-pasan, siap setiap waktu ditinggal sang suami untuk melayani masyarakat, siap setiap waktu mendampingi dan berbagi dengan sang suami dalam menghadapi berbagai masalah keluarga, masyarakat, dan negara, dan juga siap sewaktu-waktu kehilangan sang suami tercinta dan lain-lain sebagainya.

Oleh karena itu, tidak setiap perempuan siap dan kuat menjadi seorang Ibu Nyai. Suatu saat, ada seorang calon dokter yang menikah dengan putra seorang kiai terkemuka yang memimpin pesantren besar di Jawa Timur. Perempuan yang putri seorang profesor terkemuka tersebut menikah dengan suaminya di luar negeri. Namun, apa yang terjadi kemudian ketika mereka berdua kembali ke Tanah Air? Perempuan yang kini menjadi seorang dokter tersebut kaget dengan kedudukannya sebagai seorang Ibu Nyai dan tidak tahan menjadi pendamping hidup yang tangguh suaminya sebagai seorang kiai muda. Akhirnya, perempuan itu memilih berpisah baik-baik dengan suaminya.

Di sisi lain, ketika seorang Ibu Nyai berpulang ke hadirat Allah Swt. lebih dahulu daripada suaminya, ternyata tidak setiap kiai tahan dalam menghadapi “goncangan” yang terjadi. Kiai juga seorang manusia: kadang merasakan sangat kesepian ketika istri tercintanya telah tiada. Malah, ada yang kelabakan: berbulan-bulan kebingungan seperti kisah Pak Habibie selepas Ibu Ainun berpulang. Akhirnya, atas persetujuan putra dan putrinya, kiai tersebut menikah kembali: mengikuti pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang mendorong para suami yang istrinya berpulang untuk segera menikah kembali, untuk menghindari hal-hal yang tidak terpuji.


“Mbak Ienas, Mbak Almas, dan putra-putri Gus Mus lainnya, dampingi dan kasihi Abah kalian ya. Abah tentu sangat kehilangan Ibu Hajjah Siti Fatma, meski Gus Mus tidak menampakkan kehilangan yang dalam tersebut,” demikian gumam bibir saya sambil merenungi lama “catatan-catatan pendek” yang disajikan Gus Mus dalam facebooknya, selepas beliau hidup tanpa bersama Ibu Hajjah Siti Fatma lagi di dunia yang fana ini. 

Monday, July 18, 2016

GUS, IKUTILAH JEJAK LANGKAH KAKEKMU...!

Ya Allah, karuniakanlah limpahan cinta dan kasih sayang-Mu kepada Mbah Maimun...”

Demikian gumam pelan bibir saya, ketika saya melihat foto Al-Mukarram K.H. Maimun Zubair (alias Mbah Maimun), seorang kiai sepuh asal Sarang, Rembang, Jawa Tengah, di facebook salah seorang sahabat tadi malam. Dan, entah kenapa, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” ke tahun 2007, ketika saya bertemu pertama kali dengan Mbah Maimun, dan hingga kini belum pernah bertemu kembali dengan beliau.

Kala itu, saya sedang mendampingi jamaah sebuah travel dari Bandung untuk melaksanakan ibadah haji. Ketika kami sedang mabît di Mina, saya lihat banyak jamaah dari berbagai maktab mendatangi sebuah tenda di belakang tenda tempat kami mabît. Ketika saya tahu bahwa mereka ternyata berusaha sowan kepada Mbah Maimun, saya pun ikut antri bersama mereka untuk sowan kepada beliau. Meski saya belum pernah bertemu sama sekali dengan beliau, tapi saya sedikit tahu tentang “jati diri” beliau. Dan, Mbah Maimun akrab dengan keluarga kami di Cepu, Jawa Tengah.

