Thursday, August 17, 2017



MENGABDI UNTUK NEGERI TERCINTA

Kiranya Allah Swt. melancarkan operasi yang akan kau jalani, Lel...”

Demikian gumam pelan bibir saya kemarin sore, di salah satu ruang rawat inap Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, ketika melihat adik bungsu saya dibawa menuju ruang operasi (OK/operation kamer). Subuh kemarin, dia terpeleset ketika akan melaksanakan shalat Shubuh, sehingga tulang paha kirinya patah. Sejak kecil dia terkenal polio, sehingga kaki kirinya tersebut  selalu menjadi masalah baginya. Dua tahun lalu, dia mengalami kejadian yang mirip: ketika menuruni koridor di rumah sakit yang menjadi tempat mengabdi, dia terpeleset. Akibatnya, tulang pahanya patah dan harus dioperasi. Kini, kejadian serupa berulang.

Baru sekitar tengah malam, selepas menjalani operasi, dia dibawa ke ruang rehabilitasi. Entah kenapa, melihat dia jauh di ruang tersebut dalam keadaan belum sadar, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” dan tak terasa air mata saya menetes pelan, teringat perjalanan hidup adik bungsu saya ini:

Ketika berusia sekitar satu tahun, ketika dia masih berada di bawah asuhan orang tua kami di Blora, Jawa Tengah, dia terkena polio. Akibatnya, kedua kakinya tidak dapat digerakkan. Dengan penuh sabar, Ibu kami merawat dia. Ketika menempuh pendidikan di taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan sekolah menengah, ketika berangkat ke dan pulang dari sekolah, dia selalu diantar dan dijemput dengan naik becak. Alhamdulillah, kondisi kaki kirinya mulai membaik. Meski demikian, kerap dia tiba-tiba terjatuh, karena kaki kirinya tidak kuat menyangga tubuhnya.

Usai  merampungkan sekolah menengah atas, dia diterima di Fakultas Kedokteran, UNPAD, Bandung. Selama menempuh pendidikan di fakultas tersebut, kakinya masih tetap kerap “menggodanya”: dia tiba-tiba terjatuh dengan sendirinya. Meski demikian, dia tetap tak pernah patah arang. Akhirnya, brevet dokter dia raih.

“Mbak-mbak dan mas-mas,” ucapnya suatu hari seusai dia menjadi dokter kepada kami: kakak-kakaknya, “izinkan saya mengabdi untuk negeri ini, dengan meninggalkan Bandung tercinta. Saya ditempatkan di sebuah puskesmas di tengah hutan, di Gumawang, Baturaja, Sumatera Selatan. Izinkan saya mengikuti jejak langkah Mbak Ummie: mengabdi untuk negeri tercinta ini.”
“Sudah kau pertimbangkan matang penempatan itu? Apakah kondisi kedua kakimu memungkinkan kau melaksanakan tugas di tempat yang berat itu?”
“Sudah. Dengan doa mbak-mbak dan mas-mas semua, insya Allah tugas itu dapat saya laksanakan dengan baik.”

Karena tekadnya demikian kuat, meski dengan kondisi kedua kakinya yang kurang sehat, dia pun berangkat melaksanakan tugas ke sebuah puskesmas yang lokasinya berat. Selama tiga tahun, tugas itu dia laksanakan dengan sepenuh hati meski memiliki dua kaki yang kurang sehat dan tetap kerap terjatuh dengan sendirinya. Karena itu, dia akhirnya menjadi seorang dokter teladan seperti kakak iparnya. Karena itu, dia kemudian mendapatkan kesempatan mengikuti program pendidikan dokter spesialis di Departemen Neurologi, Fak. Kedokteran UNPAD/RSHS.

Meski dengan dua kaki yang kurang sehat, program pendidikan dokter spesialis tersebut dia rampungkan tepat waktu. Kemudian, seusai meraih brevet dokter spesialis saraf, dia pun berpamitan kepada kami (kakak-kakaknya), “Mbak-mbak dan mas-mas, izinkan saya kembali bertugas. Insya Allah saya dapat menjaga diri kok.”
“Ke mana?” tanya kami.
“Ke Lhokseumawe, Aceh.”
“Lel, kami bukannya tidak mengizinkan kau melaksanakan tugas. Tapi, kondisi kedua kakimu itulah yang membuat kami khawatir...”
“Insya Allah problem itu dapat saya atasi kok,” jawabnya. Dia tetap “keukeuh” dengan pilihannya.

Akhirnya, dia pun berangkat ke tempat tugas yang kala itu masih dalam kondisi kurang aman. Semangatnya yang begitu membara untuk mengabdi untuk negeri tercinta mengalahkan kekurangan fisik yang dia punya. Dia pun berangkat ke tempat tugas dengan penuh semangat. Dan, pulang dari tugas di Aceh, dia pun diangkat sebagai staf pengajar di almamaternya. Dan, meski memiliki fisik yang kurang sehat, dia tetap seperti sebelumnya: mengabdi dengan sepenuh hati untuk mendampingi “adik-adiknya” untuk menjadi para dokter spesialis. Selain mendampingi “adik-adiknya”, dia juga tak pernah lelah belajar dan menimba ilmu. Sehingga, selain pernah menimba ilmu di Utrecht, Belanda, dia kemudian juga meraih brevet sebagai dokter spesialis di bidang akupunktur.

“Kiranya Allah Swt. segera memulihkan kesehatanmu, Lel. Dan, semoga kau tetap diberikan kesempatan oleh-Nya untuk mengabdi untuk negeri  tercinta ini, amin.”

Dirgahayu Republik Indonesia Tercinta!