Saturday, October 18, 2014

SEPENGGAL CERITA CAK SHON

Tadi malam, ketika malam kian beringsut pelan, dan suasana di rumah tiada lagi diwarnai keriuhan suara anak-anak yang mengaji Al-Quran, sementara istri berada jauh di Pulau Seram, Maluku serta dua putri saya sedang “menikmati perjuangan mereka” di Jakarta, saya pun duduk di depan laptop yang menyala sejak dini hari. Kemudian, entah kenapa, tiba-tiba muncul pikiran untuk menelusuri kehidupan para mahasiswa Indonesia di negeri orang. Dan, selepas lama “berkelana”, pencarian itu akhirnya berakhir di sebuah blog milik seorang mahasiswa Indonesia yang menyebut dirinya Cak Shon. Lembar demi lembar blog mahasiswa s-3 University of Nottingham, Inggris itu pun saya simak. Entah kenapa, mungkin karena saya orang yang dikaruniai usia lebih dari 60 tahun, pandangan saya tertarik dengan tulisannya tentang masa tua.
“Kawan, apa yang kau pikirkan tentang sebuah hari tua?,” tulis Cak Shon ketika memulai tulisannya tentang sepenggal cerita di hari tua. “Di hari ketika raga kita semakin tak berdaya. Ketika kulit kita mulai kendur, wajah kita tak setampan dan secantik di kala muda lagi. Otak pun tak lagi tajam dalam berfikir. Perlahan, kita pun kehilangan memori ingatan kita. Hari-hari ketika kita semakin mendekati ketidakberdayaan. Hari-hari ketika tak ada lagi yang bisa kita sombongkan. Sebelum akhirnya, kita pun musnah. Benar-benar tiada dari panggung kehidupan dunia yang sementara ini.
Sebagian dari kita mungkin membayangkan hari tua yang indah. Menikmati manis buah perjuangan ketika muda, bersama lucunya cucu cicit kita. Hari tua yang penuh kehangatan kasih sayang orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita. Hari-hari ketika kita semakin dekat dan mengenal Tuhan, yang ketika muda sering kita lupakan. Hari-hari ketika kita semakin bijak memaknai kehidupan. Yang coba kita abadikan dalam goresan tulisan sebagai warisan abadi untuk anak turun kita.
Kawan, kita pun tak ingin membayangkan akan hari tua yang penuh sepi kesendirian. Tiada hari berlalu tanpa kesedihan. Hari-hari penuh rintihan penyesalan. Ketika orang-orang tiada lagi memperhatikan. Hari-hari menunggu penuh ketakutan akan datangnya misteri gelap. Sebuah kematian.”
Usai menulis demikian, Cak Shon kemudian menuturkan tentang sepenggal kehidupan masa tua di negeri orang, Kota Nottingham, “Kawan, pagi sekali hari ini hatiku menangis. Ketika aku menyaksikan seorang perempuan tua di hari tuanya. Dia yang tidak bisa baca tulis sejak lahir, di usianya yang semakin renta, dia masih harus bekerja sangat keras membanting tulang. Hanya sekadar untuk bertahan hidup.
Kawan, malam tadi kembali hatiku menangis. Saat aku kembali dari kampus, aku saksikan lagi-lagi seorang perempuan tua, tertatih keluar dari rumahnya. Mencoba berjalan, tangannya merayapi tembok, kakinya tak mampu menyangga tubuhnya yang ringkih. Rupanya, dia hanya ingin membeli kentang dan ikan goreng. Beruntung aku menemukannya, dan aku bisa membelikannya. Terlihat senyum dan wajahnya yang teramat dalam, ketika bibirnya bergetar berucap berkali-kali , “God Blesses You.”
Konon, cerita sedih di hari tua di negeri yang konon tingkat kemakmuranya tertinggi di atas bumi ini adalah cerita biasa. Semoga kita ditakdirkan memiliki hari tua yang indah. Allâhumma âmîn.”
Allâhumma âmîn,” bibir saya pun pelan mengaminkan doa Cak Shon. 

Thursday, October 9, 2014

DELAPAN PEDOMAN HIDUP

Suatu  saat seorang Tuan Guru kondang bertanya kepada salah seorang muridnya, “Muridku, sejak kapan engkau menimba ilmu kepadaku?
“Sejak tiga puluh tahun, Tuan Guru,” jawab si murid dengan suara pelan dan seraya menundukkan kepalanya.
Mâsyâ Allâh!  Apa saja yang engkau pelajari  selama tiga puluh tahun itu?  tanya Tuan Guru selanjutnya. Sangat penasaran.
“Delapan persoalan, Tuan Guru,” jawab si murid. Tetap dengan suara pelan dan tetap dengan kepala tertunduk.
Innâ  lillâhi  wa innâ ilaihi râji‘ûn. Terbuang  percuma  sajalah umurku  bersamamu.  Selama tiga puluh tahun engkau hanya  memelajari  delapan  persoalan saja?” tanya Tuan Guru. Sangat terperanjat. Dan, tentu saja, sangat penasaran.
“Benar, Tuan Guru,” jawab si murid pelan.  “Selama itu, saya  tidak mempelajari  hal-hal yang lain. Sungguh, Tuan Guru. Itulah yang saya pelajari dan lakukan selama itu.”
“Baiklah. Jika demikian, paparkan   delapan   persoalan   itu kepadaku. Aku ingin   sekali mendengarkannya.”  
“Yang pertama,”  jawab si murid, tetap dengan nada suara pelan, “ketika anak manusia yang  hidup di  dunia  ini saya cermati, saya perhatikan, setiap orang ingin punya kekasih  dan ingin bersama dengan kekasihnya hingga ke liang kubur. Namun, ketika  dia telah  sampai  ke  liang  kubur,  ternyata  dia  berpisah   dengan kekasihnya. Karena itu, saya pun menjadikan perbuatan baik  sebagai kekasih saya.  Sebab, bila saya  masuk ke dalam kubur, masuk pulalah  kekasih saya bersama saya.
“Benar sekali apa yang engkau kemukakan, muridku. Lantas, yang kedua apa?
“Ketika  firman  Allah Swt, “Dan adapun  orang-orang  yang  takut pada  kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari  keinginan  hawa nafsunya, maka surgalah tempat tinggalnya.” (QS Al-Nâzi‘ât, [79]: 40-41) saya renungkan,  saya benar-benar meyakini bahwa firman Allah Swt. tersebut  benar.  Karena itu, saya lalu berusaha menolak hawa nafsu. Sehingga, dengan demikian, saya tetap taat kepada-Nya.
“Indah sekali jawabannmu. Lantas, yang ketiga?
“Ketika anak manusia yang ada di dunia ini saya renungkan, ternyata saya lihat setiap  orang ingin memiliki harta benda,  menghargainya,  memandangnya bernilai,  dan memeliharanya. Kemudian, saya merenungkan firman  Allah Swt., Apa yang di sisi kalian akan lenyap dan apa yang ada di  sisi Allah adalah kekal.” (QS Al-Nahl, [16]: 96). Karena itu, setiap  kali saya mendapatkan sesuatu yang berharga dan  bernilai,  sesuatu itu pun  saya hadapkan kepada Allah Swt. Semoga sesuatu itu kekal dan terpelihara di sisi-Nya.
Mâsyâ Allâh, indah sekali jawabanmu. Yang keempat?
“Tuan Guru, ketika  pandangan saya terarah kepada anak manusia yang ada di dunia  ini,  saya perhatikan setiap  orang  senantiasa menaruh  perhatian  terhadap  harta, jabatan,  kemuliaan, dan keturunan. Lalu, ketika semua itu saya cermati, tiba-tiba nampak semua itu tiada artinya. Kemudian,  saya lantas merenungkan firman Allah Swt., Orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah  adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS Al-Hujurât [49]: 13). Karena itu, saya pun bertakwa kepada-Nya. Kiranya saya menjadi orang mulia di sisi Allah.
“Benar sekali jawabanmu, muridku. Lantas, yang kelima?
“Ketika anak manusia yang hidup di dunia ini saya perhatikan, ternyata  mereka suka  saling  menohok  dan  mengutuk  satu  sama  lainnya.  Penyebab semuanya itu adalah perasaan dengki. Kemudian, saya pun memperhatikan  firman Allah  Swt., Kami telah menentukan di antara  mereka  penghidupan mereka dalam kehidupan di dunia.” (QS Al-Zukhrûf [43]: 32)  Karena itu,  perasaan  dengki pun saya tinggalkan dan diri saya  pun  saya jauhkan dari orang banyak. Saya tahu, saya akan mendapatkan pembagian rezeki dari sisi Allah Swt. Karena itu, permusuhan orang banyak kepada saya pun saya abaikan.
“Menarik sekali, muridku. Yang keenam?
“Ketika anak manusia yang hidup di dunia ini saya cermati, ternyata mereka suka  berbuat kedurhakaan dan berperang satu sama lain.  Saya  pun kembali  pada firman Allah Swt., Sungguh, setan  adalah  musuhmu. Karena itu, jadikanlah dia sebagai musuh(mu).” (QS Fâthir [35]: 6). Karena itu pula,  setan pun saya pandang sebagai musuh saya satu-satunya. Dan, saya  pun sangat  berhati-hati  terhadapnya, karena  Allah  Swt.  menyatakan setan sebagai  musuh saya. Dan, permusuhan antarmanusia pun saya tinggalkan.
“Duh, indah sekali jawabanmu, muridku. Yang ketujuh?
“Ketika  anak manusia yang hidup di dunia ini saya perhatikan,  ternyata saya  lihat setiap  orang  berusaha memburu sekeping dari dunia  ini.  Lalu,  dia menghinakan   diri  padanya  dan  memasuki   bagiannya   yang terlarang. Kemudian, saya pun merenungkan firman Allah Swt., Dan, tidak ada suatu  binatang  melata  pun di  Bumi  melainkan  Allah-ah  yang memberikan  rezekinya.” (QS Hûd [11]: 6). Saya pun menjadi  tahu,  ternyata diri saya ini  termasuk binatang melata yang rezekinya ada di tangan  Allah Swt. Karena itu, saya pun lantas melakukan sesuatu  yang menjadi hak Allah atas diri saya, saya tinggalkan  segala sesuatu yang  menjadi  hak  Allah  atas  diri saya, dan saya tinggalkan segala sesuatu yang menjadi hak saya di sisi-Nya.
“Luar biasa indah jawabanmu, muridku. Lantas, yang kedelapan?
“Ketika  anak manusia  yang hidup di  dunia  ini saya perhatikan,  ternyata setiap orang menggantungkan  diri  pada  yang selain dirinya.  Yang ini pada bendanya. Yang itu pada perniagaannya. Yang lain  lagi  pada  perusahaannya. Dan,  yang  satunya  lagi   pada kesehatan badannya. Masing-masing orang bergantung pada sesamanya. Lalu, saya pun kembali pada firman Allah  Swt.,  Dan, barang siapa  yang  bertawakkal kepada Allah,  niscaya  Allah  akan mencukupi  keperluannya.” (QS Al-Thalâq [65]: 3). Karena itu, saya  pun berserah diri kepada Allah Swt. Ternyata, Allah Swt. mencukupi segala keperluan saya.
“Muridku,” ucap Tuan Guru memungkasi perbincangan di antara mereka berdua.  “Kiranya Allah Swt. melimpahkan karunia-Nya  kepadamu!  Sejatinya, segala ilmu yang ada di dalam Taurat,  Injil, Zabur,  dan  Al-Quran mulia telah saya pelajari dan renungkan. Ternyata, aku mendapatkan, segala  persoalan kebaikan dan keagamaan dalam kitab-kitab suci itu berkisar  pada  delapan persoalan tersebut. Dengan kata lain, barang siapa melaksanakannya, berarti dia telah melaksanakan kandungan keempat kitab tersebut!


