Tuesday, February 22, 2011

"Ya Rasul, Perkenankanlah Aku Berkunjung Kepadamu."


Kemarin siang, 21 Februari 2011, ketika penulis sedang asyik menyiapkan dan menyusun sebuah ensiklopedia di rumah di Baleendah, Bandung, tiba-tiba telepon genggam penulis bunyi. Tak lama kemudian, suara santun yang sangat penulis kenali menyapa, “Assalamu‘alaikum, Ustadz…”
“Wa‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh. Apa kabar, Mbak Siti?”
“Alhamdulillah sehat. Ustadz, bisa gak hari Rabu, atau paling lambat Jumat nanti, paspor Ustadz sudah di tangan saya. Insya Allah Maret nanti Ustadz berangkat ke Tanah Suci dan Turki. Karena itu, visa dua negara itu perlu segera diurus,” jawab Mbak Siti Khodijah dari Khalifah Tour.

Tentu saja, ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt. pun segera “mewarnai” hati, pikiran, dan bibir penulis. Dan, tak terasa, tiba-tiba bibir penulis bergumam, “Ya Rasul, perkenankanlah aku berkunjung kembali kepadamu…”

Kemudian, tiba-tiba benak penulis “melayang-layang” menuju Kota Nabi dan terkenang perjalanan penulis ke kota itu pada bulan Maret tahun lalu, pada saat menapakkan kaki di Masjid Nabawi. Kala itu, selepas melintasi plaza utara Masjid Nabawi dengan langkah-langkah pelan, penulis lantas memasuki pelataran masjid seraya merenungkan makna jati diri dan perjalanan hidup penulis di dunia yang fana ini. Kian menyadari pelbagai kedhaifan, kekurangan, dan kekhilafan diri, tiba-tiba penulis gumam lirih, “Ya Allah! Apakah makna kehadiran seorang hamba-Mu yang dhaif ini di tengah “belantara” miliaran umat-Mu? Ya Allah! Karuniakanlah kasih dan cinta-Mu kepada hamba-Mu ini, agar sisa-sisa hidupnya bermakna. Ya Allah! Sampaikan shalawat dan salam kepada Rasul-Mu!”

Begitu berada di dalam Masjid Nabawi, lewat Bâb Al-Salâm, para jamaah pria yang bersama penulis pun mengambil posisi mereka masing-masing di Raudhah yang penuh dengan jamaah. Penulis sendiri mengambil posisi sebuah tempat tak jauh dari mimbar Rasul Saw. Selepas melaksanakan shalat tahiyyah al-masjid, tiba-tiba penulis kembali terkenang pesan Al-Ghazali kepada setiap Muslim ketika ia sedang berada di Masjid Nabawi. Betapa indah pesan itu. Bagaimanakah pesan Al-Ghazali itu?

“Bila Anda telah tiba di Masjid Nabawi,” demikian pesan Al-Ghazali dalam karya besarnya Ihya’ ‘Ulûm Al-Dîn, “hendaknya Anda ingat, masjid itu adalah tempat lapang yang dipilih Allah Swt. bagi Nabi-Nya, kaum Muslim angkatan pertama, dan kelompok orang-orang istimewa. Juga, hendaknya Anda ingat, seluruh hal yang diwajibkan Allah Swt. pertama-tama ditegakkan di tempat yang lapang itu. Selain itu, tempat yang lapang itu menghimpun makhluk-makhluk Allah yang paling utama. Baik apakah semasa mereka masih hidup maupun selepas berpulang. Karena itu, hendaknya Anda benar-benar berharap, kiranya Allah Swt. melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda, dengan masuknya Anda ke dalamnya. Dan, kini, masuklah Anda ke dalam masjid dengan langkah dan sikap tenang dan mengagungkannya. Betapa layak tempat itu membangkitkan kedamaian dalam kalbu orang yang beriman.”

Usai melaksanakan shalat tahiyyah al-masjid dan berdoa beberapa lama di Raudhah, kami kemudian keluar dari “Taman Surga” itu dan kemudian mengikuti barisan panjang yang melintasi Makam Rasulullah Saw. dan dua sahabat tercintanya, Abu Bakar Al-Shiddiq dan ‘Umar bin Al-Khaththab. Dengan langkah-langkah sangat pelan, kami pun kian dekat dengan makam itu.

