Friday, May 16, 2014

PENSIUN:
Catatan Pengabdian Selama 30 Tahun kepada Masyarakat

Mas, tadi saya diberitahu rumah sakit, mulai bulan depan saya memasuki masa pensiun.”

Demikian ucap istri, sepuluh hari lalu, ketika dia baru saja pulang dari tempatnya bekerja di sebuah rumah sakit di Baleendah, Kabupaten Bandung. Wajahnya, kala itu, memancarkan antara perasaan sedih dan gembira. Sedih, karena akan berpisah dengan tempatnya bekerja, dan gembira karena dapat merampungkan tugasnya sebagai dokter spesialis tetap di rumah sakit tersebut.

Mendengar ucapan istri yang demikian, segera benak saya pun “melayang-layang” dan teringat perjalanan panjang karier istri sebagai seorang dokter. Kami bertemu pertama kali 30 tahun yang lalu, ketika dia sedang bertugas di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta. Beberapa bulan kemudian, kami menikah. Seminggu setelah menikah, karena menerima perintah penempatan dari Departemen (kini Kementerian) Kesehatan Republik Indonesia, istri dan saya pun menuju Bandung dengan hanya membawa dua tas. Setelah melapor di Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Jawa Barat, dia ditempatkan di Kabupaten Bandung, untuk melaksanakan Wajib Kerja Sarjana 1 di Kabupaten Bandung.

Setelah bertugas beberapa lama di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Cililin dan Ciparay, pada November 1984, dia ditugaskan untuk menjabat Kepala Puskesma Pakutandang, Ciparay disertai perintah harus tinggal di rumah dinas di puskesmas tersebut. “Mas, ternyata rumah dinas yang akan kita tempati tidak ada listriknya. Itu belum apa-apa. Saya, bersama 12 staf yang belum berpengalaman, akan memulai kerja tanpa perabotan sama sekali di sebuah puskesmas yang belum rampung pembangunannya. Kami akan mulai bekerja hanya dengan tikar saja,” ucap istri seusai melihat kondisi puskesmas tersebut.
“Bismillah, laksanakan saja perintah itu dengan ikhlas dan sebagai bentuk pengabdian kita kepada masyarakat,” jawab saya.

Bukan hanya dengan peralatan yang terbatas, namun juga dana yang terbatas. Namun, semua itu tidak menghalangi dia untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan, lewat pengabdian selama sekitar enam tahun di puskesmas tersebut, kami mendapat pengalaman yang sangat berharga: ketika kita mengabdi kepada masyarakat dengan ikhlas, kerja keras, dan jujur, masyarakat pun tahu apa yang kita lakukan dan menghargai pengabdian kita serta dengan senang hati mereka membantu kita. Karena itu, tidak aneh jika dalam waktu enam tahun, Puskesmas Pakutandang beralih dari strata paling “bontot”, alias strata 3, menjadi puskesmas strata 1, alias puskesmas teladan, tanpa perlu melakukan tindakan manipulatif apa pun. Setiap hari kerja, puskesmas itu dihadiri tidak kurang dari 300 pasien.

Sebelum kami meninggalkan puskesmas yang menjadi tempat kelahiran dua putri kami tersebut, kami mendapatkan kenangan indah: kami mendapat hadiah gambar sebuah masjid mungil dari seorang arsitek maestro Indonesia, Ir. Achmad Noe’man (seorang arsitek yang merancang Masjid Salman ITB, Bandung) dan membangun sebuah masjid mungil sesuai gambar tersebut di lingkungan puskesmas dengan luas lahan terluas di Kabupaten Bandung: 4,000 meter persegi. Dan, atas pengabdiannya tersebut, istri mendapatkan penghargaan dengan ditunjuk sebagai anggota Tim Kesehatan Haji Indonesia.