Sunday, August 10, 2014

IBN HAZM:
Ulama Besar yang Filosuf Cinta

Mencari rumah Ibn Hazm di Cordoba, itulah salah satu rancangan saya dalam perjalanan ke Spanyol di bulan Agustus ini dan ketika berada di Kota Cordoba. Ada apa dengan rumah Ibn Hazm dan kenapa Ibn Hazm?

Selain karya besar Al-Ghazali, Ihya ‘Ulûm Al-Dîn (yang terdiri dari 16 jilid), satu karya puncak (masterpiece) lain  ulama terkemuka lain yang telah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah karya puncak Ibn Hazm, Thauq Al-Hamâmah. Berbeda dengan karya besar Al-Ghazali, yang membahas secara rinci pelbagai persoalan keagamaan, lain halnya dengan karya Ibn Hazm. Karya ulama besar, yang asli Cordoba dan nenek moyangnya menganut Agama Kristen dan berambut pirang,  ini menyajikan suatu bahasan yang lengkap dan memikat tentang cinta. Berbeda dengan karya-karya para sufi, ketika membahas tentang cinta, yang lebih suka mengkaji cinta Ilahi, Thauq Al-Hamâmah (diterbitkan Penerbit Mizan dengan judul Risalah Cinta: Kitab Klasik Legendaris tentang Seni Mencinta), menyajikan suatu bahasan yang dapat dikatakan lengkap tentang cinta manusiawi. Karena itu, jika Anda sedang jatuh cinta, misalnya, silakan baca dan renungkan karya menawan itu.

Sejatinya, Thauq Al-Hamâmah tidak hanya membahas tentang cinta semata. Tetapi, karya itu juga menyajikan kisah cinta sang penulis. Dalam karya klasik yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia itu, misalnya, juga dikemukakan, Ibn Hazm pernah jatuh cinta:

Ketika saya masih remaja, saya jatuh cinta kepada seorang hamba sahaya perempuan nan amat jelita milik keluarga saya yang tinggal serumah dengan kami,” kenang Ibn Hazm Al-Andalusi dalam karyanya tersebut. “Hamba sahaya itu masih gadis. Berusia enam belas tahun. Wajahnya elok nan sangat memesona. Kecerdasan dan kesucian dirinya menawan hati. Ia begitu pintar memelihara kehormatan dan harga dirinya. Ia tinggalkan segala perbuatan yang kurang ajar dan tak senonoh. Ia pun berpakaian rapi dan tertutup rapat senantiasa. Juga, ia sedikit bicara, tak suka mencela, pandangannya senantiasa terjaga, memelihara jarak dengan lawan jenis, dan senantiasa bersikap hati-hati. Sungguh, ia benar-benar amat memesona.
Selain itu,  ia begitu pandai berkelit dan piawai dalam menyatakan penolakan. Ia begitu tenang dan santun kala duduk. Ia lebih banyak mendengarkan ketimbang bicara. Ia senantiasa menghindar bila ada orang yang ingin berbuat macam-macam dengannya. Karena itu, orang pun segan kepadanya. Ia bukan tipe perempuan gampangan, di mana setiap laki-laki dapat menyinggahinya. Kepribadiannya memikat hati setiap orang yang mengenalnya. Kesantunan tabiatnya mengusir orang yang hendak menjahilinya. Ia dermawan dan ringan tangan. Ia sungguh cekatan dalam pekerjaan. Ia tak senang canda yang tiada manfaatnya. Dan, ia sangat pandai membalas budi dan memendam rasa. Duhai, ia benar-benar gadis sangat memikat nan memesona.”
Demikian kenang tokoh yang sarat pengalaman itu perihal gadis yang dicintainya. Selepas bertutur demikian, ahli hukum  Islam  yang  menganut Aliran  Zhahiriyyah ini  kemudian menuturkan kembali kisah cintanya yang bertepuk sebelah tangan itu,

“Saya sangat mencintainya. Sungguh, sangat mencintainya. Selama dua tahun saya terus berusaha keras untuk dapat mendengar satu kata khusus saja yang terucap dari mulutnya untuk saya. Ya, kata khusus di luar pembicaraan yang sifatnya umum. Namun, sekeras apa pun usaha saya, tetap tak menghasilkan harapan yang saya damba. Ia tak pernah mau berucap kepada saya. Walau itu sepatah saja… Saya tak akan pernah dapat melupakan peristiwa itu. Tak akan pernah! Malah, hingga pun kematian menjemput saya. “
Nah, ketika berada di Cordoba nanti, selain akan mengambil foto patung Ibn Hazm yang menghiasi depan Pintu Gerbang Sevilla kota tersebut (patung itu didirikan atas prakarsa masyarakat dan pemerintah Kota Cordoba pada 1963, sebagai penghargaan atas jasa-jasa tokoh yang dipatungkan itu), saya akan mencoba mencari di mana lokasi rumah ulama besar tersebut. Juga, ingin membayangkan bagaimana ia sedang jatuh cinta dan akhirnya patah hati, sehingga membuatnya berbulan-bulan tidak mau ganti baju. Duh.

