Tuesday, July 31, 2012


USTADZ, MENGAPA SHALAT SEBAGAI TIANG AGAMA?

Ustadz,” tanya seorang jamaah pengajian Sabtu pagi di rumah, minggu lalu, “mengapa shalat yang dikatakan sebagai tiang Agama (Islam). Kok bukan puasa, zakat, atau ibadah haji?”

Entah kenapa, menerima pertanyaan yang memikat tersebut, saya teringat jawaban seorang ulama terkemuka Mesir atas pertanyaan yang sama. Ketika masih menimba ilmu di Mesir, saya suka mengikuti ceramah yang disampaikan ulama yang satu itu, setiap kali sang ulama memberikan ceramah di tivi. Wajahnya tampak memendarkan kedamaian dan kebahagiaan. Gaya ceramahnya sangat menawan: popular, berisi, dan mencerahkan. Tidak aneh bila rating ceramah yang disampaikan ulama yang satu itu meraih nilai “jempol”. Apalagi ketika ulama tersebut sedang memberikan ceramah tentang Tafsir Al-Quran. Indah sekali ceramah-ceramahnya.

Siapakah ulama tersebut?

Ulama yang setiap kali tampil senantiasa mengenakan jubah berwarna putih itu bernama lengkap Syeikh ‘Abdurrahim Muhammad Mutawalli Al-Sya‘rawi. Ulama yang satu ini lahir di Daqadus,  Daqahliyyah, pada  Rabu,  19 Rabi‘ Al-Akhir 1329 H/19 April  1911  M,  dalam lingkungan yang  saleh  dan  berkecukupan. Pendidikan   pertamanya  ia  lalui  di  kuttâb,   suatu   sistem pendidikan  tradisional untuk menghapal Al-Quran yang  dilakukan di  masjid.  Pada  1349  H/1930  M  ia  melanjutkan   pendidikan menengahnya di Zaqaziq, di sebuah sekolah yang berafiliasi dengan Al-Azhar.  Enam tahun kemudian, selepas merampungkan  pendidikan menengah di Zaqaziq, ia menapakkan kakinya di Kairo.

Di  kota yang telah berusia lebih dari seribu tahun ini  pengagum Ahmad Syauqi, penyair terkemuka di Mesir, ini memasuki  Fakultas Bahasa Arab, Universitas Al-Azhar. Selama menjadi mahasiswa,  ia dikenal  sebagai  aktivis.  Ia  pernah  memimpin  gerakan  protes terhadap rektornya yang dianggap bertanggungjawab atas  rendahnya gaji  para alumni yang menjadi pengajar di Al-Azhar. Sang  rektor akhirnya  dicopot dan gaji para pengajar pun naik.  Pendidikannya di  universitas Islam tertua di Dunia Islam  ini  dirampungkannya pada 1360 H/1941 M. Di antara para guru besar Al-Azhar yang besar pengaruhnya  selama ia meniti pendidikan ini ialah  Syaikh  Ahmad Yusuf  Najati, Syaikh Ahmad ‘Imarah, Syaikh Ibrahim Hamrusy,  dan Syaikh Muhammad Musthafa Al-Maraghi.

Usai  merampungkan  pendidikan tinggi pada 1360  H/1941  M,  Al-Sya‘rawi  muda  lantas  meniti karier sebagai  guru  di  Thantha, Zaqaziq,  dan Iskandariah. Lantas, pada awal 1950-an, ulama  yang sangat  memikat  ketika berceramah ini bermukim  di  Arab  Saudi selama  beberapa  tahun.  Di  negeri  ini  ia  giat  menulis  dan berceramah, di samping menjadi staf pengajar di Universitas  Raja ‘Abdul ‘Aziz. Baru pada 1380 H/1960 M ia kembali  ke  negerinya untuk  menduduki  beberapa jabatan di Kementerian Wakaf  dan  Al-Azhar. Namun, pada 1386 H/1966 ia kembali meninggalkan negeri dan menapakkan kakinya ke Aljazair. Di negeri terakhir ini ia  lebih banyak mencurahkan waktunya di bidang dakwah Islamiah.

Pada awal tahun 1970-an ulama yang terkenal dermawan ini  menetap kembali  di Arab Saudi selama beberapa tahun dan bekerja  sebagai guru   besar  di  lingkungan  Universitas  Raja  ‘Abdul ‘Aziz. Kemudian,  tepatnya  pada 1396 H/1976 M,  Presiden  Anwar  Sadat memintanya  balik  ke negerinya, untuk menjabat  sebagai  Menteri Wakaf,  di samping menjadi penceramah. Karena keluasan  ilmu  dan wawasan  yang ia kemukakan dalam tulisan dan ceramahnya,  namanya segera berpendar. Tak aneh bila karena ilmu dan wawasannya  yang luas  itu ia kemudian diangkat sebagai ketua panitia konsultatif Bank Sentral Mesir.

Dalam  perjalanan  hidup selanjutnya ulama  yang  juga  membangun Kompleks  Medis  Al-Sya‘rawi  ini  ikut  berperan  aktif  dalam berbagai kegiatan keislaman, termasuk ikut mendirikan sebuah bank Islam di Austria dan memelopori berdirinya bank Islam di  tanah airnya,  Mesir. Dan, ulama yang ikut menghadiri Konferensi  Asia-Afrika  di Bandung pada 1955 ini berpulang kepada  Sang  Pencipta pada  Rabu, 22 Shafar 1419 H/17 Juni 1998 M, dalam  usia  87 tahun, dengan meninggalkan sederet karya tulis. Karya-karyanya tersebut, antara lain, adalah Fî Al-Hukm wa Al-Siyâsah, Al-Tharîq ilâ Allâh, Hâdzâ Hua Al-Islâm, Al-Islâm wa Harakât Al-Hayâh, dan Mu‘jizât Al-Qur’ân.