Kemudian, ketika kian dekat dengan makam dan melihat aneka ragam perilaku kaum Muslim yang sedang bergerak pelan menuju makam itu dan di depannya, penulis pun kembali ingat pesan Al-Ghazali tentang tata krama berziarah ke makam Rasul Saw., “Ketika menziarahi Rasulullah Saw., hendaknya kita berdiri di hadapan beliau sebagaimana telah dikemukakan di muka. Dengan kata lain, hendaknya kita menziarahi beliau selepas berpulang seperti halnya menziarahi beliau ketika masih hidup. Juga, hendaknya kita memandang beliau dengan penuh hormat. Tak menyentuh dan tak memeluk tubuh beliau. Tapi, berdiri agak jauh dari beliau bagaikan berdiri di hadapan beliau. Seperti itulah yang selayaknya kita lakukan. Menyentuh dan memeluk orang lain yang berada di depan seseorang merupakan kebiasaan kaum Nasrani dan Yahudi.

Perlu diketahui, Rasulullah Saw. tahu, Anda datang, tegak, dan menziarahi beliau. Salam dan shalawat Anda pun sampai kepada beliau. Karena itu, bayangkanlah dalam benak Anda, sosok mulia beliau yang terletak dalam lubang makam di hadapan Anda dan hadirkanlah keagungan kedudukan beliau dalam kalbu Anda. Dituturkan dari beliau bahwa ‘Allah Swt. mewakilkan, di makam beliau, seorang malaikat yang menyampaikan kepada beliau salam seseorang dari umat beliau yang mengirimkan salam kepada beliau.’

Hal itu bagi seseorang yang tidak sedang berziarah ke makam beliau. Karena itu, dapat dibayangkan, bagaimana halnya dengan seseorang yang berpisah dengan tempat asalnya dan melintasi pelbagai tempat dan negara, karena ingin menemui beliau serta merasa cukup dengan menyaksikan makam beliau yang mulia, karena tak mendapatkan kesempatan menyaksikan wajah beliau yang mulia. Nabi Saw. berpesan, ‘Barang siapa mengucapkan shalawat kepadaku sekali, niscaya Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya sepuluh kali.’ Ini adalah balasan bagi seseorang yang mengucapkan shalawat kepada beliau. Bisa dibayangkan, bagaimana halnya bagi seseorang yang hadir dengan tubuhnya untuk menziarahi beliau?”

Demikianlah pesan Al-Ghazali kepada kaum Muslim yang berziarah ke Makam Rasulullah Saw.

Kemudian, seraya melangkah sangat pelan di antara antrian orang-orang yang menuju Makam Rasulullah Saw., kedua mata penulis pun “berlari”. Ke sana dan ke mari. Tak bosan-bosannya kedua mata penulis menatap dan mencermati segala sesuatu yang ada di area yang terletak di seputar Raudhah dan makam itu. Satu demi satu. Tiba-tiba, kedua mata penulis menatap mimbar beliau yang menjadi salah satu pembatas Raudhah. “Bukankah di mimbar itulah beliau, manakala sedang tidak melakukan perjalanan ke luar kota, setiap Kamis selepas shalat subuh (bila di bulan Ramadhan selepas shalat asar) memberikan pesan dan arahan kepada para sahabat?” gumam penulis sangat pelan.