Pada Mei 1990 kami pindah ke Kota Bandung, dengan diantar tidak kurang dari 70 masyarakat Pakutandang.  Dengan berat hati kami meninggalkan Desa Pakutandang, karena istri mengikuti pendidikan dokter spesialis penyakit dalam di Universitas Padjajaran. Enam tahun setelah mengikuti pendidikan yang tidak mudah (antara mengurus rumah tangga dan mengikuti pendidikan yang berat), akhirnya pada 1996 pendidikan itu terselesaikan. Kemudian, ketika melapor ke Departemen Kesehatan Republik Indonesia di Jakarta, untuk membayar utang, alias melaksanakan Wajib Kerja Sarjana 2, apa yang terjadi? Ucap seorang pejabat di departemen tersebut, “Silakan dokter memilih, mau berangkat ke Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara Timur, atau Nusa Tenggara Barat. Di tempat-tempat tersebut, dokter akan ditempatkan selama satu tahun. Jika memilih ditempatkan di Jawa, dokter harus mengabdi selama lima tahun, untuk bisa mendapatkan surat lolos butuh. Kami memberikan kesempatan kepada dokter untuk memikirkannya dalam waktu sehari semalam!”

Akhirnya, kami memilih mengabdi di Nusa Tenggara Barat, dengan penempatan di Kota Bima. Dengan meninggalkan dua putri di Bandung (mereka baru menempuh pendidikan di sekolah dasar), kami pun berangkat ke Mataram, untuk melapor penempatan istri, ke Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Seusai melapor, ucap istri kepada saya, “Mas, saya harus “babat alas” lagi. Saya tidak jadi ditempatkan di Bima. Tapi, saya ditempatkan di Praya, ibu kota Lombok Tengah. Kota itu telah memiliki Rumah Sakit Umum Daerah. Sayangnya, sampai saat ini tidak ada dokter spesialis penyakit dalam yang mau ditempatkan di rumah sakit tersebut. Kabupaten Lombok Tengah, saat ini, merupakan kabupaten termiskin di Nusa Tenggara Barat. Bagaimana enaknya?”
“Bismillah, lakukan saja tugas itu,” jawab saya.

Sekali lagi, pelajaran serupa kami dapatkan ketika istri bertugas di Praya: : ketika kita mengabdi kepada masyarakat dengan ikhlas, kerja keras, dan jujur, masyarakat pun tahu apa yang kita lakukan dan menghargai pengabdian kita serta dengan senang hati mereka membantu kita.

Awal tahun 1998, ketika Indonesia menjelang “dihajar” krisis ekonomi, dan beberapa bulan sebelum Pak Harto lengser, istri kembali ke Bandung setelah rampung “membayar utang”, alias melaksanakan Wajiba Kerja Sarjana 2, di Praya. Setiba kembali di Bandung, sebagai Pegawai Negeri dengan pangkat IIId, sebuah rumah sakit Islam mengharapkan istri bertugas di situ, dengan syarat melepaskan kedudukannya sebagai pegawai negeri. Kala itu, tidak ada dokter spesialis penyakit dalam yang mau menerima persyaratan demikian untuk ditempatkan di rumah sakit tersebut. Syarat keluar dari pegawai negeri itu diperlukan rumah sakit tersebut untuk melengkapi perizinannya. “Mas, masa saya harus “babat alas” melulu. Bagimana ini enaknya?”
“Keluar saja dari pegawai negeri. Rezeki Allah Swt. yang mengatur. Kalau tiada yang mau memenuhi syarat demikina, kapan rumah sakit itu memiliki izin,” jawab saya.


Akhirnya, istri pun melepaskan kedudukannya sebagai pegawai negeri. Dan, sejak itu, dia bertugas di Rumah Sakit Al-Ihsan (kini menjadi sebuah rumah sakit umum daerah di bawah pemerintah Provinsi Jawa Barat), dengan sederet tugas, antara lain sebagai wakil direktur (dua kali), Ketua SMF Penyakit Dalam, Ketua Komite Infeksi, Ketua Komite Kendali Mutu dan Etik, dan pemrakarsa berdirinya Diabetic Center, sampai akhirnya menerima keputusan pensiun bulan depan. Semoga amal dan pengabdiannya kepada masyarakat diterima Allah Swt., amin ya Rabb Al-‘Alamin. 