Nah, bagaimanakah jawaban sang ulama atas pertanyaan di atas?

Menjawab pertanyaan yang demikian, Syeikh ‘Abdurrahim Muhammad Mutawalli Al-Sya‘rawi, memberikan jawaban yang menawan, “Shalat menjadi tiang agama karena shalat merupakan rukun yang tidak dapat digugurkan selamanya. Ini karena shalat memadukan semua rukun itu. Karena itu, ketika seseorang melaksanakan shalat, sejatinya ia juga mengucapkan dua kalimat syahadah, yaitu tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah. Juga, pada saat melaksanakan shalat, ia berpuasa dalam pengertian ia menahan makan dan minum, termasuk menahan berbicara. Demikian pula shalat lebih luas cakupannya dalam menahan diri daripada puasa. Ketika seseorang Muslim melaksanakan shalat, sejatinya ia juga menahan diri dari banyak hal yang kadang masih dapat dilakukan seseorang yang sedang berpuasa. Misalnya, dalam puasa ia tidak dilarang bergerak ke mana pun ia melangkah kedua kakinya. Sedangkan dalam shalat, ia dilarang bergerak selain gerakan-gerakan yang diwajibkan ketika ia sedang menghadap Allah Swt. Dengan kata lain, shalat mempunyai cakupan menahan diri yang lebih luas daripada ketika seorang mukmin menahan diri karena berpuasa.

Zakat, seperti diketahui, adalah mengeluarkan sebagian harta. Harta itu diperoleh manusia melalui gerakan dan kerja. Gerakan dan kerja tersebut menyita sebagian waktu. Ketika seseorang sedang melaksanakan shalat, sejatinya ia juga melaksanakan zakat, karena ia telah meluangkan waktunya sebagai wadah gerakan dan kerja. Malah, dalam shalat terkandung makna zakat yang lebih luas. Melaksanakan ibadah haji ke Baitullah juga terkandung dalam shalat. Ini karena setiap kali seseorang Muslim melaksanakan shalat, ia menghadap ke arah Baitullah sebagai kiblat.

Oleh karena itu, shalat berbeda dengan rukun-rukun Islam lainnya. Mengapa? Lembaran sejarah menorehkan, shalat tidak diwajibkan melalui wahyu, tapi diwajibkan langsung antara Allah Swt. dan Muhammad Saw. Karena kedudukan yang tinggi ini, Allah Swt. memperingatkan kita supaya kita melaksanakan shalat di mana pun kita berada. Malah, Allah Swt. juga mewajibkan shalat khusus yang disebut shalat harb (shalat dalam keadaan berperang) dan shalat al-khauf (shalat ketika dalam keadaan ketakutan). Sehingga, tiada seorang pun yang akan menyatakan bahwa perang menghalangi seseorang untuk melaksanakan shalat. Malah, dalam perang setiap Muslim lebih diutamakan untuk tetap konsisten dalam melakanakan ajaran Tuhan.”

Indah sekali jawaban itu!

Monday, July 30, 2012


INDAHNYA NAMA

Assalamu’alaikum,” demikian ucap seorang perempuan di telpon genggam saya sekitar satu jam yang lalu. “Kulo saking Jember, Ustad. Kulo bade nyuwun asmo kangge anak jaler kulo, nomer kalih. Nyuwun sewu, boso Indonesia kulo mboten lancar. Saya dari Jember. Saya hendak meminta nama untuk anak lelaki saya, nomer dua. Maaf, bahasa Indonesia saya tidak lancar.”
“Wa’alaikumussalam. Ibu pirso nomer telpon kulo saking sinten? Ibu tahu nomer telpon saya dari siapa?”
Saking Ustad Bunyamin, Semarang. Kulo dipun arahaken Ustad Bunyamin supados nyuwun asmo anak kulo dateng njenengan. Dari Ustad Bunyamin, Semarang. Saya diarahkan Ustad Bunyamin supaya meminta nama anak saya kepada Anda.”

Mendengar jawaban demikian, beberapa lama saya tidak kuasa berucap. Kemudian, gumam saya. “Ya Allah, nama anak doa. Berilah ide kepada hamba-Mu ini untuk dapat memberikan nama anak itu dan kiranya nama itu senantiasa menjadi doa ibunda dan ayahandanya, sehingga anak itu memiliki akhlak yang selaras dengan nama itu.”

Selepas meminta ibu tersebut menanti, saya akhirnya memberikan kepadanya tiga nama pilihan. Alhamdulillah akhirnya salah satu nama mereka pilih. Dan, kejadian itu sendiri segera menyadarkan saya: meski saya hanya dikaruniai Allah Swt. dua putri, namun hingga kini Allah Swt. memberikan kesempatan kepada saya untuk memberi nama sekitar 40 anak. Mereka bertebaran di berbagai kota di Indonesia. Alhamdulillah.

Pentingkah nama yang baik?

Pertanyaan tersebut mengingatkan saya pada peristiwa berikut: Madinah, Dzulhijjah 8 H. Betapa gembira hati Rasulullah Saw. pada suatu malam di bulan  itu. Allah Swt. memberikan karunia kepada beliau seorang putra. Sebelum kelahiran sang bayi, beliau memanggil seorang bidan, Salma, istri Abu Rafi‘. Kemudian, beliau menyendiri ke sudut, shalat, dan berdoa. Lahirlah bayi itu dengan selamat. Beliau pun mengucapkan terima kasih kepada sang bidan, dan memuliakannya dengan pemberian sedemikian rupa. Setelah itu, beliau segera menemui Mariyah Al-Qibthiyah, sang istri tercinta yang berasal dari Mesir, untuk mengucapkan selamat kepadanya. Selamat atas kelahiran putranya yang melepaskan dirinya dari status budak. Tak lama kemudian, beliau memangku sang bayi, membawanya ke hadapannya, sebagai penebar kegembiraan dan kasih sayang.