Melihat mimbar Rasulullah Saw. yang terdiri dari tiga tingkat dan dibuat dari kayu itu, penulis pun teringat catatan Prof. Dr. Husain Mu’nis tentang mimbar itu. Menurut mantan guru besar Universitas Kairo dan Universitas Kuwait yang merah gelar doktornya dari sebuah universitas terkemuka di Swiss itu, tatkala Rasulullah Saw. mendirikan Masjid Nabawi, pada mulanya mimbar beliau hanyalah tanah yang ditinggikan yang diletakkan di samping mihrab. Kemudian, seperti halnya dikemukakan Ibn Al-Atsir dalam karyanya Asad Al-Ghâbah, pada 6 atau 7 atau 8 atau 9 H sebuah mimbar kayu dibuat untuk beliau dan diletakkan di masjid beliau. Sedangkan Al-Diyarbakri dalam karyanya tentang biografi beliau, Al-Khamîs fî Sîrah Anfas Al-Nafîs, dan Burhanuddin Al-Halabi, dalam karyanya Al-Sîrah Al-Halabiyyah, mengemukakan bahwa yang membuat mimbar beliau adalah seorang Koptik atau Romawi bernama Bacum atau Bacul. Mimbar tersebut terdiri dari dua tangga dan sebuah tempat duduk beliau. Jelas, mimbar kayu ini sebagai pengganti mimbar pertama beliau. Di sini, kita menyaksikan kelahiran mimbar kayu.

Mimbar tersebut tetap dalam keadaan demikian hingga masa pemerintahan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan. Lantas, suatu ketika, penguasa pertama Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah itu membuat untuk dirinya sebuah mimbar bergerak dari kayu yang terdiri dari enam tangga dan sebuah tempat duduk. Selepas itu, tatkala ia pergi ke Makkah, ia membawa serta mimbar tersebut, seakan mimbar itu merupakan simbol kekuasaannya. Mimbar itu kemudian ia tinggalkan di Masjid Al-Haram dan tetap di sana hingga masa pemerintahan Harun Al-Rasyid, penguasa ke-5 Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak. Jejak langkah yang dilakukan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan tersebut kemudian diikuti beberapa penguasa Dinasti Umawiyyah, kala mereka sedang melakukan perjalanan.

Kemudian, ketika kedua kaki penulis beringsut pelan ke depan dan kedua mata penulis asyik mencermati dan menatap lama Mimbar Nabi Saw., tiba-tiba penulis tersadarkan oleh sebuah pesan Rasulullah Saw. yang dikemukakan dalam sebuah lagu indah yang diciptakan Djaka Bimbo, Sam Bimbo, dan Taufiq Ismail serta disenandungkan Bimbo, “Hidup dan Pesan Nabi”:

Hidup ini bagaikan garis lurus
Tak pernah kembali ke titik terakhir
Hidup bukan bulatan bola
Yang tiada ujung yang tiada pangkal

Hidup ini melangkah terus
Tak pernah kembali ke masa lalu
Setiap langkah hilangkan jatah
Menikmati hidup nikmati dunia

Pesan Nabi tentang mati
Jangan takut mati karena pasti terjadi
Setiap insan pasti mati
Hanya soal waktu

Pesan Nabi tentang mati
Janganlah minta mati datang kepadamu
Dan janganlah kau berbuat menyebabkan mati

Tiga rahasia Ilahi
Yang berkaitan dengan hidup manusia
Kesatu tentang kelahiran, kedua pernikahan
Ketiga kematian

Penuhi hidup dengan cinta
Ingatkan diri saat untuk berpisah
Tegakkan shalat lima waktu
Dan ingatkan diri saat dishalatkan

Pesan Nabi jangan takut mati
Meski kau sembunyi dia menghampiri
Takutlah pada kehidupan setelah kau mati
Renungkanlah itu

Kemudian ketika telah berada di samping Makam Rasulullah Saw., yang dijaga tiga petugas (‘askar), perasaan penulis pun menjadi sangat bercampur aduk. Antara sangat bahagia dan sangat malu. Sangat bahagia, karena penulis masih diberi kesempatan Allah Swt. berziarah kembali ke makam beliau. Merasa sangat malu, karena merasa betapa diri penulis masih acap melakukan dan sangat sarat dengan pelbagai kekurangan, kesalahan, kealpaan, noda, dan dosa. Sejenak kemudian, seraya melangkah sangat pelan, penulis pun mengucapkan salam dan shalawat dengan nada suara pelan kepada beliau, dan kemudian menyampaikan salam dan doa kepada dua sahabat tercinta beliau, Abu Bakar Al-Shiddiq dan ‘Umar bin Al-Khaththab.