Kini, siapakah Ibn Hazm?  

Ahli hukum Islam dan  ilmu  kalam  terkemuka Andalusia yang terkenal juga sebagai filosof cinta ini  bernama lengkap Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa‘id bin Hazm. Lahir  di Cordoba  pada Rabu, 30 Ramadhan 384 H/7 November 994  M,  dalam lingkungan  keluarga  yang berasal dari Desa  Manta  Lisyam  yang terletak  dalam  wilayah  Niebla,  ilmuwan  dan  ulama  berdarah Persia  ini  tumbuh  dewasa sebagai putra  seorang  menteri  Al-Manshur  bin  Abu ‘Amir di sebuah istana nan indah  dan  megah. Sang  ayahandalah, seperti kebiasaan kala itu,  yang  menjadi  guru pertamanya. Ketika sang ayahanda berpulang, pada akhir Dzulqa‘dah 402  H/Juni  1013  M, ia pun meninggalkan Cordoba  yang  kala  itu sedang  diguncang prahara perang saudara dan menetap  di  Almeria dan Jativa.

Lima  tahun  kemudian,  ketika Ibn Hazm kembali  ke  Cordoba,  ia diangkat  sebagai  menteri oleh ‘Abdurrahman  IV  Al-Murtadha.  Segera, dunia kekuasaan dan politik menjadi tak  asing baginya.  Beberapa  kali ia terlibat dalam konflik  politik  yang keras, terutama selepas pembunuhan ‘Abdurrahman V Al-Mustazhhir pada  424  H/1023  M.  Selepas  merasakan  pahit  getirnya  dunia politik,  ia  kemudian  memalingkan  diri  ke  arah  dunia   ilmu pengetahuan. Lahirlah karya-karyanya yang terkenal hingga  kini. Di  bidang  fikih, karyanya yang berjudul  Al-Muhallâ  merupakan salah satu sumber acuan. Di bidang ilmu kalam, karyanya  Al-Fashl fî  Al-Milal  wa  Al-Ahwâ’  wa  Al-Nihal  tidak  kalah   nilainya dibandingkan  dengan  karyanya  di bidang fikih  itu.  Di  bidang akhlak, ia menggelar karya besarnya dengan judul Al-Akhlâq wa Al-Sair fî Mudâwah Al-Nufûs. Tak mengherankan bila ia mendapat gelar Al-Imâm (Sang Imam).

Ibn  Hazm  juga dikenal sebagai ahli hukum  Islam  yang  menganut Aliran  Zhahiriyyah,  yang menolak ra’y  (rasio),  dan  mengambil lahiriah teks-teks Al-Quran. Tak aneh bila ia berpendapat bahwa barang siapa memberi fatwa dengan berdasarkan ra’y, maka  ia memberi  fatwa tanpa ilmu. Menurutnya, seseorang tidak  dipandang berilmu  tentang Islam, kecuali apabila ia  mendalami  Al-Quran dan Al-Sunnah. Ilmuwan  yang  berpulang ke hadirat Allah di Manta  Lisham  pada Sabtu, 28 Sya‘ban 456 H/14 Agustus 1064 M ini juga terkenal sebagai seorang ilmuwan yang produktif.  Konon, karya-karya  sekitar 400 buku. Antara lain Al-Fashl fî  Milal  wa Al-Nihal,  Al-Nâsikh wa Al-Mansûkh, Al-Ahkâm li  Ushûl  Al-Ahkâm, Nuqâth Al-‘Arûs fî Tawârîkh Al-Khulafâ’, dan Jawâmi‘ Al-Sîrah Al-Nabawiyyah.

Semoga, ketika berada di Kota Cordoba nanti, saya dapat menemukan lokasi rumah Ibn Hazm, sambil membayangkan kisah cintanya yang berakhir tragis!
   

Wednesday, July 23, 2014

‘ABDUH:
Ulama Terkemuka dan Pembaharu Muslim yang Nyaris Dilupakan?

Muhammad ‘Abduh, seorang ulama terkemuka dan pembaharu Muslim Mesir, tahukah Anda? Jika Anda mengetahuinya, sejatinya itu merupakan hal yang luar biasa.

Lo, mengapa demikian?

Baiklah, kini, kita kembali dahulu ke Kairo pada akhir tahun 1970-an. Tentu Anda tahu, kala itu  Revolusi Islam Iran belum lama membara di Iran. Tidak lama selepas revolusi itu mengguncang negeri yang sebelumnya dipimpin Mohammed Reza Pahlavi, seorang ilmuwan Amerika Serikat dan mantan Rektor American University in Beirut (yang tewas pada Rabu, 14 Rabi‘ Al-Akhir 1404 H/18 Januari 1984  M karena ditembak dua orang bersenjata tidak dikenal di Beirut, Lebanon), Malcolm H. Kerr, datang ke Kairo.

Setiba di Negeri Piramid, penulis sejumlah buku, antara lain Lebanon in the Last Years of Feudalism 1840-1868,The Arab Cold War, Gamel Abd al-Nasr and his Rivals, 1958-1970, Islamic Reform: The political and legal theories of Muhammad Abduh and Rashid Ridā, The Elusive Peace in the Middle East, dan Economics and Politics of the Middle East  ini kemudian menebar kuesioner di antara sejumlah mahasiswa Muslim yang berasal dari pelbagai negara Arab dan sedang menimba ilmu di American University in Cairo. Kala itu, universitas tersebut masih berpusat di salah satu sisi Tahrir Square: jantung revolusi Mesir beberapa tahun terakhir. Universitas itu sendiri mulai beroperasi pada 1337 H/1919 M. Namun, sejak 1429 H/2008 M, program undergraduate dan graduate dialihkan ke sebuah pemukiman baru, New Cairo, yang terletak tidak jauh dari Cairo International Airport, berdampingan dengan Distrik Nasr City.

Nah, apa maksud Malcolm H. Kerr, seorang mantan guru besar kajian Timur Tengah di University of California, Los Angeles, Amerika Serikat,  dalam menebarkan kuesioner tersebut? Kuesioner itu dimaksudkan untuk mengetahui, sejauh mana pengenalan dan pengetahuan mereka tentang tiga pembaharu Muslim di Timur Tengah pada zaman modern: antara lain Muhammad ‘Abduh (perlu dikemukakan, disertasi Malcolm H. Kerr tentang Muhammad ‘Abduh dan  Muhammad Rasyid Ridha dengan judul “Islamic Reform: The Political dan Legal Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida” dan diajukan di Johns Hopkins University, Amerika Serikat, di bawah bimbingan Majid Khadduri dan Sir Hamilton Gibb). Bagaimanakah hasil kuesioner itu? Ternyata, hasil kuesioner itu benar-benar mengejutkan: sebagian besar mahasiswa tersebut tidak mengenal pembaharu Muslim pada zaman modern itu. Padahal, rata-rata para mahasiswa Muslim Arab tersebut berasal dari kalangan kelas menengah ke atas yang tentu saja dipandang cukup memiliki wawasan yang luas.

Oleh karena itu, jika Anda masih mengetahui kisah hidup ulama terkemuka dan pembaharu Muslim tersebut, pengetahuan Anda memang luar biasa. Kini, siapakah ulama terkemuka dan pembaharu Muslim yang nyaris dilupakan para mahasiswa dari sejumlah negara Arab itu?

