Friday, September 25, 2015

MENGAPA TRAGEDI MINA TERULANG?

Bapak, mengapa sih kerap terjadi tragedi dalam ibadah haji?”

Demikian tanya putri bungsu saya tadi malam dalam perbincangan di Jakarta, seusai mendampingi seorang keponakan yang melahirkan seorang putri, di sebuah rumah sakit, yang didambakan kehadirannya sejak  bertahun-tahun. Menerima pertanyaan tentang tragedi tersebut, tentu saja disertai rasa duka dan sedih yang mendalam atas terulangnya tragedi di Tanah Suci itu, segera benak saya pun “melayang-layang”. Dan, tak lama kemudian, benak saya berusaha membongkar kembali ingatan dan pengalaman naik haji dan menjadi pembimbing haji dan umrah dalam rentang waktu antara 1979-2015. Alhamdulillah (mohon maaf, tidak bermaksud riya’), saya diberikan kesempatan Allah Swt. berulang naik haji dan umrah. Baik secara pribadi maupun sebagai pembimbing ibadah haji dan umrah.

Ya, mengapa tragedi dalam ibadah haji kerap  terulang?

Ketika seseorang mendapatkan “undangan agung” dari Sang Pencipta untuk naik haji, baik lewat Ongkos Naik Haji (ONH) reguler maupun plus, juga lewat jalur lain, orang itu diharapkan segera mempersiapkan diri, baik secara fisik maupun psikis. Biasanya, pihak KBIH maupun travel ONH plus sudah membekali mereka dengan kedua “kopor” fisik dan psikis tersebut. Cukupkah dua “kopor” itu? Tidak cukup, karena pelaksanaan ibadah haji lebih berat ketimbang ibadah umrah. Ibadah haji melibatkan jutaan anak manusia pada saat yang berbarengan. Karena itu, dalam setiap pembekalan dan pengarahan dalam manasik haji, saya kerap bertanya dengan berseloroh kepada para calon jamaah haji, “Ibu dan bapak  yang saya muliakan. Apa sudah menerima dua kopor, kopor bagasi dan kopor kabin?”
“Sudah, Ustadz,” jawab mereka serempak.
“Apakah dua kopor itu sudah cukup, ibu dan bapak yang saya cintai?”

Mendengar ucapan saya yang demikian, biasanya para calon jamaah haji diam. Tidak menjawab. Melihat suasana yang demikian, saya pun berucap, “Ibu dan bapak. Ketika kita berada di Tanah Suci nanti, bekal dua kopor itu tidak cukup. Ibu dan bapak sekalian perlu membawa lima “kopor” besar lain. Lima “kopor” itu sangat penting sekali untuk dibawa. Ke mana pun selama ibu dan bapak naik haji.”
“Lima kopor lagi, berat dan repot, Ustadz.”
“Ibu dan bapak sekalian, meski lima “kopor” itu berat, tapi lima “kopor” itu perlu sekali. Lima “kopor” itu adalah kopor-kopor: pengetahuan tentang manasik haji serta pemahaman tentang prosedur perjalanan dan pengenalan lapangan, kesabaran, keikhlasan,  kedisiplinan, dan ketawakkalan.”

“Kopor” pertama, pengetahuan tentang manasik haji serta pemahaman tentang prosedur perjalanan dan pengenalan lapangan, biasanya diberikan kepada para jamaah haji Indonesia. Namun, tentu saja, sejauh mana pembekalan itu cukup atau tidak,tentu banyak faktor yang berkait dengannya. Belum tentu pihak pemberi pembekalan menguasai sepenuhnya masalah tersebut. Saya, yang dapat dikatakan setiap tahun 4 atau 5 kali ke Tanah Suci, kadang masih tergagap-gagap dengan perkembangan baru di sana dan harus terus menerus mempelajarinya dan memahaminya. Dalam kasus terjadinya Tragedi Mina tahun ini, melihat asal para korban dalam tragedi tersebut, mereka sebagian besar bukan dari Indonesia. Saya tidak tahu, apakah para jamaah haji tersebut, mendapatkan pembekalan yang cukup tentang manasik haji serta pemahaman tentang prosedur perjalanan dan pengenalan lapangan. Perlu dikemukakan, pelaksanaan ibadah haji tahun ini hingga sekitar tahun 2025 dilaksanakan pada musim panas. Kondisi yang kurang “bersahabat” bagi para jamaah yang tidak biasa menghadapi suhu antara 40 sampai dengan 50 derajat celcius perlu dikemukakan kepada mereka, supaya mereka siap dalam menghadapinya.