Kemudian, ketika antrian saya sampai di hadapan beliau, beliau pun saya peluk. Lama. Masih dalam pelukan saya, Mbah Maimun bertanya kepada saya dengan suara pelan, “Njenengan niku sinten. Kulo kok kadose kenal wajah njenengan. Anda itu siapa. Saya kok kayaknya kenal dengan wajah Anda.”
Mbah, kawulo Ahmad Rofi’ Usmani, saking Bandung. Mbah, saya Ahmad Rofi’ Usmani, dari Bandung.”
Saking Bandung kok saged boso Jawi. Dari Bandung kok bisa bahasa Jawa.”
Inggih, Mbah, asal kawulo saking Cepu, dados saged boso Jawi. Iya, Mbah, asal saya dari Cepu, karena itu saya bisa bahasa Jawa.”
O, saking Cepu. Pirso Mbah Yai Usman. O, dari Cepu. Tahu Mbah Kiai Usman?”
Inggih, Mbah, kawulo wayahipun. Iya, Mbah, saya cucunya.”

Begitu mendengar jawaban terakhir tersebut, Mbah Maimun ganti memeluk lama saya sambil mengelus-elus punggung saya. Kemudian, ucap beliau dengan suara pelan, “Masya Allah, njenengan niku wayahipun Mbah Yai Usman to. Pantesan, kok kawulo rasanipun sampun kenal dangu kaliyan njenengan. Njenengan pinarak wonten mriki mawon, nggih. Ngancani kawulo. Masya Allah, Anda itu cucunya Mbah Kiai Usman to. Pantesan, kok saya rasanya sudah kenal lama dengan Anda. Anda duduk di sini saja, ya. Menemani saya.”

Sebenarnya, saya ingin menolak permintaan Mbah Maimun. Tetapi, merasa tidak tepat menolak permintaan beliau, saya pun duduk di samping beliau. Akibatnya? Saya pun kecipratan kehormatan beliau sebagai kiai sepuh, alias saya dapat “kramat gantung”: orang-orang yang menghadap beliau pun mengambil tangan kanan saya dan menciumnya, selepas mereka mencium tangan beliau. Melihat hal yang demikian, bibir saya pun bergumam pelan, “Wah gawat. Aku ini bukan siapa-siapa, kok mendapat penghormatan demikian ini.”

Melihat orang-orang yang mau sowan kepada Mbah Maimun kian mengular panjang, akhirnya saya pun berpamitan dengan beliau. Semula, beliau tidak mengizinkan saya berlalu. Tetapi, dengan berbagai alasan, beliau akhirnya mengizinkan saya pamit. Sambil memeluk saya, beliau berucap, “Gus, kawulo ndongaaken, njenengan saged kados Mbah Yai Usman: saged ndamel pesantren ingkang manfaat kangge umat. Gus, saya doakan, Anda bisa seperti Mbah Kiai Usman: bisa mendirikan pesantren yang bermanfaat bagi umat.”

Deg, betapa hati dan pikiran saya bingung dan gelisah mendengar pesan Mbah Maimun yang demikian. Pertama, panggilan "gus" membuat saya merasa bahwa saya tidak layak mendapatkan panggilan demikian. Lagi pula, meski putra dan cucu seorang kiai, namun sejak muda saya lebih suka tidak dikenal sebagai keturunan kiai. Saya lebih suka disebut dengan panggilan “Rofi’” saja, tanpa imbuhan apapun. Kedua, kala itu, saya tidak tertarik untuk menekuni dunia pendidikan, apalagi mendirikan pesantren. Saya lebih suka jadi tukang kluyuran yang tidak dikenal orang.

Namun, apa yang terjadi kemudian? Mungkin, karena doa Mbah Maimun yang ikhlas dan “mandi”, entah kenapa setahun kemudian Allah Swt. membukakan hati saya dan istri saya untuk mulai merintis Pesantren Mini kami yang kini kian berkembang.

Matur nuwun, Mbah Maimun,” demikian gumam pelan bibir saya dini hari tadi, sambil memandangi Pesantren Mini kami yang kini kian banyak murid dan santrinya.