Tokoh dan pemikir pembaharuan Muslim di Mesir ini lahir di Mehallah Nashr di Provinsi Buhaira pada  1266 H/1849  M  dalam  lingkungan  keluarga  petani.  Selepas  belajar membaca  dan  menulis  di desanya, ia kemudian  menimba  ilmu  di Masjid  Ahmadi  di  Thantha, di bawah  bimbingan  Syeikh  Darwisy Khidhr.  Pada 1285 H/1868 M ia mulai memasuki  Al-Azhar,  sebuah lembaga  pendidikan  terkemuka di  Kairo, Mesir. Selama dua belas tahun  ia  menimba ilmu dan mendalami tasawuf  dan  filsafat  di lembaga ini, sampai ia meraih gelar al-‘âlimiyyah. Pada masa ini pula, tokoh yang telah menikah sejak berusia 16 tahun ini  bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani,  seorang  tokoh pembaharuan  dalam  Islam,  yang  kala  itu  sedang mengunjungi Kairo.

Selepas  merampungkan pendidikannya di Al-Azhar dan  mengajar  di Perguruan Dar Al-‘Ulum (kini merupakan salah satu fakultas  dalam lingkungan  Universitas Kairo), antara 1294-1300  H/1877-1882  M, tokoh  Muslim  yang lebih menaruh  perhatian  terhadap  perbaikan masyarakat  melalui  pendidikan  ketimbang  melalui   pembangunan politik  ini  sering menulis di koran harian  Al-Ahrâm  dan  belakangan menjadi editor Al-Waqâ’i‘ Al-Mishriyyah. Karena terlibat dalam agitasi  terhadap politik dan intervensi militer Inggris di Mesir pada 1300  H/1882 M, ia dituduh termasuk kalangan para pemimpin partai ‘Urabi Pasya dan diusir dari Mesir.

Selepas  menerima perintah pengusiran,  ‘Abduh  kemudian pergi ke Suriah.  Kemudian,  pada  1303 H/1885  M, ia menapakkan kakinya ke Beirut dan tinggal  di  kota itu  selama  tiga  setengah tahun. Lantas,  ia  bergabung  dengan Jamaluddin  Al-Afghani di Paris dan  bersama-sama  menerbitkan majalah  Al-‘Urwah Al-Wutsqâ. Dari Paris, dia kemudian  pindah  ke Tunisia,  selama  beberapa bulan, sambil  berpropaganda  tentang seruannya.  Selanjutnya, ia menapakkan kakinya kembali ke  Beirut. Di kota ini selain mengajar, selama masa ini, ia sempat  menyalin satu-satunya karya Al-Afghani yang cukup berarti, Al-Rad ‘alâ Al-Dahriyyîn.

Pada  1306  H/1888 M tokoh dikatakan begitu longgar  dan  malahan pandangannya  tentang  peran  dan fungsi  akal  terhadap  wahyu disinyalir  lebih liberal daripada kaum Mu‘tazilah ini  diampuni dan  diizinkan kembali ke Mesir. Selepas melalui perantaraan  Lord Cromer dan lain-lainnya. Ia kemudian diangkat sebagai qâdhî, dan kemudian menjadi anggota Majelis Syura Pengadilan. Lantas, pada 1313 H/1895 M, ia ditunjuk sebagai Komite Administratif Al-Azhar,  dan akhirnya  diangkat  sebagai  Mufti Mesir yang  ia  jabat  sampai menghadap  Sang  Pencipta pada Kamis, 8 Jumada Al-Ula  1323  H/11 Juli  1905 M di Alexandria, dengan meninggalkan sejumlah  karya. Antara  lain  Risâlah Al-Tauhîd, sebuah karyanya di  bidang  ilmu tauhid  yang  pertama kali diterbitkan pada 1315  H/1897  M  dan  antara  lain  membahas mengenai keesaan  Allah,  hubungan  agama dengan  filsafat, kebutuhan umat manusia terhadap risalah  para rasul  dan nabi, dan peran Islam dalam membina umat  manusia,  Al-Islâm   wa  Al-Rad  ‘ala  Muntaqidih,  dan  Al-Islâm wa Al-Nashrâniyyah ma‘a Al-‘Ilm wa Al-Madaniyyah.

Ketika tokoh yang satu ini berpulang, menurut Dr. Muhammad Jabir Al-Anshari dalam sebuah karyanya berjudul Tahawwulât Al-Fikr wa Al-Siyâsah fî Al-Syarq Al-‘Arabî, ia “mewariskan” tiga kelompok para muridnya yang tidak seiring dari sisi pemikiran dan politik. Yang satu, dapat dikatakan, mendukung pemikiran yang dikatakan liberal dan yang satu mendukung pemikiran yang dikatakan konservatif. Dua kelompok tersebut, di samping kelompok tengah yang mengikuti garis pemikiran Muhammad ‘Abduh, tetap mewarnai dunia pemikiran dan politik di negeri kelahiran sang ulama hingga saat ini. Dan, mungkin, andai ‘Abduh masih hidup dan menyaksikan perseteruan di antara para murid-muridnya tersebut, ia akan menangis. Sebab, bukan itu sejatinya yang dituju oleh pembaharuan yang digelarnya. Sebuah pelajaran hidup yang menarik: dari pemikiran seorang tokoh dapat timbul dan berkembang aliran pemikiran dan politik yang beragam serta kadang satu sama lainnya saling berseteru. Mungkin, ini terjadi (salah satunya), karena para muridnya memiliki interpretasi yang berbeda atas pemikiran sang guru.

Dan, kini, dengan usainya penyajian kisah hidup Muhammad ‘Abduh, usai pula sudah seri perjalanan hidup sejumlah ulama dan ilmuwan Muslim dari berbagai penjuru dunia yang dapat saya sajikan pada bulan Ramadhan ini. Mungkin, tulisan-tulisan itu membosankan dan menjemukan. Untuk itu, mohon dimaafkan. Tetapi, dengan mengetahui kisah hidup mereka, kiranya kita dapat menyerap hal-hal positif dari kehidupan mereka dan menjadikan semua sebagai “ibrah” bagi kita dan menjadi setetes ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Tentu, masih ada banyak manfaat lain yang kiranya bisa didapatkan dari pengenalan dan pengetahuan tentang perjalanan hidup para tokoh tersebut. Tentu pula, kehadiran kisah-kisah itu tidak dimaksudkan untuk mendewakan mereka.

Sejatinya, masih banyak tokoh-tokoh lain yang akan saya sajikan (dan sekitar 1,100 biografi para tokoh Muslim telah usai saya tulis dan insya Allâh segera akan diterbitkan). Namun, karena ada tugas lain yang harus segera saya siapkan, dengan berat hati seri ini saya cukupkan sampai hari ini saja. Dan, dengan akan hadirnya Hari ‘Idul Fitri, saya dan keluarga menyampaikan permohonan maaf, lahir dan batin, dan “Selamat Hari ‘Idul Fitri”. Kiranya Allah Swt. menerima ibadah puasa Ramadhan dan amal-amal kita. Taqabballâhu Minna wa Minkum min Al-‘Âidin wa Al-Fâ’izîn wa Al-Maqbulîn, Kullu ‘Âm wa Antum bi Khair.


Tuesday, July 22, 2014

ALI MAKSUM:
Kiai Terkemuka yang Piawai Bercerita dan Berwawasan Luas

Senyampang masih berada di lingkungan  Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, kini mari kita  bersilaturahmi sejenak dengan salah seorang kiai kondang yang pernah mengelola pesantren tersebut. Tentu tidak patut, ketika kita berkunjung ke sebuah pondok pesantren, sementara kita tidak sowan dan mengenal tokoh di tempat tersebut.

Setelah KH Munawwir berpulang, pengelolaan pesantren Al-Quran itu kemudian beralih ke tangan dua putranya, KHR Abdullah Afandi dan KHR Abdul Qadir, dan seorang menantunya, KH Ali Maksum. Pada periode itu, Pondok Pesantren Krapyak kian berkembang pesat. Kini, tidak hanya mencetak para hafizh Al-Quran semata, tapi juga mendidik para santri yang belajar dan menimba ilmu-ilmu keislaman lainnya. Selepas KH Abdul Qadir berpulang pada 1961, dan KH Abdullah Afandi menyusul tujuh tahun kemudian, akhirnya pimpinan pondok pesantren kemudian beralih tangan kepada KH Ali Maksum.

