Saturday, July 28, 2007

Labbaika Allahumma Labbaik...

Selepas dua hari berada di Madinah Al-Munawwarah, pada siang hari itu, Selasa 3 Juli 2007, sekitar pukul 15.00 waktu setempat, jamaah Khalifah Tour yang telah mengenakan pakaian ihram, dibawah komando Tour Leader: Mas Cecep Saiful Hidayat, telah siap di lobi Al-Haram Hotel, Madinah Al-Munawwarah, untuk melaksanakan ibadah umrah di Makkah. Seperti diketahui, ibadah umrah berarti berkunjung ke Masjid Al-Haram dengan melaksanakan rukun-rukunnya, yaitu dengan melakukan ihram dari miqat, melaksanakan tawaf di seputar Ka‘bah sebanyak tujuh kali, sa‘i antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali, tahallul, dan secara tertib. Berbeda dengan ibadah haji, ibdah umrah tidak dibatasi waktu. Dengan kata lain, ibadah ini dapat dilaksanakan kapan saja, tidak terbatas di bulan-bulan haji saja. Ibadah ini sendiri ada dua macam: umrah wajib dan umrah sunnah. Umrah wajib adalah umrah yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji. Sedangkan umrah sunnah adalah umrah yang dilakukan bukan dalam rangkaian pelaksanaan ibadah haji. Dengan kata, lain umrah ini berdiri sendiri. Umrah terakhir ini dapat dilakukan sembarang waktu.

Tidak lama kemudian, Bus Dallah dengan no. lambung 720 pun bergerak meninggalkan Al-Haram Hotel dan menuju Bi’r ‘Ali, miqat jamaah yang berasal dari arah Madinah. Seperti diketahui, miqat adalah batas memulai melaksanakan ihram ini, agar ibadah haji dan umrah seseorang sah menurut syariah Islam. Miqat ini ada dua macam. Pertama, miqat zamani yang berkaitan dengan batas waktu. Kedua, miqat makani yang berkaitan dengan batas tempat. Dari segi batas waktu, memulai ihram untuk ibadah haji dapat dilakukan dari awal bulan Syawwal sampai terbit fajar tanggal 10 Dzul Hijjah. Dengan kata lain, selama dua bulan sepuluh hari. Karena itu, jika seseorang melaksanakan ihram untuk haji sebelum rentang waktu tersebut atau sesudahnya, maka ibadah hajinya tidak sah. Sementara dari segi batas tempat, hal itu tergantung dari arah datangnya jamaah haji menuju Makkah. Bi’r ‘Ali (Dzul Hulaifah) adalah batas tempat bagi jamaah yang datang dari Madinah. Letaknya sekitar 12 kilometer dari pusat kota Madinah, di jalan raya menuju Makkah. Rabigh, adalah batas tempat bagi jamaah yang datang dari Mesir, Suriah, dan yang searah. Letaknya sekitar 204 kilometer di barat laut Makkah. Dzatu ‘Irqin adalah batas tempat bagi jamaah yang datang dari arah Irak. Letaknya sekitar 94 kilometer di utara Makkah. Qarn Al-Manazil adalah batas tempat bagi jamaah yang datang dari arah Nejd, Riyadh, Abu Dhabi atau Muscat. Letaknya sekitar 94 kilometer di timur Makkah, di jalan raya menuju Thaif. Dan Yalamlam adalah batas tempat bagi jamaah yang datang dari arah Yaman. Letaknya lebih kurang 54 kilometer dari arah selatan Makkah.

Sekitar sepuluh menit dari Al-Haram Hotel, Bus Dallah yang kami naiki tiba di Bi’r ‘Ali. Di situ, ada sederet bus sedang parkir dan menanti jamaah yang akan melaksanakan ibadah umrah. Selepas melaksanakan shalat sunnah dan berniat ihram, segera gema talbiyyah di bawah arahan muthawwif, Mas Abdussalam Baidhawi, memenuhi seluruh sudut bus yang kami naiki. Bus pun segera melaju menuju Makkah yang jaraknya sekitar 450 kilometer dari Madinah. Pemandangan di luar bus lebih banyak diwarnai batu-batu hitam dan padang pasir nan kerontang. Segera saja terbayang dalam benak saya, bagaimana beratnya perjalanan yang dilakukan Rasululullah Saw. yang ketika itu berusia sekitar 58 tahun dan para sahabat ketika melaksanakan umrah. Seperti diketahui, beliau dan sekitar 2.000 para sahabat, pada masa Islam, pertama kali melaksanakan umrah (yang dikenal dengan sebutan umrah qadha’) pada Dzul Qa‘dah 7 H/Maret 629 M. Ini sebagai pengganti ibadah umrah yang terhalang setahun sebelumnya, sesuai dengan Perjanjian Hudaibiyyah. Saya sendiri tidak dapat membayangkan, bagaimana beratnya beban yang ditanggung seseorang ketika melintasi jarak 450 kilometer kala itu. Apalagi saat itu di bulan Maret, kala musim panas di negeri itu mulai “unjuk rasa”. Menurut catatan sejarah, beliau memang lebih suka menyusuri jalur yang tidak jauh dari pantai Laut Merah. Mungkin, suhu udara yang lebih “bersahabat” merupakan salah satu pertimbangan. Di samping itu, perbekalan di sepanjang pantai lebih mudah didapat ketimbang jika mengambil jalur memintas padang pasir yang sangat kerontang dan kawasan bukit-bukit batu hitam tanpa tetumbuhan.