Rasulullah Saw. pun memberi nama sang putra serupa dengan nama nenek moyang beliau, Nabi Ibrahim a.s. Beberapa hari setelah itu, beliau menyembelih  dua  ekor  domba,  mencukur  rambut  si  bayi,   dan bersedekah perak yang setara dengan berat rambutnya kepada kaum fakir miskin Madinah. Dan, ibu-ibu Anshar berebut untuk menyusuinya. Mereka ingin agar Mariyah dapat tenang meladeni beliau, karena mereka mengerti bahwa beliau sangat menyenanginya. Ibrahim akhirnya disusui seorang istri tukang pandai besi bernama Abu Saif yang bermukim di perbukitan Madinah.

Putra tercinta Rasulullah Saw yang satu itu, seperti diketahui, merupakan putra  beliau satu-satunya yang lahir selepas beliau diangkat sebagai utusan Allah. Dapat dibayangkan, betapa gembira beliau menerima karunia demikian. Apalagi kala itu usia beliau telah memasuki kepala enam. Tentu, hal itu merupakan suatu kebahagiaan tersendiri. Tak aneh, dengan kelahiran sang putra tersebut, perhatian beliau begitu besar terhadap sang putra dan juga ibunya. Sehingga, tak aneh pula, jika hal tersebut membangkitkan kecemburuan istri-istri lain beliau terhadap Mariyah Al-Qibthiyah.

Di sisi lain, jika proses pemberian nama sang putra tersebut dikaji dan diteliti dengan penuh perhatian, akan tampak bahwa Rasulullah Saw. begitu cermat dalam memilih nama. Sebab, Ibrahim termasuk nama yang indah, istimewa, dan langka pada saat itu. Nama ini belum pernah disandang oleh sahabat-sahabat beliau, juga oleh masyarakat yang berkembang di Semenanjung Arab kala itu. Jadi, pemilihan nama Ibrahim jelas bukan asal-asalan, dan malah dapat dikatakan merupakan pemilihan yang sangat tepat dan luar biasa.

Seperti diketahui, Ibrahim diambil dari nama nabi seorang kekasih Allah yang disebut 40  kali  dalam Al-Quran  dan digambarkan sebagai orang yang  menyerahkan  diri sepenuhnya  kepada Allah. Sehingga, perintah apa pun  ia  lakukan meski  harus  bertentangan dengan pikiran  dan  perasaannya. Putra  Adzar yang hidup  sekitar 2.100 sebelum Masehi yang silam ini lahir  di  Ur, di kawasan Chaldea. Setelah menerima  wahyu  dari Allah, orang pertama yang ia seru ialah ayahnya sendiri, seorang pemahat.  Tetapi,  sang ayah menolak  seruannya,  malah  kemudian mengusirnya.  Meski  diusir  sang  ayah,  ia  tetap  menyampaikan seruannya di kalangan bangsanya. Akibatnya, ia menerima  berbagai ancaman  dari  mereka. Ia lalu meninggalkan  negerinya,  disertai istri pertamanya: Sarah, menuju Palestina lewat Damaskus. 

Ketika  nabi  yang  mendapat gelar “Khalil Allah”  ini  tiba  di Palestina,  negeri  tersebut sedang tertimpa  paceklik.  Dia  lalu melanjutkan  perjalanannya ke Mesir. Di negeri terakhir  ini,  dia tinggal  tidak  lama, kemudian ia kembali lagi ke  Palestina.  Dia baru  mempunyai  putra pertama: Isma‘il,  lewat  istri  keduanya Hajar,  ketika berusia 68 tahun. Sedang putra  keduanya,  Ishaq, lahir  empat tahun kemudian. Menurut sebuah sumber, dia  berpulang pada  usia 175 tahun dan dimakamkan di Hebron  (kini  Al-Khalil), sebuah kota di Palestina, di Gua Machepelah. Hingga kini gua yang dapat  dikatakan  sebagai makam tertua di dunia ini  masih  tegak dengan gagahnya.

Ibrahim  a.s.  sendiri  datang menyerukan  bahwa  Allah  yang disembahnya adalah Tuhan seru sekalian alam, bukan Tuhan satu ras dan  bangsa,  juga bukan Tuhan yang terbatas untuk  satu  periode tertentu. Di dalam Al-Quran dikemukakan, para nabi  sebelum Ibrahim a.s. mengajarkan kaumnya agar menyembah Allah “Tuhanmu”. Tetapi  setelah  itu,  Ibrahim a.s. mengajarkan  bahwa  Tuhan  yang disembahnya  adalah Tuhan seru sekalian alam. Dengan  kata  lain, Tuhan  yang menyertai manusia saat tidur atau  sadarnya,  sebelum dan  saat  keberadaannya di dunia, dan  setelah  kematiannya. Uniknya, dia menemukan   dan  membina  keyakinannya  itu  melalui   pengalaman pribadi. Setelah mengamati bintang, bulan, dan matahari, akhirnya dia berkesimpulan, yang wajar disembah bukanlah patung, tidak juga benda-benda, tapi Tuhan seru sekalian alam.