Ketika belum berpulang, dan ketika di bulan Ramadhan seperti saat ini, KH Ali Maksum, di luar kegiatan-kegiatannya yang lain, senantiasa memberikan bimbingan kepada para santrinya selepas shalat tarawih, lewat pengajian sebuah kitab hadis, Riyâdh Al-Shâlihîn, yang tebalnya nyaris 500 halaman. Pengajian khusus di bulan Ramadhan itu diberikan hingga sekitar pukul 12 malam. Pengajian yang  diberikan kiai kita ini senantiasa dihadiri ratusan santri. Pasalnya, pengajian itu begitu menarik dan sarat ilmu. Padahal, daras yang ia berikan merupakan daras kering: hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Tetapi, daras itu, di tangan beliau, berubah menjadi daras yang segar dan memikat. Dalam memberikan pengajian tersebut, ia senantiasa memberikan contoh-contoh yang hidup, segar, dan memikat. Juga, diselingi dengan cerita, anekdot, dan humor. Apalagi, ketika ia melihat para santri nyaris tidak kuasa menahan kantuk ketika tengah malam menjelang datang. Contohnya adalah cerita berikut:

“Suatu saat,” ucap kiai kita dengan suara baritonnya, yang meyakinkan para santrinya suatu ketika, ketika menuturkan sebuah cerita, “seorang kiai dari daerah pantai utara Jawa Tengah diajak seorang pengusaha ibukota provinsi itu jalan-jalan ke Hongkong: sebuah kota di sebuah negara di sebelah utara Indonesia. Sebelum berangkat, kiai tersebut “berpamitan” kepada seorang sahabatnya. Ketika mereka berdua bertemu, sang sahabat berpesan, bila kiai dari pantai utara Jawa Tengah itu telah sampai di Hongkong, diharap ia segera berkirim kabar.

Benar, ketika kiai dari pantai utara Jawa itu tiba di Hongkong, ia teringat pesan sahabatnya. Ia pun segera membeli selembar kartu pos bergambar. Kartu pos itu dimasukkan ke dalam sampul, disertai pesan tertulis, “Saya telah tiba di Hongkong. Kotanya secantik gambar ini.” Surat itu kemudian dikirimkan kepada sahabatnya. Ketika surat itu dibuka, betapa kaget sang sahabat melihat gambar yang terdapat pada kartu pos itu: duh, ternyata kartu pos yang menampilkan foto seorang bintang film Hongkong yang aduhai cantiknya dan mengenakan busana nan menantang. “Edan, sahabatku yang satu ini. Awas, balasanku,” gumamnya.

Sang sahabat yang menerima kartu itu, ternyata, tidak kurang akal. “Awas ya, balasan dariku,” gumamnya. Karena ingin melakukan revanche terhadap kiai dari pantai utara Jawa Tengah itu, segera sang sahabat itu pun mengambil sehelai kertas dan menulis sebagai berikut, “Ini ada titipan kartu pos dari sahabat kita yang sedang terbuai oleh keindahan Kota Hongkong!” Kemudian, kartu pos itu ia masukkan ke dalam amplop bersama surat darinya. Selanjutnya, amplop itu ia kirimkan kepada seorang kiai terkemuka di sebuah kota yang terletak beberapa puluh kilometer di sebelah timur Kota Surabaya, Pasuruan. Kiai yang satu itu terkenal sebagai kiai yang sufi. Mereka bertiga, memang, bersahabat sejak muda usia.

Menerima surat dan kartu pos yang “berhiaskan” bintang film dengan busana menantang tersebut, kiai dari Jawa Timur itu kemudian langsung memasukkan kartu pos itu ke dalam amplop disertai sepucuk surat singkat, “Terima kasih atas kiriman kartu posmu. Sayang, saya tidak memerlukan kartu pos itu!” Amplop itu kemudian dikirimkan kepada sahabatnya: kiai yang pertama, kiai dari pantai utara Jawa Tengah.

Betapa terkejut kiai dari pantai utara Jawa Tengah itu menerima amplop yang berisi surat dan kartu pos itu. Gumamnya, “Rasa-rasanya, aku tidak pernah mengirimi dia kartu pos ini.” Tetapi, selepas lama ia berpikir dan merenung, akhirnya ia tertawa sendiri dan berucap, “Senjata makan tuan. Kartu pos ini kan kartu pos yang kukirimkan ke Yogyakarta. Ali memang memang cerdas. Ha ha ha.”

Mendengar cerita tersebut, yang entah benar atau tidak, kantuk para santri pun sirna. Melihat hal itu, kiai kita pun melanjutkan pengajian kitab Riyâdh Al-Shâlihîn.

Itulah sekelumit kisah yang “mewarnai” pengajian segar dan memikat yang diberikan KH Ali Maksum, seorang kiai terkemuka yang juga seorang Guru Besar Ilmu Tafsir di sebuah institut Islam negeri di Yogyakarta. Kini, bagaimanakah kisah hidup kiai yang setiap Hari ‘Idul Fitri senantiasa disowani seorang muridnya, sampai pun ketika si murid menjabat Menteri Agama sekali pun, karena menghormati gurunya yang kiai itu?

Kiai terkemuka dengan sosok yang tinggi besar dan pancaran mata yang begitu  tajam ini lahir di sebuah kota pesisir  utara  perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur, Lasem, pada Selasa, 15 Rabi‘ Al-Akhir 1333 H/2 Maret 1915 M.  Ayahandanya,  Kiai  Haji Maksum, juga seorang kiai terpandang. Sedangkan sang ibunda, yang lebih terkenal  dengan sebutan “Simbah Nyai”, tidak lebih kecil  wibawa dan pengaruhnya dari sang ayahanda. Sebelum  menetap di Yogyakarta, perjalanan hidup Ali Maksum  muda dilaluinya  di  Pondok  Pesantren Tremas,  Pacitan,  Jawa  Timur, sebuah pondok pesantren yang kala itu terkenal sebagai salah satu tempat  penggemblengan  para calon kiai.  Kemudian,  sekitar 1357  H/1938 M, selepas menikah dengan Hasyimah, putri Kiai  Haji Mohammad Moenawwir, pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, ia bertolak ke Makkah untuk belajar di sana. Perang Dunia  kedua memaksanya untuk pulang ke Tanah Air.

Sekembali dari  Tanah Suci, Ali Maksum menetap  Lasem,  untuk membina  pesantren yang didirikan sang ayahanda. Tetapi, kemudian  ia diminta  sang mertua untuk menetap di Yogyakarta, guna  membenahi Pondok  Pesantren  Krapyak. Tampaknya, ia pun  telah  dipersiapkan untuk  menggantikan sang mertua. Bila sang mertua lebih  terkenal sebagai  kiai yang pakar Tahfîzh Al-Quran, sedangkan sang menantu  terkenal sebagai  pakar  Tafsir Al-Quran. Tidak aneh bila  ia  akhirnya diangkat  sebagai guru besar bidang Tafsir Al-Quran di  Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mantan  Rais  Am Syuriah Pengurus Besar Besar  Nahdlatul  Ulama (1401-1404  H/1981-1984  M)  yang terkenal  berwawasan  luas  ini berpulang di Yogyakarta pada Kamis, 8 Jumada Al-Ula  1410 H/7  Desember  1989 M dengan meninggalkan beberapa  karya  tulis. Antara  lain  Mîzân Al-‘Uqûl fî ‘Ilm  Al-Manthiq,  Al-Sharf  Al-Wâdhih, dan Hujjah Ahl Al-Sunnah wa Al-Jamâ‘ah.

Perjalanan hidup kiai kita ini memberikan suatu pelajaran indah: pengajaran suatu materi yang berat, di bidang apa pun, sejatinya dapat disajikan dengan mudah jika ditampilkan dengan segar dan memikat. Apalagi, jika disertai dengan penjelasan dengan wawasan yang luas, seperti halnya yang dilakukan KH Ali Maksum dalam setiap pengajian yang diberikan olehnya!