Kesabaran tentu saja juga penting. Perjalanan naik haji memerlukan “perjuangan”. Sejak dari rumah, di Tanah Air, ketika di tengah perjalanan, setiba di Jeddah atau ketika berada Madinah, apalagi ketika sedang melaksanakan ritual ibadah haji di Makkah dan sekitarnya. Pelaksanaan ibadah yang dilaksanakan sekian juta anak manusia, dalam masa yang relatif berbarengan, tentu memerlukan “managemen” kesabaran. Berinteraksi dengan banyak jamaah, dari berbagai bangsa dan negara, dengan karakter, kultur, dan kebiasaan yang beragam tentu memerlukan kesabaran. Khususnya pada puncak pelaksanaan ibadah haji, antara 8 sampai dengan 13 Dzulhijjah. Pelaksanaan ibadah pada masa yang berlangsung selama beberapa hari itu memerlukan kesabaran yang luar biasa. Gerakan jutaan manusia pada waktu dan masa yang relatif yang sama, apalagi ketika tubuh para jamaah dalam keadaan sangat letih dan capek, dapat menimbulkan peristiwa yang tidak terduga. Termasuk Tragedi Mina kali ini. Kesabaran yang berlapis-lapis sangat diharapkan dimiliki para jamaah. Meski pemerintah Kerajaan Arab Saudi dengan Hajj Centernya telah mempersiapkan dengan baik pelaksanaan ibadah haji setiap tahun, namun hal itu bisa buyar jika tidak didukung oleh sikap dan perilaku para jamaah yang harus bersabar dalam mematuhi aturan yang ditetapkan. Melaksanakan ibadah haji tidak hanya menjadi “Tamu Allah” semata. Tetapi, juga berinteraksi dengan jutaaan anak manusia. Kesabaran, dalam hal ini, sangat diperlukan.

Keikhlasan, tentu saja, juga perlu. Ibadah yang tidak disertai keikhlasan tentu mengurangi makna ibadah tersebut. Tanpa kesabaran dan keikhlasan ketika naik haji dapat membuat seseorang jamaah mengomel dan menggerutu, misalnya. Akibatnya tentu dapat diduga: ibadahnya menjadi  “amburadul”. Yang kerap terjadi, ketika ada jamaah yang tidak sabar dan ikhlas dalam beribadah, ketidaksabaran dan ketidakikhlasan itu “menular” kepada jamaah-jamaah yang lain. Misal, dalam tata pelaksanaan pelemparan jumrah, pemerintah Kerajaan Arab Saudi kini memberlakukan skedul waktu bagi setiap maktab. Tentu, ketentuan itu untuk kemaslahatan semua jamaah. Meski demikian, ada saja jamaah yang mengomel, ketika maktabnya mendapat skedul waktu yang tidak pada waktu yang utama (afdhal).  “Mengapa sih kami tidak diberikan kesempatan melaksanakan pelemparan jumrah pada waktu yang utama?”  Jika hal yang demikian itu terjadi pada banyak orang, tentu hal-hal yang tidak diinginkan dapat terjadi.

“Kopor” kedisiplinan juga perlu. Problem dalam proses pelaksanaan ibadah haji juga kerap terjadi karena ketidakdiplinan sebagian para jamaah. Dalam proses pemeriksaaan di bagian imigrasi, misalnya, kerap terjadi kediplinan diabaikan oleh para jamaah dari beberapa negara tertentu. Mereka “main slonong” saja. Akibatnya tentu dapat diduga. Juga dalam pelaksaan tawaf, misalnya, apalagi tawaf ifadhah, kita dapat menyaksikan berbagai perilaku jamaah yang maunya menang sendiri. Dalam hal ini tabrakan dan gesekan antar jamaah dapat terjadi.

Dan, akhirnya, “kopor” ketawakkalan. Kita semua tentu tahu, pentingnya ketawakkalan kepada Allah Swt. Apa pun dapat terjadi selama dalam proses pelaksanaan yang hanya diwajibkan sekali seumur hidup itu. Berserah diri, selepas melengkapi diri dengan dua kopor kabin dan bagasi serta empat “kopor” lainnya, hendaknya dibawa para jamaah haji ke mana mereka melangkah ketika melaksanakan ibadah yang berat itu.

Tragedi Mina terulang. Untuk para jamaah yang berpulang karena peristiwa tragis tersebut, marilah kita doakan, “Allahumma ighfir lahum warhamhum wa’afihi wa’fu ‘anhum waj’al al-jannata matswahum. Allahumma ij’al hajjahum hajjan mabrurâ wasa’yahum sa'yan masykûrâ wa dzanbahum dzanban maghfûrâ. ” Semoga Allah menerima ibadah mereka dan menjadikan ibadah haji mereka mabrur. ÂmÎn ya Rabb Al-‘Âlamîn.



Sunday, September 6, 2015

KISAH SEORANG ADIK

Mbak, aku jatuh. Kakiku kayaknya mengalami fraktur. Bentuknya tidak karuan lagi.”

Demikian, ucap adik bungsu saya Jumat, 5 September yang lalu, sekitar pukul lima sore kepada istri lewat telpon genggam. Saya, yang berada di rumah dan belum lama kembali dari mengantar adik istri dan istrinya, yang juga habis dirawat, ke Bandara Husain Sastranegara, pun termenung dan kaget. Segera, saya dan istri pun “meluncur” dari rumah di Baleendah, Kabupaten Bandung, menuju Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung.