Dalam peristiwa umrah yang gagal itu, yang terjadi pada 6 H/628 M itu, Rasulullah Saw. bersama sekitar 1.500 sahabat berangkat menuju Kota Suci itu untuk membalas pengepungan kaum musyrik Makkah atas Madinah di tahun sebelumnya. Di samping itu, juga untuk melaksanakan ibadah umrah dan mengunjungi Baitullah. Semula, kaum musyrik Makkah berusaha menghadang gerakan rombongan beliau dan para sahabat agar mereka tidak memasuki Kota Suci itu. Namun, akhirnya kedua belah tersebut bertemu di Hudaibiyyah, sebuah tempat yang kini terletak di wilayah Syumaisi (sekitar dua kilometer dari batas Tanah Haram), sekitar 25 kimoleter di jalan menuju Jeddah dari arah Makkah, dan di antara mereka tercapai kesepakatan yang tertuang dalam “Perjanjian Hudaibiyyah”. Berdasar berjanjian ini, Nabi Saw. dan rombongannya tahun itu terpaksa membatalkan maksud mereka untuk melaksanakan ibadah umrah. Mereka baru diperkenankan melakukan ibadah itu pada tahun berikutnya.


Selain itu, berdasarkan perjanjian tersebut, juga disepakati bahwa orang Islam Madinah tidak boleh mengambil kembali orang Islam yang tinggal di Makkah. Juga, tidak boleh menghalangi siapa pun di antara kaum Muslim yang ingin tinggal di Makkah. Sebaliknya, bila ada orang Makkah yang ingin tinggal di Madinah, kaum Muslim harus menyerahkannya kembali kepada kaum musyrik Makkah. Tapi, bila ada kaum Muslim yang ingin tinggal di Makkah, pihak Makkah tidak harus mengembalikannya ke Madinah. Perjanjian itu sendiri, ternyata, lebih menguntungkan kaum Muslim. Sebab, dengan tercapainya perjanjian ini, Islam menjadi lebih tersiar ke berbagai kawasan. Tanpa ada hambatan dan tanpa kekerasan!

Dalam ibadah umrah tersebut, dengan perasaan sangat gembira dan bahagia setelah tujuh tahun tidak melihat Ka‘bah beliau dan para sahabat tidak membawa apa-apa kecuali pedang yang disarungkan. Sementara orang kafir mengungsi keluar kota. Dengan peristiwa ini terbuktilah kebenaran firman Allah, “Sungguh, Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya, (yaitu) bahwa sungguh kalian pasti akan memasuki Masjid Al-Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kalian tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kalian ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (QS Al-Fath [48]: 27).

Selepas menempuh perjalanan selama sekitar enam jam, jamaah Khalifah Tour tiba Makkah Al-Mukarramah sekitar jam setengah sepuluh malam. Rombongan ini kemudian dibagi dua, sebagian menginap di Hilton Hotel dan sebagian yang lain di Dar Al-Salaam Hotel, untuk beristirahat sejenak dan kemudian melaksanakan tawaf dan sa’i. Sujud syukur kembali saya lakukan, setibanya di salah satu kamar Dar Al-Salaam Hotel, atas pelbagai nikmat, kesehatan, dan kesempatan untuk berumrah yang dikaruniakan Allah Swt.

Wednesday, July 25, 2007

Bersama Khalifah Tour Berziarah di Seputar Kota Nabi

Selain membanyakkan beribadah di Masjid Nabawi dan Raudhah, di samping berziarah ke Makam Rasulullah Saw., jamaah Khalifah Tour pun diberi kesempatan berziarah ke pelbagai tempat historis di Kota Nabi tersebut. Karena itu, hari di jam tangan saya saat itu menunjuk hari Selasa, 3 Juli 2007, usai melaksanakan shalat subuh dan menikmati santap pagi di Al-Haram Hotel, saat waktu menunjuk sekitar setengah tujuh pagi waktu setempat, kami telah berkumpul di lobi hotel tersebut. Pilihan untuk berangkat di pagi hari memang telah dipertimbangkan matang oleh Tour Leader Khalifah Tour yang handal dan tak kenal lelah, Mas Cecep S. Hidayat, dan muthawwif (guide) yang sangat akrab dengan jamaah dan berasal dari Sumenep, Madura, Mas Abdussalam Baidhawi. Pertimbangan utamanya adalah saat itu musim panas di Arab Saudi sedang mendekati puncaknya (suhu saat itu sekitar 43 derajat Celcius).