Kecermatan Rasulullah Saw. dalam memilih dan memberi nama putra-putri beliau memang menarik untuk dikaji dan diteliti. Seperti diketahui, nama putra-putri beliau mempunyai arti yang sangat bagus. Tentu, pemberian nama-nama yang sangat bagus tersebut tidak mungkin asal-asalan, namun merupakan “buah” kecermatan beliau dalam memilih dan memberikan nama. Kecermatan beliau yang demikian itu sebenarnya tidak hanya terjadi ketika beliau memberi nama putra-putri beliau saja. Beliau juga selalu mencermati nama para sahabat beliau. Malah, kalau dirasa perlu, beliau meminta sahabat-sahabat beliau untuk mengganti dan mengubah nama mereka yang kurang islami. Misalnya saja, beliau mengganti nama kecil Abu Bakar Al-Shiddiq, yaitu ‘Abdul Ka‘bah yang berarti “hamba Ka‘bah”, menjadi ‘Abdullah yang berarti “hamba Allah”. Demikian halnya beliau mengganti nama kecil Abu Hurairah, yaitu ‘Abdusy-Syams yang berarti “hamba matahari”, menjadi ‘Abdurrahman yang berarti “hamba Yang Maha Pengasih”, dan mengganti nama putri ‘Umar bin Al-Khaththab yang bernama ‘Ashiyah yang berarti “perempuan yang berbuat maksiat” menjadi bernama Jamilah yang berarti “perempuan nan cantik”.

Dari sinilah kita dapat memahami mengapa Rasulullah Saw. bersabda, “Sungguh, pada hari kiamat kelak kalian akan diseru dengan nama-nama kalian dan nama-nama ayah kalian. Karena itu, perbaguslah nama kalian,” (HR Abu Dawud dan Ibn Hibban dari Abu Al-Darda’). Beliau juga berpesan, “muliakanlah anak-anak kalian dan perbaguslah nama mereka!” (dituturkan oleh Ibn Majah) dan “hendaklah kalian menyandang nama dengan nama para nabi!” (dituturkan oleh Abu Dawud dari Abu Wahab Al-Jusyami).

Ya, muliakanlah putra-putri Anda, dengan memberikan nama yang indah. Silakan!

Friday, July 27, 2012


CEMBURU SEORANG ISTRI DAN CEMBURU TUHAN

“Al-Bashri,” ucap seorang ulama terkemuka pada dirinya sendiri, “jangan kau biarkan dirimu jadi pemalas. Malam ini, jalan-jalanlah tanpa diketahui orang lain. Dengarkanlah keluhan orang-orang lain, sebagai pengingat dirimu di hadapan Tuhanmu!”

Ulama terkemuka yang satu itu tidak lain adalah Al-Hasan Al-Bashri. Ulama generasi tabi‘ûn  dan  sufi terkemuka  pada abad 2 H/8 M ini lahir di Madinah pada 21  H/642 M,  pada masa pemerintahan ‘Umar bin Al-Khaththab,  dengan  nama lengkap  Abu  Sa‘id Al-Hasan bin Abu Al-Hasan  Yassar  Al-Bashri. Namun,  kemudian keluarganya pindah ke Bashrah, selepas  terjadi Perang  Shiffin pada 35 H/656 M, sehingga lebih terkenal  dengan sebutan  “Al-Bashri”  (yang asal Bashrah). Ibundanya  adalah seorang  hamba sahaya  Ummu Salmah, istri Nabi Muhammad Saw.,  bernama  Khairah binti  Sa‘id  bin  Zaid bin ‘Amr. Sedangkan  ayahandanya  yang  berdarah Persia, Firuz yang kemudian berganti nama Yassar, memeluk Islam ketika kaum Muslim menaklukkan Irak dan mantan budak Zaid bin Tsabit  Al-Anshari. Sebelum memeluk Islam, menurut  Al-Thabari, sang  ayahanda beragama Nasrani. Ketika masih bayi, ia beberapa  kali disusui istri Nabi Saw. itu.

Al-Hasan  Al-Bashri tumbuh dewasa di Kota Nabi  dalam  lingkungan yang  saleh  dan  mendalam pengetahuan agamanya.  Tak  aneh  bila selama  bermukim di kota suci  itu, ia bertemu tidak kurang  dari 70 sahabat Nabi Muhammad Saw. Di samping terkenal berpengetahuan agama  yang  mendalam, ia juga terkenal hidup  jauh  dari  pesona duniawi  dan  rendah  hati. Di  antara  ucapannya  yang  terkenal adalah, “Dunia ini bagaikan seorang janda yang telah bongkok  dan telah   lama   ditinggal  mati  suaminya.”  Juga,   ia   berkata, “Barang siapa mencintai  seseorang  yang  saleh, ia bagaikan mencintai Allah.”

Sikap hidup guru pendiri Aliran Mu‘tazilah, Washil bin  ‘Atha’, yang  demikian  itu dipicu perasaan takutnya  kepada  Allah  SWT, perasaan  sedih,  dan  renungan untuk  meraih  ridha  Allah  dan surga-Nya  di  akhirat. Mengenai hal ini  Al-Sya‘rani,  dalam karyanya  Al-Thabaqât, berucap, “Dia penuh diliputi  rasa  takut. Sehingga, neraka seakan hanya diciptakan untuk dirinya seorang.”

Tak  aneh  bila  karena kehidupan Al-Hasan  Al-Bashri  yang  amat saleh,  ia  pernah  melakukan oposisi  keagamaan  terhadap  rezim Dinasti  Umawiyyah, lewat sepucuk surat yang ia  kirimkan  kepada ‘Abdul Malik bin Marwan, penguasa ke-5 dinasti tersebut.  Dalam suratnya  itu,  ia menuntut agar rakyat  diberi  kebebasan  untuk melakukan apa yang mereka anggap baik, sehingga dengan begitu ada tempat  bagi  tanggung  jawab moral.  Suratnya  tersebut  bernada menggugat praktek-praktek zalim penguasa Dinasti Umawiyyah. Namun, ia  dibiarkan penguasa, karena wibawa kepribadiannya  yang  saleh dan pengaruhnya yang amat besar kepada masyarakat luas. Pada 42 H/662 M tokoh yang terkenal petah dalam berbicara,  tegas dalam  berpendapat, dan pemberani dalam bersikap ini  ikut  serta dalam  pasukan  ‘Abdullah bin ‘Amir,  Gubernur  Bashrah,  dalam berbagai ekspedisi militer sampai ke Kabul. Dan, ia baru  kembali ke  Bashrah  pada 53 H/673 M dan menetap di kota  itu  sampai  ia berpulang.