Monday, July 21, 2014

KH MUNAWWIR:
Perintis Tahfizh Al-Quran di Indonesia

Kini, kita masih di Yogyakarta.

Mungkin Anda tahu, di bagian selatan Kota Pelajar itu tegak sebuah pondok pesantren besar. Ya, itulah Pondok Pesantren “Al-Munawwir”, Krapyak: sebuah pesantren yang terkenal telah melahirkan para ulama dan ahli tentang Al-Quran.

Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, mari kita naik sepeda saja. Kita berangkat dari depan Gedung Agung yang terletak di pusat keramaian Kota Yogyakarta, tepatnya di ujung selatan Jalan A. Yani, dengan mengayuhkan sepeda ke arah selatan. Setelah melintasi perempatan, kita bergerak lurus saja ke arah Alun-Alun Utara. Setelah sampai di alun-alun tersebut, kita belok ke kanan menuju ke arah Jalan Kauman, dengan melintasi Masjid Besar Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Nah, setelah berada di Jalan Kauman, sepeda yang kita naiki kita arahkan ke arah selatan, dengan melintasi Taman Sari. Dari situ, tanyakan ke mana arah menuju Alun-Alun Selatan. Dari alun-alun tersebut, bergeraklah menuju ke arah selatan, menuju ke Jalan Panjaitan. Setelah berada di Jalan Panjaitan, kayuhlah sepeda Anda ke selatan sampai di sebelah kiri Anda menemukan sebuah plang yang bertuliskan Pondok Pesantren “Al-Munawwir”. Ya, di situlah Pondok Pesantren “Al-Munawwir” Krapyak, Yogyakarta berada.

Usia pondok pesantren ini sejatinya cukup lama: 104 tahun. Ini karena awal perjalanan pondok pesantren ini bermula pada 1911. Kala itu, perintis dan pendiri pondok pesantren ini, KH Munawwir, mulai membuka pengajian di Kampung Kauman, tidak lama setelah pulang dari Makkah dan menimba ilmu di Tanah Suci itu selama 21 tahun. Karena jumlah para santrinya kian banyak, maka tempat pengajian itu kemudian dipindahkan ke Desa Krapyak Kulon. Tempat pengajian itu kemudian kian berkembang dan akhirnya menjadi sebuah pondok pesantren. 

Pada awal berdirinya, pesantren ini menekankan pengajaran Al-Quran. Baik dengan membaca langsung (bi al-nadzar) atau dengan hapalan (bi al-ghaib). Kemudian dari pelajaran Al-Quran bi al-ghaib tersebut dilanjutkan dengan pelajaran qirâ’at sab‘ah, tujuh macam bacaan Al-Quran oleh Nafi‘ bin Na‘im (berpulang pada 109 H) dari Madinah, Abu Ma‘bad ‘Abdullah bin Katsir atau Ibn Katsir  (berpulang pada  120 H/738 M) dari  Makkah,  ‘Abdullah bin ‘Amir (berpulang pada 118  H/736 M)  dari Syam, Abu ‘Amr bin Al-A‘la (berpulang pada 154  H/771 M) dari Bashrah, Abu Bakar ‘Ashim bin Abu  Al-Nujud  (berpulang pada 127 H/745 M),  Abu  ‘Imarah Hamzah  bin  Habib  (berpulang pada 216 H/831  M), dan ‘Abdul Hasan  ‘Ali bin  Hamzah Al-Kisa’i (berpulang pada 189 H/805 M),  dari Kufah. Melengkapi pelajaran Al-Quran, diberikan pula pelajaran berbagai kitab fikih, tafsir, dan kitab-kitab agama lainnya.  Karena itu, dapat dikatakan, pendiri pondok pesantren sebagai perintis pendidikan penghapalan Al-Quran secara sistematis di Indonesia.

Kini, bagaimanakah perjalanan hidup pondok pesantren tersebut?

Kiai  Haji Mohammad Munawwir,  kiai yang pendiri  dan  pengasuh Pondok Pesantren Krayak, Yogyakarta ini lahir di Kauman,  kampung para  santri  di  belakang  Masjid  Besar  Keraton  Ngayogyokarto Hadiningrat.  Selepas menimba ilmu di berbagai pesantren,  antara lain  kepada  Syaikhuna Khalil Bangkalan, Madura  dan  Kiai  Haji Saleh nDarat, Semarang, putra kedua pasangan Kiai Haji  Abdullah Rosyad  dan Khodijah ini bertolak ke Makkah, Arab Saudi,  untuk menimba  ilmu. Selama menimba ilmu di Tanah Suci, selama  sekitar 21 tahun, kiai yang telah hapal Al-Quran ketika berusia 10 tahun itu berguru kepada sejumlah ulama besar di Makkah  dan Madinah. Antara lain ia belajar qira’ah sab‘ah kepada Syeikh Yusuf Hajar.
   
Selepas  tiba  kembali  di Tanah Air pada  1327  H/1909  M,  adik kandung  Kiai  Mudzakkir, ayahanda Prof. Abdul Kahar Mudzakkir,  yang  kelak menjadi  tokoh Muhammadiyah,  ini  lantas  membuka pengajian Al-Quran di rumah asalnya, Kauman, Yogyakarta. Ketika pengajiannya  kian berkembang, cucu Kiai Haji  Hasan  Bashari yang  dikenal  pula  dengan  sebutan  Kasan  Besari,  ajudan  dan sekaligus komandan pasukan Pangeran Diponegoro untuk daerah Kedu ketika   menghadapi  pasukan  Belanda,  ini  memindahkan   tempat pengajiannya  ke luar kota. Pilihannya jatuh pada  desa  Krapyak, sekitar 5 kilometer arah selatan Keraton Yogyakarta.

Pada 1328 H/1910 M kiai yang pernah mendapat pesan dari  gurunya, Syaikhuna  Khalil Bangkalan, Madura, “Jadilah  engkau  bagaikan air, diperlukan oleh siapa pun dan kapan pun. Dan, janganlah engkau menjadi   bagaikan  kalajengking,  siapa  yang  melihatnya   akan ketakutan”  ini  pun mulai menempati tempat  baru  yang  kemudian terkenal  dengan nama Pondok Pesantren Krapyak  yang  pembangunan pertamanya  rampung  pada 1346 H/1927 M.  Segera,  pesantren  yang semula  mengkhususkan  pada  kajian  Al-Quran,  yang  qira’ahnya berdasarkan qira’ah Imam ‘Ashim (Abu Bakar ‘Ashim bin Abu Al-Najudi Al-Kufi bin Bahdalah) menurut riwayat Imam Hafsh (Abu ‘Umar Hafsh bin Sulaiman bin Al-Mughirah Al-Bazzaz),   ini berkembang.  Dan,  pengasuh  pesantren ini  kembali  kepada  Sang Pencipta  pada  12 Jumada Al-Tsaniyyah 1361 H/26 Juni  1942  M  selepas melaksanakan shalat Jumat dalam kompleks pesantren yang ia dirikan.

Kini, dapat dikatakan, beberapa pesantren tahfizh Al-Quran besar di Jawa bermuara kepada KH Munawwir. Misalnya Pesantren Yanbu‘ Al-Quran, Kudus (didirikan KH Arwani Amin), Pesantren Al-Mu’ayyad, Mangkuyudan, Solo (didirikan KH Ahmad Umar), Pesantren Al-Asy‘ariyah, Kalibeber, Wonosobo (didirikan KH Muntaha), Pesantren Kempek, Cirebon (didirikan KH Umar Sholeh), Pesantren Benda Bumiayu, Brebes (didirikan KH Suhaimi), dan pesantren Sunan Pandanaran, Sleman, Yogyakarta. Dan, “taburan” benih pengajaran Al-Quran yang dirintis KH Munawwir kini telah membuahkan hasil yang luar biasa. Kini, ribuan penghapal Al-Quran bermunculan di Indonesia. Rintisan dan teladan kehidupan yang indah!