Tepat jam 6.30 pagi waktu setempat, bus Dallah bernomor lambung 712 telah siap membawa jamaah untuk mengunjungi tempat-tempat historis tersebut. Sebelumnya, kami telah berziarah ke Makam Baqi‘ Al-Gharqad. Seperti diketahui, makam yang terletak tidak jauh dari pintu keluar Raudhah itu menjadi makam sekitar 10.000 sahabat Nabi Muhammad Saw. Menurut catatan sejarah, orang yang pertama dimakamkan di sini adalah ‘Utsman bin Mazh‘un, seorang sahabat dari kalangan Muhajirun yang terkenal saleh dan hidup sederhana, yang meninggal dunia pada 5 H/626 M. Ibrahim, putra pasangan suami-istri Nabi Muhammad Saw. dan Mariyah Al-Qibthiyyah yang berasal dari Mesir adalah orang kedua yang dimakamkan di sini. Di sini pula terdapat makam para istri beliau: ‘A’isyah binti Abu Bakar, Saudah binti Zam‘ah, Hafshah binti ‘Umar, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Salmah binti Abu Umayyah, Juwairiyah binti Al-Harits, Ummu Habibah binti Abu Sufyan, dan Shafiyyah binti Huyai. Sementara keluarga beliau yang dikebumikan di sini, selain putra-putri beliau, antara lain Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, Al-Hasan bin ‘Ali, dan ‘Ali Zain Al-‘Abidin. Sementara di antara para sahabat yang dimakamkan di sini ialah ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abdullah bin Mas‘ud, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa‘d bin Abu Waqqash. Imam Malik bin Anas juga dimakamkan di sini.

Bus Dallah yang membawa jamaah Khalifah Tour pun, tepat jam 6.35 pagi waktu setempat, bergerak menuju tujuan pertama: Masjid Quba’. Seperti diketahui, masjid yang kini semakin cantik itu adalah sebuah masjid yang didirikan oleh Sa‘d bin Khaitsumah atas pendapat dan rancangan Rasul Saw. Pembangunan ini baru usai dan menjadi tempat shalat tidak lama selepas beliau pindah dari Quba‘ ke perumahan Bani ’Adi Al-Najjar di tengah-tengah Kota Madinah pada masa Nabi Saw. Masjid tersebut diresmikan pemakaiannya oleh beliau dan beberapa sahabat. Masjid yang senantiasa dikunjungi Rasulullah Saw. (dan beliau menyatakan bahwa barang siapa shalat di masjid ini, maka ganjarannya seperti ganjaran orang yang berumrah) ini, orang seperti diketahui, termasuk masjid yang tercatat dalam Al-Quran. Mengenai masjid ini, Allah berfirman, “Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa (Masjid Quba‘) semenjak hari pertama lebih patut kalian bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS Al-Taubah [9]: 108).

Selepas dari berziarah ke Majid Quba’, perjalanan kami selanjutnya adalah menuju Bukit Uhud. Menurut catatan sejarah Islam, bukit yang satu ini merupakan lokasi salah satu perang yang diikuti Nabi Muhammad Saw. yang diuraikan cukup terinci di dalam Al-Quran. Perang ini dipicu oleh kekalahan telak kaum musyrik Quraisy dalam Perang Badar yang terjadi pada Selasa, 17 Ramadhan 2 H/13 Maret 623 M. Karena itu, mereka bertekad untuk melancarkan pembalasan. Mereka pun menyiapkan perbekalan yang cukup dan pasukan dengan senjata yang lengkap yang berjumlah tidak kurang dari 3.000 orang, di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb. Pasukan ini mendapat bantuan dari beberapa kabilah Arab lain, seperti Arab Kinanah dan Tihamah. Pada pertengahan Sya‘ban 3 H/Februari 625 M, pasukan kaum musyrik Quraisy tersebut berangkat menuju Madinah. Semula kaum Muslim tidak mengetahui persiapan pasukan itu. Nabi Muhammad Saw. sendiri baru memeroleh berita, hanya dua atau tiga hari sebelum pasukan musuh tiba di Uhud, dari Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, pamanda beliau yang kala itu telah memeluk Islam namun masih menetap di Makkah. Setelah beliau mendengar gerakan pasukan tersebut, beliau pun keluar kota disertai pasukan dengan kekuatan 1.000 orang untuk menyongsong pasukan musuh. Tetapi baru saja beliau berangkat, sekelompok kaum munafik yang dipimpin ‘Abd Allah bin Ubai yang jumlahnya hampir sepertiga pasukan itu membelot. Meski demikian, pasukan yang tetap setia kepada beliau terus berangkat bersama beliau.

