Thursday, February 16, 2017

KETIKA KEIMANAN BERPENDAR

Dulu, saya ini pernah menjadi kafir, Pak Rofi’.”

Demikian ucap pelan seorang ahli geologi senior yang sedang duduk di samping saya, di pelataran sebuah rest area di Puerto Almuradiel, antara Madrid-Cordoba, sambil menikmati secangkir teh hangat. Mendengar ucapannya yang demikian, sejenak saya tertegun. Lalu, wajah sosok sepuh berusia sekitar 66 tahun yang duduk di samping saya itu pun saya cermati. Pandangannya tampak sedang memandang jauh. Lebih jauh dari hamparan lahan luas yang ada di depan kami yang sedang beristirahat dalam perjalanan menuju Sevilla, akhir bulan lalu.

“Lalu, mengapa kemudian Bapak memeluk Islam?” tanya saya pelan. Tentu saja penasaran.
“Saya seorang ahli geologi lulusan ITB. Saya angkatan 1972. Sejak kecil saya dididik berpikir sangat rasional,” ucapnya sambil tetap memandang ke arah jauh. Sementara angin pagi masih bertiup agak kencang dan terasa menusuk tulang. “Kemudian, ketika di ITB, saya diajar untuk berpikir dengan pemikiran yang sangat rasional. Dampaknya terasa selepas saya lulus dari ITB. Meski kedua orang tua saya Muslim, saya jauh dari sentuhan agama. Saya menjadi manusia agnostik. Di sisi lain, dengan berjalannya waktu, sebagai seorang konsultan teknik dan kontraktor, saya mengalami banyak kejadian. Mungkin Pak Rofi’ pernah mendengar peristiwa jebolnya Situ Gintung.”

Sejenak, sosok asal Solo, Jawa Tengah itu menghentikan ceritanya. Lalu, ucapnya lebih lanjut, “Saya pernah menjadi konsultan teknik situ tersebut. Sebelum situ itu jebol, saya sudah memberikan masukan dan laporan kepada pejabat terkait bahwa situ itu harus diperkuat tanggul-tanggulnya. Jika tidak diperkuat, situ itu akan jebol. Tapi, masukan dan laporan saya tidak didengarkan. Jebollah kemudian situ itu. Sedih. Saya pun pernah dimusuhi oleh sebuah negara tetangga kita. Padahal, saya tidak bersalah. Dan, masih banyak kisah suka dan duka lain yang saya alami dan hadapi. Selama itu, dapat dikatakan hati dan pikiran saya hampa dari yang namanya Tuhan.”

“Lantas, mengapa Bapak kemudian kembali memeluk Islam,” ucap saya.
“Sekitar 2007, saya bertugas di Kalimantan Selatan,” ucapnya lebih lanjut, tetap sambil menatap ke arah jauh. “Di sana, saya bertemu dengan seorang anak muda. Usianya sekitar 23 tahun. Ternyata, meski muda usia, dia memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas sekali tentang tasawuf. Entah kenapa, mendengar dan menyimak penjelasannya tentang pemikiran seorang tokoh sufi membuat hati dan pikiran saya terpikat  dan  luluh. Akhirnya, saya pun menjadi Muslim kembali.”
“Alhamdulillah. Siapakah tokoh sufi tersebut?”

Sambil tetap menatap ke arah jauh, sosok itu kemudian menyebut sebuah nama. Mendengar nama itu, saya kemudian berucap, “Tokoh sufi itu berasal dari Andalusia ini, Bapak. Ia berasal dari sebuah keluarga bangsawan, hartawan, dan ilmuwan terpandang di Bumi Andalusia ini.”
“Oh begitu?”
“Ya. Ia lahir di Murcia, Andalusia selatan. Kemudian, ketika berusia 8 tahun, dia pindah ke Sevilla. Tidak beda jauh dengan guru Bapak, tokoh sufi itu mulai menceburkan diri ke dalam “lautan” tasawuf ketika berusia sekitar 21 tahun. Selepas itu, dia mulai berkelana: ke Cordoba, Granada, Afrika Utara, Semenanjung Arab, dan berbagai penjuru Dunia Islam kala itu. Dan, perjalanannya di dunia yang fana ini berakhir di Damaskus, Suriah, 18 tahun sebelum Baghdad diluluhlantakkan oleh pasukan Mongol.”
“Masya Allah, luar biasa perjalanan hidup beliau.”

“Pak Rofi’,” ucap seorang sahabat yang mendampingi perjalanan kami selama di Andalusia, “kini saatnya kita melanjutkan perjalanan kita menuju Sevilla.”
“Baik, Mas. Bapak, silakan naik mobil. Perbincangan ini nanti kita lanjutkan selepas kita tiba di Sevilla.”

Dengan berjalan tertatih, ditopang tongkat yang senantiasa menyertainya, bapak itu kemudian menuju mobil van yang sudah siap berjalan menuju Sevilla. Seraya memandangi langkah-langkah pelan sosok tersebut, entah kenapa tiba-tiba saya teringat penjelasan Tariq Ramadan, tentang proses keislaman ‘Umar bin Al-Khaththab, dalam sebuah karyanya berjudul In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad,

“Nabi Saw. tahu, dirinya tak berkuasa atas hati manusia. Dalam menghadapi penganiayaan dan kesulitan besar, beliau berpaling kepada Allah, seraya berharap Dia akan memberi petunjuk kepada salah satu dari dua tokoh Quraisy yang beliau ketahui memiliki kualitas dan kekuatan yang diperlukan untuk membalikkan keadaan. Tentu saja Nabi Saw. tahu, hanya Allah yang berkuasa menuntun hati  manusia. Bagi sebagian orang, perpindahan agama merupakan sebuah proses panjang yang membutuhkan masa penuh pertanyaan, keraguan, dan langkah maju-mundur. Sedangkan bagi yang lain, perpindahan agama berlangsung singkat, segera selepas membaca teks, atau memerhatikan gerak tubuh atau perilaku.

Hal yang demikian itu tak dapat dijelaskan. Peralihan agama yang memakan waktu paling lama tak berarti melahirkan keimanan yang kukuh, dan kebalikannya juga tak sepenuhnya benar: jika bicara urusan peralihan agama, kecenderungan hati, keimanan dan cinta, tiada lagi logika; yang berlaku adalah kekuasaan Allah yang luar biasa. ‘Umar keluar rumah dengan niat kuat untuk membunuh Nabi Saw., dibutakan oleh pengingkarannya terhadap Allah Yang Maha Esa. Namun, beberapa jam kemudian, dia berubah dan mengalami sebuah transformasi sebagai hasil perubahan keyakinan akibat sentuhan sebuah Al-Quran dan maknanya. Malah, dia kemudian menjadi salah seorang sahabat setia dari orang yang dia ingikan kematiannya. Tak seorang pun di antara para pengikut Nabi Saw. yang dapat membayangkan bahwa ‘Umar akan mengikuti pesan agama Islam, mengingat ia dengan sangat jelas telah mengungkapkan kebenciannya terhadap Islam. Revolusi hati ini merupakan sebuah pertanda, dan dia mengajarkan dua hal: tiada yang mustahil bagi Allah, dan kita tak boleh memberikan penilaian mutlak terhadap sesuatu atau seseorang.”
Ya, tiada yang mustahil bagi Allah Swt.!