Setiba di rumah sakit terbesar di Provinsi Jawa Barat itu, segera kami menuju ruang Instalasi Gawat Darurat. Ketika berada di ruang tersebut, kami lihat adik kami, seorang dokter spesialis saraf dan ahli akupunktur, terbaring di tempat tidur dikitari para dokter. “Kenapa kamu?” tanya istri kepada adik saya, L. “Saya tadi mau ke tempat praktek, Mbak.  Mungkin karena tergesa-gesa, ketika berada di depan rumah sakit, tiba-tiba saya terjatuh dan kayaknya tulang kaki saya patah,” jawab L dengan menahan sakit.

Melihat dia terbaring, entah kenapa benak saya tiba-tiba “melayang” dan teringat perjalanan hidupnya. Ketika dia baru berusia sekitar 2 tahun, dia terkena polio.  Dapat dikatakan, dia kala itu tidak mampu menggerakkan kedua kakinya. Namun, dengan penuh kesabaran, ibunda merawatnya dengan penuh ketelatenan dan perhatian selama bertahun-tahun. Ketika masuk Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar, tiap hari dia diantar dan dijemput dengan naik becak. Pelan, kondisi kedua kakinya membaik, meski kadang dia tiba-tiba dia terjatuh. Mungkin, karena kakinya saat itu sedang tidak kuat menyangga tubuhnya. Meski demikian, dia tidak pernah mengeluh.

Kemudian, selepas lulus dari sekolah menengah atas, di kampung kami, Blora, Jawa Tengah, dia diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. “Alhamdulillah,” ucap syukur kami sekeluarga. Kami, tentu, merasa sangat bersyukur karena meski dia “dikaruniai” kondisi kedua kaki yang “kurang sehat”, dia diterima di perguruan tinggi yang bagus. Selama itu, dia pun kadang masih tiba-tiba terjatuh dengan sendirinya, karena kondisi kedua kakinya yang pernah terkena polio. Kemudian, apa yang dia putuskan setelah dia berhasil meraih brevet dokter umum?

“Mas dan Mbak,” ucapnya tidak lama setelah dia menjadi dokter kepada kami, kakak-kakaknya, “izinkan saya berangkat menuju Gumawang, Baturaja, Sumatera Selatan.”  Ketika kami tahu, ternyata dia ditempatkan di sebuah puskesmas di tempat terpencil dan jauh dari perkampungan, di tengah hutan, semula kami tidak tega melepasnya. Tapi, dia tetap teguh dengan keputusannya, meski kondisi kedua kakinya tetap tidak seratus persen pulih seperti sedia kala. Kami pun akhirnya melepas dia berangkat.  Selama beberapa tahun, dia pun melaksanakan tugasnya di tempat terpencil tersebut. Meski dikaruniai kaki yang kurang sehat, namun dia tetap bekerja dengan sepenuh hati untuk masyarakat. Karena itu, dia akhirnya mendapat penghargaan sebagai dokter teladan.

Usai melaksanakan tugas di medan yang berat, dia kemudian menempuh pendidikan dokter spesialis saraf di almamaternya. Kemudian, usai meraih brevet dokter spesialis saraf, dia lagi-lagi membuat keputusan yang membuat kami terkaget-kaget. Dia memilih ditempatkan di Aceh yang kala itu masih dilanda konflik. “Insya Allah tidak apa-apa kok. Saya kan bertugas untuk melayani masyarakat. Lagi pula, saya kan Muslimah,” ucapnya meyakinkan kami. Berangkatlah dia ke Aceh dan bertugas di sana selama sekitar dua tahun, meski kondisi kedua kakinya tetap tidak pulih seperti sedia kala. Usai bertugas di Aceh, dia pun ditempatkan sebagai staf pengajar di almamaternya.

Mengikuti jejak langkah seorang abangnya (almarhum) yang mengambil program s-2 di Enschede, Belanda, dia kemudian memperdalam ilmunya di Universitas Utrecht, Belanda. Selain itu, dia juga mengambil program s-2 di bidang akupunktur.  Usai mendalami ilmu di negeri orang, dia kemudian kembali ke almamaternya untuk mengabdikan dirinya bagi masyarakat.

Sebagai seorang dokter spesialis dan staf pengajar, dia selalu berusaha memberikan ilmu dan pengalaman terbaik yang dia miliki. Tanpa banyak kata. Namun, kondisi kedua kakinya tetap tak kunjung pulih dan akhirnya berakhir dengan terjadinya kejadian yang membuat kakinya mengalami fraktur.  “Mbak, semua pekerjaan alhamdulillah dapat saya laksanakan dengan baik dan tidak membuat saya risau. Yang membuat risau adalah kaki saya, kalau saya tiba-tiba mengalami seperti yang saya alami saat ini,” ucapnya pelan kepada istri ketika kami menjenguknya di Instalasi Gawat Darurat RSHS Jumat malam yang lalu.


Alhamdulillah, setelah dioperasi kemarin siang, kini dia sedang memasuki masa pemulihan. “Semoga Allah Swt. memulihkan kembali dari sakit  yang kau derita, Lel, dan kembali berkarya untuk masyarakat tanpa banyak kata seperti sebelumnya, amin,” gumam pelan bibir saya ketika berpamitan kepadanya tadi malam.