Di kaki Bukit Uhud yang terletak di sebelah timur laut Kota Nabi, bertemulah kedua pasukan yang bermusuhan itu pada Sabtu, 15 Syawwal 3 H yang bertepatan dengan 30 Maret 625 M. Dalam perang ini pihak pasukan lawan kehilangan 23 orang anggotanya. Sedangkan pasukan kaum Muslim menderita kerugian yang tidak sedikit dan 70 orang kaum Muslim gugur sebagai syuhadak dalam perang ini. Hamzah bin ‘Abdul Muththalib, pamanda Nabi Muhammad Saw., termasuk yang gugur dalam perang ini. Sedang Nabi Muhammad Saw. sendiri mengalami luka-luka, sehingga gigi beliau patah dan wajah beliau berlumuran darah. Saat itu beliau bersabda, “Bagaimana mungkin suatu kaum akan memperoleh kebahagiaan, sementara mereka melukai wajah nabi mereka sehingga berlumuran darah. Padahal, dia mengajak mereka ke jalan Tuhan mereka.”

Masjid Qiblatain menjadi tujuan ziarah yang terakhir. Seperti diketahui, masjid ini pernah menjadi saksi perubahahan qiblat, yaitu arah yang dituju kaum Muslim ketika melaksanakan shalat, yaitu Ka‘bah di Makkah. Seperti diketahui, sebelum diubah menghadap arah ini, qiblat kaum Muslim ialah Bait Al-Maqdis (Masjid Al-Aqsha). Perubahan ini terjadi pada Rajab 2 H/Januari 624 M berdasarkan perintah Allah Swt. seperti tertuang dalam Al-Quran, “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit. Maka, sungguh Kami akan memalingkan kamu ke qiblat yang kamu sukai. Palingkan lah mukamu ke arah Masjid Al-Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkan lah mukamu ke arahnya.” (QS Al-Baqarah [2]: 144).

Ayat tersebut diturunkan ketika Nabi Muhammad Saw. sedang melakukan shalat zuhur di Masjid Bani Salamah dengan menghadap ke arah Bait Al-Maqdis. Ketika beliau sedang melakukan rakaat kedua, turunlah perintah tersebut. Karena itu, masjid itu kemudian terkenal dengan sebutan sebagai Masjid “Qiblatain” (Dua Qiblat). Sedangkan tujuan utama perubahan qiblat ini sendiri ialah agar kaum Muslim, sebagai satu umat yang memiliki Ka‘bah yang menjadi pusat ruhaniah mereka, mengarahkan dunia dalam kebaikan yang besar. Selain itu, sebagai ungkapan bahwa kaum Muslim bukan suatu umat yang berasaskan ras atau warna kulit, melainkan suatu umat untuk meraih kebaikan dengan menyebarkan kebaikan. Meski terjadi perubahan tersebut, namun sunnah Nabi Saw. tidak pernah melupakan qiblat pertama. Sebab, Bait Al-Maqdis telah dijadikan sebagai ujung akhir pelaksanaan Isra’ dan Mi‘raj Nabi Saw. yang diawali dari Makkah. Dan dari kota itu pula lah beliau bermi‘raj ke langit tertinggi. Karena itu, Bait Al-Maqdis dipandang sebagai kota suci ketiga dalam Islam setelah Makkah dan Madinah.

Selain berziarah ke tempat-tempat historis tersebut, ada satu tempat yang senantiasa mendapat kunjungan jamaah umrah dan haji asal Indonesia: “Pasar Kurma”. Di pasar yang hanya menjajakan kurma dan “anak buahnya” itulah jamaah Khalifah Tour membeli kurma sebagai oleh-oleh yang menjadi “trade mark” Kota Nabi. Dan, selepas itu, kami pun kembali ke Al-Haram Hotel, untuk bersiap-siap melanjutkan perjalanan menuju Kota Makkah Al-Mukarramah sore harinya!

Tuesday, July 17, 2007

"Taman Surga" dan Makam Rasulullah Saw.

Usai melaksanakan shalat subuh, saya kemudian menapakkan kedua kaki dengan khidmat menuju Raudhah dan Makam Rasulullah Saw. serta dua sahabat tercinta beliau: Abu Bakar Al-Shiddiq dan ‘Umar bin Al-Khaththab. Seperti diketahui, bagi kaum pria, Raudhah dan Makam tersebut dibuka menjelang waktu subuh hingga selepas isya. Sedangkan bagi kaum perempuan, Raudhah dan Makam tersebut dibuka jam tujuh pagi hingga jam sebelas siang hari dan sore hari. Alhamdulillah, setelah mengantri beberapa lama, Allah Swt. mengizinkan saya memasuki Raudhah dan mengunjungi Makam Rasulullah Saw. dan kedua sahabat beliau yang terletak di bagian depan sebelah kiri Masjid Nabawi, Madinah.