Monday, February 7, 2011

"Putraku, Raihlah Kedudukan dengan Usaha Sendiri!"


“Kesalahan inti Presiden Mesir Hosni Mubarak adalah begitu lama terlena dengan kekuasaan. Hal ini ditambah dukungan konstan dari sekutu utama, Amerika Serikat, yang membuat Mubarak alpa memakmurkan warga. Yang lebih parah, Mubarak berniat mewariskan kekuasaan kepada putranya. Gamal Mubarak, putra Hosni Mubarak yang dipersiapkan sebagai pengganti, kini turut jatuh dari kehormatan. Semua itu menjadi akar keruntuhan pamor Mubarak. Proses politik di Mesir akhir-akhir ini memperjelas arah ke pembentukan dinasti politik Mubarak,” demikian tulis koran Kompas hari ini, Senin, 7 Februari 2011.

Entah kenapa, tadi pagi ketika sedang menyimak dan mencermati tulisan tersebut, tiba-tiba penulis teringat kisah indah yang berkaitan dengan diri seorang penguasa Muslim di Baghdad yang dalam sejarah Islam juga terkenal sebagai “Bapak Ilmu Pengetahuan”, Al-Ma’mun bin Harun Al-Rasyid. Kisah itu adalah sebagai berikut:

Merasa usianya kian beranjak cepat, selama berhari-hari kegelisahan tentang siapakah yang akan menggantikan dirinya sebagai penguasa menyergap seluruh kesadarannya. Entah kenapa, selama berhari-hari pertanyaan, “Haruskah aku mengangkat kembali seorang putra mahkota?” seakan tak mau melepaskan diri dari benak penguasa yang wilayah kekuasaannya membentang di tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa.

Mengangkat kembali seorang putra mahkota? Ya, sebelum itu Al-Ma’mun bin Harun Al-Rasyid memang pernah mengangkat seorang mahkota: ‘Ali bin Musa Al-Ridha. Namun, ternyata, pengangkatan putra mahkota yang satu menyulut pembangkangan dan penentangan di pelbagai wilayah yang di bawah kepemimpinannya. Tampaknya, perjalanan hidup panjangnya telah mengajarkan kepadanya untuk tidak mengangkat seorang putra mahkota lagi. Bukankah ia sendiri naik ke pentas kekuasaan dengan perjuangan yang tak ringan?

Lembaran sejarah menorehkan, penguasa ketujuh Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak yang berkuasa pada 198-218 H/813-833 M ini lahir pada Kamis, 16 Rabi‘ Al-Awwal 170 H/14 September 786 M, enam bulan lebih tua daripada saudaranya seayah: Muhammad (kelak bergelar al-Amin selepas menjadi khalifah). Putra pasangan suami-istri Harun Al-Rasyid dan Marajil, seorang istrinya yang berdarah Persia dan berpulang kala melahirkannya, ini bernama lengkap Abu Al-‘Abbas ‘Abdullah bin Harun Al-Rasyid. Ia ditunjuk sebagai putra mahkota setelah Al-Amin. Kala Al-Amin naik ke pentas kekuasaan pada Sabtu, 4 Jumada Al-Tsaniyyah 193 H/24 Maret 809 M, ia dengan dukungan ibundanya: Zubaidah, berusahaa melemahkan posisi Al-Ma’mun dengan mengangkat putra Al-Amin, Musa, sebagai putra mahkota. Akibatnya, mereka berdua terlibat dalam Perang Saudara. Akhirnya, Al-Ma’mun menjabat khalifah sebagai pengganti saudaranya, Al-Amin, yang terbunuh dalam suatu pertempuran di Baghdad Dar Al-Salam pada Sabtu, 25 Muharram 198 H/24 September 813 M.