Sunday, July 20, 2014

HASBI ASH-SHIDDIEQY:
Ulama Hadis Terkemuka dan Penulis Produktif  yang “Produk Dalam Negeri”


Yogyakarta, 1973.


Pagi menjelang siang di bulan Maret tahun itu cerah sekali. Waktu saat itu menunjuk sekitar pukul setengah sepuluh pagi. Usai mengikuti kuliah pagi di tingkat baccalaureate di sebuah institut yang tegak di Jalan Adisucipto, seorang mahasiswa, yang sedang duduk di tangga menuju ke lantai dua tempat ia sedang menimba ilmu, melihat seorang lelaki sepuh, dengan usia sekitar 70 tahun, turun dari sebuah mobil kuno. Kemudian, setelah keluar dari mobil, lelaki sepuh itu berjalan pelan dengan ditopang sebuah tongkat di tangan kirinya. Sementara tangan kanan lelaki itu membawa tas butut yang tampak berat. Mungkin, tas itu berisi sejumlah buku.

Melihat lelaki sepuh itu berjalan pelan dengan membawa tas berat, segera mahasiswa itu lari turun dari tangga dan menjemput lelaki sepuh itu. Begitu dekat dengan lelaki sepuh itu, dan seusai mengucapkan salam, lantas ucap si mahasiswa, “Prof., biar saya bawakan tas ini.” Begitu tas itu berada di tangan kanannya, dan kemudian beralih ke tangan kirinya, ia kemudian “menyambar” tangan kanan lelaki sepuh itu dan menciuminya. Betapa kaget lelaki sepuh itu dengan kelakuan si mahasiswa. Lantas, lelaki sepuh yang tidak suka dicium tangannya itu pun berucap pelan seraya memandangi si mahasiswa, “Siapa engkau ini? Mengapa engkau cium tanganku. Apa engkau tidak tahu, aku tidak suka seseorang mencium tanganku?”
“Saya mahasiswa di sini, Prof. Ya, saya tahu. Tetapi, saya sejak kecil dididik ayah saya untuk mencium tangan kanan guru-guru saya setiap kali bertemu mereka, sebagai penghormatan dan rasa terima kasih kepada mereka atas ilmu yang mereka ajarkan. Saya sendiri sudah banyak membaca dan menelaah karya-karya tulis bapak. Karena itu, meski saya belum pernah mengikuti kuliah bapak, saya memandang bapak sebagai guru saya dan karena itulah saya tadi mencium tangan kanan bapak. Mohon maaf bila saya salah.”
“Ya sudah. Tapi, lain kali jangan engkau lakukan lagi.”

Tidak lama selepas itu, dua orang itu kemudian menuju ke sebuah rungan di lantai dua. Kemudian, ketika lelaki sepuh itu memberikan kuliah Ilmu Hadis kepada para mahasiswa tingkat doktoral, mahasiswa yang membawakan tasnya ikut mendengarkan kuliah yang diberikan lelaki sepuh itu, meski sejatinya ia belum pantas mengikuti kuliah di tingkat doktoral. Dan, ketika mendengar kuliah menarik yang diberikan lelaki sepuh itu, mahasiswa itu bergumam pelan, “Aku harus banyak membaca dan tekun belajar. Biar suatu ketika aku memiliki ilmu pengetahuan yang luas seperti profesor itu.”

Siapakah profesor yang dihormati mahasiswa itu?

Itulah Hasbi Ash-Shiddieqy, salah seorang ulama kondang Indonesia.    Bernama lengkap Teungku Muhammad Hasbi Al-Shiddieqy, putra asli  Aceh  ini lahir di Lhokseumawe, Aceh Utara pada  Kamis,  22 Dzulhijjah 1321 H/10 Maret 1904 M. Selaras dengan tradisi yang berkembang kala itu, putra sulung  pasangan suami-istri  Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husain bin Muhammad Su‘ud dan Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz  ini  mendapat  pendidikan  pertamanya  dari  ayahandanya sendiri. 

Selepas  itu,  Hasbi muda menimba ilmu  kepada  beberapa  ulama setempat. Antara lain Teungku Haji Idris. Selain selama bertahun-tahun juga belajar di berbagai pesantren di Aceh  dan memerdalam bahasa  Arab,  ia juga belajar kepada Syaikh Muhammad bin  Salim  Al-Kalali,  pendiri Islam Menjadi Satu di Aceh, yang sangat  berjasa dalam  pembentukan  pemikiran Hasbi lebih lanjut. Sang  guru  ini menyarankan kepadanya untuk menimba ilmu di Perguruan Al-Irsyad Surabaya.

Mengikuti saran Al-Kalali, Hasbi muda kemudian meninggalkan Aceh untuk menuntut ilmu di Perguruan Al-Irsyad, Surabaya. Di ibukota Provinsi Jawa Timur itu,  ia  bertemu dengan gurunya yang  seorang  pemikir  asal Sudan,  Syeikh  Ahmad  Surkati. Seusai  menimba  ilmu  di  Kota Pahlawan,   dengan   mengambil   jurusan   takhashshush,  program spesialisasi  dalam bidang pendidikan dan bahasa  dengan  jenjang pendidikan  selama dua tahun, ia kembali ke Aceh  dan  melibatkan diri  dalam  dunia  pendidikan. Pada 1347 H/1928  M  ia  memimpin Perguruan Al-Irsyad di Lhokseumawe. Tahun berikutnya, ia merangkap sebagai pimpinan Madrasah Al-Huda di Krueng Mane.

Perjalanan   hidup   Hasbi   berikutnya   tetap   sarat    dengan pengabdiannya di dunia pendidikan. Pada 1352 H/1933 M,  misalnya, ia  mengajar  di  Hollandsch Inlandsche  School  (HIS)  dan  Meer Uitgebreid  Lager  Onderweijs (MULO)  Muhammadiyah  di  Kutaraja. Tahun  berikutnya  ia  mendirikan  dan  memimpin  Sekolah   Darul Mu‘allimin  Muhammadiyah  di kota yang sama. Selain itu,  ia  juga menjadi  pengajar  di  Jong  Islamieten  Bond  Cabang  Kutaraja. Lantas,  pada  1360  H/1941 M, ia  mendapat  kepercayaan  sebagai pengajar  di  Ma‘had  Iskandar  Muda  di  Lampaku,  Aceh   Besar. Kemudian,  tujuh  tahun kemudian, ia  menjabat  sebagai  Direktur Sekolah Menengah Islam di Lhokseumawe.

Selepas Indonesia meraih kemerdekaan, ulama yang pakar di bidang ilmu hadis dan juga seorang penulis produktif ini lebih  banyak meniti kehidupannya di Yogyakarta, sebagai guru besar di Institut Agama  Islam  Negeri  Sunan  Kalijaga  dan  Universitas   Islam Indonesia.  Di  antara karya-karya tulisnya adalah  2002  Mutiara Hadis,  Al-Islam, Pedoman Shalat, Pedoman Puasa, Pengantar  Ilmu Fikih, Pengantar Ilmu Hadis, Sejarah dan Pengantar Ilmu  Tafsir, Pokok-Pokok Dirayah Hadis, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, dan Tafsir An-Nur. Karena jasanya dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman  di Indonesia,  pada 22 Maret 1975 Hasbi Ash-Shiddieqy dianugerahi gelar doctor honoris causa dari Universitas Islam Bandung (UNISBA). Dan, guru besar di bidang  Ilmu  Hadis  ini menghadap kepada  Yang  Maha  Kuasa  di Jakarta  pada  Selasa, 6 Dzulhijjah 1395 H/9  Desember  1975  M, ketika   berada   di  karantina  menunggu   keberangkatan untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah, dalam usia 71 tahun.

Perjalanan hidup ulama yang berwawasan luas ini memberikan suatu pelajaran indah: untuk menjadi seorang ulama atau ilmuwan terkemuka tidak harus merupakan produk luar negeri! Hasbi Ash-Shiddieqy adalah salah satu buktinya. Meski ia tidak pernah merantau dan menimba ilmu di luar Indonesia, namun keluasan ilmu dan wawasannya di bidang-bidang yang ditekuninya diakui para ilmuwan dan ulama!