Seperti diketahui pula Raudhah adalah suatu bangunan yang berdiri di atas makam Nabi Muhammad Saw. Nama bangunan itu sendiri diambil dari sabda beliau, “Di antara rumahku dan mimbarku terdapat taman (raudhah) di antara taman-taman surga.” Nama tempat ini juga disebut “Mushalla Nabi”. Beliau sendiri memilih tempat di mana beliau akan dimakamkan. Yaitu kamar ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq, yang kini masuk dalam lingkungan Masjid Nabawi tersebut.

Sejarah Raudhah ini sendiri hampir seusia dengan Masjid Nabawi. Seusai membangun masjid di Kota Madinah itu, yang hanya berukuran 70 X 60 kaki, Nabi Muhammad Saw. membangun dua bilik. Sebuah untuk istrinya bernama Saudah binti Zam‘ah. Satu lagi untuk ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq. Dua bilik itulah rumah beliau dan tempat tinggal istri beliau, tak lebih. Karena memang kala itu beliau beristri dua. Kedua kamar itu kecil dan bersambung dengan Masjid Nabawi. Dua bilik yang bersahaja itu baru ditambah setelah beliau menikah lagi.

Bilik yang di dalam sejarah Islam dikenal dengan “Rumah ‘A’isyah” adalah satu-satunya rumah Ummahat Al-Mu’minin (Ibu-ibu Kaum Beriman) yang menyatu dengan bangunan masjid. Selebihnya, bilik yang dibangun Rasulullah di sebelah selatan. Bilik itu dikhususkan untuk tempat tinggal Hafshah binti ‘Umar, satu dari dua istri beliau di hari-hari pertama beliau di Madinah. Bilik terakhir itu tidak menyatu dengan masjid. Bangunan itu dipisahkan oleh lorong sempit yang terdapat di arah selatan, areal tempat dibangun mihrab. Sebelah timurnya di kelak hari menjadi Bab Al-Nisa’ (Pintu Gerbang Wanita).

Bilik-bilik tempat tinggal istri-istri Rasulullah ini dilengkapi dengan beranda kecil dan sebuah kamar berfondasikan pelepah kurma. Lotengnya rendah sekali, tak lebih tinggi dari jangkauan tangan orang berdiri. Ketika beliau wafat, beliau dimakamkan di kamar ‘A’isyah. Kepala beliau di sebelah barat dan wajahnya dihadapkan ke arah Kiblat. Dalam perjalanan waktu selanjutnya, Abu Bakar Al-Shiddiq dimakamkan di sebelah utara Rasulullah Saw. Sedangkan ‘Umar bin Al-Khaththab dimakamkan di sebelah utara Abu Bakar. Dengan begitu, bilik ‘A’isyah kini terbelah dua dan diberi dinding. Sebagian dijadikan makam dan sisanya tetap menjadi tempat tinggalnya.

Rumah-rumah istri Rasulullah lainnya tetap seperti sediakala. Rumah-rumah itu baru berubah status pada masa Al-Walid bin ‘Abdul Malik, seorang penguasa Dinasti Umawiyyah di Damaskus, pada 88 H. Kala itu, Al-Walid merasa dihadapkan pada persoalan sulit. Antara memenuhi kebutuhan ruang shalat berjamaah, khususnya shalat Jumat, dengan melestarikan peninggalan sejarah. Tetapi, setelah bermusyawarah, warga Madinah mendukung langkah Al-Walid yang memprioritaskan perluasan Masjid Nabawi. Maka tiada jalan lain kecuali meruntuhkan rumah-rumah istri Rasulullah Saw., kecuali bilik ‘A’isyah.

Kubur-kubur yang ada, oleh Al-Walid dibuatkan ruangan. Agar makam-makam itu tidak diperlakukan seperti Ka‘bah, dihadapi langsung oleh umat Islam yang sedang shalat, Al-Walid membuatkan pagar. Pagar itu bersudut lima. Tingginya sekitar 6,5 meter. Di sebelah utara-antara ruang tempat makam Rasulullah Saw., Abu Bakar, dan ‘Umar dengan pagar yang bersudut lima itu- ada ruang lumayan luas. Hanya, ruang itu menyempit di bagian timur dan selatan. Di bagian barat malah tidak ada ruang kosong sama sekali. Di sini, di bagian barat, kamar makam menyatu dengan dinding pemisah yang bersudut lima itu. Bangunan hasil pemugaran Al-Walid ini hingga kini masih dipertahankan. Perubahan hanya terjadi pada konstruksinya.

Sementara mengenai kain sutra bertuliskan La ilâha illa Allâh (Tiada Tuhan kecuali Allah) yang dilingkari kain lain bertuliskan Ma kâna Muhammadun Abâ ahadin min Rijâlikum wa lâkin Rasûlallâhi wa Khâtaman Nabiyyîn (Muhammad bukanlah bapak salah seorang di antara kalian, tapi ia adalah Utusan Allah dan penutup para nabi), serta kain yang bertuliskan nama para nabi yang berukuran sekitar 2,5 meter yang terpajang di makam Rasulullah Saw., memiliki asal usul yang berbeda-beda.