Seusai perang itu, selama sekitar enam tahun Al-Ma’mun tetap menjadikan Merv, Iran sebagai pusat pemerintahan, bukannya Baghdad. Lantas, pada 201/816 M, ketika ia mengangkat ‘Ali bin Musa Al-Ridha, sebagai putra mahkota, warga Baghdad pun membelot di bawah pimpinan pamandanya, Ibrahim bin Al-Mahdi. Segera ia membawa pasukannya menuju Baghdad. Ketika di tengah perjalanan, menteri utamanya, Al-Fadhl bin Sahl mati terbunuh, demikian halnya ‘Ali Al-Ridha. Melihat hal itu, pembelotan warga Baghdad mereda dan ia memasuki Baghdad pada 204 H/819 M. Semenjak itu, ia menjadikan kembali kota yang semula berbentuk bundar ini sebagai pusat pemerintahan Dinasti ‘Abbasiyyah.

Lantas, suatu hari, Al-Ma’mun pun memanggil penasihatnya, Yahya bin Aktsam. Ketika Yahya datang menghadap kepadanya, Al-Ma’mun pun segera mengemukakan persoalan yang sedang menyergap seluruh pikirannya itu.
“Semua itu terserah Amir Al-Mukminin,” jawab Yahya bin Aktsam yang juga kebingungan menerima pertanyaan demikian.
“Yahya, bila demikian panggilkan putraku!”

Tak lama kemudian Ja‘far bin Al-Ma’mun menghadap. Selepas berbagi sapa sejenak dengan sang putra, penguasa yang acapkali dipandang sebagai tokoh ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam itu berucap kepada sang putra, “Wahai putraku! Belajarlah keluhuran martabat dari para menteri dan pembantu dekatku. Mereka, demi Allah, meraih kedudukan dengan usaha mereka sendiri. Bukan karena orang lain. Sungguh, manakala engkau hanya mencermati dan mengurusi masalah-masalah kecil, tentu pelecehan dan penghinaan yang bakal engkau terima. Karena itu, mendakilah dari kerendahan tekad untuk menggapai ketinggian kedudukan. Berusahalah dengan tekun dalam pelbagai persoalan besar dan berbekallah dengan tekad dan keyakinan yang kuat. Jadilah laksana binatang besar yang hanya mencari mangsa besar, tidak sibuk dengan burung-burung kecil atau hewan-hewan kecil. Ketahuilah, engkau maju bukan karena dimajukan. Pemimpinmu tak akan pernah membuat engkau maju, manakala engkau sendiri tak mau melakukannya. Pemimpinmu tak memerlukan kalian manakala engkau belum memberikan haknya atas dirimu.”

Selepas memberikan banyak pesan dan petuah kepada sang putra, Al-Ma’mun memutuskan untuk tidak mengangkat kembali seorang putra mahkota. Dan, ketika berpulang secara mendadak pada Selasa, 16 Rajab 218 H/5 Agustus 833 M di Tarsus, Anatolia, kala sedang memimpin ekspedisi militer untuk menghadapi pasukan Bizantium, ia digantikan saudaranya, Abu Ishaq Muhammad bin Harun Al-Rasyid, yang bergelar Al-Mu‘tashim Billah selepas menjabat khalifah.

Tuesday, February 1, 2011

Medan El Tahrir: Pusat Pergolakan di Mesir


Hari-hari akhir ini, nama Medan El Tahrir (dalam bahasa Arab disebut Maidan Al-Tahrir, alias Lapangan Pembebasan) mencuat cepat. Lapangan yang terletak di epicentrum Kota Kairo, Mesir ini kini menjadi pusat gerakan anti-pemerintahan Presiden Hosni Mubarak yang berkuasa semenjak 6 Oktober 1981 M (ketika penulis masih menimba ilmu di Negeri Piramid ini). Medan, atau lapangan, yang satu ini dapat disejajarkan dengan kawasan Monas di Jakarta, Champs Élysées di Paris, atau Times Square di New York.

Sejarah Medan El Tahrir sendiri bermula semenjak abad ke-13 M. Namun, bentuknya yang ada seperti dewasa ini mulai terbentuk pada abad ke-19 M: ketika seorang Mubarak lain, tepatnya ‘Ali Mubarak, seorang Menteri Pekerjaaan Umum kala itu (1860-1870 M), diperintahkan penguasa Mesir kala itu untuk merancang ulang Kota Kairo. Nama yang diberikan bagi medan atau lapangan ini adalah Medan Ismailiah. Nama Medan El Tahrir baru dipakai medan itu selepas terjadinya Revolusi Juli 1952.