Nah, ketika malam tiba, ulama yang berpulang pada Kamis, 1 Rajab  110  H/10 Oktober 728 M itu pun jalan-jalan di seputar Kota Bashrah. Lantas, ketika kedua kakinya telah terasa sangat berat untuk diayunkan, ia pun duduk di bawah balkon sebuah rumah berlantai dua. Ketika ia sedang duduk di situ, tiba-tiba ia mendengar seorang istri sedang berkata kepada suaminya di balkon tersebut, “Suamiku! Sudah 50 tahun kita tinggal dalam satu rumah. Baik apakah dalam suka maupun duka, aku selalu bersabar. Selama itu pula, aku tidak pernah bertindak yang tidak benar. Aku pun tidak pernah mengeluhkan kepada orang tentang dirimu kepada siapa pun. Karena itu, aku tak akan pernah memaafkan dirimu karena satu hal: jika kau mencintai perempuan lain selain diriku. Ini karena aku telah melakukan segalanya untuk dirimu. Karena itu pula, perhatikankanlah diriku dan jangan sekali-kali memperhatikan perempuan lain!”

Mendengar ucapan yang demikian, Al-Hasan Al-Bashri segera berdiri dan kembali ke rumahnya. Begitu sampai di dalam rumah, ia pun langsung bersujud, menangis, dan berucap, “Ya Allah, ampunilah aku. Cemburu perempuan itu mengingatkan aku pada titah-Mu dan cemburu-Mu, ‘Aku akan mengampuni semua dosa kalian. Tetapi, jika dalam pikiran kalian ada sedikit kecenderungan pada yang selain Aku dan kalian menyekutukan Aku dengan yang selain Aku, Aku tidak akan mengampuni kalian.’ Ya Allah, betapa aku masih acap cenderung pada yang selain Engkau dan menyekutukan Engkau dengan yang selain engkau: dengan kedudukanku, rasa banggaku sebagai ulama, ilmuku, dan lain-lain sebagainya. Ampunilah aku, wahai Tuhan Yang Sangat Pemaaf….”


Wednesday, July 25, 2012


PESAN INDAH SEORANG TUAN GURU

“Tuan Guru,” ucap seseorang kepada seorang ulama terkemuka suatu saat, “berilah kami pencerahan kalbu tentang kekayaan duniawi. Sehingga, lewat pencerahan itu, kami dapat memahami makna kehadiran kami di dunia ini.”

Tuan Guru itu tidak lain adalah Ibn ‘Arabi, seorang  ulama terkemuka  Andalusia.  Bernama  lengkap  Muhyiddin  Abu  ‘Abdullah Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Abdullah Al-‘Arabi Al-Hatimi  Al-Tha’i  Al-Andalusi, ia lebih terkenal  dengan  sebutan Muhyiddin ibn ‘Arabi atau Ibn ‘Arabi (atau Ibn Al-‘Arabi) saja. Ia  lahir  pada  Senin,  17 Ramadhan 560 H/28  Juli  1165  M  di Murcia, Andalusia Tenggara, dan berasal dari keluarga bangsawan, hartawan, dan ilmuwan. Ketika  ia  berumur  8  tahun,  keluarganya  pindah   ke Sevilla.  Di kota ini, ia mulai menuntut ilmu dan  menelaah  Al-Quran,  hadis,  dan  fikih di  bawah  asuhan  seorang  faqîh terkenal  kota  itu, Abu Bakar bin Khalaf, yang  mengikuti  Mazhab Zhahiri.  Lantas, ketika berumur 21 tahun, ia  mulai  memasuki  dan mengikuti perjalanan para sufi. Ia pun rajin menelaah karya-karya tentang  tasawuf.  Selain  itu, ia  juga  mulai  terlibat  dalam berbagai  pertemuan dan dialog dengan para tokoh sufi.

Pada  590  H/1194  M, ketika  pikiran  Ibn  Arabi  telah mengkristal, ia berkelana mengelilingi Andalusia. Selepas  puas menikmati kelananya ke berbagai kota di  Andalusia, ia ingin menyeberangi laut dan menuju daratan lain. Ia pun  pergi ke  Bejayah,  Aljazair. Dari  kota  ini  ia  kemudian meneruskan kelananya ke Tunis. Selepas  beberapa  lama  berada di  Tunis,  ia kemudian kembali  lagi  ke  Andalusia. Pada tahun  berikutnya  ia  kembali melintasi Selat Gibraltar, menuju Fez. Di kota terakhir tersebut ia  tinggal selama beberapa tahun. Pada 595 H/1198 M  ia  kembali lagi  ke Andalusia, mengunjungi Granada dan Murcia.  Selepas  dua tahun  berada  di negeri yang indah tempat kelahirannya  itu,  ia pergi ke Marrakesy. Bersama-sama seorang sufi, Abu Al-‘Abbas Al-Sibti.  Dari  kota ini ia kemudian menuju Bejayah  kembali.  Dari sana  ia  kemudian  berkelana ke Tripoli, Tunis, Mesir, dan kemudian menuju Makkah.

Di  kota  ini  nama Ibn ‘Arabi mulai mencuat.  Para  tokoh  dan ilmuwan pun acap menemuinya. Di antara mereka adalah Abu Syuja‘  Al-Imam Al-Muwakkil.  Tokoh  terakhir ini mempunyai  seorang  gadis  yang cantik dan jenius, bernama Nizham. Melihat gadis yang cantik  dan pintar itu, kalbu Ibn Arabi bergetar. Muncullah inspirasi untuk menuangkan  getaran  kalbunya  dalam  sebuah  karya.  Lahirlah karyanya yang berjudul Turjumân Al-Asywâq. Menurut pengakuan Ibn ‘Arabi,  dalam mukadimah karyanya itu, secara lahiriah karya  itu merupakan  untaian puisi cintanya kepada gadis yang rupawan  itu. Namun,  sejatinya, karya itu merupakan ungkapan cintanya  kepada Sang Pencipta.