Ide penulisan kalimat-kalimat dengan huruf emas itu lahir dari Khaizuran, ibunda kandung Harun Al-Rasyid, seorang penguasa Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak. Ide itu ia wujudkan ketika ia naik haji pada 173 H/789 M. Karya Khaizuran ini lah yang disaksikan para peziarah makam Rasulullah Saw. hingga 564 H/1168 M. Pada tahun itu, Ibn Abi Al-Hija menambah dengan tulisan lengkap Surah Yasin. Dua tahun kemudian, Al-Mustadhli mengirim kiswah bersulam. Selanjutnya, pada 575 H/1179 M, sebuah kiswah lagi didatangkan Sultan Al-Nashir dari Mesir. Warnanya hitam. Kiswah yang dirajut dengan benang sutra putih dan ditulis dengan benang emas dan perak itu mengawali pengiriman kiswah dari Mesir secara rutin, enam tahun sekali.

Dalam pada itu Sultan Qalawun-juga dari Mesir- tak mau ketinggalan. Pada 678 H/1279 M ia bersaham dalam pembuatan kubah yang bawahnya bersegi empat, sementara atasnya bersegi delapan. Kubah dari kayu itu, oleh Qalawun, dipasang di ujung tiang yang dipasang di seputar ruangan makam. Lalu atapnya dilapisi kayu pula. Agar tidak bocor, manakala turun hujan, bagian atap kayu itu dilapisi semen. Tak aneh bila karya ini bisa bertahan cukup lama, 200 tahun lebih. Baru pada 886 H/1481 M Sultan Qa’it-Bey memugar karya Qalawun akibat musibah kebakaran.

Bangunan yang didirikan agak beda dengan bangunan yang didirikan Qalawun yang menyanggakan kubah kayu di atas tiang khusus dan kubah itu diletakkan di atas dinding ruangan. Kubah yang terakhir inilah yang bertahan hingga kini. Pemugaran selanjutnya dilakukan Sultan Mahmud bin Sultan ‘Abdul Hamid I, seorang penguasa Dinasti Usmaniyyah di Turki. Selepas itu, pada 1233 H/1817 M, Sultan ‘Abdul Hamid I memugar karya Qa’it-Bey. Duapuluh dua tahun kemudian karya Sultan ‘Abdul Hamid I dirapikan lagi. Dinding-dinding berukir yang sebelumnya berwarna biru pun diganti dengan warna hijau yang bertahan hingga dewasa ini.

Friday, July 13, 2007

Tetes Air Mata di Masjid Nabawi

Perasaan bahagia dan senantiasa ingin mendekatkan diri kepada Sang Khalik adalah suasana hati yang acap menyergap kalbu dan benak sebagian besar Muslim yang melakukan perjalanan ke Madinah Al-Munawwarah dan Makkah Al-Mukarramah. Karena itu, tak aneh jika tak lama setelah melepas lelah di Al-Haram Hotel, jamaah Khalifah Tour segera menuju Masjid Nabawi, karena waktu subuh di Kota Nabi saat itu adalah pada pukul 04.07 waktu setempat. Dengan langkah-langkah penuh semangat dan khidmat, kami pun meninggalkan Al-Haram Hotel yang lokasinya hanya sekitar 100 meter dari masjid, untuk menunaikan shalat subuh di Masjid Nabawi. Selepas melintasi Oberoi Hotel, pintu gerbang untuk jamaah perempuan ketika saat shalat pun telah berada di hadapan jamaah. Jamaah perempuan pun memasuki pintu itu. Sedangkan jamaah laki-laki berbelok ke arah pintu-pintu yang lain.

Begitu menatap Masjid Nabawi, saya segera tersadar, masjid yang pembangunannya dimulai pada Rabi‘ Al-Awwal 1 H/September 622 itu kini tampak sangat cantik dan megah. Apalagi suasana dini hari yang segar membuat hati dan benak saya disergap suasana keagamaan dan selubung misteri ilahiah yang menyelimuti masjid yang didirikan Nabi Muhammad Saw. di atas lahan yang dibeli dari dua anak yatim, Sahl dan Suhail, tersebut. Hati dan benak saya tiba-tiba kembali diliputi penuh rasa syukur kepada Allah Swt., juga rasa bahagia tak terkira, hingga tak terasa air mata pun meleleh. Bayang-bayang Rasulullah Saw. dan sederet para sahabat pun hadir satu demi satu di benak saya. Entah kenapa, tiba-tiba saya menunduk sangat malu, karena merasa betapa sangat kecil sumbangan saya terhadap agama yang saya peluk: Islam.