Kini, mari kita mengenal lebih jauh tentang kawasan di seputar Medan El Tahrir. Bangunan yang paling “berharga” di kawasan ini adalah sebuah museum yang menyimpan “harta karun” Mesir semenjak sekitar 5.000 tahun yang silam: Museum Mesir. Tak aneh, bila dalam pergolakan di Mesir saat ini, ada orang-orang yang tak bertanggung jawab yang berusaha “mengincar” harta karun yang tersimpan di museum yang satu itu. Bagaimana “kisah” Museum Mesir tersebut dan apa koleksi-koleksinya?

Sejarah museum yang terletak di samping Mîdân Al-Tahrîr (Tahrir Square) itu bermula pada 1251 H/1835 M. Kala itu, museum menempati sebuah gedung di dekat Taman Ezbekiyah, ‘Atabah. Namun, segera gedung itu tak mampu menampung semua koleksi yang dimilikinya. Karena itu, lokasi museum pun, pada 1274 H/1858 M, di pindahkan ke Bulaq, menempati sebuah gedung yang dirancang seorang arsitek Perancis dan dibangun di tepi Sungai Nil. Namun, karena gedung itu kerap dihajar banjir, museum pun dipindahkan ke Istana Isma‘il Pasya di Giza. Baru pada 1320 H/1902 M, museum itu menempati sebuah gedung yang tegak dengan gagahnya di samping Medan El Tahrir dan bertahan hingga dewasa ini.

Salah satu museum terbesar di dunia ini sendiri menyimpan koleksi terbesar dan paling berharga berupa artefak-artefak dari zaman Mesir Kuno. Paling tidak ada sekitar 136.000 item yang telah dikatalogkan dan barang-barang lainnya yang diatur secara kronologis menjadi tujuh seksi. Nah, bila kita memasuki lantai pertama museum itu, dengan mengikuti putaran jam, pertama-tama Anda dapat menyaksikan pelbagai pusaka historis Mesir Kuno, dari “Old Kingdom”, “Middle Kingdom”, “New Kingdom” hingga Kekaisaran Romawi. Sementara di lantai dua museum disajikan sederet koleksi dari masa pra-sejarah dan dinasti-dinasti awal Mesir. Di lantai itu bisa didapatkan pula beberapa koleksi berupa makam. Termasuk makam Tutankhamun yang berlapis emas. Di makam itu sendiri terdapat lukisan kemilau yang menggambarkan mummi suami Ankhesenamun itu dijaga empat dewi: Nephthys, Isis, Selkis, dan Neith. Ankhesenamun sendiri adalah putri pasangan suami-istri Akhenaten dan Nefertiti. Di samping itu, di lantai dua museum ini, ada kereta-kereta perang, singgasana dan sarkofagus (keranda), patung-patung, perhiasan-perhiasan emas, topeng emas, senjata-senjata emas dan banyak lagi. Bila Anda ingin melihat mummi-mummi para fir‘aun, Anda bisa melihat mummi-mummi mereka di ruangan khusus untuk mummi (Royal Mummy Room). Di ruangan itu, sejumlah mummi dipamerkan dalam kotak-kotak bebas oksigen. Termasuk mummi Ramesses II. Dewasa ini, karena telah terlalu penuh dengan koleksi yang dimilikinya, museum ini direncanakan akan dipindah ke kompleks piramid-piramid Giza dan akan menempati sebuah gedung yang jauh lebih megah. Nama museum yang baru itu adalah Grand Egyptian Museum.

Nah, di depan Museum Mesir itulah Medan El Tahrir berada. Sedangkan di samping kanan medan itu berdiri dengan megahnya The Nile Ritz-Carlton Hotel. Di samping hotel itu sendiri tegak markas besar Liga Arab. Kemudian, di seberang Kasr El-Nile St., tegak El-Tahrir Palace yang menjadi markas besar Kementerian Luar Negeri Mesir, seperti gedung Pejambon di Jakarta. Tak jauh dari El-Tahrir Palace, tegak Masjid ‘Umar Makram yang dirancang seorang arsitek Italia, Mario Rossi, dan El-Mugamma‘ Administrative Complex.