Lantas, pada 600 H/1203, M Ibn ‘Arabi memulai kembali kelananya.  Pertama-tama  ia menuju Baghdad, kemudian ke Mosul. Dari  kota  terakhir ini  ia  menuju  Mesir.  Dari  sana  ia  menuju  Makkah  kembali. Selanjutnya  ia berkelana ke Baghdad lagi. Selepas beberapa  lama berada di kota itu, ia menuju Suriah dan menetap di Damaskus sampai berpulang pada Rabu, 28 Rabi‘ Al-Akhir  638 H/14  November 1240 M.  

“Saudaraku,” ucap sang Tuan Guru, menjawab pertanyaan yang menarik itu, “sejatinya dunia ini adalah tempat persiapan di mana seseorang diberi banyak pelajaran dan berhasil dalam mengatasi banyak cobaan. Pilihlah yang kurang daripada yang lebih banyak di dalamnya. Puaslah dengan yang Anda miliki, meski itu lebih sedikit daripada kepunyaan orang lain. Senanglah dengan memiliki yang sedikit.”

Usai berucap demikian, Tuan Guru pun berhenti mengucap. Lantas, ia berpesan, “Saudaraku. Sejatinya dunia ini tidak buruk. Sebaliknya, ia adalah ladang kehidupan mendatang. Apa yang Anda semai di sini akan Anda tuai di sana. Dunia ini adalah jalan menuju kebahagiaan abadi. Karena itu, dunia patut dinikmati dan dipuji. Yang buruk adalah apa yang Anda lakukan terhadap dunia ketika Anda buta terhadap kebenaran dan benar-benar tenggelam oleh keinginan, nafsu, dan ambisi Anda. Guru kita, Nabi Saw., yang dalam dirinya terdapat kebijaksanaan sebening kristal, pernah ditanya, ‘Apakah yang duniawi itu?’ Jawab beliau, ‘Segala sesuatu yang membuat Anda lalai dan menyebabkan Anda lupa terhadap Tuhan Anda.’ Karena itu, pada dasarnya kekayaan duniawi tidak buruk. Tetapi, yang buruk adalah hanya ketika Anda membiarkan kekayaan duniawi membuat Anda lupa, tidak taat, dan tidak sadar akan Tuhan.”

Saturday, July 21, 2012


SHALAT SHUBUH DUA RAKAAT, KENAPA?

Tadi, usai melaksanakan shalat Shubuh, saya pun berdiri di balkon di rumah saya, di Baleendah, Kabupaten Bandung. Alam sekitar masih kelam, tapi sangat indah. Kadang, di sana sini terdengar suara ayam-ayam yang mengajak kita bertashbih: mengagungkan Allah. Udara dingin membuat suasana terasa sangat indah. Dalam suasana dan keadaan demikian, entah kenapa dalam benak timbul pertanyaan, “Mengapa shalat Shubuh terdiri dari dua rakaat?”

Duh, ternyata, pertanyaan yang demikian itu lama tidak mau juga berlalu dari benak. Dari pada pening kepala, saya pun segera berselancar di internet. Alhamdulillah, akhirnya saya menemukan jawaban.

Menjawab pertanyaan demikian, seorang ulama terkemuka asal Patani, Thailand, Syaikh Daud bin Syaikh Wan  Abdullah bin  Syaikh Wan Idris Al-Jawi Al-Fathani, dalam sebuah karyanya Munyah Al-Mushallî, mengemukakan jawaban yang menarik. Menurut ulama yang lahir di kampung  Parik Kerisek,  Patani,  Thailand pada Ahad, 1 Muharram  1183  H/7 Mei 1769 M  tersebut, setiap shalat dari lima shalat lima waktu memiliki kaitan yang erat dengan shalat yang pernah dilakukan seorang Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. Nah, orang yang pertama-tama melaksanakan shalat Shubuh adalah Nabi Adam a.s. Sang Nabi melaksanakan shalat tersebut selepas “diusir” dari surga, karena suatu kesalahan yang ia lakukan. Lantas, ketika sang Nabi diturunkan ke Bumi dan pertama kali menyaksikan kelamnya Bumi pada saat malam,  ia pun ketakutan, karena ia belum pernah menyaksikan pemandangan kelam seperti itu. Kemudian, ketika fajar menyingsing, hatinya terasa damai dan tenang. Karena itu, ia pun segera melaksanakan shalat dua rakaat. Rakaat pertama sebagai rasa syukur karena ia telah melewati kelamnya malam yang membuat ia ketakutan. Sedangkan rakaat kedua sebagai rasa syukur atas kehadiran fajar yang membangkitkan rasa damai.

Kini, berkaitan dengan shalat yang satu ini, bagaimanakah pesan Rasulullah Saw.?

Dalam hal ini, Rasulullah Saw. berpesan, "Seandainya manusia mengetahui pahala dalam azan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak mampu mendapatkannya selain dengan diundi, tentu mereka saling mengundi. Seandainya mereka mengetahui pahala melaksanakan shalat lebih awal, tentu mereka  akan berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Dan, seandainya mereka tahu pahala dalam shalat 'Isya' dan Shubuh, tentang mereka akan menghadiri keduanya walaupun harus merangkak." (HR Al-Bukhari).