Kemudian, dengan langkah-langkah pelan, saya pun memasuki pelataran masjid seraya merenungkan makna jati diri dan perjalanan hidup saya di dunia yang fana ini. Semakin menyadari pelbagai kedhaifan, kekurangan, dan kekhilafan diri, tak terasa air mata pun semakin tak terbendung dan serasa akan tumpah semuanya. Tiba-tiba sebuah gumam lirih pun terucap, “Ya Allah! Apakah makna kehadiran seorang hamba-Mu yang dhaif ini di tengah “belantara” miliaran umat-Mu? Ya Allah! Karuniakanlah kasih dan cinta-Mu kepada hamba-Mu ini, agar sisa-sisa hidupnya bermakna. Ya Allah! Sampaikan shalawat dan salam kepada Rasul-Mu!”

Begitu berada di dalam Masjid Nabawi, jamaah pria Khalifah Tour pun mengambil posisi mereka masing-masing. Saya sendiri mengambil posisi sebuah tempat tidak jauh dari Raudhah yang telah penuh sesak dengan jamaah. Selepas melaksanakan shalat tahiyyat masjid, tak lama kemudian azan subuh pun membahana. Betapa sahdu mendengarkan seruan untuk melaksanakan shalat di Masjid Nabawi yang kini dilengkapi dengan 10 menara dan 27 kubah yang bisa bergerak membuka dan menutup secara otomatis sehingga bisa dimanfaatkan untuk mengatur sirkulasi udara alami ini menjadi seluas 165.000 meter persegi dengan kapasitas 257.000 jamaah itu. Kemudian, ketika iqamah diserukan, jamaah dari pelbagai bangsa yang memenuhi masjid pun tegak.

Beberapa saat kemudian, Imam pun mulai membaca Surah Al-Fatihah dengan suara yang sangat menyentuh hati. Hati dan benak saya merasa seakan ayat-ayat agung itu sedang dihadapkan kepada diri saya. Kesahduan bacaan secara tartil sang Imam tak terasa membuat air mata saya kembali menetes. Sejak pertama kali menunaikan ibadah di Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi pada 1978, saat shalat dan mendengarkan bacaan Al-Quran imam shalat di kedua masjid itulah yang membuat saya senantiasa tak dapat menahan air mata.

Lantas, ketika Sang Imam membaca Surah Al-Jumuah, “Senantiasa bertasbih kepada Allah, Raja Yang Mahasuci, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Al-Sunnah). Dan, sungguh, mereka sebelumnya benar-benar dalam keadaan sangat sesat,” hingga usai membuat saya semakin tak kuasa menahan air mata yang butir demi butir dan tetes demi tetes semakin membasahi kedua pipi saya. Seluruh tubuh terasa gemetar mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang dibacakan Sang Imam dengan sepenuh kesadaran dan penjiwaan. Seakan, ayat-ayat itu sedang ditujukan kepada saya. Dan, tiba-tiba, satu demi satu bayangan orang-orang yang telah sangat berjasa dalam mengantarkan saya dapat menguasai bahasa Al-Quran sehingga saya dapat memahami makna ayat-ayat yang sedang dibacakan Sang Imam: kedua orang tua, K.H. AZ. Dahlan dan Hajjah Mabruroh, K.H. Abu Ammar Kudus, KH. Ali Maksum Yogyakarta, Dr. Maghfur Usman, dan Prof. Dr. Ahmad Shalaby Mesir, memenuhi seluruh benak saya. Seraya mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang menyergap seluruh kesadaran, saya pun mendoakan mereka kiranya Allah Swt. menerima amal mereka.

Kemudian, di rakaat kedua, ketika Sang Imam membacakan Surah Al-Taghabun (Hari Ditampakkan Kesalahan-Kesalahan), air mata pun semakin tak terbendung. Deretan dosa, kesalahan, kekhilafan, dan kekeliruan yang pernah saya lakukan satu demi satu hadir di benak. Tak kuasa menanggung “seluruh bercak dan noda hitam” tersebut, hati dan benak saya, diaminkan oleh seluruh tubuh, pun menjerit dan kemudian berdoa, “Ya Allah! Ampunilah hamba-Mu ini. Hanyalah Engkau Zat yang mengampuni seluruh dosa dan kesalahan. Terimalah permohonan ampun dan maaf hamba-Mu yang dhaif ini!”

Thursday, July 12, 2007

Sepanjang Jalan Menuju Madinah Al-Munawwarah

Bandung, Ahad, 1 Juli 2007. Ketika sebuah bus pariwisata yang membawa kami (23 orang, termasuk Bpk Agus Purwadi dan Bpk Muhammad Nurdin, keduanya dosen dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB) mulai meninggalkan Kantor Khalifah Tour di Jalan Cisangkuy, Bandung, hati saya merasa sangat bahagia dan gembira. Bayang-bayang Kota Madinah Al-Munawwarah dan Kota Makkah Al-Mukarramah terasa memenuhi pelupuk mata. Entah kenapa, ketika bus yang saya naiki semakin menjauhi Bumi Parahyangan, kenangan indah ketika berziarah ke Kota Nabi bersama Prof. Dr. Doddy A. Tisnaamidjaja (alm.), mantan Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Ibu pada 1992 kembali mencuat dalam benak. Terbayang gamblang oleh saya, betapa kala itu, menjelang saat shalat subuh, Pak Doddy dan Ibu tampak sangat bahagia ketika menapakkan kaki meninggalkan Wisma Indonesia, Madinah, menuju Masjid Nabawi. Dan, beliau tampak semakin bersemangat ketika telah berada di masjid tersebut dan menuju Raudhah yang terletak di antara makam Nabi Muhammad Saw. dan mimbar masjid yang mendapat predikat “Bapak Masjid” itu.