Di samping kanan gedung El-Mugamma‘ Administrative Complek, gedung American University in Cairo tegak. Gedung universitas yang satu itu semula adalah Istana Khairi Pasya yang didirikan pada 1276 H/1860 M. Universitas itu sendiri mulai beroperasi pada 1337 H/1919 M. Namun, sejak 1429 H/2008 M, program undergraduate dan graduate dialihkan ke sebuah pemukiman baru, New Cairo, yang terletak tak jauh dari Cairo International Airport, berdampingan dengan Distrik Nasr City. Tak jauh dari gedung universitas itu terdapat stasiun metro: stasiun Sadat. Tak jauh pula dari universitas itu, di sebelah timurnya, ada sebuah jalan: Bab El-Louq. Nah, pada tahun-tahun 1970-an dan 1980-an, di jalan di kawasan elite dan strategis itulah terdapat markas besar Persatuan Pelajar Indonesia, tempat mangkal para mahasiswa Indonesia di Kairo. Pada awal tahun-tahun 1980-an, seingat penulis, di seputar Medan El Tahrir terdapat sebuah jembatan membentang panjang untuk para pejalan kaki (kini, jembatan itu tiada lagi). Setiap hari, ribuan penduduk Kairo naik, turun, dan melintasi jembatan melingkar itu. Kala itu, di situ masih terdapat terminal bus dan trem tua (dengan trayek antara El Tahrir dan El Manial Raudhah), seperti halnya trem yang hingga kini masih “mewarnai” Kota Alexandria. Tak aneh bila kala itu, Medan El Tahrir sangat riuh sekali, karena kala itu Kota Kairo pun telah padat dengan penduduk. Sayang, trem tua Kota Kairo itu kini tak lagi hadir.

Kota Kairo memang merupakan salah satu kota di dunia yang mengalami peningkatan jumlah penduduk yang begitu cepat. Pada abad ke-18 M, penduduk kota itu hanya sekitar 245.000 orang. Kemudian, pada 1347 H/1929 M, jumlah penduduk kota itu mencapai 1.070.000 orang. Lantas, pada 1379 H/1960 M, jumlah penduduknya telah naik menjadi sekitar tiga setengah juta orang. Sepuluh tahun kemudian, jumlah itu telah mencapai sekitar lima juta orang. Dan kini, penduduk kota itu telah meroket menjadi sekitar delapan belas juta orang. Dengan jumlah penduduk yang demikian besar, tak aneh bila jalan-jalan di pelbagai penjuru Kota Kairo senantiasa disergap kemacetan.

Tak jauh dari Medan El Tahrir, ke arah Medan ‘Atabah, di situlah downtown Kota Kairo yang sejak semula dirancang seperti halnya rancangan Kota Paris. “Jantung” Kota Kairo modern dirancang mengikut rancangan Kota Paris, Perancis? Bagaimanakah kisahnya? Sekitar seribu tahun yang lalu, ketika Kota Kairo belum lama berdiri, posisi Sungai Nil lebih jauh ke timur ketimbang posisinya kini. Dari Benteng Babilonia di Mesir Lama (Old Cairo atau Misr Al-Qadîmah), sungai terpanjang kedua di dunia itu memotong diagonal ke arah utara. Karena itu, sekitar satu kilometer di sebelah barat Masjid Al-Azhar, bukan sekitar tiga kilometer seperti kini, pusat Kota Kairo kala itu masih merupakan kawasan yang penuh dengan genangan air. Kemudian, dengan berjalannya waktu, posisi Sungai Nil kian beralih ke arah barat. Kawasan yang semula penuh genangan air itu pun mengering. Walau begitu, kawasan itu masih tak berpenghuni.

Nah, ketika Muhammad ‘Ali (1182-1265 H/1769-1849 M), penguasa Mesir berdarah Albania yang perintis pendidikan menurut sistem Barat di Mesir, naik ke pentas kekuasaan, ia pada 1261 H/1845 M memerintahkan pengembangan Kota Kairo. Dalam pengembangan itu, Musky St. diperlebar dan diperpanjang ke arah timur hingga Khan Al-Khalili. Selain itu, ia juga membikin Qal‘ah St. yang menuju Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi dan sederet jalan yang berpusat di sebuah medan yang kini disebut Medan ‘Atabah (Mîdân ‘Atabah atau ‘Atabah Square).