Thursday, May 15, 2014


Golden Ages
Mas, Antum sama istri Antum itu aneh!”

Demikian ucap seorang sahabat, ketika dia tahu, ternyata santri-santri dan murid-murid  Pesantren Mini kami “hanya” anak-anak dari pra-taman kanak-kanak sampai sekolah dasar. Bukan seperti kebanyakan pesantren-pesantren lainnya yang santri-santrinya mulai dari anak-anak sekolah menengah pertama sampai mahasiswa.
“Apanya yang aneh,” tanya saya.
“Kalau punya santri-santri dan murid-murid seusia mereka, Antum tidak bakal punya pengaruh terhadap masyarakat. Apalagi pengaruh politik,” jawab sahabat saya. “Beda sekali dengan pesantren-pesantren lain yang memiliki para santri yang usia mereka lebih tinggi. Lihat itu calon-calon anggota dewan perwakilan, malah juga calon-calon presiden, mereka sama “sowan” ke pesantren-pesantren untuk mendapatkan dukungan. Kalau pesantren Antum, siapa yang akan mendatanginya?”

Mendengar jawaban yang demikian, saya hanya tersenyum saja. Lantas, beberapa saat kemudian, saya pun berucap, “Gak mereka datangi ya gak apa-apa. Gitu saja kok repot, kata Gus Dur. Saya dan istri memang bukan politisi,” jawab saya santai. “Dan, inilah model pesantren yang saya dan istri saya pilih dengan pertimbangan yang matang. Untuk mendapatkan “formula” pesantren mini yang demikian ini, sejatinya saya dan istri melalui proses yang tidak sebentar. Saya dan istri sengaja memilih pendidikan untuk anak-anak, karena pendidikan di masa “golden ages” (dari sejak anak dalam kandungan hingga usia sekitar tujuh tahun) sangat penting. Masa itu merupakan landasan masa depan anak-anak. Dan, untuk menyiapkan pendidikan model ini, kami telah keliling ke mana-mana: ke Banten, melihat Rumah Dunianya Golagong dan Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia, di Jakarta ke Pesantren Darunnajah, ke Jawa Barat ke beberapa sekolah menengah umum dan pesantren. Kami pun juga pergi ke Jawa Tengah, melihat pola pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Qaryah Thayyibah di Salatiga, Sekolah Menengah Umum Taruna Nusantara di Magelang, dan beberapa pesantren. Termasuk Pesantren Raudlotut Tholibin yang kini dipimpin Gus Mus dan Pondok Pesantren Mangkuyudan di Solo. Kami juga pergi ke Jogjakarta dan Jawa Timur. Antara lain ke Pondok Pesantren Krapyak Jogjakarta, Pondok Modern Gontor, Pondok Pesantren Syaikhona Khalil di Bangkalan, dan Pondok Modern Al-Amin Prenduan Sumenep. Selain itu, kami juga mengunjungi beberapa sekolah alam. Dari perjalanan panjang itu, kami akhirnya mengambil “positioning”: kami memilih pendidikan untuk anak-anak.”

Rasanya “plong” usai berucap demikian. Dan, mendengar “paparan” saya yang demikian, sahabat saya pun berkomentar, “Jika demikian, kapan Antum akan “nangkring” di atas kursi empuk di Gedung DPR?” 
“Jalur itu bukan pilihan saya.”
“Sayang sekali. Antum ini kan pernah lama belajar di luar negeri. Sedangkan istri Antum seorang dokter spesialis. Semestinya, Antum dan istri Antum mendirikan perguruan tinggi. Itu baru pas.”
“Seperti telah saya katakan tadi: itu adalah pilihan kami. Kami pun merasa pilihan itu tidak salah dan merasa bahagia dapat ikut mencerdaskan umat. Doakan saja, kiranya amal kami diterima Allah Swt. dan menjadi amal yang bermanfaat, dunia dan akhirat, amin ya Rabb Al-‘Alamin.”
“Amin ya Mujib Al-Sa’ilin.”