Ya, seandainya manusia mengetahui, seandainya mereka mengetahui, dan seandainya mereka mengetahui. Kalimat itu diulang-ulang Rasulullah Saw., seakan beliau sangat menyayangkan bila umatnya tidak melaksanakan shalat 'Isya dan Shubuh. Hal itu boleh jadi karena Allah Swt. telah memperlihatkan kepada beliau pahala dan keutamaan yang akan didapatkan manusia manakala mereka melaksanakan dua shalat itu secara berjamaah.

Tidak hanya itu. Malah, barang siapa melaksanakan shalat Shubuh berjamaah di masjid, ia akan mendapatkan jaminan dari Allah Swt. Jundub ibn 'Abdurrahman menuturkan bahwa Rasulullah Saw. berpesan, "Barang siapa menunaikan shalat Shubuh, maka dia berada dalam jaminan Allah. Karena itu, janganlah sekali-kali kalian membuat Allah sampai meminta jaminan-Nya itu sedikit pun. Ini karena barang siapa diminta jaminannya, maka Allah akan mendapatkannya, kemudian Dia akan mencampakkan dirinya ke dalam api neraka." (HR Al-Bukhari). 


Wednesday, July 18, 2012


INDONESIAN DIASPORA

“Saat ini, sebaiknya para pakar dan ilmuwan Indonesia di luar negeri tidak usah pulang kampung!” ucapnya berapi-api. “Malah, setiap kali saya bertemu dengan teman-teman yang sedang mengambil program s-3 di luar negeri, atau selepas mereka merampungkan program itu, saya selalu bilang kepada mereka, ‘Jangan pulang kampung! Taklukkan dunia, dengan ilmu kalian! Prestasi Anda di luar negeri akan mengangkat nama baik negeri kita! Mari kita bentuk Indonesian Diaspora yang bergengsi dan tangguh di luar negeri!”

Entah kenapa, mendengar ucapan mahasiswa program s-3 Universitas Delft, Belanda itu saya terlarut oleh gaya ucapannya yang meledak-ledak. Padahal, saya baru bertemu sekali dengannya: tadi sore. Program s-2 ia rampungkan di universitas yang sama. Sedangkan program s-1 ia rampungkan di Jurusan Geologi ITB. Saat ini, ia pulang ke kampung halaman untuk melepas rindu. Dan, bulan Desember nanti, insya Allah ia akan maju sidang doktoral di almamaternya di Belanda.

Begitu mendengar kata-kata ‘Indonesian diaspora’, saya pun segera teringat para sahabat saya yang kini menempati pelbagai kedudukan strategis di luar negeri. Dulu, saya termasuk orang yang suka ‘ngomporin’ mereka untuk pulang ke negeri tercinta. Namun, cara pandang saya yang demikian itu kini sudah berbalik seratus delapan puluh derajat. Kini, seperti halnya mahasiswa s-3 Universitas Delft itu, saya lebih suka memotivasi mereka untuk tidak pulang kampung. Mereka lebih baik meretas karier di luar negeri dan “MENAKLUKKAN DUNIA”.  Mengapa? Kita kini memerlukan jejaring yang kuat di luar negeri. Terutama jejaring para ilmuwan dan pakar. Sehingga, dengan demikian, Indonesia memiliki jaringan bergengsi di luar negeri. Dan, berdasarkan kajian-kajian tentang pelbagai diaspora di dunia, kontribusi ‘kaum diaspora’ terhadap negeri asal mereka demikian besar.

“Pak Rofi’! Anak-anak Indonesia sejatinya memiliki kemampuan ilmiah yang luar biasa. Apalagi yang sedang menimba ilmu di negeri itu. Itu sejatinya merupakan aset luar biasa yang kerap diabaikan negara kita!” ucapnya selanjutnya.

Entah kenapa, tadi sore, saya lebih suka menempatkan diri saya sebagai ‘murid’ yang sedang menyerap ilmu dan pengalaman anak muda yang bertubuh agak tambun dan asal Bandung itu. Senang sekali rasanya mendengarkan ‘pidato’nya yang berapi-api. Dan, ketika berpisah dengannya, entah kenapa ucapannya tentang ‘Indonesian Diaspora’ sulit lenyap dari benak saya. 

Saturday, July 14, 2012


Jeddah Airport Kini pun Mulai Berbenah

Usai "menikmati" Kota Dubai, pada senja 25 Juni 2012, saya bersama 28 "anak buah" pun meneruskan perjalanan menuju ke arah barat: Arab Saudi. Kali ini, perjalanan dengan pesawat terbang yang berbadan "bongsor": Airbus 330-800, sebuah pesawat terbang yang kuasa mengangkut sekitar 800 penumpang. "Gagah benar pesawat terbang ini," gumam saya ketika mulai menapakkan kaki ke dalam perut pesawat terbang yang satu itu. Ketika pesawat terbang itu mulai "menari-nari" di angkasa, terasa memang pesawat terbang itu sangat mantap dan gagah perkasa. 

Perjalanan antara Dubai-Jeddah tidak jauh dan lama. Hanya sekitar 1.900 kilometer dan ditempuh dengan pesawat terbang selama sekitar dua jam empat puluh menit. Dan, ketika menengok ke kanan dan ke kiri, saya lihat sebagian besar para penumpang telah mengenakan pakaian serba putih. Dengan kata lain, mereka adalah para calon tamu Allah yang akan langsung melaksanakan ibadah umrah di Makkah Al-Mukarramah. Kami sendiri, ber29 orang, tidak mengenakan pakaian umrah, karena dari Jeddah kami akan meneruskan perjalanan menuju ke Madinah Al-Munawwarah dahulu dan baru kemudian menuju Makkah Al-Mukarramah.