Pengembangan pusat Kota Kairo, menurut Michael Haag dalam karyanya Cairo Illustrated, kian “bergelora” ketika berada di bawah pemerintahan Khedive Isma‘il Pasya. Khedive yang satu itu menginginkan Kota Kairo laksana Kota Paris, Perancis, yang ia kunjungi pada 1284 H/1867 M. Dalam kunjungan itu, ia terpesona dengan keindahan Kota Cahaya yang dirancang Baron Georges-Eugène Haussmann antara 1852-1879 M: dihiasi boulevard-boulevard lebar, taman-taman indah, dan pusat-pusat belanja nyaman. Ingin membuat Kairo laiknya Paris, Khedive Isma‘il Pasya pun segera memerintahkan ‘Ali Mubarak, kala itu menjabat Menteri Pekerjaan Umum, untuk membangun pusat baru Kota Kairo di dekat dan sepanjang Sungai Nil.

Dua tahun selepas peresmian Terusan Suez pada 1286 H/1869 M, ‘Ali Mubarak telah usai membangun cikal bakal Kairo modern di seputar Ezbekiyah yang sebelumnya merupakan danau. Lokasi itu diubah sepenuhnya, oleh seorang arsitek Perancis yang merancang Taman Bois de Boulogne di Perancis, menjadi sebuah taman indah. Di dekat taman itu dibangun pula sebuah gedung opera yang mengikuti model Gedung Opera “La Scala” di Milan, Italia, salah satu gedung opera paling terkenal di dunia kala itu. Selain itu, di antara Ezbekiyah dan Sungai Nil, dibangun pula sederet medan (square): Medan Musthafa Kamel, Medan ‘Urabi, Medan Tala‘at Harb, Medan Lazughli, dan Medan Al-Tahrir. Dan, segera, pada akhir abad ke-19 M, Kota Kairo terbelah menjadi dua kawasan, baru dan lama: berdampingan tapi berseberangan secara kultural maupun perkembangannya. Bagian timur Kota Seribu Menara itu tetap “memendam” pelbagai karakter budaya lamanya. Sedangkan di bagian barat kota kini muncul sebuah kota kosmopolitan yang dihuni penduduk dari pelbagai penjuru dunia: Yunani, Italia, Armenia, Inggris, Perancis, Swiss, Yahudi, Suriah-Lebanon, dan lain-lainnya.

Kini, di manakah lokasi istana yang ditempati Presiden Hosni Mubarak? Di Distrik Mesir Baru, tak jauh dari Cairo International Airport, sekitar 15-20 kilometer dari Medan El Tahrir. Istana kepresidenan tersebut semula adalah Heliopolis Palace Hotel, sebuah hotel termegah di Timur Tengah pada awal pendiriannya. Lantas, pada Perang Dunia II, hotel itu dialihfungsikan menjadi rumah sakit pasukan Sekutu. Selama perang tersebut berkecamuk, Kairo menjadi pusat komando kedua, setelah London, pasukan Inggris dalam menghadapi pasukan gabungan Jerman-Italia yang menguasai pelbagai wilayah di Timur Tengah.

Kemudian, selepas Mesir merdeka, istana itu digunakan untuk tujuan lain. Selanjutnya, ketika terbentuk negara gabungan Mesir-Suriah, gedung itu menjadi istana yang digunakan sebagai markas besar pemerintahan Republik Persatuan Arab. Ketika republik gabungan dua negara itu bubar, istana itu kemudian difungsikan sebagai gedung beberapa kementerian. Dan, baru pada tahun-tahun 1980-an Presiden Hosni Mubarak memugar istana itu dan menjadikannya sebagai istana kepresidenan. Dengan kata lain, istana yang ditempati Presiden Hosni Mubarak cukup jauh dari pusat pergolakan di Mesir saat ini.