Saturday, July 19, 2014

HASSAN FATHY:
Arsitek Kondang dan “Urakan” yang Pencinta Kaum Papa

Kini, sebelum meninggalkan Mesir, mari kita sejenak jalan-jalan kembali ke ibukota Negeri Piramid itu: Kota Kairo.

Selepas melintasi Gedung Syaikh Al-Azhar, ke arah yang bertentangan dengan Cairo International Airport, segera Anda akan menyaksikan kawasan yang bertebing dan berbenteng di depan Anda. Di sebelah kiri jalan, Anda akan melihat Bukit Muqaththam yang tegak dengan garangnya. Sedangkan di sebelah kanan jalan, mencuat dengan gagahnya Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi dengan Masjid Muhammad ‘Ali yang “menghiasi”  puncak kompleks perbentengan itu.  

Lembaran sejarah menorehkan, Bukit Muqaththam merupakan salah satu saksi pelbagai peristiwa historis sepanjang sejarah Mesir. Termasuk sebagai “pemasok” batu-batu yang digunakan untuk membangun piramid-piramid di Giza. Di bukit itu pula terdapat makam beberapa ulama terkemuka: Ibn ‘Atha’illah Al-Iskandari, Ibn Daqiq Al-‘Id, dan Abu Jamrah, dan pada tahun 1960-an di salah satu sudut bukit itu terdapat gedung Badan Intelijen Mesir. Selain itu, di salah satu sisi puncak Bukit Muqaththam itu tegak Masjid Al-Juyusyi. Masjid itu didirikan Amir Al-Juyusy Badr Al-Jamali, pendiri sejumlah pintu gerbang Kota Kairo dan tangan kanan Dinasti Fathimiyyah. Tidak aneh jika masjid tersebut, seperti tertera dalam relief yang ada di dalam masjid tersebut, disebut sebagai masyhad atau makam seorang syahid. Mungkin, sang panglima ingin menjadikan masjid tersebut sebagai Masyhad  Imam ‘Ali bin Abu Thalib. Masjid itu berukuran kecil. Namun, masjid tersebut memiliki ruang shalat indah yang berhiaskan dekorasi semen indah yang berbentuk buah anggur dan tandan-tandannya. Di sisi lain, masjid ini dihiasi pula dengan sebuah menara yang tingginya hampir setinggi kubah masjid tersebut.

Kemudian, jika Anda berada di kaki Benteng Shalahuddin dan melintasi kawasan kumuh di sekitar kaki benteng itu, nah di situlah tempat tinggal seorang kondang Mesir sebelum ia berpulang. Hassan Fathy, itulah nama arsitek beken itu.

Kini, bagaimanakah kisah hidup Hassan Fathy?

Begawan arsitektur asal Mesir  yang  pada November  1987  M mendapat  gelar  “Arsitek  Terbaik  Dunia”   dari Persatuan Arsitek Internasional ini lahir Jumat, 21 Dzulqa‘dah 1317  H/23 Maret 1900 M  di  Alexandria, Mesir,  dan  lulus sebagai insinyur dari  Institut  Teknik  Kairo pada  usia  25 tahun. Sekitar tahun 1930-an dan  1940-an ia menjadi  arsitek  di Balaikota Kairo,  Departemen  Kepurbakalaan, Kementerian  Pendidikan,  dan sebagai konsultan  pada  UNRWA.  Di tengah  kesibukannya  itu,  ia  masih menyempatkan  diri  mengajar   di Fakultas Seni Rupa, Universitas Kairo (1355-1366 H/1936-1946 M). Ketika  bekerja di Departemen Kepurbakalaan itulah ia mendapat  tugas untuk merancang proyek pemukiman Gourna Baru,  di Mesir  Selatan.  Kisah proyek ini ia  publikasikan  dalam  sebuah tulisan  berjudul   Gourna: A Tale of Two  Villages.  Belakangan, karya  kontroversial ini diterbitkan kembali  oleh  Massachusetts Institute  of  Technology (MIT), Amerika  Serikat,  dengan  judul Architecture for the Poor.

Pada  tahun 1373 H/1953 M Hassan Fathy kembali  berkutat  sebagai staf  pengajar di Fakultas Seni Rupa, Universitas Kairo.  Setahun kemudian,   ia  diangkat  sebagai  Ketua  Jurusan  Arsitektur   di universitas yang sama. Selepas Gourna, ia kemudian merancang  dan membangun  sebuah  sekolah  di Fares.  Kembali  rancangannya  ini menyabet perhatian banyak pihak. Selepas proyek di Fares rampung, ia meninggalkan negerinya menuju Athena, ibukota Yunani.  Suasana politik  yang membelenggu Mesir kala itu membuatnya terpaksa  meninggalkan tanah  air yang ia cintai itu. Ia menetap di Athena hingga 1382 H/1962 M, bekerjasama dengan Doxiadis. Selama berada di kota kuno  itu,  ia menangani sejumlah proyek, antara  lain  perumahan rakyat di Irak dan rancangannya tentang Kota Masa Depan.

Pada  tahun 1960-an, selain menangani proyek-proyek tadi,  Hassan Fathy juga menggarap sejumlah proyek lain. Di antaranya penyiapan pemukiman  baru  Baris  di oase Kharjah.  Kemudian,  arsitek  yang menghadap  kembali kepada Yang Memilikinya pada Kamis, 1  Jumada Al-Ula  1410  H/30 November  1989  M  ini  mulai  menangani rancangan  desain rumah-rumah pribadi, di Mesir dan Arab  Saudi. Selama  menapaki kehidupannya 15 tahun terakhir,  sejumlah  gelar doktor  “honoris causa”, award, medali, dan hadiah telah diterima Hassan Fathy.

Mungkin, Anda membayangkan, tempat tinggal arsitek beken di lingkungan Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi itu, yang lebih terkenal dengan sebutan “Qal‘ah” atau “Citadel”, merupakan sebuah tempat tinggal megah dan indah. Dengan kata lain, layak dengan namanya yang tinggi menjulang. Tetapi, ternyata, tempat tinggal “arsitek urakan” yang terletak di lantai empat itu nyaris tiada bedanya dengan tempat tinggal penduduk di sekitarnya. Perabot rumah tangganya pun tidak mewah. Meski demikian, di tempat tinggal yang sederhana itulah ide-idenya yang cemerlang lahir.

Memang, bagi arsitek yang sangat mengagumi kubah masjid, khususnya Masjid Ahmad bin Thulun yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya, rumah bukanlah sekadar tempat meniti kehidupan. Rumah, menurutnya, merupakan ungkapan budaya dan kepribadian seseorang yang menempatinya. Di sisi lain, kecintaan Hassan Fathy kepada kaum papa membuat ia kerap mengeluh ketika melihat perkembangan kota dan pemukiman baru. Ucapnya, “Kita telah memunggungi rumah ‘ayahku’. Kini, rumah kita bukan lagi rumah ‘ayahku’, tapi rumah Paman Sam. Setiap langkah di baliknya adalah dolar! Tampaknya kini arsitektur Amerika Serikat yang paling dominan. Apa akibatnya? Rumah menjadi tempat tinggal yang asing. Manusia yang menghuninya ikut menjadi asing. Kita jadi kebingungan, mengapa kita kerap resah dan gampang marah? Ini semua karena bangunan modern yang kerap kita banggakan sejatinya tidak cocok untuk penduduk negeri ini. Juga, tidak sesuai sebagai tempat tinggal mereka. Lihatlah bangunan-bangunan buruk itu! Bukankah bangunan-bangunan itu merupakan penjungkirbalikan arsitektural dan kultural?”

Tidak aneh jika, hingga akhir hayatnya, Hassan Fathy tetap kuat memegang ide-idenya yang merupakan perpaduan tiga unsur: manusia-arsitektur-seni. Baginya, paduan tiga unsur itu merupakan syarat utama suatu bangunan: manusia dengan segala tuntutan fisik, psikis, dan intelektualnya, arsitektur dengan segala tuntutan konstruksi, teknis, dan kulturalnya, dan seni dengan segala tuntutan estetis, visual, dan terapannya!