Ketika pesawat terbang yang kami naiki kian mendekati Jeddah, jantung saya pun berdegup kencang. Menjadi "komandan" 28 orang, dengan latar belakang yang beragam: dokter spesialis, perwira menengah TNI, jaksa tinggi, manager sebuah perusahaan multi nasional, pemilik toko dan dealer alat-alat elektronik, pengusaha properti, beberapa remaja, seorang anak berusia 11 tahun, dan beberapa ibu berusia lanjut, tidaklah ringan. Apalagi, dalam perjalanan ini saya memegang "jabatan ganda": pembimbing ibadah dan tour leader tanpa pendamping ke empat negara. Tugas yang benar-benar berat. Dunia dan akhirat.

Mengapa jantung saya berdegup? "Menaklukkan" Dubai Airport, Cairo Airport, dan Istanbul Airport bagi saya terasa ringan. Namun, kala berhadapan dengan Jeddah Airport saya sering merasa kewalahan: kerap "cara permainannya" membingungkan dan tiada aturan baku. Karena itu, begitu pesawat terbang itu kian mendekati Jeddah, bibir saya rasanya tidak pernah berhenti berzikir dan mengucapkan shalawat serta berdoa kiranya "saya dapat menembus Jeddah Airport dengan lancar".

Ketika pesawat terbang yang kami naiki mendarat di Jeddah Airport, para penumpang dengan visa umrah pun diangkut dengan bus menuju Hajj Terminal. Melihat hal itu, jantung saya pun kian berdegup kencang. "Duh, kini saya harus siap membuka dua kopor kesabaran nih," gumam saya dalam hati. Dan, begitu memasuki Hajj Terminal, dan kemudian memasuki ruang passport control, ternyata kekhawatiran saya tidak berdasar sama sekali. Ternyata, kini pelayanan di Hajj Terminal benar-benar telah berubah dan mereka mulai berbenah. Tidak lebih dari setengah jam, seluruh rombongan kami telah melewati pemeriksaan imigrasi. 

"Alhamdulillah," ucap saya bersyukur kepada Allah Swt.. "Kiranya hal ini terus berlangsung dan kian diperbaiki. Sehingga, tiada lagi jamaah yang mengeluh setiap kali mau memasuki negeri ini, karena urusan imigrasi yang ditangani "semau gue"!"

Friday, July 13, 2012


Belajar dari "Kisah" Dubai

Kantuk luar biasa menggelayuti kedua mata, ketika pada 25 Juni 2012 yang lalu, saya bersama 28 orang mulai menikmati Kota Dubai pada saat dini hari: sekitar pukul 02.00 waktu setempat. Begitu memasuki kamar hotel, selepas menempuh perjalanan sekitar 6.900 kiometer dari Jakarta, dengan naik pesawat terbang selama masa tempuh sekitar 7 jam 20 menit, saya segera merebahkan diri. Tapi, meski mata sudah terasa berat, saya tetap bertahan agar tidak tertidur, karena waktu shalat Shubuh di kota itu adalah pukul 3.50.

Keesokan harinya, tepat pada pukul 08.00 waktu Dubai, kami pun mulai menapaki seputar Kota Dubai. Kala itu, Kota Dubai masih tampak lengang. Belum banyak mobil-mobil yang berkeliaran. Segera,bus yang kami naiki pun membawa kami ke pelbagai penjuru kota yang menempatkan dirinya sebagai "Singapore of the Middle East". Kota Dubai yang lagi tidak macet memang tampak sangat indah dan megah. Gedung-gedung dengan pelbagai gaya yang "nyleneh" bercuatan di sana sini. Sementara bentangan rel Metro Dubai tampak "menghiasi" pelbagai sudut kota itu.

Betapa indah, megah, dan bersih kota yang satu itu. Tidak terasa bagi saya bahwa sejatinya saya sedang berada di kawasan Timur Tengah, andai saja saya tidak melihat pelbagai bill-board bertulisan arab indah di sepanjang jalan. Selepas menikmati Burj Khalifah, Burj Al-Arab, Monoral Dubai (yang mengitari kawasan yang paling elite di Dubai: Palm Island), dan Golden Souk, kami pun kembali ke hotel dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Arab Saudi.

Kota Dubai kini memang beda sekali dengan Kota Dubai ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di kota itu pada awal 2000. Kala itu, padang pasir masih menghiasi banyak pelbagai sudut kota itu. Tapi, kini, kota itu berubah menjadi sebuah kota sangat modern yang maju sekali. Mengapa hal itu terjadi? Tidak lain hal itu merupakan hasil "mimpi" penguasa kota itu dan kemudian dia dengan konsisten membangun emirat yang kecil itu menjadi sebuah emirat yang sangat maju. Tentu, hal itu tidak lepas dari jasa "para pemain di belakang layar": anak-anak muda yang berpendidikan tinggi, cerdas, berwawasan luas, kreatif, inovatif, dan memiliki integritas.

Lewat paduan antara "mimpi" sang penguasa (yang menyadari kekayaan negerinya, minyak, tidak akan tahan lama) dan jasa dan kerja keras anak-anak muda yang mencintai negeri mereka dengan sepenuh hati, tidak lebih dari 20 tahun Dubai menjadi salah satu "bintang" di Timur Tengah. Menurut Anthony Bourdain, Dubai memang luar biasa dan merupakan buah mimpi seorang penguasa yang tahu membangun negerinya. Luar biasa. Namun, bukan berarti Dubai tanpa cela: ghetto-ghetto yang dihuni para pendatang (khususnya dari kawasan anak benua India) masih "bertebaran" di balik gedung-gedung indah nan megah. Selain itu, menurut pengamatan saya, di Kota Dubai masih tidak banyak toko-toko buku, salah satu ciri masyarakat yang terdidik dan maju.

Apapun halnya, kita tidak perlu malu belajar dari negeri yang berukuran "secuil" itu. Tapi, maukah para penggede Indonesia menyadari kekurangan diri mereka dan dengan rendah hati mau belajar kepada orang lain? Wallahu a'lam.