Ketika bus pariwisata yang kami naiki tiba di Bandara Internasional Sukarno-Hatta, di Cengkareng, Jakarta, 12 jamaah lain dari Jakarta (antara lain Mas Lutfi Siraj Azwar, sahabat satu kantor adik saya, Ir. Syamsuddin Dahlan MBA (alm.) di Divisi Geothermal di Unocal yang kini berubah nama menjadi Chevron) segera bergabung. Sehingga, jumlah jamaah Khalifah Tour yang bekerja sama dengan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Salman ITB terdiri dari 35 orang. Saya sendiri mendapat amanah berat: menjadi pembimbing ibadah umrah. Walau terasa sangat berat, amanah dari Khalifah Tour itu saya terima dengan sepenuh hati. Pengalaman selama beberapa tahun menjadi pembimbing ibadah haji dan umrah (ketika masih menjadi mahasiswa Universitas Al-Azhar dan Universitas Kairo pada awal tahun-tahun 1980-an dengan jamaahnya antara lain Bpk Haji Kalla, ayahanda Wapres RI saat ini, M. Jusuf Kalla, dan Bpk Rustam Munaf, ayahanda Fariz RM) agak menguatkan hati saya untuk menerima amanat dari Khalifah Tour itu.

Tidak lama setibanya kami di Cengkareng, kami bertemu dengan rombongan jamaah Safari Suci yang berjumlah sekitar 200 orang dan dipimpin oleh KH. Dr. Miftah Faridl dan Kang Rustam Sumarna yang sudah tiba lebih dulu. Mereka juga akan bertolak langsung menuju Madinah dengan pesawat terbang yang sama, Saudi Arabian Airlines. Di antara jamaah Safari Suci tersebut adalah Bpk Ukman Sutaryan, mantan wakil gubernur Jawa Barat, dan keluarga. Semua itu semakin memberi semangat untuk segera melaksanakan ibadah umrah tersebut.

Setelah mengalami keterlambatan sekitar satu setengah jam, akhirnya pada pukul 18.10 wib pesawat Saudi Arabian Airlines dengan no. penerbangan SV 821 pun mengangkasa dan meninggalkan tanah air tercinta serta langsung terbang menuju Madinah Al-Munawwarah. Seperti halnya merupakan kebiasaan penerbangan asal Timur Tengah pada umumnya, perjalanan itu pun dimulai dengan doa: Bismillahirrahmanirrahim. Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar. Subhana al-ladzi sakhkhara lana hadza wa ma kunna muqrinin wa inna ila rabbina lamunqalibun. Allahumma inna nas’aluka fi safarina hadza al-birra wa al-taqwa wa min al-‘amal ma tardha. Allahumma hawwin ‘alaina safarana hadza wathwi ‘anna bu‘dah. Allahumma anta al-shahibu fi al-safari wa al-khalifati fi al-ahli. Allahumma inni a’udzu bika min wa‘tsa’i al-safari wa ka’abati al-manzhari wa su’ al-munqalabi fi al-mal wa al-ahl.

Alhamdulillah, selepas menempuh perjalanan sekitar sebelas jam, dengan mengalami sedikit cuaca buruk di langit Lahore, Pakistan, dan transit selama sekitar satu jam di Dammam, Arab Saudi, pesawat terbang yang kami naiki mendarat dengan mulus di Prince Mohammad Abd Al-Aziz International Airport, Madinah sekitar jam dua dini hari waktu setempat. Begitu menapakkan kaki di Bumi Madinah, rasa rindu untuk segera berziarah ke Masjid Nabawi dan Makam Rasulullah Saw. pun semakin membuncah. Karena itu, seraya menunggu proses urusan imigrasi yang memakan waktu sekitar dua jam, ucapan shalawat pun semakin mengisi benak dan hati saya, sementara air mata tak terasa menetes di pipi dan bibir berucap tiada henti, “Wahai Rasul! Aku datang lagi untuk mengunjungimu. Shalawat dan salam untukmu, wahai kekasih Allah!”

Dan, ketika telah berada di Al-Haram Hotel, segera saya bersujud syukur atas pelbagai kenikmatan yang telah dikaruniakan Allah Swt. dan kesempatan mengunjungi kembali Rasulullah Saw. kepada saya, “Ya Allah! Betapa begitu melimpah anugerah dan karunia-Mu atas diri hamba-Mu yang dhaif ini! Ya Allah, segala puja, puji, dan syukur hanyalah untuk-Mu semata!”